‘Kami Dibiarkan Berkelahi’: Petani Morowali Utara Terimpit Perkebunan Sawit dan Industri Nikel

Muammar Fikrie
Fahri Salam
18 menit
Wahono (44) mengendarai truk berisi pasir dan bebatuan untuk menimbun dan meninggikan tanah yang terendam air di sebelah rumahnya. Lahannya hendak dijadikan usaha kos-kosan untuk para pekerja smelter nikel PT Gunbuster Nickel Industry. (Project M/Muammar Fikrie)

Perubahan ruang hidup dan ekonomi warga di balik kehadiran raksasa korporasi smelter nikel dan perkebunan sawit di Morowali Utara.


SEJAK PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) mengoperasikan pabrik smelter, Wahono dan keluarganya mengeluhkan panas matahari tak lagi bersahabat. Pada saat yang sama, permukaan tanah di sekitar rumahnya di Desa Bunta, Morowali Utara, tak pernah kering.

Tanaman yang berjejer di depan rumah panggungnya tampak kering dan berselimut debu. Kawasan industri PT GNI terletak sekitar 10 km dari rumahnya. Debu dari pabrik beterbangan dan menempel tanaman.

Di bawah rumah panggungnya, air berwarna hitam kecoklatan menggenang dan membasahi perkakas-perkakas rumah tangga. Air genangan itu bau dan bikin gatal-gatal, kata Wahono, yang tinggal bersama istri dan ketiga anaknya, paling kecil berusia 6 bulan, serta mertuanya.

PT GNI membutuhkan air sebagai pendingin pembangkit listrik batubara untuk memenuhi kebutuhan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel di dalam kawasan. Perusahan mengambil air dari sungai Koro Lamoito—warga biasa menyebutnya sungai Lampi—dengan cara menutup aliran sungai warga. Imbasnya, air sungai meluber ke permukiman dan menggenangi jalan.

Untuk mengatasinya, Wahono meninggikan permukaan tanah rumah dan di sekeliling rumahnya dengan pasir dan batu. Rencananya, ia akan membangun rumah kos di lahan sebelah rumahnya.

Wahono menumpahkan pasir dan bebatuan dari dalam truk untuk meninggikan permukaan tanah di atas lahan yang tergenang air terus-menerus. (Project M/Muammar Fikrie)

Wahono adalah warga transmigran asal Ponorogo, Jawa Timur, yang diboyong orangtuanya saat berusia 17 tahun pada 1996. Pemerintah Orde Baru memberikan lahan 1 ha bagi transmigran untuk menggarap sawah. Totalnya, ada 132 keluarga dari Jawa yang mengikuti program transmigrasi tersebut. Wahono ingat tentara mengawal ketat proses para petani mencetak sawah.

Tetapi, pemerintah Indonesia juga menggelar karpet merah untuk dua korporasi datang ke Morowali Utara, yang perlahan-lahan menggusur lahan para transmigran.

Perusahaan pertama adalah perkebunan sawit PT Agro Nusa Abadi (ANA), anak perusahaan PT Astra Agro Lestari Group, yang datang pada 2006. Tiga belas tahun setelahnya adalah PT GNI.

“Seharusnya, perusahaan datang, bawa kebaikan untuk masyarakat,” ucap Wahono.

Yang terjadi justru sebaliknya. Perusahaan datang menyerobot tanah warga. Perusahaan juga menyebabkan perubahan lingkungan, membuat warga tak bisa bercocok tanam, tuding warga.

Dulu, sawah Wahono biasa panen dua kali dalam setahun. Setelah PT ANA datang, perusahaan ini dituding menanggul areal tanam persawahan sehingga menyebabkan banjir areal sawah dan permukiman. Wahono hanya bisa panen padi sekali dalam setahun saat musim kemarau.

Lalu, saat PT GNI menutup aliran sungai, air semakin meluber. Baik musim kemarau maupun musim hujan, tanahnya terendam. Wahono tidak bisa panen sama sekali.

Rasanya, bagi Wahono, seperti dikerjai negara. “Saya juga tahu itu [investasi] antar-negara,” kata Wahono mengacu PT GNI. “Tapi kami ini tuan rumah. Sekecil apa pun kami.”

Wahono duduk di tangga rumah panggungnya. Ketika banjir pada April 2023 dan 2019, ketinggian air mencapai tangga dan hampir membasahi teras rumahnya. (Project M/Permata Adinda)

‘Ke Sana Ke Mari Air’

Jalan utama Desa Bunta adalah jalur kendaraan bermotor para pekerja PT GNI dan truk, yang keluar-masuk perusahaan. Jalan itu kini berlubang-lubang. Setiap hujan deras, lubang-lubang itu terendam air. Sebagian permukaan tanah rumah di pinggir jalan juga terendam air.

Pada April 2023, banjir merendam Desa Bunta. Airnya hampir menyentuh lantai rumah panggung Wahono.

Pada 2019, sesaat setelah PT GNI membangun kawasan smelter nikel, banjir juga terjadi. Tahun itu pertama kali rumah warga kebanjiran selama tiga bulan. Transportasi darat terputus. Para pekerja PT GNI, yang pergi bekerja melewati jalan Desa Bunta, pun harus menggunakan perahu.

Memang biasanya ada banjir setiap lima tahun di Desa Bunta. Tetapi, sejak PT GNI datang menutup sungai, dampak banjir jadi semakin parah, ujar warga.

Banjir tak pernah reda sepenuhnya. Di musim panas pun, tanah permukiman warga tetap tergenang air.

“Kami ndak tahan. Ke sana ke mari air,” ujar Wahono.

Wahono punya lahan sawah dan kebun sawit. Sawah seluas 1 ha, kebun sawit seluas 4 ha. Keduanya kini tidak produktif lagi karena air tak pernah surut.

Kebun sawitnya masuk ke dalam kawasan PT GNI. Selain Wahono, ada sekitar 37 ha lahan warga transmigran yang masuk areal kawasan industri. Rata-rata warga memiliki lahan seluas 2 ha. Ada beberapa yang memiliki 1 ha, ada juga 6 ha.

Lahan mereka kini jadi bagian dari “objek vital nasional”. Akses masuk warga dipersulit. Gerbang PT GNI dijaga ketat aparat keamanan, dari petugas keamanan perusahaan, polisi, hingga tentara.

Warga meminta ganti rugi, termasuk Wahono. Tetapi PT GNI menghargainya dengan nilai pembebasan lahan sebesar Rp15 ribu/m² atau Rp150 juta/ha. Bahkan, pada 2019, harga pembebasannya Rp2.500/m² atau Rp25 juta/ha.

Wahono keberatan dengan harga tersebut.

Ia mematok harga tanahnya  Rp50 ribu/m² atau Rp500 juta/ha, dengan memperhitungkan tanaman-tanaman sawitnya ditenggelamkan PT GNI. Tapi, perusahaan menolak.

“Tapi, trik mereka bagus. Mereka tenggelamkan [pohon-pohon sawit]. Akhirnya, masuk sebagai lahan tidak produktif,” keluh Wahono.

Tampak asap dan debu dari tungku smelter nikel PT GNI. Dari jalan raya Trans Sulawesi yang menghubungkan Desa Bunta, Bungintimbe, Tompira, dan sejumlah desa lain, pemandangan asap bersanding hamparan kebun kelapa sawit PT Agro Nusa Abadi, anak perusahaan PT Astra Agro Lestari Group. (Project M/Muammar Fikrie)

Wahono menawarkan jalan tengah: meminta PT GNI membantu warga yang sawah dan kebunnya tenggelam dengan mengalihfungsikannya menjadi empang.

PT GNI dapat meminjamkan alat dan bahan bakar untuk meninggikan pematang-pematang, memberikan jalur bagi ikan turun ke empang. Dengan begitu, kata Wahono, masyarakat juga memiliki pergerakan ekonomi.

Tapi, usul itu tidak digubris perusahaan.

Wahono tak bisa tinggal diam. Lahan sebagai sumber penghidupan keluarganya adalah persoalan hidup dan mati. Dan, sebagai transmigran, lahan mereka terbatas.

Wahono mencoba mencari jalan lain. Untuk mendapatkan perhatian perusahaan, ia menutup jalan di depan rumahnya, jalan yang digunakan PT GNI untuk kendaraan bermotor keluar-masuk perusahaan.

Tetapi, alih-alih mendengarkan keluhan warga, PT GNI mengirimkan aparat keamanan ke rumahnya. Polisi dan tentara datang dan membuka jalan. Wahono tak bisa berkutik.

Akhirnya, Wahono berinisiatif membikin galian baru supaya sungai mengalir. Setelah mengadu ke kantor bupati, DPRD, dan polisi setempat, pemerintah melobi PT GNI untuk mengizinkan Wahono meminjam alat untuk menggali.

Wahono mengerjakannya selama dua bulan.

Dan, terbukti. Sejak ada galian itu, permukaan tanah kering kembali.

Tetapi, hanya sampai dua minggu, jalur sungai itu ditutup kembali PT GNI.

“Karena yang saya lewati itu jalan hauling [jalur pengangkutan],” cerita Wahono. “Maunya saya, dibikinkan jembatan. Kalau mereka kekurangan air, silakan tutup. Kalau mereka berlebih, buka. Supaya kami sama-sama hidup. Tapi, ndak. Mereka tutup saja.”

Wahono mengadu ke Gubernur Sulawesi Tengah, Rusdy Mastura. Rusdy memerintahkan stafnya untuk ke lapangan.

Respons perusahaan adalah meninggikan permukaan tanah permukiman warga. Galian jalur sungai baru tak pernah dikabulkan. Rumahnya memang tak tenggelam lagi, tapi genangan tak pernah hilang.

Kebun sawit dan sawah Wahono tetap habis.

Tanah di sekitar rumah warga Desa Bunta tergenang air. Air tak pernah benar-benar surut sejak PT GNI menutup akses sungai untuk keperluan PLTU, menyebabkan air sungai meluber ke permukiman warga. (Project M/Permata Adinda)

Sengketa Lahan dengan Korporasi Sawit

Sepuluh tahun sejak program transmigrasi 1996, PT Agro Nusa Abadi (ANA) masuk dan menyerobot lahan usaha transmigrasi serta lahan APL warga transmigran. APL adalah akronim areal penggunaan lain, istilah pengaturan dan perizinan untuk areal di luar kawasan hutan negara bagi pembangunan non-kehutanan seperti pertanian atau permukiman.

Pada masa transmigrasi, setiap rumah tangga menerima 2 ha tanah, yaitu 0,25 ha untuk rumah dan kebun; 0,75 ha untuk usaha pertanian; 1 ha untuk usaha. Selain itu, ada lahan APL transmigrasi yang fungsi jangka panjangnya memberikan ruang hidup bagi keturunan warga transmigran.

Di lahan APL itu, Wahono dulu memiliki kebun jagung. Ada juga warga menanam kakao. PT ANA kemudian diduga menghabiskan pohon-pohon warga, menggantinya dengan kelapa sawit.

Mulanya, warga membiarkan PT ANA menanam kelapa sawit di tanah mereka. Warga tidak menuntut perjanjian di atas kertas. Mereka memegang janji kepala dusun yang mengumbar janji semacam:

“Kalau sudah ditanami PT ANA, nanti kita enak.”

“Pokoknya, nanti kita sejahtera.”

Tetapi, pada 2015, ketika Wahono bertanya ke PT ANA tentang nasib lahan mereka, pihak perusahaan hanya menjawab, “Lho, tidak ada.”

Totalnya, ada 58 ha lahan warga, yang sudah bersertifikat, masih bersengketa dengan PT ANA, catat warga. Di sisi lain, lahan APL yang tidak bersertifikat mengandalkan tapal batas.

Dibuat oleh Badan Pertanahan Nasional, tapal batas itu mestinya masih berkekuatan hukum. Tapi, Wahono ragu. “Kami pakai sertifikat saja nggak mampu,” ujarnya, berkaca sekalipun lahan kebun warga transmigran sudah bersertifikat, tetap bersengketa dengan perusahaan sawit.

Wahono dan warga telah mengadu ke pemerintah daerah sampai pusat. Tetapi, pemerintah berkata lahan warga transmigran yang bersengketa dengan PT ANA tinggal 27 ha.

Sertifikat telah terbit sejak 2000. Itu pun warga baru mengetahuinya akhir-akhir ini ketika mereka hendak memecah sertifikat bahwa ada ketidaksinkronan data.

Lokasi lahan transmigrasi bergeser. Posisinya melintasi sungai dan gunung, juga tumpang tindih dengan lahan milik masyarakat setempat.

Padahal, di masa awal transmigrasi, Wahono ikut serta mengukur lahan usaha transmigran secara manual. Ia ingat jarak terdekat tanah dan sungai adalah 50 m.

“Saking [pemerintah] tidak mau berurusan dengan PT ANA, akhirnya kami yang dikorbankan,” tuding Wahono.

‘Mati pun Kami Siap’

Serikat Petani Petasia Timur mencatat ada sekitar 700 ha areal tanah milik warga yang diserobot PT ANA, di luar sengketa lahan dengan warga transmigran.

Luas lahan itu tersebar di empat desa, yaitu Desa Bunta, Bungintimbe, Tompira, dan Towara. Ada sekitar 400 keluarga yang terdampak.

Ambo Endre adalah salah satu pimpinan Serikat Petani. Keluarganya memiliki lahan 6 ha,  yang tumpang tindih dengan kawasan PT ANA. Lahan itu warisan orangtuanya. Di lahan itu pula kedua adiknya dikubur.

Ambo telah menempati Desa Bungintimbe sejak 1993 saat berusia 7 tahun. Keturunan Bugis, orangtuanya menjual sawah seluas 3,5 ha di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, lalu merantau ke Bungintimbe.

Meski pendatang, keluarga Ambo tidak ikut dalam program transmigrasi pemerintah. Orangtuanya menjual sawah mereka di kampung, lalu membeli tanah di Desa Bungintimbe dengan uang itu.

Dari kampung halaman, mereka menyewa truk untuk melaju ke rumah baru mereka. Tetapi, sampai di Pendolo, desa di Pamona Selatan, Sulawesi Tengah, jalanan belum beraspal, tidak bisa dilalui truk. Mereka berjalan kaki satu hari satu malam sampai ke Desa Bungintimbe.

Sampai di Desa Bungintimbe, mereka membuka hutan, menebang-nebang pohon besar menggunakan kapak. Ketika usia sekolah dasar, Ambo dan orangtuanya masih tinggal di kebun tersebut. Tiap pagi, ia berangkat ke sekolah menggunakan sampan yang ia kayuh sendiri.

Di lahan itu, orangtuanya menanam kakao dan kelapa, yang diteruskan Ambo saat dewasa.

Pada 2006, PT ANA masuk dan menebang pohon-pohon milik keluarganya, menggantinya dengan sawit.

Korporasi sawit membawa janji manis. Warga akan mendapatkan keuntungan setelah musim panen sawit. Kepala desa juga menjanjikan hal sama.

Tapi, janji tinggal janji.

Terakhir kali Ambo hendak memasuki kebunnya, aparat keamanan yang berjaga di sepanjang perkebunan mengancam akan memenjarakannya. Di kesempatan lain, Ambo ditodong senapan laras panjang.

Ambo berkata ia tidak akan mati-matian memperjuangkan tanahnya jika memang itu bukan haknya.

Bagi orang Bugis, harta adalah harga dirinya, peringkat ketiga setelah agama dan orangtua. “Jika ketiga ini diganggu, mati pun kami siap.” Sebab, “Kalau tidak punya malu, sudah tidak berguna kau hidup.”

Istilah Bugisnya, Siri na Pesse. “Siri” berarti malu, “Pesse” berarti rasa kemanusiaan.

Ambo Endre berdiri di depan rumahnya. Tanah warisan orangtuanya dicaplok korporasi sawit PT ANA. Selang beberapa tahun, korporasi smelter nikel PT GNI datang dan meminta Ambo melepas lahan yang lain. (Project M/Muammar Fikrie)

Beroperasi Tanpa Izin

Pada Juni 2022, dua pimpinan Serikat Petani Petasia Timur, selain Ambo, masuk penjara. Mereka adalah kakak-adik Gusman dan Sudirman. Mereka divonis 2,6 tahun penjara. Tuduhannya pencurian buah kelapa sawit PT ANA.

Sudah beroperasi lebih dari 16 tahun, PT ANA belum mengantongi izin hak guna usaha (HGU) hingga kini.

Pada 2006, Bupati Morowali saat itu, Datlin Tamalagi, memberikan izin lokasi untuk PT ANA seluas 19 ribu ha. Pada 2014, pejabat Bupati Morowali Utara, Abdul Haris Rengga, menerbitkan izin lokasi dari yang semula 19 ribu ha menjadi 7.200 ha. Pada saat yang sama, ia menerbitkan izin usaha perkebunan (IUP-B) seluas 7.200 ha tersebut.

Tetapi, hasil judicial review Mahkamah Konstitusi pada 2015 telah memutuskan bahwa perusahaan di bidang perkebunan harus memenuhi persyaratan hak atas tanah dan izin usaha perkebunan untuk melakukan kegiatan usaha perkebunan dan hasil perkebunan.

Putusan MK No. 138/PUU-XIII/2015 ini mengubah Pasal 42 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang semula “hak atas tanah dan/atau izin usaha perkebunan” menjadi “hak atas tanah dan izin usaha perkebunan”. Sehingga, perusahaan wajib memenuhi izin HGU dan IUP sekaligus.

Dan, pada 2015, Ombudsman RI perwakilan Sulawesi Tengah menyatakan bahwa telah terjadi maladministrasi terhadap proses penerbitan izin perusahaan.

Pertama, penerbitan izin oleh PJ Bupati bertentangan dengan PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Aturan itu melarang PJ Bupati membatalkan dan/atau mengeluarkan perizinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya. Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI, tindakan itu termasuk perbuatan “melampaui wewenang”.

Kedua, PT ANA tetap melakukan aktivitas perkebunan meski belum memiliki izin HGU. Salah satu rekomendasi Ombudsman adalah Bupati Morowali Utara melakukan evaluasi dan memberikan sanksi tegas kepada perusahaan.

Pada November 2022, Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura mengeluarkan surat rekomendasi yang isinya mengusulkan PT ANA melepaskan lahan seluas 1.000 ha, setelah melalui proses verifikasi dan validasi oleh pemerintah daerah. Rekomendasi itu muncul setelah rentetan desakan dilakukan Serikat Petani Petasia Timur.

Sebelumnya, pada September 2022, Tenaga Ahli Gubernur Sulteng Ridha Saleh sempat menyampaikan tiga poin kesepakatan. Isinya meminta PT ANA segera mengurus HGU. Dan, BPN mendampingi dan memberikan saran terkait pelepasan 1.000 ha tanah PT ANA.

Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah, Eva Bande, mengkritik keputusan tersebut.

Ia menilai kesepakatan itu diambil tanpa melibatkan para petani alias belum mencapai kesepakatan. Pemerintah tidak menindak tegas perusahaan yang telah beroperasi tanpa HGU selama lebih dari 16 tahun. (Pengacara PT ANA, melalui pemberitaan Antara pada 17 Maret 2023, menyanggah tudingan perusahaan berstatus ilegal dan mengklaim pengurusan HGU masih dalam proses.)

Hingga kini warga masih diliputi ketidakpastian. “[Rekomendasi Gubernur] sedang ditindaklanjuti di tingkat desa, tapi belum ada kabar,” kata Wahono.

Tumpang Tindih Lahan: ‘Masyarakat Kecil Disuruh Berkelahi’

Jumlah penduduk Desa Bunta melonjak signifikan sejak kehadiran PT GNI. Setiap hari, selalu ada penduduk yang mengurus KTP ke kantor Desa Bunta.

Di sepanjang jalan menuju kawasan industri PT GNI, tampak warung makan, konter ponsel dan pulsa, hingga kios penarikan uang tunai BRILink. Juga kos-kosan dan tempat penginapan. Mereka yang mampu buka usaha kos-kosan biasanya warga dari Palu hingga Makassar.

Lonjakan penduduk ini, berdasarkan keterangan pihak kantor desa, menjadi pemicu pemerintah menaikkan tagihan pajak bumi dan bangunan (PBB) masyarakat.

Tagihan PBB di Desa Bunta mendadak melejit pada 2022. Warga yang biasa membayar pajak senilai ratusan ribu untuk lahan 1-2 ha kini mesti membayar jutaan rupiah.

Hampir tidak ada warga yang membayar pajak. Ini dikonfirmasi pihak kantor desa, Lisnawati dari Kepala Seksi Pelayanan Kantor Desa Bunta, Morowali Utara. Lisnawati sendiri belum membayar pajaknya. Tanahnya ditagih pajak Rp6 juta.

“Biasanya ratusan ribu,” sebut Lisnawati.

Termasuk pula PT Stardust Estate Investment (SEI), pemilik lahan PT GNI, yang masih menunggak tagihan pajak Rp227,8 juta per Maret 2023 .

Dari total nominal PBB pada 2022 sebesar Rp6 miliar, baru Rp25 juta yang dibayarkan (per Maret 2023) atau 0,4%. Tahun sebelumnya, tagihan PBB di Desa Bunta hanya Rp64 juta.

Pajak Bumi dan Bangunan Desa Bunta melonjak pesat pada 2022. Jika sebelumnya warga membayar ratusan ribu rupiah, tahun 2022 tagihannya menjadi jutaan rupiah untuk beberapa ha tanah/bangunan. Pada 2021, tagihan PBB di desa ini sebesar Rp64 juta, sementara pada 2022 menjadi Rp6 M. (Project M/Permata Adinda)

Pada awal 2019, sebelum PT GNI beroperasi, jumlah penduduk Desa Bunta masih 2.907 jiwa. Per awal Januari 2023, angkanya sudah meningkat signifikan.

Tetapi, ada ketidaksesuaian data yang tercatat di kantor desa, yaitu 3.604 jiwa, dengan jumlah yang tercatat secara online di Dukcapil, yaitu 8.607 jiwa.

Kebanyakan pendatang hanya mendaftar secara online di Dukcapil, tetapi tidak datang ke kantor desa.

“Ketika kena masalah, baru melapor ke sini,” keluh Yuniati Pamelinja, Kepala Seksi Pemerintahan Kantor Desa Bunta.

Lonjakan jumlah penduduk memicu semakin maraknya kasus tumpang tindih lahan. Hingga Maret 2023, setiap minggu ada saja warga yang datang ke kantor desa melaporkan kasus.

Kedatangan PT GNI mempertajam persoalan tumpang tindih tanah yang dulu PT ANA sebabkan.

Warga tak bisa memecah sertifikat mereka. Sebab, ada ketidaksinkronan lokasi yang tertulis di sertifikat dengan lokasi sesungguhnya.

Dalam kasus warga transmigran, meski mereka masih memegang sertifikat tanah masing-masing, tetapi tidak ada yang tahu pasti letak tanah mereka.

Muncul konflik horizontal antar-warga, seperti antara warga transmigran dan warga asli Bunta, masing-masing saling klaim kepemilikan tanah.

“Kami harus baku tuntut dengan tetangga. Perusahaan besar datang, banyak orang yang ingin investasi, banyak yang bangun kos-kosan,” kata Wahono.

Sepupu Wahono baru saja membeli tanah. Kepala dusun menunjukkan lokasi tanah tersebut. Wahono diminta tolong untuk menimbun atau meninggikan tanah tersebut. Di saat mengerjakan, seseorang mendatanginya dan mengajukan protes.

“Saya punya tanah kenapa ditimbun?”

Wahono membantu mempertemukan orang yang mengaku sebagai pemilik tanah dengan sepupunya. Kedua pihak sepakat untuk mengadu ke pemerintah desa dan BPN. Tetapi, pengaduan mereka ditanggapi: “Bawa perdata saja.”

Ketika kami konfirmasi, pihak kantor desa mengklaim proses pembebasan lahan sudah selesai.

“Tumpang tindih itu sudah biasa. Apalagi setelah kedatangan perusahaan kemarin. Tapi sudah selesai,” kata Yuniati. Sementara, Kepala Desa Christol Lolo tidak ada di tempat saat itu.

“Ini pemerintah model apa? Masyarakat kecil disuruh berkelahi,” keluh Wahono.

Terpaksa Melepas Lahan

Ketika lahannya diserobot PT Agro Nusa Abadi, Ambo Endre beralih menanam di lahannya yang lain. “Tapi, diambil lagi, kali ini oleh PT GNI,” ujarnya.

Pada 2020, PT GNI meminta Ambo melepaskan lahannya seluas 4 ha dengan harga Rp100 juta/ha. Tanah itu bukan tanah kosong. Ambo dan orangtuanya menanamnya dengan kelapa sawit. Harga jual lebih tinggi daripada tawaran harga perusahaan.

Ia menolak, lalu bernegosiasi dengan perwakilan PT Stardust Estate Investment, pemilik lahan PT GNI.

Pihak perusahaan tidak bernegosiasi secara terbuka. Mereka mengajak masing-masing pemilik lahan berdiskusi di ruangan tertutup. Harga bagi masing-masing individu pun bisa sangat berbeda. Beberapa warga lain saat itu telah melepas tanahnya. Ada yang menjualnya seharga Rp75 juta/ha.

Negosiasi dengan Ambo berlangsung alot. Perusahaan mengumbar janji manis persis seperti PT ANA dulu. “Nanti Bapak sejahtera,” sebut perwakilan perusahaan saat itu.

“Bosan saya dengar janji itu, Pak,” jawab Ambo.

Ambo mendapatkan tawaran final Rp525 juta/ha atau Rp52.500/m² untuk sisa lahan satu-satunya itu. Awalnya Ambo menolak, tapi orangtuanya memintanya mengikhlaskan.

Kematian, Kecelakaan Kerja, Pemberangusan Serikat, Kriminalisasi: Nasib Pekerja Indonesia dan Tiongkok di Industri Smelter Nikel PT GNI

Terimpit di Antara Dua Raksasa

Terimpit antara dua korporasi, PT ANA dan PT GNI, petani seperti Wahono dan Ambo mesti mencari sumber penghidupan lain.

Uang hasil penjualan tanah Ambo sebagian dibelikan truk, yang dipakai untuk usaha bongkar muat barang. Ia mematok harga Rp300 ribu untuk setiap satu ret atau sekali jalan truk mengambil dan menurunkan muatan.

Tetapi, dengan tingginya persaingan, Ambo berkata truknya “lebih banyak parkir.” Harapan satu-satunya adalah merebut kembali tanah yang diserobot PT ANA.

Wahono juga punya truk yang dimanfaatkan untuk usaha bongkar muat. Ada dua unit truk. Lebih murah dari Ambo, ia mematok harga Rp180 ribu sekali jalan. Harga ditekan serendah mungkin sebab banyak persaingan. Setiap hari, Wahono bisa mendapatkan panggilan total 10 ret.

Tetapi, bukan berarti usaha bongkar muat Wahono lepas dari masalah. Mestinya, kedua truknya bisa mengambil pesanan lebih banyak lagi. Tapi, Desa Bunta punya kendala pengisian bensin yang memakan waktu lama.

Pom bensin satu-satunya terletak di Korololama, Kolonodale, berjarak sekitar 9 km atau waktu tempuh 19 menit dari Desa Bunta. Pasokan bensin terbatas, sementara antrean mengular.

Untuk dapat mengisi bensin, Wahono mesti mengantre dari pukul 5 pagi. Ia memarkirkan truknya setengah hari, alias pengisian bensin baru berjalan pada pukul 12 siang. Dua truknya akan berganti dipakai mengantre dan mengantarkan bongkar muat.

Mengisi dengan diesel, pom bensin juga menjatah volume bensin. Wahono hanya bisa mengisi sekitar 45 liter atau seharga Rp350 ribu, yang habis dipakai sehari. Kadang, meski sudah mengantre seharian, ia tetap tidak dapat jatah.

Pom bensin Korololama, Kolonodale, berjarak sekitar 9 km dari rumah Wahono tampak antre panjang di malam hari. Biasanya Wahono mengantre dari dini hari meski petugas baru mengisi bensin pada siang hari. (Project M/Muammar Fikrie)

Meski begitu, tak semua warga punya cukup modal dan bisa beralih ke usaha lain seperti dirinya. “Yang lainnya, yang tadinya petani lalu ndak bisa nanam, ya sudah. Mau tidak mau jadi kuli bangunan,” ujar Wahono.

Lahir dari keluarga petani, di lubuk hati Wahono masih petani. Ia ingat dulu, sebelum kedua perusahaan datang, percetakan sawahnya tumbuh subur. Tanah bertipe gambut membuat Wahono tak perlu susah-susah membajak sawah. Ia juga tak perlu membeli pupuk sebab gambut sudah jadi kompos alami.

“Petani, kalau dilihat dari pendapatan, memang lambat. Tapi, kalau kita jiwa petani, ketenangannya berbeda. Tidak seperti pebisnis atau pengejar uang.”

Aduan para petani sudah sampai ke telinga Jakarta. Pada 2019, staf kepresidenan darim Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA) telah bertemu dengan para warga. Mendapatkan perhatian langsung dari pemerintah pusat, optimisme warga tumbuh.

Pemilu berlangsung. Jokowi menang putaran kedua. Kerja staf kepresidenan turun lapangan tidak membawa perubahan apa-apa. Sejak itu, semangat Wahono surut.

Jika ada wartawan yang datang ke rumahnya dan izin meliput, ia mempersilakan. Tetapi tidak berharap banyak. “Ya, silakan saja,” katanya. Jika pemerintah pusat tak bisa berbuat apa-apa, apa gunanya seorang wartawan?

Wahono menyeruput tehnya dengan muram. “Keras hidup ini.”


Catatan: Pada 15 Juni 2023, Project Multatuli mengirimkan surel permintaan konfirmasi kepada PT Astra Agro Lestari, induk perusahaan PT Agro Nusa Abadi (ANA), ke alamat email yang tertera di situs mereka, [email protected]. Kami juga mengirimkan surel konfirmasi kepada PT GNI melalui [email protected]. Keduanya belum memberikan respons.

Muammar Fikrie berkontribusi selama peliputan di Sulawesi Tengah. 

Pendanaan reportase ini didukung JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) dan Kawan M, program keanggotaan pembaca Project Multatuli yang memungkinkan pembaca terlibat dalam rapat redaksi dan mengusulkan ide liputan. Reportase ini merupakan bagian dari serial #HilirisasiOligarki.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Muammar Fikrie
Fahri Salam
18 menit