Di Balik Ambisi Kendaraan Listrik, Ada Mitra Ojol Megap-Megap

Mawa Kresna
16 menit
Seorang mitra GrabElectric hendak mengganti baterai di kawasan Loji, Kota Bogor. (Project M/Rangga Firmansyah)

Ratusan kilometer jarak tempuh, puluhan jam hidup di jalanan, dan kehidupan mitra motor listrik belum tentu sejahtera. Apa risiko terbesar dari semua ini? Imajinasi mereka tentang kehidupan yang layak perlahan memudar.


Bedul sudah lima bulan menjadi mitra GrabElectric. Sebelumnya ia mitra reguler dengan motor bensin selama delapan tahun—termasuk gelombang awal pengemudi ojol. Ia menggunakan motor listrik karena motor bensinnya sudah pernah rusak dan ia kapok menggunakannya untuk mengojek lagi.

“Biaya perawatan N-Max gede, apalagi kalau sudah pemakaian 4-5 tahun. Banyak jajannya. Terakhir turun mesin habis Rp3 juta,” kata pria berusia 34 tahun itu.

GrabElectric merupakan implementasi dari Roadmap Ekosistem Kendaraan Listrik yang diinisiasi Grab Indonesia bersama Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi pada Desember 2019. Tujuannya untuk mempercepat adopsi transportasi listrik di Indonesia. Program tersebut didanai perusahaan investasi asal Jepang, SoftBank, sebesar USD2 miliar, dengan target 2 juta unit kendaraan (motor dan mobil) pada 2025.

Pada 2022, Grab Indonesia disebut sudah memiliki 8.500 kendaraan roda dua dan roda empat yang beroperasi di delapan provinsi di Indonesia. Mereka bekerja sama dengan beberapa produsen unit motor, antara lain Viar, Gesits, Kymco, Minerva, Smoot, dan Selis. Sedangkan untuk suplai baterai, mereka bekerja sama dengan Swap, Kymco, PLN, dan dua anak usaha Pertamina, Pertamina NRE dan Patra Niaga.

Bedul menggunakan motor Minerva dengan suplai baterai dari SWAP.

Selain tidak mau merusak motor pribadinya, alasan lain Bedul menjadi mitra GrabElectric karena bebas biaya perawatan kendaraan. Sejauh ini segala macam kerusakan pada motor listrik menjadi tanggung jawab Grab Indonesia; Bedul hanya perlu membayar sewa harian Rp50 ribu/hari dan biaya token listrik untuk baterai.

Skema sewa baterai mirip seperti membeli pulsa internet. Setiap harga punya ketentuan jangkauan jarak yang berbeda. Misalnya, harga Rp20 ribu untuk jarak terpendek 100 km; Rp45 ribu untuk 250 km; dan Rp80 ribu untuk jarak terjauh 500 km. Jika sudah membeli jarak, mitra tinggal ambil baterai di stasiun penukaran secara gratis.

Bedul biasa sekali beli Rp80 ribu sebab lebih hemat 100 km.

Hanya saja karena sifatnya sewa harian, Bedul mesti mengojek setiap hari untuk membayar motor yang ia pakai. Pembayaran sewa motor boleh telat maksimal dua hari. Lebih dari itu, Grab Indonesia akan menonaktifkan akun mitra, sehingga mitra tidak bisa beroperasi meski motor tetap dapat berfungsi. Agar akun aktif kembali, mitra harus menghubungi pihak Grab Indonesia.

“Jarang libur gue. Daripada bengong. Mau ngapain?” katanya.

Tidak semua mitra GrabBike menggunakan motor listrik yang disediakan perusahaan. Grab Indonesia tidak mempermasalahkan hal itu, hanya saja mitra tidak berhak mendapatkan akses layanan servis gratis.

“Dengan demikian, manfaat seperti perawatan dan pemeliharaan motor listrik jadi tanggung jawab masing-masing mitra,” kata Director of Digital & Sustainability Grab Indonesia, Rivana Mezaya.

Seperti halnya Dudi, mitra GrabBike yang baru satu bulan beralih ke motor listrik. Ia tidak menyewa dari Grab Indonesia melainkan perusahaan motor listrik lain bermerek Volta lantaran lebih fleksibel menggunakannya.

“Kalau sewa dari Grab, jam 12 malam baterai off. Sewa di komunitas, nggak. Mau lo tidur di jalan, kek, terserah,” kata Dudi, usianya kini 55 tahun.

Tak sulit menemukan GrabBike dengan Volta di jalanan Jakarta dan Depok. Bahkan mereka sudah punya komunitas tersendiri di kalangan pengemudi ojol, namanya Volta Ojol Club dan sudah tersebar di Jabodetabek. Dudi juga dapat informasi penyewaan Volta dari sesama pengojek di Jakarta yang tergabung dalam komunitas tersebut.

Sekilas skema penyewaan motor listrik rekanan dan non-rekanan Grab Indonesia sama. Dudi mesti membayar sewa harian sebesar Rp45 ribu/hari. Bedanya dengan Bedul, Dudi mendapatkan gratis pemakaian baterai dengan jarak minimum 125 km/hari.

“Lebih dari 125 km, gue mesti bayar goceng untuk ambil baterai berikutnya,” kata Dudi. Rerata Dudi membutuhkan empat baterai untuk mengojek seharian.

Batas pembayaran sewa maksimal pukul 12 malam. Apabila Dudi telat membayar sewa, maka motor langsung mati secara otomatis. Soal ini Dudi pernah mengalami: Ia sedang mengantar penumpang malam-malam dan tak membayar sewa harian karena penumpang sedang terburu-buru. Begitu penumpang sampai tujuan, motor Dudi seketika mati.

“Pas banget penumpang turun, motor langsung mati, dihajar server dari jauh. Untung gue punya komunitas, gue WA aja, langsung ditransferin uang via OVO,” katanya.

Mitra GrabElectric mengantre di stasiun Sistem Ganti Baterai (SGB) kawasan Cimanggu, Kota Bogor. (Project M/Rangga Firmansyah)

Pilihan beralih dari pengojek reguler menjadi GrabElectric tidak datang dengan kesadaran untuk mendukung program pemerintah atau soal perbaikan lingkungan. Sederhana saja, Dudi seperti halnya Bedul mesti menanggung kerusakan motor bensin akibat pemakaian mengojek online bertahun-tahun. Sekarang motor bensin Dudi mangkrak di rumah setelah pemakaian tujuh tahun.

“Rusak turun mesin, udah ngebul juga. Gue nggak ada biaya buat bawa Supra ke bengkel. Gue narik molis (motor listrik) lagi kumpulin biaya buat benerin Supra, syukur-syukur gue bisa kumpulin buat DP motor baru,” katanya.

Internet Mengatur Rezeki

Saya bertemu Bedul di warung kopi pinggir jalan di Jakarta Selatan. Ketika itu pukul 21:30 dan hawa kota mulai dingin berangin setelah panas seharian. Bedul dengan jaket hitam melusuh dan mata memerah mencoba mengaduk rata minuman kopi pesanannya. Saya menyimak keluh kesahnya sebagai mitra GrabElectric yang pada dasarnya sama saja dalam segi penerimaan order dengan mitra reguler.

“Ini [motor listrik] cuma media. Lu punya alat, lu berangkat. Banyak yang bilang [molis] prioritas [untuk dapat order], kata siapa itu? Dasarnya apa?” ujar Bedul.

Bedul punya kebiasaan mangkal sejenak di warung kopi sebelum pulang ke rumahnya di daerah Depok. Banyak hal yang terjadi padanya hari ini: lalu lintas macet, tuntutan penumpang agar cepat sampai tujuan, diskriminasi pengelola gedung terhadap pengojek, hingga antrean restoran yang lama. Pantang bagi Bedul membawa keruwetan ke rumah.

“Gue juga selalu bilang ke istri, setiap ada masalah kalau nggak urgent jangan hubungin gue. Narik itu perlu ketenangan dan harus happy. Kalau banyak pikiran, mau mangkal di mana juga gelisah,” katanya.

Bedul menyebut dirinya “ojek bolang” atau pengojek petualang yang berani melanglang ke mana saja. Prinsipnya mengojek mengikuti order kemana pun. Tak heran rute mengojeknya bisa sampai lintas provinsi: Jawa Barat-DKI Jakarta-Banten. Dalam satu hari, ia bisa menempuh ratusan kilometer dan menghabiskan belasan jam di jalanan. Rerata Bedul bekerja selama 12-15 jam/hari. Baginya, pukul 8 pagi sudah termasuk kesiangan untuk mengojek.

“Gue pernah mulai narik dari Depok, siang di Karawaci, malam di Karawang sampai setengah 11 malam. Pernah juga dari Depok, ke Jakarta Barat, terakhir ke Kranggan, Bekasi. Gue ikutin aja kemana order ada,” katanya.

Setiap hari Bedul menargetkan untuk mendapatkan Rp250 ribu, yang akan dipecah Rp50 ribu untuk membayar sewa motor, Rp50 ribu makan, dan Rp150 ribu untuk keluarga. Kalau pendapatan dalam sehari lebih dari Rp250 ribu, ia akan pakai Rp80 ribu untuk membeli kuota baterai yang paling jauh. Itu cukup untuk kebutuhan mengojek tiga hari kedepan.

Dan, Bedul biasa melampaui target hariannya. Rerata pendapatannya Rp300 ribu/hari, dari hasil mengerjakan berbagai jenis order: penumpang, makanan, dan paket.

“Pernah gue main paket same day sampai 122 paket. Gue juga senang main argo jauh, sekali jalan Rp48-50 ribu ketimbang jarak dekat. Mending sekali jalan sejam dapet gocap daripada ceban, kan?” katanya.

Lantaran memiliki target demikian, Bedul memilih mengojek di DKI Jakarta dan sekitar, wilayah yang menurutnya “bikin akun nggak bisa diam”. Kalau ia mengojek di Depok, pendapatannya paling besar hanya Rp200 ribu, lebih seringnya Rp150 ribu.

“Gue nggak betah main di kampung,” kata bapak dua anak itu. “Sering gue dengar driver ngeluh orderannya anyep [sepi], nggak bunyi, capek gue nimpalinya. Paling gue cuma tanya dua hal: keluar jam berapa? Main di mana? Coba main di Jakarta. Kalau belum bunyi nggak apa-apa, tunggu dulu. Nggak mungkin Allah membiarkan hambanya kelaparan. Optimis aja.”

Konsekuensi menjadi pengojek bolang adalah rasa lelah yang teramat dan sakit-sakitan. Jari manis di tangan kanannya suka nyeri. Ia mengidap rematik akibat kebiasaan mandi malam. Tak jarang ia mengalami pusing kepala. Jika sudah begitu, ia hanya mengonsumsi obat warung. Ia tidak punya BPJS Kesehatan.

“Gue pernah dengar ada BPJS dan asuransi dari Grab tapi nggak gue pehatiin. Gue pake KIS (Kartu Indonesia Sehat), saktian itu, nggak bayar lagi,” katanya.

Seorang mitra GrabElectric memindai di stasiun Sistem Ganti Baterai untuk menukar baterai di kawasan Loji, Kota Bogor. (Project M/Rangga Firmansyah)

Bedul seolah hidup dalam dunia tanpa pilihan. Kebutuhan hidup membuatnya memaklumi beban berat mengojek. Apalagi kedua anaknya masih kecil dan mereka akan berbarengan masuk sekolah tahun depan. Itu mengapa Bedul tak pernah libur mengojek.

“Dibilang capek, ya capek. Tapi pendidikan anak tuh nggak murah. Yang bisa gue lakuin sebagai orangtua sebisa mungkin kasih modal ke anak. Secapek-capeknya kepala keluarga, begitu sampai di rumah, lihat senyum anak. .. capek itu hilang.”

Istilah Jakarta sebagai wilayah yang “bikin akun nggak bisa diam” tidak berlaku untuk Dudi, pengojek yang memang berdomisili dan beroperasi di Jakarta.

Dalam sehari ia hanya mengantongi pendapatan bersih Rp70-90 ribu, dengan jumlah order hanya 8-10. Kalau sedang gacor atau banyak order, ia bisa membawa pulang Rp150-200 ribu/hari, tapi itu jarang terjadi.

Sementara waktu operasional Dudi bisa sampai 16 jam/hari. Ia mulai mengojek sejak pukul 11 siang dan kadang berakhir pukul 3 pagi, dengan rute mengelilingi Jakarta Selatan, terutama kawasan pusat bisnis dan hiburan seperti Blok M, Sudirman, dan Senopati. Meski demikian, penghasilannya tetap saja tiarap.

“Kondisi anyep begini tuh sering,” katanya. “Percaya nggak? Kalau lagi sepi banget, kita nunggu dari pagi sampe pagi bisa nggak dapet.”

Beberapa hari terakhir, ia sudah tidak mau terlalu ambisius mengojek. Ia hanya mengandalkan keberuntungan berpihak setiap hari. Sebab itu ia tidak mau memasang target harian. Jika sudah anyep betul, kepala Dudi mudah pusing dan lebih memilih pulang ke rumah pukul 9 malam.

“Sekarang kerja ngotot buat apa? Dicari ke mana-mana kalau ternyata nggak ada. Kecuali kita dagang dan punya produk sendiri. Kalau gue lihat sopir angkot, rezeki dia dari langit. Kalau rezeki ojol diatur internet juga tau,” katanya, tertawa getir.

Seorang mitra GrabElectric menukar baterai di stasiun Sistem Ganti Baterai (SGB) di kawasan Cimanggu, Kota Bogor. (Project M/Rangga Firmansyah)

Selain Bedul dan Dudi, saya menemui Anto, mitra GrabElectric yang biasa beroperasi di Depok. Kondisi Anto lebih parah dibandingkan mereka.

Anto tipikal pengojek kalong, maksudnya biasa mengojek dari pagi ketemu pagi lagi. Ia pulang ke rumah pukul 4 pagi setelah malam sebelumnya mengojek. Lalu Anto bangun pukul 8 pagi untuk melanjutkan mengojek. Sampai kami bertemu pukul 8 malam, Anto baru mendapatkan 10 order yang semua jarak pendek (Rp10-13 ribu). Uang yang ia hasilkan hanya Rp100 ribu/hari.

“Bayar motor gocap. Buat orang rumah, gocap mana cukup. Anak saya empat. Akun [molis] sama saja kayak yang reguler,” keluhnya.

Menurut Anto, ada dua hal penyebab susahnya mendapatkan order. Pertama, daya beli makanan masyarakat Depok yang menurun. Kedua, faktor rekrutmen mitra yang terus dibuka Grab Indonesia setiap hari. Apalagi proses pengaktifan akun hanya perlu menunggu waktu sehari. Itu berbeda dengan waktu pertama Anto membuat akun Grab, yang mesti menunggu tiga hari.

“Di Grab mau akun online 24 jam, mah, sama aja. Malah dapet notifikasi disuruh istirahat 6 jam, tidur. Kalau belum dapet duit, 24 jam, masak kita harus istirahat?” katanya. “Harusnya kalau akun sering online, lebih banyak peluang dapet order. Kan, saya rajin. Ini mah sama aja kayak yang keluar santai.”

Sudah enam bulan terakhir, sejak Anto memutuskan beralih menjadi GrabElectric, order kerap anyep. Sebelumnya, Anto mitra reguler, tapi karena terdesak kebutuhan hidup, ia menggadai motor bensinnya.

Malam itu Anto belum ada rencana pulang ke rumah, meski raut wajahnya sudah payah.

“Saya mau kejar dapet sampai Rp150 ribu, baru pulang. Tapi nggak tahu dah kekejar nggak. Kalau nggak, ngalong lagi,” katanya.

Kerja Jauh dari Usai

Bukan sekadar memenuhi kebutuhan hidup yang membuat mitra GrabElectric harus bekerja lebih lama di jalanan. Kebijakan Grab Indonesia menerapkan skema tingkatan membuat para mitra mau tidak mau terus beroperasi.

Skema tingkatan Grab mendasarkan pada kinerja mitra yang dikalkulasikan setiap bulan. Kriteria penilaian mengacu hari dan jam online, tingkat penyelesaian order, rating, dan jumlah order yang telah mitra selesaikan. Tingkatan ini memiliki penamaan, dari yang tertinggi hingga paling buncit: Jawara, Kesatria, Pejuang, dan Anggota.

Untuk setiap tingkatan, Grab Indonesia memberi imbalan keuntungan, mulai dari diskon layanan servis hingga kemudahan akses ke pusat bantuan Grab Driver Center (GDC). Untuk mitra GrabElectric, tidak membutuhkan diskon layanan servis karena servis rutin dan berkala ditanggung pemilik kendaraan.

Tingkatan Mitra GrabBike. (Project M/Zulfikar Arief)

Saya mempertanyakan cara kerja skema tingkatan itu dan bagaimana pengaruhnya terhadap penerimaan order mitra kepada Grab Indonesia. Namun, pihak Grab tidak menjelaskan dengan gamblang, selain menyerahkan sepenuhnya kepada mitra untuk menentukan jam kerja sendiri.

“Grab menyediakan aplikasi yang dapat diakses secara fleksibel dan dapat disesuaikan kebutuhan para mitra pengemudi. Sehingga, mitra pengemudi dapat memilih jam kerja sesuai kebutuhan masing-masing,” ujar Rivana Mezaya dari Grab Indonesia.

Jam kerja mitra yang fleksibel akan mengarah pola kerja yang ekstrem. Ketika mitra kesulitan mendapatkan order harian, sementara secara bersamaan harus mempertahankan skema tingkatan ini beserta kriteria di dalamnya.

Pada akhirnya, ada mitra yang tidak memedulikan tingkatan tersebut. Seperti Dudi, misalnya, yang berada di tingkatan Kesatria setelah sempat menjadi Jawara. Sejak selalu mendapat sedikit order setiap hari, ia tidak mau lagi mengikuti cara main skema tingkatan.

“Order lancar tuh kalau driver rajin. Rajin juga belum jaminan orderan banyak. Itu [tingkatan] perangsang buat driver. Percuma dilakonin, kerja makin ngotot, uang nggak punya. Gue bawa biasa aja. Hari ini dapat besar, gue syukurin. Dapet kecil, gue syukurin,” ujarnya.

Sekalipun mitra tidak mengindahkan tingkatan, skema itu tetap memengaruhi kinerja mereka.

Misalnya saja Anto yang pernah menjadi Jawara. Setiap hari ia bisa mendapat 15 order, tapi sekarang turun tingkatan menjadi Pejuang. Ia menerima rerata 4-5 order setiap hari. Sebab itu ia menjadi ojek kalong sekadar mendapatkan 10 order dan memenuhi kriteria jam online.

“Saya sempet libur seminggu, ada kerjaan lain. Tingkatannya langsung jatuh. Sehari cuma dapet order 4-5 doang. Untuk nutup bayar sewa molis aja, kan, nggak ketutup,” ujar Anto.

Meski selama libur seminggu ia tetap membayar biaya sewa motor listrik. Ini tidak menjamin akunnya tetap gacor. “Aneh saya juga.”

Seorang mitra GrabElectric memperlihatkan status keanggotaanya dalam sistem aplikasi GrabDiver. (Project M/Rangga Firmansyah)

Begitu pula dengan Bedul, yang berada di tingkatan Jawara. Ia berusaha sekeras mungkin mempertahankan statusnya. Caranya tetap menjadi pengojek bolang. Sehingga, skema tingkatan menjadi alasan lain untuk Bedul tidak ambil libur.

“Memang pengaruh untuk pemacu semangat driver. Karena untuk jadi Jawara itu nggak gampang. Nggak bisa disamain yang keluar pagi dengan yang keluar siang tapi mau hasilnya sama,” katanya.

Meski ia mengaku kerap kewalahan menjalaninya.

“Orang nggak narik seminggu, dua minggu, orderan anyep. Jadi dipaksa buat narik terus,” keluhnya. “Kita, kan, mitra nggak terikat. Mau, ya jalanin. Nggak, ya sudah. Tapi mentang-mentang mitra, kita harus ikutiin, udah kayak karyawan.”

Mimpi yang Terbeli

Para mitra GrabElectric yang saya temui pada dasarnya bukan murni pengojek. Sebelumnya pekerja kantoran dan pebisnis. Bedul pernah bekerja bertahun-tahun di perusahaan penyedia jasa keamanan dan kebersihan yang cukup besar. Jabatan terakhirnya supervisor. Dudi merupakan pekerja lepas di bidang seni grafis untuk perangkat iklan perusahaan.

Mereka berdua mendaftar sebagai pengojek online pada 2015. Mulanya hanya sebagai pekerjaan sampingan usai jam kerja utama. Namun, seiring waktu, pekerjaan mereka yang utama tidak memberikan kesejahteraan. Saat yang bersamaan, pendapatan mereka sebagai pengojek mulai menyalip gaji kantoran.

Awal mengojek Bedul bisa membawa pulang Rp400-700 ribu dalam empat jam. Sementara Dudi, seharian bisa mendapatkan Rp600 ribu dan libur Sabtu atau Minggu.

“Dulu orang kerja enak aja keluar karena tergiur jadi ojol,” kata Bedul.

“Kalau sekarang nyari duit Rp150 ribu dalam waktu 8 jam, udah bukan main susahnya,” keluh Dudi.

Selain skema tingkatan memengaruhi mitra mendapat order dan membuat mereka kerja lebih lama di jalanan, pemberlakuan potongan komisi/sewa aplikasi sebesar 20% menambah beban pundak mitra.

Sebelumnya pemerintah Indonesia sempat menurunkan potongan komisi dari 20% menjadi 15% melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 667 Tahun 2022. Namun, dua bulan kemudian berubah lagi menjadi 20% melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 1001 Tahun 2022.

“Sekarang argo juga makin turun, ada jarak dekat Rp8 ribu. Potongan tetap 20%,” keluh Dudi.

Grab Indonesia mengatakan potongan komisi/sewa aplikasi sebesar 20% untuk menunjang kebutuhan mitra pengemudi, seperti biaya operasional (24/7 GrabSupport, 24/7 Tim Cepat Tanggap Kecelakaan, GrabAcademy, Grab Driver Lounge, Grab Driver Center, Grab Excellence Center, biaya transaksi non-tunai), penggunaan sistem teknologi yang mengatur pemesanan dan menghubungkan mitra pengemudi dengan konsumen, hingga berbagai program untuk mitra pengemudi (GrabBenefits, GrabScholar, Apresiasi Dana Abadi, donasi, dll).

“Biaya sewa aplikasi juga digunakan untuk keberlanjutan perusahaan guna memastikan bahwa Grab dapat terus menyediakan sumber penghasilan yang berkesinambungan bagi ratusan ribu mitra kami di Indonesia,” ujar Rivana.

Hal lain yang dianggap merugikan mitra ialah pemberlakuan sistem Orderan Gabungan. Sistem ini membuat satu mitra melayani dua pesanan makanan sekaligus, tapi dengan tarif setara satu order saja.

“Tarif driver nggak dobel. Gue ambil dari dua resto berbeda. Anter dekat. Seharusnya per order Rp8.500, dua jadi Rp17 ribu. Driver cuma dapat Rp14 ribu. Sementara costumer, kan, bayarnya full,” keluh Bedul.

Orderan Gabungan membikin mitra berpotensi mendapat komplain dari konsumen karena durasi antar bertambah lama yang mampu mengubah kualitas makanan yang dipesan. Gilirannya, komplain konsumen akan memengaruhi skema tingkatan para mitra.

Dua mitra Grab menunggu pesanan di pinggir sebuah jalan di Kota Bogor. (Project M/Rangga Firmansyah)

Sementara itu kebijakan insentif tidak lagi menarik bagi mitra. Grab Indonesia menerapkan kebijakan insentif berupa berlian. Untuk mendapatkan poin berlian, mitra harus menyelesaikan order hingga tuntas. Masing-masing jenis order memiliki poin berlian berbeda.

Untuk mengonversikan berlian menjadi uang segar, mitra perlu memenuhi target maksimal berlian. Setiap tingkatan memiliki target berlian berbeda dengan nilai rupiah yang berbeda pula. Semisal, tingkatan Anggota punya target 125 berlian yang dihargai Rp100,-/berlian, sedangkan Jawara punya target 195 berlian yang dihargai Rp190,-/berlian.

“Gue nggak minat. Baca persyaratannya aja, gue rasa udah nggak perlu dibaca,” kata Dudi.

“Gue juga nggak mikirin dan berharap itu. Kemarin dapet 195 berlian cuma cair Rp37 ribu. Kemarinnya lagi dapet 203 berlian untuk 25 trip, cuma Rp38 ribu,” timpal Bedul.

Meski kenyataan terlalu pahit, para mitra tetap menelannya.

Dudi punya rencana untuk kembali berniaga dengan mengandalkan keahlian seninya. Ia mau menjajal peruntungan menjual kriya kaca, tapi masih terhalang modal usaha. Untuk waktu yang tak bisa ditentukan, rencana ini akan diperamnya.

“Gue terpaksa jadi ojol karena nggak punya pekerjaan. Gue juga nggak mau habis di jalan. Ilmu kita jadi kurang. Pengalaman cuma pengalaman orang jalanan. Gue nggak mau,” ujar Dudi. “Cuma karena kebutuhan. Biarin deh ojol aja dulu.”

Adapun Bedul ambil gampang saja untuk terus menyambung hidup. Jika mengojek sedang sepi, ia beralih menjadi kurir di perusahaan ekspedisi.

Ia sudah pesimis kembali menjadi pegawai kantoran. Ia merasa sudah terlalu tua mendapatkan pekerjaan layak, bahkan mengojek telah menguras energinya alih-alih mencari lowongan pekerjaan.

“Kalau ada pekerjaan tetap yang gajinya lumayan, ya nggak apa-apa. Tapi gue udah nggak mikir ke sana. Gue udah fokus ngojek, pulang udah capek, langsung tidur. Nggak sempet cari loker (lowongan pekerjaan). Umur gue sekarang 34. Susah nyari kerja kalau kepala tiga,” kata Bedul.

Hingga pada akhirnya, hal paling konkret bagi mitra seperti mereka ialah bertahan sekuat-kuatnya di jalanan. Mengojek telah menjadi pekerjaan utama mereka.

“Kalau lo masih muda mending kerja, cari pengalaman. Kalau bisa jadi karyawan tetap. Ojol buat sambilan,” Bedul mengingatkan.


Bedul dan Dudi adalah nama samaran atas permintaan yang bersangkutan, demi keamanan dan keselamatan mereka.

Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #SekrupKecil di Mesin ‘Big Tech’.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
16 menit