Hari-Hari Lady Ojol: Narik, Kerja Domestik, dan Sulit Sejahtera

Mawa Kresna
20 menit
Sry Hartaty mengikat paket dari seorang pengirim di Pondok Bambu, Jakarta Timur. Menyiapkan tas, tali pengikat, dan pelindung paket dari hujan adalah kewajiban mitra pengemudi. (Project M/Alya Nurbaiti)

Awalnya, saya mengontak Raden Siti Latifah minta dikenalkan pada temannya sesama lady ojol, ingin tahu kondisi mereka hari-hari ini. Ia malah meminta saya datang ke rumahnya siang itu juga. Saya pun lantas menuju kediaman Latifah di Batu Ampar, Kramat Jati.

Setibanya di sana, Latifah menyambut saya, begitupun kedua temannya, Sry Hartaty dan Siti Rohimah yang saat itu sedang melipat kardus dupleks untuk jadi wadah nasi kotak.

“Ada pesanan 360 boks nasi kebuli untuk lusa,” ujar Latifah si tukang ojol pemilik katering.

Latifah beranjak ke dapur menyiapkan es lemon tea dan puding coklat untuk wartawan kepanasan ini. Saya berkenalan dengan Sry dan Siti.

“Ini basecamp kita, basecamp-nya cewek-cewek di sini, tempat kita curhat,” kata Sry dan Siti kompak.

Siti ternyata telah diputus mitra oleh perusahaan platform Grab Indonesia setelah empat tahun nge-bid. Menurutnya, akunnya diretas. Pelaku melakukan verifikasi wajah, proses verifikasi gagal, akun Siti terindikasi melanggar kode etik yang berujung pemutusan hubungan kemitraan.

“Ya begini deh kegiatannya sekarang. Kalau lagi nggak ada job sekwan, ya bantu-bantu Bunda [Latifah], ngelipetin kardus, nanti kita juga yang anterin pesanannya. Selain itu saya masih ada akun Gojek dan Shopee,” kata Siti.

Sekwan maksudnya sekuriti wanita, petugas keamanan. Siti jadi pekerja lepas ikut beberapa vendor. Awal bulan ini ia mengamankan acara jumpa fans dengan aktor Korea Selatan Kim Seon-ho, pemeran Hong Du-sik di drama Hometown Cha-Cha-Cha.

“Bisa nonton Seon-ho lewat di depan mata gratis, yang lain bayar hampir tiga juta,” ucapnya penuh kemenangan. Ternyata ibu usia 44 tahun melek drakor juga, ya.

Berikutnya, yang paling dekat, Siti ambil bagian memastikan ketertiban dan kenyamanan penonton di tribun di Indonesia Open 2023, turnamen bulu tangkis bergengsi yang tahun ini kembali digelar di Istora Senayan, Jakarta.

“Boleh saya bantu melipat?” tanyaku.

“Jangan, nanti minta bagian [bayaran] lagi,” Latifah menyahut dari dapur.

“Kalau kita mah dapat duit dobel, dari yang pesan katering dan dari Bunda,” Siti terkekeh.

“Kalau saya udah biasa urusan packing makanan. Almarhum ibu saya dulu usaha katering,” Sry menimpali.

(Kiri ke kanan) Latifah, Sry, dan Siti melipat dus makanan sambil bercengkerama. Dalam menjalankan usaha kateringnya, Latifah dibantu oleh teman-temannya, para pengemudi perempuan anggota divisi Srikandi di Gabungan Aksi Roda Dua Indonesia. (Project M/Alya Nurbaiti)

Sry, ibu dua anak yang saat ini aktif sebagai mitra pengemudi roda dua untuk layanan GrabExpress, GrabBike, Shopee Express, dan ShopeeFood, mengaku hari itu baru dapat tiga orderan semenjak mulai mengaktifkan akun Grab-nya pukul 07:36. Dua kali mengantar penumpang, lalu sekali mengantar paket dari Cipinang, Jakarta Timur ke Jalan Hayam Wuruk di Jakarta Barat. Akun Shopee-nya tidak berbunyi sama sekali.

Kira-kira hari itu ia sudah menempuh 41 kilometer termasuk perjalanan menuju rumah Latifah. Membantu katering Latifah juga ia lakukan untuk tambahan pemasukan. “Pokoknya ada pekerjaan apa pun kita kerjain selama halal. Habis kalau dari ojol saja nggak cukup. Namanya juga emak-emak, dapur harus ngebul,” kata Sry. Siti mengangguk mengiyakan.

Alasan Sulit Sejahtera 1: Bonus Tak Tertembus

Kita mungkin familier dengan pengemudi ojol mengeluh dan demo terkait penurunan pendapatan. Survei Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan pada September 2022 menemukan jumlah orderan turun setelah kenaikan tarif ojol di bulan yang sama.

Survei tersebut juga menyatakan pendapatan per hari pengemudi hampir sama dengan ongkos yang dikeluarkan, di mana 50,10 persen dari 2.016 responden pengemudi menyatakan pendapatan per harinya Rp50-100 ribu dan 44,10 persen responden mengaku biaya operasional mereka Rp50-100 ribu setiap harinya.

“Ya betul, sekarang memang segitu. Dulu periode 2017-2018 itu Rp200, Rp300 [ribu] sehari dapat lah. Kalau lebaran bisa Rp500, Rp600 [ribu] karena ramai dan ada lonjakan argo. Waktu saya diikuti wartawan [saat mengantar 18 paket], dapat Rp685 ribu belum sama uang tip, totalnya saya ngantongin 1 juta lebih. Itulah terakhir kali saya dapat uang gede,” ujar Latifah.

Latifah termasuk pengemudi yang berkinerja tinggi. Peneliti ekonomi gig Muhammad Yorga Permana mengamati, sejak 2019, hanya pengemudi berkinerja tinggi yang dapat menghasilkan uang lebih banyak dari skema bonus, sebab bonus semakin sulit didapat dengan target penyelesaian pesanan yang tinggi. Ini bukan skenario yang terjadi di awal hadirnya aplikasi Grab di Indonesia (2014) dan Gojek (2015).

Yorga menilai, adalah kecenderungan umum bagi perusahaan startup melakukan “bakar duit” di awal beroperasinya agar cepat mencapai growth, yaitu meraih pengguna dari kedua sisi pasar.

“Banyak promo yang dikeluarkan untuk menarik konsumen di satu sisi, di sisi lain bonus yang tinggi untuk menggaet mitra pengemudi. Ketika network effect-nya sudah tercipta, selesai sudah ‘honeymoon phase’, perusahaan lanjut mengejar profit,” ujar Yorga.

Jika kita sebagai konsumen merasakan tarif ojol yang dulu murah, aslinya bukan begitu, tarif yang sekarang itulah biaya sesungguhnya dari pengoperasian ride-hailing apps ini. Di satu sisi, kenaikan tarif menyebabkan sebagian pengguna mengurangi konsumsinya. Di sisi lain, perusahaan mengurangi bonus. Mitra pengemudi terhimpit.

Kini, bahkan pengemudi seperti Latifah berkata, “Hari gini bawa pulang cepek udah alhamdulillah”.

“Pemain lama belum tentu orderan ada. Sekarang orderan emang netes, nggak ngalir. Semua [tukang ojol] keluhannya gitu,” tambahnya.

Saya menengok akun Sry dan mendapati bonus hariannya hampir tidak pernah tercapai. Sry tidak sendiri, lebih dari separuh mitra pengemudi yang disurvei Kemenhub menyatakan jarang mendapat bonus, dan satu dari tiga pengemudi bahkan tidak pernah mendapatkannya sama sekali.

Grab, misalnya, memberikan bonus Rp13.750 untuk setiap pengumpulan 125 berlian dan Rp26.250 untuk 175 berlian. Jika satu penyelesaian pesanan rata-rata menghasilkan 10 berlian, maka untuk mendapatkan bonus dari 125 berlian saja setidaknya harus menyelesaikan 12 pesanan.

Pada 12-18 Juni, per harinya Sry hanya menyelesaikan satu sampai enam pesanan di Grab. Ia sudah melakoni pekerjaan ini sejak 2018. Ia mengaku tidak malas. Aplikasinya terus menyala. Memang hanya segitu jumlah pesanan yang masuk hari-hari ini.

Sepekan itu, pendapatan totalnya dari Grab Rp339.700 dan dari Shopee Rp278.400. Penghasilan seminggu kini setara penghasilan sehari di masa kejayaan dulu. Praktik kemitraan ganda seperti ini juga lazim, di Instagram dan Tiktok sering berseliweran meme pengemudi dengan jaket Gojek, helm Grab, dan helm penumpang Shopee. Jika ojol pemasukan utama, setia pada satu perusahaan platform itu seperti Anda tidak punya teman bernama Putri: mustahil.

Siti meminjam ponsel Sry, menggulir ke bawah untuk melihat perolehan berlian Sry. “Ini, nih. Targetnya 125, dia baru dapat delapan berlian,” tiba-tiba Siti berucap.

“Makanya! Kagak bakal dapet. Targetnya segitu klenger nggak lu?” Sry menanggapi.

Untuk ShopeeFood dan Shopee Express, insentifnya adalah 18 ribu untuk perolehan 800 poin, 28 ribu untuk 1.200 poin, dan 40 ribu untuk 1.600 poin. Di kalangan tukang ojol, mereka menyebutnya “tupo” atau tutup poin. Tupo 1, tupo 2, dan tupo 3.

“Nah, untuk tupo 1 aja itu sulit sekali. Makanya bonus bagi kita nggak terlalu ngaruh. Bonus itu berat, Mbak,” ucap Sry.

Alasan Sulit Sejahtera 2: Orderan Jadi Rebutan

Memang, boro-boro mengejar bonus, orderan saja anyep. Hal ini ditengarai karena jumlah pengemudi yang sangat banyak.

“Dulu, begitu menurunkan penumpang atau menyelesaikan orderan, hape kita langsung bunyi lagi. Kalau sekarang mah, jangan ngarep dah. Bunyi syukur, nggak bunyi ya udeh diem aje. Kaya dibagi orderannya,” sahut Sry.

Ia juga menyoroti banyaknya bermunculan aplikasi pesan antar baru. Di Jakarta saja, selain Grab, Gojek, Shopee, dan Maxim, ada juga Tetanggaku, Messi Ojol, Suz, dan RaRa.

Semua aplikasi itu ada di ponsel Sry dan Siti. Semua dijajal, meski ternyata di mana pun sama saja: order sepi. Sementara itu, dari segi kenyamanan penggunaan aplikasi, keduanya mengaku Grab dan Gojek tetap yang paling digemari.

“Aplikasi banyak, driver banyak, makanya orderan jadi rebutan. Apalagi ketika banyak terjadi PHK, orang pada larinya ke ojol, makin tinggi persaingan di antara driver,” kata Siti.

Sry memutar balik sepeda motornya untuk menjemput seorang penumpang di wilayah Rawamangun. (Project M/Alya Nurbaiti)

Ojol juga merupakan bidang pekerjaan yang dapat diakses oleh sebagian besar perempuan perkotaan, sebab yang dibutuhkan hanyalah sepeda motor, smartphone, dan surat izin mengemudi. Bahkan tidak semua perusahaan platform mengadakan tes mengemudi dalam proses rekrutmennya. Di sisi lain, sektor informal lainnya seperti berdagang makanan membutuhkan modal lebih.

Sebuah studi sepakat keberadaan platform ojol bak obat mujarab bagi pengangguran ataupun mereka yang terpinggirkan dari pasar tenaga kerja formal. Sebabnya, dengan menggunakan data survei angkatan kerja nasional (Sakernas) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik, studi tersebut memperkirakan ada sekitar 1,2 juta pekerja gig di sektor transportasi yang bekerja penuh waktu – rata-rata 54 jam seminggu – meski tidak dapat diidentifikasi apakah mereka menggunakan Gojek, Grab, atau keduanya.

Asosiasi ojol Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) Indonesia, berdasarkan catatannya, mengestimasi ada 4 juta pengemudi ojol di seluruh Indonesia pada 2020. Belum ada data pasti terkait hal ini sebab perusahaan platform umumnya enggan mengungkapkan jumlah pekerja mereka karena alasan privasi, persaingan, dan keberlanjutan model bisnis.

Namun satu hal yang pasti, bila pada awalnya platform ojol diharapkan dapat mendigitalisasi ojek konvensional, hari ini kita dapat menemui latar belakang tukang ojol yang beragam. Dalam survei yang Yorga lakukan, hampir 50 persen mitra ojol di Jakarta sebelumnya bekerja sebagai karyawan, hanya 5 persen yang sudah pernah narik secara konvensional. Sisanya mahasiswa, mantan pekerja sektor informal, dan ibu rumah tangga.

“Suami saya aja sekarang jadi driver Shopee setelah di-PHK. Baru-baru ini daftar ke kantornya di Cibubur. Masih merekrut tuh mereka,” ujar Sry.

Yayat, suami Sry, sebelumnya bekerja sebagai petugas alih daya di sebuah fasilitas penyimpanan bahan bakar. Selama ini ia hanya mengenal rute dari rumah menuju kantor dan sebaliknya. “Pak Yayat mah nggak hobi melayap kaya saya. Dulu saya juga yang ajari dia naik motor, saya ajari setiap malam,” kenang Sry.

Penghasilan Yayat dulunya digunakan untuk pengeluaran besar seperti membayar cicilan rumah mereka di Garut, Jawa Barat, sementara pemasukan Sry dari ojol digunakan untuk pengeluaran sehari-hari seperti makanan dan juga ditabung. Sekarang, keduanya bahu-membahu untuk menyiapkan semua pos pengeluaran, termasuk biaya pendidikan, mengingat si bungsu masih duduk di bangku SMP.

Meski bersyukur suaminya masih dapat menjadi pengemudi Shopee, Sry tetap berharap perusahaan aplikasi dapat membuat perencanaan yang lebih baik terkait jumlah mitra pengemudi. Misalnya, ada kuota atau batas maksimal penerimaan.

Pasangan suami istri Yayat dan Sry sedang bersiap-siap mengambil pesanan ojol yang masuk bersamaan dari kediaman mereka di Cipinang, Jakarta Timur. (Project M/Alya Nurbaiti)

Tahun lalu, Yorga mewawancarai 30 pengemudi yang sebagian menyatakan Grab masih melakukan rekrutmen besar-besaran. Namun, beberapa waktu lalu saat memesan ojol untuk saya, driver saya bercerita bahwa temannya hendak mendaftar ke Grab tetapi sudah tidak bisa.

Dia malah mengatakan hal ini, “Tapi kalau oknum saya yakin banyak, Mbak. Istilahnya apa ya, rekrutmen tidak resmi? Yang mau daftar, bayar Rp350 ribu, nanti bisa buka akun dan dapat atribut. Yang saya heran, itu nggak pernah jadi masalah”.

“Bapak tahu dari mana?”

“Ya saya yang bayar Rp350 ribu itu”. Oalah.

Alasan Sulit Sejahtera 3: Ilusi Mitra dan Cela Algoritma

Kalau soal oknum rekrutmen tidak resmi itu saya baru dengar, yang saya sudah pernah dengar adalah mitra pengemudi menjual akunnya ke orang lain. Bisa jadi penjualnya sudah tidak menggunakan akun tersebut atau butuh uang. Sedangkan pembelinya kemungkinan orang yang tidak diterima perusahaan platform dengan berbagai alasan, misalnya motornya tidak sesuai ketentuan, atau orang tersebut pernah punya catatan kriminal, atau pengemudi yang telah diputus mitra.

Praktik jual beli akun ini menjadikan akun tersebut rentan digunakan untuk tindak kriminal seperti pencurian. Oleh karena itu, sejak 2020, Grab Indonesia memberlakukan verifikasi wajah untuk mitranya guna memastikan akun pengemudi digunakan oleh pemilik sah, menghentikan jual beli akun, sekaligus membasmi joki akun.

Namun, sayangnya, ketika ada situasi seperti yang dialami oleh Siti, di mana ia mengaku akunnya diretas, tidak ada pengecekan dari pihak Grab sebelum melakukan pemutusan hubungan kemitraan.

“Saya tidak merasa melanggar tapi akun saya terindikasi melanggar. Kalau sudah PM (putus mitra) otomatis tidak ada ruang untuk komunikasi. Kecuali kita naik banding, tapi itu harus ke Singapura,” kata Siti.

Menurutnya, ada banyak hal di luar kontrol pengemudi yang tidak dapat terdeteksi oleh sistem. Sistem tidak memberi pekerjaan pada pengemudi secara acak, tetapi mendasarkan pada apakah pengemudi memiliki jadwal rutin, menyelesaikan semua tugas yang diberikan alias tidak pilih-pilih pesanan, dan memiliki penilaian yang baik oleh pelanggan. Masalahnya, kondisi ideal itu tidak hanya tergantung tekad pengemudi.

“Saya ini bukannya milih-milih, tapi misalnya begini, ada pilihan autobid dan manual bid untuk menerima pesanan. Kadang kita lupa menyetel autobid, jadi pesanan itu tidak langsung masuk, harus diterima secara manual. Tapi kemudian kondisinya hujan, sedang berkendara, nggak bisa menerima atau menolak, kita cari dulu posisi untuk berhenti. Pas berhenti, udah telat. Sistem nggak tahu nih apa yang dialami driver, tahunya driver menolak orderan, kena suspend lah,” jelas Sry.

“Bu Sry pernah mengalami?”

“Nggak mengalami lagi. Sering. Nih, gue bacain riwayat akun Shopee gue, ya. ‘Akun Anda sedang ditahan’. 31 Januari. 1 Maret. 30 Maret. 31 Mei. Langganan ditahan. Tapi gue nggak pernah ya orderan nggak nyampe. Nyampe kalau gue mah orderan”.

Urusan penahanan ini tentu serius karena artinya pengemudi kehilangan upahnya, mereka jadi tidak bisa mencari uang ketika akunnya ditahan. Alasan lain yang kerap menyebabkan akun ditahan adalah laporan ketidakpuasan dari pelanggan.

“Seringnya, kalau ada laporan dari customer, aplikator tidak menggubris atau mempertimbangkan dari sisi driver. Memang pelanggan itu raja tapi jangan sampai kita sebagai pekerja disepelekan dan dirugikan,” kata Latifah.

Sebetulnya, perusahaan platform juga kerap memberi tips pada pengemudi untuk menjaga standar pelayanan. “Sekarang buat akun gacor susah, tapi dari pihak Grab kasih tahu kita. ‘Selain konsisten soal waktu kerja dan jangan pilih-pilih orderan, lu mainin Grab Academy, sehari minimal satu’. Itu pelatihan, kita nonton video dan di akhir harus menjawab pertanyaan dengan benar. Eh betul, saya mainin langsung bunyi [pesanan masuk],” Latifah menjelaskan.

“Azab Sering Minta Cancel”, “Akibat Mengabaikan Order”, “Pelayanan Bintang Lima”, sebagian judul video-video pelatihan tersebut.

“Kalau nggak lulus ya harus mengulang lagi. Panduan seperti ini bagus, cuma kadang pengemudi itu malas karena kegiatan ini kan menyedot kuota. Saya belajarnya malam-malam, pakai kuota malam,” komentar Sry.

Ternyata kalau ingin gacor, memang butuh modal. Modal kuota internet untuk aktif di Grab Academy. Modal smartphone dengan RAM minimal 6 GB. Modal dompet tunai yang harus selalu di-top up.

Di sisi lain, menurut Latifah, aplikator jarang mau mendengar keluhan mitra. “Hanya memikirkan gimana caranya dapat keuntungan terus. Buktinya, memperbanyak driver tapi tidak memikirkan kesejahteraan driver yang sudah ada. Yang kita butuhkan kesejahteraan dan keadilan. Keadilan artinya kalau ada keluhan dari pelanggan, dicek dulu lah ke kami benar enggaknya. Jangan main suspend, main PM. Katanya mitra? Bukan mitra itu mah. Kalau dibilang pekerja, pekerja harusnya punya gaji dong,” jelasnya tegas.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Nabiyla Risfa Izzati menyoroti bagaimana hubungan kemitraan antara pengemudi ojol dan perusahaan platform belum diatur dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Dengan demikian, pengemudi tidak mendapatkan perlindungan dari negara, baik terkait keselamatan kerja hingga ketimpangan pendapatan antara pengemudi laki-laki dan perempuan.

“Isu keselamatan kerja mendesak untuk ditangani, mengingat jam kerja ojol yang panjang, khusus lady ojol seringnya mereka kelelahan karena beban ganda dari urusan domestik. Untuk ketimpangan pendapatan, salah satunya dipengaruhi oleh seringnya pengemudi perempuan di-cancel ketika akan mengantar penumpang laki-laki. Belum lagi risiko pelecehan seksual,” ujarnya.

Di Jakarta Utara, di mana jalan-jalannya banyak dilalui oleh truk transformers dan risiko tukang ojol menabrak atau ditabrak semakin tinggi, Joan Aurelia Rumengan menulis laporan tentang lady ojol yang mengalami pelecehan dan pesanannya dibatalkan penumpang. Tingkat pembatalan kepada mitra pengemudi perempuan bahkan tercatat dalam data internal Gojek sebesar 2,7 persen.

“Kita berharap ke depannya bisa kerja yang lebih minim risiko. Tapi kalau saat ini, ngojol masih sesuatu yang paling mungkin kita kerjain, jadi, semoga situasinya untuk ojol lebih baik kali, ya?” ucap Siti.

Yorga mengatakan bahwa bagaimanapun, bagi yang membutuhkan fleksibilitas kerja, hadirnya model pekerjaan gig dapat memberi manfaat. Oleh karena itu, ia menekankan perlunya “good gig” dan “good jobs”.

“Masalah ojek online ini kompleks, bukan sekadar negara harus hadir meregulasi skema kemitraan, tapi juga negara harus menyediakan lapangan kerja formal lainnya sehingga masyarakat punya pilihan lain selain jadi ojek online. Memperbaiki iklim kerja ojol lewat beragam skema proteksi sosial saja tidak cukup, harus tersedia good jobs. Pemerintah mesti menyediakan lapangan kerja layak,” kata Yorga.

Alasan Sulit Sejahtera 4: Kerja Domestik Menjerihkan Fisik

“Nanti kita GrabNow aja,” kata Sry setelah menanyakan saya berencana pulang naik apa. GrabNow adalah fitur yang memungkinkan pengguna memesan langsung pengemudi yang berada di dekatnya secara fisik.

Saya mengiyakan. Dia senang karena penumpang perempuan berarti satu item sabun cair berkurang dan komisi untuknya bertambah. Sry memasang papan iklan di motornya. Bulan lalu iklannya dari jenama sabun yang target pasarnya perempuan.

“Jadi tiap ada penumpang perempuan, dikasih sabun terus diajak selfie buat laporan. Sabunnya masih dua dus di rumah saya,” katanya.

Sebetulnya tidak sedikit penumpangnya yang mengeluh sebab papan iklannya membuat mereka lebih sulit naik ke atas motor, punggung jadi kurang nyaman, dan duduk kesempitan. Akan tetapi, Sry berusaha mengomunikasikan hal tersebut pada penumpangnya. “Soalnya lumayan pemasukannya [dari iklan] buat tambah-tambah”.

Sry mengantarkan saya pulang lewat salah satu jalur neraka di Jakarta. Membelah gang kecil di samping Stasiun Pasar Minggu itu bisa 30 menit lamanya hanya untuk jarak 300 meter. Tadinya Sry mau antar lewat Kalibata saja – tempat tinggal saya di Cipete Utara – tetapi sungkan menawarkan opsi tersebut. Setelah mengikuti rute yang disarankan peta, barulah dia bilang kalau lokasi itu macetnya gila-gilaan, dia pernah terjebak satu jam.

Pemandangannya sangat kacau, jalan selebar empat motor dilalui juga oleh mobil, dengan motor-motor terus bermunculan dari gang di kanan dan kiri, dari pasar, dari parkiran stasiun. Motor yang hendak belok tak kunjung bisa belok, menghalangi motor di belakangnya. Di depan, palang persimpangan kereta membuka dan menutup, commuter line sudah lewat enam kali.

Ada-ada saja produk yang ditemukan Sry di e-commerce untuk perlengkapan kerjanya. Payung mini diakuinya lumayan melindungi ponselnya dari panas di siang hari. (Project M/Alya Nurbaiti)

Mau itu di dalam gang atau di jalan arteri, macet hal biasa di Jakarta dan kota-kota satelit sekitarnya. Pun begitu, mengalaminya setiap hari tidak lantas bikin badan dan pikiran ini menerimanya sebagai kewajaran. Saya rasa pengguna jalan di sini cuma ada dua: yang nggak sabar dan yang pura-pura sabar. Namun, naik kendaraan di ibu kota sama seperti menjalani hidup: tahan sedikit, tahan sedikit lagi, semacet-macetnya, momen macet itu terlewati juga.

Malah buat Sry, meski dengan segala hiruk pikuk dan polusinya, berada di jalan terkadang lebih menyegarkan daripada di rumah. Dari dulu ibu saya selalu bilang pekerjaan rumah itu lebih capek dan nggak ada habisnya. Sry pun sama.

Pagi harinya dimulai seperti tipikal ibu-ibu Muslim Jawa: bangun tidur, salat subuh, nyapu, nyapu latar meski sebentar karena rumahnya berada di gang senggol, masak nasi dan kadang-kadang menggoreng tempe.

“Malamnya gimana? Laki pulang kerja ya sudah, [mereka] istirahat, kita mah lanjut. Coba, bisa nggak laki kerja 24 jam?” ujarnya.

Namun, Sry mengakui ia bagi tugas dengan Yayat sejak Yayat diberhentikan dari pekerjaannya. Suaminya mencuci baju, ia menyetrika. Ia belanja ke pasar, suami dan dua anak laki-lakinya masak menu sederhana.

“Yang nomor dua kadang bikin nasi goreng sendiri. Lihat resep di Tiktok”.

Tetap saja, pulang narik disambut tumpukan setrikaan memberi efek kurang baik untuk badan dan pikiran. Apalagi, ia menyetrika untuk keluarga lainnya.

“Saya ngojol dari pagi sampai jam lima sore, habis itu sore ke malam ngegosok di rumah bude [tetangga], baru setelah itu ngegosok lagi di rumah. Di rumah bude gajinya 500 ribu sebulan, yang di rumah kagak digaji. Kalau skip sekali, ya numpuk dah tuh [pakaian],” katanya.

Sry memilah pakaian yang sudah kering untuk disetrika. Saban hari ia menjadi buruh gosok di rumah tetangganya selepas menyelesaikan pesanan ojek online. (Project M/Alya Nurbaiti)

Di rumah tangga lain, lady ojol – terhitung juga mereka yang bergerak di layanan Gojek seperti Go-Clean (kebersihan), Go-Glam (kecantikan/salon), dan Go-Massage (pijat) – menjemput rezeki sambil merawat anak yang masih kecil, atau mendampingi anak belajar, seperti diceritakan dalam riset Mustika dan Savirani (2020).

Anak-anak Sry memang sudah besar, tapi Sry kini mengurus bapaknya yang sudah sepuh. “Abang saya sih sering datang bantuin beres-beres kamar bokap. Tapi kalau sama bokap ini saya bukan capek beresin kamarnya, capek emosi,” ucap Sry, mewakili anak-anak yang memiliki dinamika love-hate relationship dengan orang tuanya.

Lain Sry lain Siti. Siti membesarkan ketiga anaknya seorang diri setelah meninggalkan mantan suaminya yang pengangguran. Dulunya ia korban perkawinan anak. Ketika orang tuanya tak hadir untuknya, ia tinggal di rumah bibinya tetapi menikah saat usia 17 tahun karena bibinya pun menganggapnya beban.

“Kali aja gue punya laki bisa seneng, bisa bahagia, ternyata enggak,” ujarnya.

Kini anaknya yang terakhir sudah duduk di bangku SMA, pekerjaan rumah jadi sedikit terbantu. Namun bagaimanapun, Siti tetap kelelahan karena sebagai petugas keamanan di acara-acara, sering ia bekerja sampai jam 12 malam, sementara pekerjaannya dimulai sejak apel pukul tujuh pagi, serta ia harus berangkat jam lima dari kontrakannya di Tambun, Bekasi untuk menempuh perjalanan.

Saat sedang narik, ia pun menghabiskan lebih banyak waktu di jalan dan hanya bisa melakukan video call dengan anak-anaknya bila kangen.

“Kita ini kurang tidur. Kebanyakan lady ojol tidur di mana ada tempat, entah di pinggir jalan, di parkiran motor, ada tempat buat nyender kita nyender sebentar. Tapi kadang juga bawa motor udah nggak sadar, tahu-tahu kaget. Makanya kita nggak lepas dari doa,” ucap Siti.

Alasan Tidak Menjadi Gila: Punya Siasat Berbahagia

“Hidup udah susah, kita jangan.”

Tidak ada yang berucap seperti itu tetapi itulah yang saya tangkap dari cara hidup Sry, Siti, dan Latifah. Mereka saling bantu dan saling menyemangati.

“Suatu hari saya lagi suntuk, ah main ah ke rumah Bunda, tapi lupa matiin aplikasi, begitu nyampe gang dapat [pesanan]. Saya bilang, ‘Yah dapet Bun,’ terus kata Bunda ‘Gimana sih lu, ya udah sono ambil’. Tapi kadang kita benar-benar main, ya? Jalan-jalan, ngelayap, ke Depok, ke Bogor. Kadang juga main ke mal, sekali-sekali dong kita makan [di restoran], enggak cuma mengantar makanan,” kata Sry.

Pada satu kesempatan, Latifah mengajak teman-teman lady-nya mengikuti undangan lokakarya membuat kue yang diadakan oleh sebuah kampus. Di acara tersebut, mereka juga sekaligus berbagi wawasan mengenai tantangan pekerjaan ojek online kepada civitas academica.

“Dapat ucapan terima kasih dan uang lima juta! Wah, kami semua kaget dan senangnya bukan main”.

Ketiban rezeki nomplok berupa uang tunai adalah hal besar, tetapi kesenangan Sry juga dari hal-hal kecil, seperti beli buah saat istirahat makan siang. “Siang-siang makan pepaya kan seger,” sahutnya.

Di hari saya membuntuti Sry untuk mengambil gambar, ia tiba-tiba menepi dan mengajak saya makan es kolding, es kolak dingin.

“Udah ngidam dari kapan hari. Setiap mengantar paket ke Pondok Bambu, lewat sini, lihat gerobak es kolding ini saya kepingin,” akunya.

Saya melihatnya sebagai tindakan self-reward. ‘I deserve this kolak dingin’.

Semangkuk es kolding terdiri dari kolak pisang, agar-agar, es serut, plus ketan. Kami menyantap pencuci mulut tetapi kenyang seperti makan siang. Makan siang yang tinggi glukosa berkat duet kental manis dan gula jawa.

Itu tepat sebelum kami mengantar satu dus kemasan plastik ke Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Saya menyaksikan Sry mengencangkan ikatan-ikatan tali dan rafia agar barang yang ia bawa duduk anteng di jok belakang Honda Beat-nya.

“Ini mah belum apa-apa. Saya pernah bawa meja makan. Bunda pernah bawa kulkas”.

Sry mengambil paket dari sebuah gudang untuk diantarkan. Menurut Sry, Grab membolehkan mitra pengemudi menolak mengambil barang yang volumenya melebihi batas, sementara Shopee belum mengatur hal tersebut. (Project M/Alya Nurbaiti)

Di tengah jalan kami terpisah karena Sry menghilang dari pandangan. Saya lewat Gatot Subroto, Sry lewat Flyover Kampung Melayu. Tidak masalah bagi saya karena di jalan, saya setenang air dan baik dalam membaca peta, juga tidak buta kawasan – sepertinya kebanyakan wartawan qualified jadi tukang ojol.

Sesekali saya berhenti untuk memeriksa posisi live location Sry yang dibagikannya pada saya, sambil memikirkan harus memotong jalan di mana biar kami lebih cepat bertemu.

Akhirnya, kami bertemu lagi. Setelah itu kami buang air kecil di toilet Gandaria City, mengantar penumpang berikutnya, kembali ke kediaman Sry, dan di penghujung hari saya menemukan satu lagi alasan Sry boleh berbahagia: ada mie ayam dan pecel lele enak dekat rumahnya.


Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #SekrupKecil di Mesin ‘Big Tech’.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
20 menit