Kasus Klitih di Yogyakarta: Polisi Diduga Menyiksa Lima Anak Muda Supaya Mengaku sebagai Pelaku Klitih

Mawa Kresna
15 menit
Ilustrasi dugaan rekayasa kasus klitih oleh polisi di Yogyakarta (Project M/ Azka Maula - CC BY-NC-ND 4.0)

Kepolisian Yogyakarta mengadili pelaku klitih Gedongkuning dengan bukti samar dan inkonsisten, bahkan diduga pakai saksi fiktif. Untuk menjerat tersangka, polisi diduga melakukan penyiksaan.


HANIF AQIL AMRULLOH masih ingat dengan jelas apa yang terjadi pada Sabtu malam, 9 April 2022, di Polsek Sewon, Bantul, Yogyakarta. Ia bercerita terbata-bata mengingat pukulan-pukulan yang dilayangkan polisi kepadanya.

Malam itu, beberapa polisi mendatangi rumahnya. Salah satu dari aparat tersebut merupakan tetangganya, petugas Polda Yogyakarta. Polisi mengatakan Hanif dipanggil untuk dimintai kesaksian terkait “perang sarung” di Perempatan Druwo. Pemanggilan itu tak disertai surat. Hanif hanya disuruh ikut ke Polsek Sewon.

Oleh sang tetangga, Hanif dibonceng dengan motor Vario miliknya. Sesampainya di Polsek Sewon, Hanif dibawa ke sebuah ruangan di lantai dua, lalu dikelilingi beberapa polisi. Mereka mencecar Hanif dengan berbagai pertanyaan yang ia sendiri tidak tahu apa-apa.

Polisi memaksa Hanif mengakui terlibat sebagai salah satu pelaku klitih di Gedongkuning, Kota Yogyakarta, pada 3 April 2022. Korbannya adalah Daffa Adzin Al Basith, putra anggota DPRD Kebumen Ketua Fraksi Nasdem, Madkhan Anis. Menurut hasil visum, bagian belakang kepala korban terhantam benda tumpul. Luka terbuka berukuran 6 cm membuat pelajar SMA 2 Muhammadiyah Yogya itu meninggal dunia di RSPAU Dr. S. Hardjolukito.

“Malam itu boncengan sama siapa?”

“Sabuk girnya warna apa?”

“Sekarang mengaku saja, jujur saja.”

Setiap Hanif mencoba menjawab pertanyaan polisi dengan jujur, sebuah pukulan mendarat di wajahnya. Penyiksaan ini berlanjut sampai sekira pukul 12 malam. Tengah malam itu juga Hanif disuruh menjemput temannya bernama Ryan Nanda Syahputra yang dianggap terlibat dalam klitih. Menurut polisi, Ryan melempar gir. Ditemani polisi, Hanif berangkat ke rumah Ryan menggunakan mobil.

Tanpa panjang lebar, Ryan ikut diciduk polisi. Hanif menyaksikan Ryan dipukuli polisi di dalam mobil. Sekembali ke Polsek Sewon, ruang interogasi Hanif dipisah dengan Ryan.

Hanif mengaku sempat melihat temannya, Muhammad Musyaffa Affandi, di ruangan lain. Mata Affandi dilakban, rambutnya dijambak, wajahnya dijotos. Hanif hanya melihatnya sebentar sebab ia kembali diinterogasi.

Salah seorang yang melakukan penyiksaan terhadap Hanif adalah tetangganya sendiri. Oleh tetangga itu, lengan Hanif dicambuk menggunakan kelamin sapi yang dikeringkan. Semua kejadian ini berlangsung sampai pagi.

Akhirnya, tetangga itu mengancam. “Nif, nek kowe nggak ngaku, tak serahke ke bapak sing pitu kae.” Kalau kamu nggak mengaku, saya serahkan ke tujuh bapak [polisi] yang lain.

Hanif bergidik. Ia mengaku.

Matahari terbit dan luka tertoreh di wajah dan badan Hanif. Pelipis kanannya memerah bekas dipukul. Di bagian bawah mata kirinya ada memar biru. Bagian dalam mulutnya berdarah.

Ibu Hanif, Subadriyah, sempat bertanya kepada tetangganya itu lewat telepon, “Anak saya dipukul nggak?”

“Iya, Bu, tipis-tipis. Tapi kalau eksekutor, ya dihabisin,” jawab tetangga itu.

Selain Hanif, Affandi, dan Ryan, polisi juga menciduk Andi Muhammad Husein Mazhahiri dan Fernandito Aldrian Saputra, keduanya teman Hanif.

Dito dibawa polisi ke Café Pyramid di Jalan Parangtritis dan disiksa di sana. Dito dipaksa mengaku terlibat dalam klitih di Gedongkuning. Kurang dari 24 jam, siksaan polisi membuat mereka terpaksa mengakui perbuatannya, terkecuali Affandi yang tak kunjung mengaku hingga empat hari setelahnya.

Nasib Affandi, karena itu, lebih nahas. Kuku kakinya menghitam karena diinjak kursi dan diduduki polisi. Pukulan bertubi mendarat di wajahnya bahkan membuat behelnya koyak dan lepas.

Berbekal pengakuan lima anak muda yang disiksa itu, polisi melimpahkan berkas ke meja hijau.

Berbulan-bulan kemudian, Ryan divonis 10 tahun penjara karena disebut sebagai pelaku utama klitih, sementara Hanif divonis 6 tahun penjara bersama Affandi, Andi, dan Dito.

Kronologi Klitih di Pengadilan

Menurut kronologi perkara yang disusun polisi, kelima anak muda terlibat mula-mula dari “perang sarung” di Perempatan Druwo, percabangan yang menghubungkan Jalan Parangtritis dan Ringroad Selatan, pada Minggu, 3 April 2022. Baik penyidik, jaksa, maupun hakim menganggap “perang sarung” sebagai hulu dari aksi klitih Gedongkuning.

Beberapa menit sebelum tarung sarung, sekira pukul 02.00, sekitar tiga belas anak muda berkumpul di depan ruko Hiswana Migas di Jalan Parangtritis. Menurut hasil persidangan, Affandi, Andi, Dito, Hanif, dan Ryan berkumpul di ruko itu.

Semula mereka sekadar nongkrong dan menghabiskan malam akhir pekan di sana. Namun, usai mendapat pesan berisi tantangan perang sarung dari nomor tak dikenal, mereka berangkat ke Perempatan Druwo. Mereka menggelar perang sarung di sana.

Perang sarung itu tak berlangsung lama, hanya sekitar 5 menit. Tak lama setelah para anak muda itu saling melecut, polisi patroli datang membubarkan. Suara tembakan terdengar. Para anak muda itu kabur kocar-kacir.

Kelima anak muda itu lantas berkumpul kembali di Perempatan Druwo pada pukul 02.10. Dari Perempatan Druwo, mereka pergi ke arah timur, menyusuri Ringroad Selatan.

Menurut konstruksi pada berkas perkara, Dito membonceng Affandi, Ryan menggunakan motor NMax, sementara Hanif membonceng Andi menggunakan motor Vario.

Sementara mereka melaju, mereka melihat rombongan Daffa Adzin pergi ke arah yang sama. Kedua rombongan pun saling berkejaran, salip-menyalip, dari depan Ros-In Hotel di Ringroad Selatan hingga Jalan Gedongkuning, berjarak sekitar 7 km.

Sesampainya di Jalan Gedongkuning, rombongan Daffa Adzin singgah di Warmindo Barakuda. Tak sempat menyelesaikan pesanan, mereka kembali menaiki motor. Mereka mengejar rombongan Hanif dkk yang menggeber motor di depan warung makan indomie tersebut.

Kelimanya lantas berhenti di depan Toko Bakpia Jogkem, 300 m dari utara warmindo. Mereka menyerang rombongan Daffa dua kali. Serangan pertama diarahkan kepada Al Khansa, pengejar yang berposisi paling depan. Al Khansa tak terkena serangan itu.

Serangan kedua, menggunakan gir yang diikat sabuk kuning, mengarah ke Daffa Saputra yang kala itu membonceng Daffa Adzin. Daffa Saputra berhasil menghindar, sementara Daffa Adzin tak terselamatkan. Serangan itu mengenai bagian belakang kepala Daffa Adzin dan membuatnya terjatuh dari motor dan tak sadarkan diri.

Menurut putusan sidang yang mengacu pada berkas perkara, kejadian klitih berlangsung sekitar pukul 02.30.

Cerita yang tertulis di putusan sidang itu dibangun berdasarkan keterangan teman-teman Daffa Adzin Al Basith.

Para penyidik mendapatkan kesaksian juga dari masyarakat di sekitar lokasi kejadian. Namun, tak satupun saksi mampu mengenali pelaku penyerangan. Bahkan, mereka tak bisa mengidentifikasi senjata yang digunakan pelaku.

“Nggak kelihatan, para pelaku pakai masker hitam,” kata teman-teman Daffa Adzin yang menjadi saksi di Pengadilan Negeri Yogyakarta.

Salah seorang pegawai Kelurahan Banguntapan, seorang saksi di persidangan, mengakui hal sama. Saat terjadi penyerangan, pegawai itu berada di angkringan sekitar tempat kejadian.

Tak lama setelah mendengar keributan, si saksi menuju lokasi peristiwa dan melihat korban telah terkapar. Ia sempat membantu mengangkat korban ke dalam mobil patroli.

Menurut seorang penyidik yang bersaksi di persidangan, ada orang yang menyaksikan langsung aksi klitih di Gedongkuning. Kesaksian orang inilah yang dijadikan acuan oleh penyidik untuk menetapkan Affandi, Andi, Dito, Hanif, dan Ryan sebagai tersangka.

Saksi itu ialah penjual gudeg di sekitar kejadian, tapi tak dihadirkan dalam persidangan.

Belakangan, orangtua kelima terdakwa mencoba mencari penjual gudeg itu di sepanjang ruas Jalan Gedongkuning. Hasilnya nihil. Mereka menyimpulkan penjual gudeg yang disebut sebagai saksi penting perkara ini sebagai saksi fiktif.

Ilustrasi dugaan rekayasa kasus klitih oleh polisi di Yogyakarta (Project M/ Azka Maula – CC BY-NC-ND 4.0)

Adapun, rekaman CCTV yang dihadirkan di persidangan tak mampu mengidentifikasi secara jelas wajah bahkan motor yang digunakan pelaku. Tak juga bisa diidentifikasi senjata macam apa yang digunakan pelaku.

Karena kesulitan mengidentifikasi pelaku di CCTV, kelima terdakwa mengajukan agar rekaman itu diperiksa ahli.

Yudi Prayudi, ahli digital forensik dari Universitas Islam Indonesia, menganalisis CCTV tersebut.

Ada enam CCTV yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum dan dianalisis oleh Yudi Prayudi: satu CCTV di bilangan Gedongkuning yang berdekatan dengan Toko Bakpia Jogkem; dua CCTV di Pertigaan Tungkak; satu CCTV di Masjid Jami’ Warungboto; dan dua CCTV di Masjid Ummi Salamah. Selain itu ada satu CCTV di Hiswana yang dihadirkan terdakwa yang juga turut dianalisis.

Belakangan diketahui, sekumpulan rekaman itu hanyalah sejumlah kecil dari total CCTV yang digunakan kepolisian. Sebab, menurut keterangan Ombudsman RI Yogyakarta, polisi menyatakan ada 60 CCTV yang menunjukkan pelaku klitih di Gedongkuning. Namun, tanpa alasan jelas, klaim 60 CCTV itu tak semuanya dihadirkan di persidangan.

Yudi Prayudi menyimpulkan rekaman CCTV diambil melalui cara tak patut. Video CCTV Jogkem Gedongkuning, misalnya, berasal dari kamera eksternal yang merekam layar monitor yang menayangkan CCTV asli di Gedongkuning. Kamera eksternal yang digunakan untuk merekam pun berwarna hitam-putih dan beresolusi rendah. Rekaman CCTV itu juga telah diubah formatnya menjadi 3gp.

Alhasil, pengambilan CCTV secara tak patut itu, serta penutupan akses atas puluhan CCTV yang tak dihadirkan di persidangan, membikin orangtua dan pendamping hukum kesulitan mencari tahu pelaku sebenarnya.

Dugaan Rekayasa Kasus

Meski tak mampu mengidentifikasi pelaku, keenam CCTV itu memperlihatkan sejumlah ciri-ciri motor dan pakaian yang dikenakan oleh pelaku.

Sebut saja, dalam CCTV Pertigaan Tungkak dan CCTV Masjid Ummi Salamah, motor Vario yang dikendarai pelaku klitih terlihat memiliki lampu belakang yang menyala dan berwarna merah. Akan tetapi, lampu belakang motor Vario kepunyaan Hanif yang sebenarnya justru tidak menyala.

“Sudah lama nggak ada lampunya, sebelum kejadian pun sudah nggak ada. Kan, Hanif jurusan mesin di SMK,” tutur Subadriyah, ibu Hanif.

Lagi pula, tambah Subadriyah, motor Vario itu tak pernah keluar rumah pada waktu kejadian di Gedongkuning. Hal ini senada dengan kesaksian teman-teman Hanif.

Tangkapan layar video rekaman CCTV Masjid Ummi Salamah yang merekam pelaku setelah kejadian klitih Gedongkuning. Lampu belakang motor Vario (belakang) yang dikendarai pelaku menyala.

Sebelum “tarung sarung” terjadi di Perempatan Druwo, pada pukul 11 malam, Hanif dijemput Ryan dengan motor honda GL dan temannya yang lain untuk pergi ke Hiswana Migas.

Ciri lain terlihat dari orang yang duduk paling belakang di motor NMax. Menurut penyidik, orang itu merupakan Ryan, yang dituding polisi sebagai eksekutor dan penyebab utama Daffa Adzin meninggal dunia. Sementara motor NMax disebut polisi milik Dito.

Berdasarkan CCTV Tungkak, pelaku yang duduk di bagian belakang NMax tersebut mengenakan jaket berwarna abu-abu polos.

Wahyuni, Ibu Ryan, membantah jika anaknya memiliki jaket serupa seperti yang ditampilkan dalam CCTV. Sambil memperlihatkan sebuah foto kepada Project Multatuli, Wahyuni menunjukkan sablon gambar yang cukup besar di punggung jaket abu-abu kepunyaan Ryan.

Terlebih, Ryan tidak mengenakan jaket berwarna abu-abu saat tarung sarung. Hal ini dapat dilihat melalui CCTV Ruko Hiswana Migas. CCTV itu menampilkan Ryan mengenakan jaket kuning.

CCTV Sop Merah memperlihatkan kelompok pelaku klitih, salah satunya mengenakan jaket abu-abu. Polisi menuding pelaku berjaket abu-abu itu adalah Ryan.
Tangkapan CCTV Hiswana Migas memperlihatkan Ryan mengenakan jaket warna kuning.

Selain itu, Dito tak mengikuti tarung sarung pada Minggu dini hari. Sejak Sabtu, Dito berada di rumah temannya, Bisma Fernanda Alfariz, di daerah Salakan, Kota Yogyakarta.

Dito berada di sana sejak pukul 22.08. Ia memang sempat keluar pada pukul 23.20 untuk membeli bahan mercon untuk dijual selama Ramadan. Usai itu, mereka tak langsung kembali ke rumah, Dito pergi ke Kafe Brekele di Panembahan, sekira 1 km dari Titik Nol Yogyakarta.

Dito berkumpul dengan kelompok suporter Hooligan to Fight di kafe tersebut. Ia nongkrong di Panembahan hingga pukul 02.14, lantas kembali ke rumah Bisma. Dito baru sampai di rumah Bisma sekitar jam 02.30.

Perihal perjalanan Dito ini diterangkan Taufiqurrahman, penasihat hukum Dito. Asri, ibu Dito, juga menceritakan hal sama. Asri memperlihatkan riwayat perjalanan Dito yang tersimpan di gawainya. Berdasarkan riwayat itu, Dito tak pernah pergi ke Jalan Gedongkuning, Perempatan Druwo, bahkan Hiswana Migas.

Riwayat perjalanan Dito sejak Sabtu (2/4) pukul 22.00 hingga Minggu (3/4) dini hari.

***

Taufiqurrahman meragukan tarung sarung terjadi lebih dulu dibanding aksi klitih di Jalan Gedongkuning. Sebab, menurut Taufiqurrahman, rombongan saksi dari pihak Daffa Adzin tak melihat kejadian apa pun saat melewati Perempatan Druwo.

“Padahal jelas disebutkan, tarung sarung terjadi hanya dalam sela waktu lima menit. Lima menit, tarung sarung dibubarkan polisi, mereka berlari ke timur lalu bertemu korban. Pertanyaannya, jarak Perempatan Druwo ke Hotel Ros-In itu berapa jauh? Cuma 300 meter. Kalau memang ada pembubaran massa di Perempatan Druwo, yang massa ini berlari ke timur dan berpapasan dengan korban, artinya beberapa menit yang lalu korban melihatnya,” terang Taufiqurrahman.

Keraguan Taufiqurrahman diperkuat dengan tak ada jam pasti kejadian klitih Gedongkuning. Kronologi yang dibangun Polda Yogyakarta saat konferensi pers inkonsisten dengan skenario yang tertulis di putusan sidang, bahkan dengan bukti CCTV di persidangan.

Saat konferensi pers, Polda Yogyakarta menyatakan kejadian klitih berlangsung pukul 02.10. Menurut skenario yang tertulis di putusan sidang, aksi klitih terjadi sekitar 02.30.

CCTV di Gedongkuning, yang menampilkan detik-detik menjelang kejadian klitih, menunjukkan waktu yang lain lagi, yakni 02.25.

Anehnya, berdasarkan CCTV Tungkak, para pelaku dan korban melewati Pertigaan Tungkak untuk menuju Jalan Gedongkuning pada pukul 02.31.

Ketidaksinambungan ini mengindikasikan waktu yang ditampilkan dalam CCTV adalah bukan yang sebenarnya.

CCTV Jogkem Gedongkuning menunjukkan pukul 22.25 saat aksi klitih terjadi.

Sementara CCTV di Ruko Hiswana Migas memperlihatkan para remaja ini berangkat menuju Perempatan Druwo pada pukul 02.10—berbeda dengan keterangan polisi bahwa tarung sarung di Druwo terjadi sekitar pukul 02.00 hingga 02.10.

Waktu yang ditunjukkan CCTV Hiswana Migas ini justru lebih masuk akal. Sebab, nyatanya, pada pukul 02.22, tarung sarung di Perempatan Druwo sedang berlangsung.

Hal ini dibuktikan oleh Roswati, pengacara Andi, melalui sebuah rekaman video tarung sarung di gawai salah satu remaja yang mengikuti perang sarung. Di video itu tersimpan informasi perihal lokasi dan waktu pengambilan gambar.

Menurut Roswati, waktu pengambilan video itu menunjukkan satu hal: selisih waktu yang amat tipis antara tarung sarung dan aksi klitih di Gedongkuning.

“Nggak mungkin di sela waktu itu mereka (korban dan pelaku tarung sarung) bisa sampai ke Gedongkuning,” jelas Roswati.

Selain keganjilan CCTV , polisi juga menghapus riwayat perjalanan dan chat di dalam ponsel Ryan dan Affandi. Wahyuni dan Sri Wahyuni – ibu Ryan dan Affandi – bercerita bahwa riwayat perjalanan anaknya pada 3 dan 4 April 2022 yang terekam di ponsel hilang setelah disita polisi.

“Sudah ndak ada, dihapus sama polisi,” jelas Wahyuni.

“Chat Affandi tanggal 3 April 2022 dengan ibu juga hilang,” ujar Sri Wahyuni.

Kesaksian Teman

Usai tarung sarung, terdakwa dan teman-temannya masih sempat bertemu di sebuah warmindo di bilangan Salakan, berjarak sekitar 2 km dari Perempatan Druwo. Menurut penuturan Bayu, seorang teman terdakwa, mereka berkumpul di warmindo itu hingga pengumuman sahur terdengar dari masjid sekitar.

“Sampai di burjo (warmindo) sekitar jam 02.30. Sekitar jam 03.00 lewat, bubar, soalnya di burjo itu sekitar 10-15 menit ada pengumuman sahur. Terus kita pulang,” kata Bayu

Bayu bercerita bahwa ia berboncengan dengan Ryan setelah tarung sarung. Ketika polisi datang membubarkan tarung sarung, Bayu dan Ryan kabur beriringan dengan Affandi yang berboncengan dengan Dimas, teman lain dari terdakwa, ke arah selatan.

Sementara itu, menurut penuturan Ardian, juga teman terdakwa yang ikut tarung sarung, Hanif berboncengan dengan Akhsan. Adapun Andi berboncengan dengan Bowo, kabur ke arah timur menuju Perempatan Wojo.

Singkatnya, berdasarkan keterangan Bayu, Bowo, dan Ardian, para terdakwa tidak saling berboncengan sesama mereka setelah tarung sarung.

Seorang teman kelima terdakwa, bernama Agus, juga mengalami penyiksaan oleh polisi.

Sehari setelah Hanif dan teman-temannya dipaksa mengaku oleh polisi, pada Minggu pagi, pukul 05.00, 10 April 2022, rumah Agus kedatangan beberapa polisi.

Agus saat itu tak ada di rumah. “Posisi saya itu sedang main sama teman. Terus dikabari kakak saya untuk pulang, katanya ada yang nyariin,” Agus bercerita.

Sampai di rumahnya, polisi langsung menodong dengan pertanyaan, “Gir e ning ndi?” kata polisi itu. Si polisi mencari gir dengan sabuk hijau.

Sabuk ijo opo Pak?” jawab Agus, bingung.

“Katanya girnya disimpan di sini?”

Kulo mboten ngertos, PakSaya tidak paham, kata Agus.

Polisi-polisi itu lantas memasuki gudang rumahnya. Gudang itu berisi alat-alat bengkel. Kebetulan, ada beberapa gir bekas di gudang tersebut. Salah satu gir lantas diambil. Ada bekas oli di permukaan gir tersebut.

Para polisi lantas mencari sabuk. Agus terus dicecar pertanyaan. Jika ia tak mengaku sesuai keinginan polisi, ia dipukul.

Agus pun bilang ia hanya punya sabuk kuning yang dulu dipakai ketika mengikuti tapak suci. Sabuk itu tersimpan di atas lemari di dalam kamarnya. Karena tak menemukan sabuk hijau, polisi merampas sabuk kuning tersebut.

Di kemudian hari, gir dan sabuk kuning itulah yang dijadikan barang bukti oleh polisi.

Laporan Ombudsman

Andayani, Subadriyah, dan Sri Wahyuni—ketiganya adalah ibu Andi, Hanif, dan Affandi—melaporkan tindak maladministrasi kepolisian ke Ombudsman RI Yogyakarta. Selain menyoal penyiksaan dan penangkapan tanpa surat, mereka melaporkan perihal penutupan akses terdakwa terhadap bantuan hukum.

Andayani bercerita, selain disiksa saat penyusunan berkas perkara, Andi dipaksa mengesahkan pernyataan bahwa ia bersedia tidak didampingi pengacara. Alhasil, penandatanganan berkas perkara Andi, begitupun terdakwa lain, tak didampingi siapa pun.

“Ada pelanggaran hak asasi bahwa terdakwa harusnya didampingi pengacara,” kata Roswati, pengacara Andi, saat konferensi pers Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan Ombudsman, 14 Februari 2023.

Para orang tua terpidana kasus klitih berunjuk rasa di kawasan Tugu Yogyakarta. Mereka menuntut pembebasan anak-anaknya yang ditahan setelah dipaksa mengaku melakukan kekerasan oleh kepolisian. (Project M/Sidratul Muntaha)

Para orangtua juga melaporkan perihal pemberitahuan rekonstruksi yang mendadak: tak lebih dari 24 jam dan di hari libur. Namun, pelaporan ini dikesampingkan. Ombudsman menganggap prosedur demikian sudah merupakan teknik penyidikan.

Rekonstruksi pun berlangsung begitu saja di halaman Polsek Kotagede. Mengikuti arahan polisi, para terdakwa memperagakan ulang aksi klitih

“Sampai tangan-tangannya diarahkan,” kata Subadriyah. “Kalau mereka itu sebagai pelaku betulan, dia akan ingat sendiri. Tapi ini tidak. Motor-motorannya juga diarahkan.”

Ombudsman menyimpulkan ada tiga pelanggaran yang dilakukan polisi:

Pertama, pengabaian penyidik terhadap permintaan penasihat hukum untuk koordinasi dan bertemu dengan para tersangka merupakan tindakan maladministrasi berupa perbuatan tidak patut;

Kedua, proses penangkapan tersangka sudah terjadi sejak petugas kepolisian menjemput dan membawa mereka ke tempat masing-masing, karena itu tindakan petugas yang tidak menjelaskan dan menunjukkan surat perintah tugas dan memberikan surat perintah penangkapan yang sah, serta alasan penangkapan kepada tersangka, merupakan tindakan maladministrasi berupa penyimpangan prosedur;

Ketiga, kekerasan yang dilakukan penyidik terhadap para tersangka selama proses pemeriksaan merupakan bentuk pelanggaran terhadap larangan yang tercantum dalam pasal 14 huruf e Perkapolri No. 14 tahun 2011. Hal ini merupakan tindakan maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang.

Project Multatuli mengonfirmasi ke polisi perihal apa yang dialami pihak terdakwa mengenai dugaan penyiksaan dan rekayasa kasus pada 3 Februari 2023.

Kabid Humas Polda Yogyakarta, Kombes Yulianto, semula tidak memberikan jawaban dan meminta identitas kontributor Project Multatuli. Setelah kontributor Project Multatuli memberikan surat tugas dari redaksi Project Multatuli, ia sempat memberikan jawaban. Ia membantah ada rekayasa dalam kasus klitih Gedongkuning. Jika merasa ada manipulasi, kata Yulianto, terdakwa bisa menggugat di tahap praperadilan. Ia juga menyangkal bahwa terdakwa disiksa saat penyidikan.

Beberapa saat kemudian jawaban ini dihapus beberapa detik setelah terkirim. Ia kemudian meminta identitas kontributor Project Multatuli. “Ada KTP, ada SIM.”

Project Multatuli menghubungi lagi Kombes Yulianto untuk mendapatkan jawaban resmi dari Polda DIY pada 27 dan 28 Februari 2023, namun sampai tulisan ini diterbitkan belum ada respons lagi dari kepolisian.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
15 menit