Dilema Urgensi Pembelajaran Tatap Muka dan Ancaman Virus Omicron

Mawa Kresna
14 menit
Ilustrasi pembelajaran tatap muka. (Project M/Inez Kriya - di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2.0)

Di dalam ruang kelas, 20 siswa kelas 6 SD duduk mengikuti pelajaran matematika. Salah seorang siswa membacakan soal matematika dari bangku tempatnya duduk.

Diketahui: Hasan dan ayahnya naik sepeda dari rumah mereka menuju ke rumah nenek Hasan yang berjarak 15 km. Mereka berangkat pukul 06.45 dan tiba pukul 07.15.

Ditanyakan: Berapa kecepatan rata-rata mereka bersepeda?

Suara siswa itu sedikit tenggelam di balik masker yang ia kenakan. Ditambah lagi, sayup-sayup terdengar suara anak-anak dari kelas lain bernyanyi. “Satu, satu. Aku sayang ibu. Dua, dua. Juga sayang ayah.” 

Gurunya, Ibu Lita, berdiri di depan kelas. Ia mengambil alih dan menjelaskan cara penyelesaian soal tersebut. “Masih ingat rumus Jokowi?” katanya.

Ia menuliskan rumus kecepatan di papan tulis:

K = J/W

(Kecepatan = Jarak/Waktu)

Pembelajaran tatap muka (PTM) 100% seperti itu sudah berjalan hampir tiga pekan (per 20/01/22) di SDN 05 07 Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kebijakan ini berlaku mulai 3 Januari 2022 saat memasuki tahun ajaran baru 2021/2022.

Pelaksanaan PTM di sekolah tersebut didasarkan pada Keputusan Bersama Mendikbudristek, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri dalam Negeri (SKB 4 Menteri) tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19 yang terbit pada 21 Desember 2021.

Di dalam surat, disebutkan bahwa untuk wilayah dengan level PPKM 1 atau 2, dan capaian vaksinasi dosis 2 sebesar 80% pada tenaga pendidikan dan 50% pada lansia, PTM dilaksanakan 100%, setiap hari, dan dengan durasi belajar maksimal 6 (enam) jam per hari.

Surat tersebut juga menyebutkan bahwa orang tua/wali peserta didik hanya dapat memilih PTM atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) hingga semester ganjil tahun ajaran 2021/2022, atau yang berarti hingga 2021 berakhir. Setelahnya, PTM wajib dilakukan.

DKI Jakarta yang berstatus PPKM level 2 (hingga 06/02/22) termasuk sebagai daerah yang menjalankan kebijakan PTM 100%.

Ketimpangan Ekonomi, Ketimpangan Ilmu

Lita keluar kelas dan pergi ke ruangan guru. Ia telah menugaskan anak-anak muridnya untuk mengerjakan soal di dalam kelas. Ini jadi kesempatannya untuk membuka masker sejenak dan menyegarkan kembali tenggorokannya dengan minum air mineral.

“Kalau buka masker di dalam kelas, nanti saya jadi contoh buruk buat anak-anak,” katanya.

Demi mengurangi risiko penularan Covid-19, setiap warga sekolah wajib mengenakan masker setiap saat, termasuk guru yang sedang mengajar. Murid-murid hanya boleh membuka masker saat mereka makan dan minum. Itu pun hanya di waktu istirahat, di mana mereka tetap mesti di dalam kelas dan makan di meja masing-masing. Kantin belum boleh beroperasi. Setiap kelas telah dilengkapi dengan air galon untuk mengisi ulang botol minum para murid.

Kembali melaksanakan PTM memiliki tantangan tersendiri bagi Lita. Ia mesti berangkat kerja lebih pagi dari biasanya. Karena sekolah masuk pukul 6.30 WIB, Lita yang tinggal di daerah Jagakarsa mesti berangkat setidaknya pukul 5.30 WIB setiap harinya. Ia juga sedang hamil dengan usia kandungan hampir 9 bulan, sehingga ia mesti menerapkan protokol kesehatan ekstra ketat.

Terlepas dari tantangan-tantangan itu, Lita menyambut baik PTM 100% yang menurutnya genting untuk kembali diterapkan.

SDN 05 07 Cipete Utara terletak di pojok gang Jalan Naim III. Kebanyakan murid-murid di sekolah ini berasal kelas ekonomi menengah ke bawah. Mereka tinggal di permukiman padat di belakang mall Lippo Kemang Village di Jakarta Selatan yang letaknya tak jauh dari sekolah.

Sebagai seorang guru, selama hampir dua tahun PJJ berlangsung, yaitu sejak pandemi Covid-19 pada Maret 2020 lalu, Lita mengamati bahwa keadaan ekonomi membuat kemampuan belajar kebanyakan muridnya tertinggal.

Murid-muridnya tidak bisa fokus belajar di rumah. Orang tua tidak bisa mendampingi anak-anak mereka belajar di rumah, sebab mereka mesti bekerja. Rata-rata dari orang tua ini bekerja sebagai pengemudi ojek online, kuli bangunan, ataupun pemulung.

Mereka tidak punya pekerjaan tetap. Pemasukan mereka terbatas dan tidak pasti setiap harinya, sehingga banyak dari mereka tidak punya cukup modal untuk menyediakan gawai dan alat-alat untuk belajar lainnya di rumah.

Satu-satunya gawai yang keluarga mereka miliki mesti dipakai oleh orang tua untuk bekerja sehari-hari. Paket data dengan biaya yang tidak kecil juga jadi beban besar bagi orang tua.

Akhirnya, tak sedikit murid-murid sekolah dasar yang kesulitan mengikuti pelajaran, terutama literasi atau kemampuan membaca bagi anak kelas 1-3 SD, dan kemampuan numerasi atau berhitung bagi anak kelas 4-6 SD. “Mereka sampai lupa cara melakukan pertambahan,” kata Lita.

Ketertinggalan ini baru terlihat secara kentara ketika para murid kembali ke sekolah. Para guru di SDN 05 07 Cipete Utara mulai menyadarinya sejak Oktober 2021 lalu, ketika PTM 50% diberlakukan.

Rizal, guru mata pelajaran agama Islam, menyadari bahwa hasil latihan atau ujian secara daring yang bagus tidak merefleksikan kompetensi murid sebenarnya. Meski mereka dapat menjawab seluruh soal di Google Form, tetapi kebanyakan dari mereka kesulitan dalam memahami pelajaran saat mereka belajar tatap muka. Rizal menduga para murid mengerjakan soal dengan dibantu oleh orang tua, mencari kunci jawaban di internet, atau mengerjakannya bersama dengan kawan-kawannya.

Sementara, mengajar secara daring bukanlah hal yang mudah. Rizal mesti mencari cara menyampaikan pelajaran secara kreatif: menyelipkan kuis dan video-video animasi di sela-sela materi supaya murid tidak bosan, memanfaatkan platform seperti Google Classroom untuk memudahkan pembagian materi.

Hanya saja, ia menemukan bahwa tak semua murid dapat mengakses materi-materi itu. Memutar video membutuhkan kuota data yang besar. Banyak orang tua yang kesulitan mengakses Google Classroom.

Maka, PTM jadi kesempatan bagi guru untuk mengukur ulang kompetensi para murid, dan, jika dibutuhkan, mengulang pelajaran di kelas untuk mengejar ketertinggalan itu.

Tak sedikit murid-murid sekolah dasar yang kesulitan mengikuti pelajaran, terutama literasi atau kemampuan membaca bagi anak kelas 1-3 SD, dan kemampuan numerasi atau berhitung bagi anak kelas 4-6 SD.Click To Tweet

Minim Infrastruktur Pendidikan dan Akses Teknologi

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh tim program RISE (Research on Improving Systems of Education) di Smeru, pandemi memperparah ketimpangan sistem pendidikan di Indonesia. Pembelajaran secara jarak jauh amat mengandalkan kesiapan infrastruktur pendidikan dan akses terhadap teknologi.

Pada 2020, peneliti Smeru melakukan survei dengan mengumpulkan data kuantitatif dari 290 guru sekolah dasar di Indonesia. Mayoritas respondennya adalah guru perempuan (71%) dan mengajar di sekolah negeri (83%). Sebanyak 59% responden berdomisili di Pulau Jawa. Pihaknya juga mengumpulkan data kualitatif melalui wawancara dengan 31 responden yang terdiri dari guru, kepala sekolah, dan orang tua.

Hasil survei menunjukkan bahwa murid di sekolah yang berkualitas, terutama sekolah swasta di  wilayah perkotaan, pada umumnya memiliki guru berkompetensi tinggi, kondisi ekonomi keluarga yang lebih baik, dan orang tua dengan kesadaran akan pendidikan anaknya yang tinggi. Mereka mendapat berbagai fasilitas penunjang PJJ, seperti gawai, koneksi internet, dan pendampingan belajar dari orang tua.

Sementara, anak-anak yang berstatus kelas ekonomi menengah ke bawah tidak memiliki itu. Penelitian menunjukkan bahwa komunikasi antara orang tua dan guru berperan penting dalam membantu murid belajar. Murid-murid dengan kemampuan di bawah rata-rata cenderung memiliki orang tua yang tidak berkomunikasi rutin dengan guru. Faktor-faktor penyebabnya: kesibukan orang tua, rendahnya perhatian terhadap pendidikan anak, ataupun tidak memiliki alat komunikasi atau kuota internet yang cukup.

Bagi murid di sekolah dasar, kemampuan yang paling terpengaruh dari keberjalanan PJJ adalah literasi. “Selama PJJ, kemampuan belajar anak-anak menjadi menurun. Dan ini dialami oleh anak-anak kelas rendah, terutama kelas 1 SD,” jelas Ulfah Alifia selaku peneliti Smeru di program RISE.

“Kelas menengah atas dan bawah memiliki concern yang berbeda. Meski kelas menengah ke atas ikut terdampak, tetapi ada ketimpangan yang berdampak paling parah kepada anak-anak dengan status ekonomi lebih rendah,” tambahnya.

Ilustrasi pembelajaran tatap muka. (Project M/Inez Kriya – di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2.0)

Persiapan dan Sosialisasi PTM

Kabar akan dilaksanakannya PTM baru diketahui Annisa, bukan nama sebenarnya, seorang guru di sebuah sekolah swasta di Jakarta Timur, tepat sehari sebelum sekolah dimulai pada Senin (03/01/22).

Pada Minggu (02/01/22), kepala sekolah mengundang para guru untuk rapat melalui Zoom untuk mengumumkan kabar itu. Setelah rapat dengan para guru, barulah kabar itu diberitahu kepada para orang tua.

Kabar mendadak itu sempat membuat Annisa gelagapan. Sekolah tempatnya mengajar memampatkan 10 jam mata pelajaran yang biasanya berlangsung pukul 06.30-13.30 WIB selama PJJ menjadi hanya hingga pukul 11.25.

Satu jam pelajaran yang mestinya berdurasi 35 menit, menjadi berlangsung selama 20 menit. Dengan jadwal yang bertambah padat, Annisa mengeluhkan berkurangnya pula jadwal istirahat bagi para guru. Selama PJJ, guru bisa beristirahat selama 30 menit. Namun, saat PTM, guru hanya mendapatkan alokasi waktu istirahat selama 10 menit. Waktu istirahat itu juga tidak bisa mereka manfaatkan dengan optimal karena mereka mesti mengawasi anak-anak murid di dalam kelas.

Setelah pukul 11.25, guru-guru juga belum selesai mengajar. Mereka mesti bersiap-siap mengajar murid-murid yang masuk shift siang. “Beban guru jadi berkali-kali lipat lebih banyak,” ujar Annisa.

Komplain telah mereka sampaikan ke pihak sekolah. Tetapi, pihak sekolah menyerahkan ke para guru untuk menyiasati sendiri jadwal mereka. “Mereka beralasan jadwalnya sudah dikirim ke dinas pendidikan.”

SKB 4 Menteri memang telah diterbitkan sejak 21 Desember 2021. Tetapi, di DKI Jakarta sendiri, keputusan resmi untuk melaksanakan PTM 100% baru diumumkan dan disosialisasikan sehari sebelum tahun ajaran 2021/2022 semester 2 dimulai.

Orang tua murid dari sekolah lain di DKI Jakarta mengaku terkejut ketika sekolah mengumumkan untuk menerapkan PTM 100%. “Tahun lalu mereka bilangnya PTM akan dilaksanakan secara bertahap. Dari seminggu sekali, jadi seminggu dua kali, dan seterusnya. Tapi ternyata sekarang sudah wajib 100%. Saya kaget,” ceritanya.

Persiapan dan sosialisasi pelaksanaan PTM juga jadi perhatian besar Smeru. Di satu sisi, PTM genting untuk dilaksanakan kembali. Tetapi, di sisi lain, tanpa persiapan PTM yang matang, PTM berpotensi untuk berjalan tanpa memulihkan kemampuan belajar murid yang menjadi semakin timpang sejak pandemi.

Ada tiga langkah darurat yang Smeru rekomendasikan ketika murid-murid kembali bersekolah, yaitu ukur, ajar, dan pantau. Ukur berarti sekolah perlu melakukan asesmen diagnostik, atau pemetaan kemampuan belajar murid yang berbeda-beda. Dari hasil asesmen tersebut, guru dapat memberikan pendampingan belajar khusus bagi murid yang membutuhkan.

Ajar berarti merancang pendekatan belajar yang khusus atau differentiated teaching yang menyesuaikan dengan kemampuan para murid. Murid yang mendapatkan nilai asesmen di atas rata-rata dapat melanjutkan materi belajar seperti biasa, sementara murid dengan nilai asesmen di bawah rata-rata perlu mengejar ketertinggalannya terlebih dahulu dengan mengajarkan kembali materi-materi sebelumnya. Ini juga berarti murid tidak dapat dituntut untuk dapat mengikuti materi belajar sesuai tingkatnya.

Terakhir, pantau berarti perlunya pengukuran dan evaluasi berkala terhadap kemampuan murid sepanjang tahun ajaran untuk memantau perkembangan mereka. Perlu juga penyederhanaan kurikulum, seperti fokus terlebih dahulu pada pemulihan keterampilan dasar seperti literasi dan numerasi, atau materi-materi lain sesuai dengan hasil asesmen diagnostik.

Dalam prosesnya, Kemdikbudristek telah mengeluarkan kebijakan pelaksanaan kurikulum di masa khusus, yaitu satuan pendidikan dapat menggunakan kurikulum nasional, atau penyederhanaan kurikulum dalam kondisi khusus—baik menggunakan versi yang disusun oleh Kemdikbudristek, ataupun yang disusun secara mandiri oleh pihak sekolah.

Ada pula modul asesmen diagnosis yang telah disusun oleh Kemdikbudristek, maupun modul belajar literasi dan numerasi untuk jenjang SD yang terdiri dari modul belajar bagi siswa, modul pendamping bagi orang tua, dan modul pendamping bagi guru.

Namun, secara pelaksanaan, Smeru melihat kesiapan sekolah untuk melaksanakan PTM berbeda-beda. Berdasarkan penelitian Smeru di 10 kabupaten/kota di Indonesia pada 2021, mereka menemukan bahwa baru 2 dari 10 daerah yang menyatakan siap untuk melaksanakan PTM.

“Mereka nggak tahu bagaimana caranya,” papar Ulfah. “Berdasarkan panduan PTM dari Kemdikbudristek, sekolah mesti melakukan asesmen diagnosis dan diferensiasi. Tapi, pelaksanaannya diserahkan ke sekolah tanpa ada panduan yang rinci.”

Daftar periksa Kemdikbudristek tentang kesiapan sekolah dalam proses belajar mengajar di masa pandemi Covid-19 belum diisi oleh semua sekolah di Indonesia. Meski daftar periksa ini telah rilis sejak awal 2021, terlihat bahwa sekolah yang telah merespons survei oleh Kemdikbudristek baru sebesar 60,39%. Artinya, dari 539.475 seluruh jenjang sekolah di Indonesia, masih ada sekitar 200 ribu sekolah yang tidak diketahui kesiapannya dalam melaksanakan pembelajaran selama masa Covid-19.

Variabel untuk mengukur kesiapan sekolah itu juga masih sebatas protokol kesehatan, seperti (1) ketersediaan sarana dan prasarana sanitasi, kebersihan, dan kesehatan; (2) akses ke fasilitas pelayanan kesehatan; dan (3) ada/tidaknya tim satgas Covid-19 tingkat satuan pendidikan. Sementara, variabel tentang kesiapan pembelajaran itu sendiri tidak tercantum. “Kita sepakat kesehatan adalah prioritas. Tapi, ketika sekolah dibuka kembali, kita nggak bisa ujug-ujug PTM, menerapkan business as usual.”

Berdasarkan penelitian Smeru di 10 kabupaten/kota di Indonesia pada 2021, mereka menemukan bahwa baru 2 dari 10 daerah yang menyatakan siap untuk melaksanakan PTM.Click To Tweet

Risiko Penularan Covid-19

Seiring dengan diterapkannya PTM 100% di DKI Jakarta dan sejumlah daerah lainnya, kasus Covid-19 juga terus meningkat. Omicron pertama kali terkonfirmasi di Indonesia pada November 2021. Awal Januari, rata-rata kasus baru setiap harinya ada di angka 300. Per minggu kedua Februari, rata-rata kasus terkonfirmasinya telah meningkat tajam menjadi lebih dari 20.000 kasus baru setiap harinya.

DKI Jakarta menyumbang kasus Covid-19 terbanyak. Provinsi ini juga menerapkan PTM 100% selama PPKM berstatus level dua.

Ketika membicarakan tentang dasar penetapan wilayah yang dapat melaksanakan PTM, Windy Liem dari PUSKAPA menyebutkan bahwa pertimbangan level PPKM dan cakupan vaksinasi lansia serta satuan pendidikan tidaklah cukup. Pelaksanaan PTM paling banyak melibatkan anak-anak, oleh karena itu cakupan vaksinasi anak-anak juga perlu diperhitungkan.

Dalam konteks DKI Jakarta, misalnya, capaian vaksinasi anak usia 6-11 tahun masih di angka 45,1% untuk dosis kedua, dan 69,5% untuk dosis pertama (per 08/02/22). Dari seluruh kota di DKI Jakarta, baru Kepulauan Seribu yang persentase dosis pertamanya sudah terpenuhi lebih dari 100%.

Data capaian vaksinasi pada anak yang tersedia di situs pemerintah pusat maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga belum mencantumkan secara rinci cakupan vaksinasi bagi anak yang masuk dalam kelompok rentan.

PUSKAPA dalam kajian kebijakannya pada 2020 tentang mengatasi dan mencegah dampak Covid-19 merumuskan definisi kerentanan sebagai:

(1)   Paparan; menyangkut tingkat kemungkinan individu berinteraksi dengan ancaman dari luar.

(2)   Kepekaan; menyangkut potensi besaran dampak yang dialami individu setelah terpapar ancaman.

(3)   Kemampuan adaptasi; menyangkut kapasitas individu untuk merespons atau mengelola paparan terhadap ancaman.

Kerentanan, dari rumusan ini, didefinisikan sebagai kondisi yang secara tidak proporsional dialami individu akibat tidak adanya akses karena kemiskinan, keterpencilan/keterbatasan mobilitas, ketimpangan kualitas layanan publik, penyisihan berbasis usia, gender, disabilitas, dan identitas sosial.

Untuk anak, PUSKAPA mengelompokkan mereka yang termasuk dalam kelompok rentan menjadi setidaknya:

(1)   Anak-anak di rumah tangga miskin;

(2)   Anak-anak dalam rumah tangga yang dikepalai orang tua tunggal, perempuan, lansia, dan orang berusia anak;

(3)   Anak-anak tanpa identitas hukum;

(4)   Anak-anak yang belum memiliki asuransi kesehatan;

(5)   Anak-anak yang terputus dari kesempatan belajar;

(6)   Anak-anak yang terdampak Covid-19;

(7)   Anak-anak yang berada di luar lingkungan keluarga;

(8)   Anak-anak yang berada di dalam lingkungan berisiko;

(9)   Anak-anak yang mengalami penyisihan sosial lainnya.

Dengan memetakan anak-anak yang masuk dalam kelompok rentan, maka akan lebih mudah pula untuk memastikan PTM dapat berjalan secara aman tanpa membahayakan pihak-pihak yang paling berisiko terpapar dan terdampak Covid-19.

“Dari sana, dinas kesehatan dan dinas pendidikan dapat membuat pendanaan dan percepatan vaksinasi untuk anak-anak dan orang dewasa di sekitarnya. Jadi, untuk sekolah-sekolah yang hendak melaksanakan PTM 100%, bisa didata terlebih dahulu apakah anak-anak beserta orang-orang di sekitarnya sudah vaksin atau belum. Jika belum, bisa didorong untuk segera vaksin, supaya PTM pun bisa berjalan dengan lancar,” ujar Windy.

Anak-anak yang termasuk dalam kelompok rentan berada pada posisi dilematis. Mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah memiliki risiko terpapar Covid-19 paling besar: sulitnya akses ke air bersih dan sanitasi yang baik, sirkulasi udara yang terbatas, hingga kesulitan untuk menjaga jarak di lingkungan padat penduduk. Di sisi lain, dengan alasan yang sama, mereka juga jadi pihak yang paling membutuhkan PTM untuk berjalan kembali.

Kuncinya adalah tidak menerapkan one size fits all policy dalam menentukan PTM, kata Ulfah di Smeru. Mereka menganjurkan daerah-daerah dengan angka kasus rendah untuk tetap melaksanakan PTM, atau setidaknya melakukan pembelajaran secara hybrid. “Kami cukup khawatir dengan situasi sekarang. Harapan kami anak-anak yang sudah masuk sekolah tidak balik lagi ke PJJ.”

* * *

Damayanti duduk santai di pelataran sekolah. Ia sedang menunggu untuk menjemput anaknya yang duduk di kelas 6 SD.

Sejak PTM 100% berlangsung, ia jadi perlu mengeluarkan uang tambahan untuk membeli seragam baru untuk anaknya. Seragam lama yang tak pernah diganti sejak 2020 sudah terlalu sempit. Atasannya tidak bisa dikancing. Bawahannya sudah di atas lutut.

Damayanti juga mesti bangun lebih pagi untuk menyiapkan bekal makan siang. Kadang ayam, kadang telur. Kadang cemilan seperti pudding.

Tapi tidak apa, katanya.

Kembali ke sekolah berarti ia tak perlu lagi mengajarkan anaknya matematika—yang ia sendiri sulit paham. Ia juga tidak perlu terlalu pusing lagi memikirkan biaya paket internet yang membengkak, ketika ia sendiri masih mesti membayar biaya kontrakan rumah dan kebutuhan sehari-hari, di tengah pemasukan suaminya sebagai pengemudi ojek online yang pas-pasan.

“Lagipula, anak-anak lebih patuh sama guru mereka, dibandingkan sama orang tuanya,” katanya sambil tertawa.

Demi ikut serta dalam upaya menekan risiko paparan Covid-19, Damayanti bergabung dalam tim satgas Covid-19 di sekolah. Tugasnya adalah mengarahkan murid-murid untuk mengecek suhu dan mencuci tangan setiap pagi. Kemudian, siangnya, memastikan mereka telah dijemput oleh orang tua/wali sepulang sekolah. “Supaya kita tahu mereka nggak keluyuran setelah keluar dari sekolah.”

Saya bercakap-cakap dengan Damayanti pada Januari 2022. Saat itu, kasus Covid-19 sudah mulai naik kembali, tetapi pemerintah mengklaim situasi masih terkendali.

Per Rabu (02/02/22), Pemprov DKI Jakarta menyampaikan bahwa kasus Covid-19 ditemukan di 190 sekolah, dengan 99 sekolah di antaranya sempat tutup. Namun, pihaknya mengklaim klaster sekolah belum ditemukan.

Tak terbayangkan bagi Damayanti jika Covid-19 ikut merebak di daerahnya dan anaknya mesti kembali belajar di rumah.


Update 08/02/22: DKI Jakarta termasuk daerah yang status PPKM-nya naik menjadi level 3. Berdasarkan ketentuan SKB Empat Menteri, kapasitas jumlah peserta didik untuk wilayah yang masuk dalam PPKM level 3 adalah maksimal 50% dan waktu belajar maksimal empat jam pelajaran. Syarat untuk melaksanakan PTM 50%: vaksinasi dosis kedua pada tenaga kependidikan minimal 40% dan lansia minimal 10%. Di bawah itu, pembelajaran dilakukan secara jarak jauh.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
14 menit