Puluhan siswa dan siswi Madrasah Aliyah Negeri 2 Pidie Jaya, Aceh beringsut-ingsut ke belakang gedung sekolah, berencana kabur. Mereka lalu lari ke pematang melewati pagar kawat yang dilepas petani untuk bawa traktor ke sawah. Tak ada yang mencegah mereka. Guru dan kepala sekolah membiarkan saja mereka kabur.
Satu-satunya alasan yang membuat para siswa itu kabur karena takut dipaksa vaksinasi Covid-19. Mereka takut, bakal jadi lumpuh atau bahkan mati akibat vaksinasi. Kabar yang mereka dapat dari berita di televisi, sejumlah orang lumpuh dan mati setelah disuntik vaksin Covid-19.
“Mereka kabur karena takut ditangkap, lalu divaksin. Padahal kan tidak begitu,” kata Kepala MAN 2 Pidie Jaya, Bakhtiar Harun.
Hari itu, Sabtu 11 September 2021, tim sosialisasi vaksin Covid-19 yang terdiri dari Dinas Kesehatan, kepolisian, dan tentara memang akan menggelar vaksinasi di sana. Sebelum vaksinasi itu dilakukan, tim sosialisasi lebih dahulu menjelaskan manfaat vaksin pada para siswa.
Jauh hari sebelum tim itu datang, guru telah bersurat kepada orang tua 141 siswa di sana. Mereka memohon izin orang tua masing-masing siswa untuk pelaksanaan vaksinasi. Bakhtiar pun menegaskan vaksinasi siswa tidak dilakukan tanpa izin tertulis dari orang tua.
Pada akhir acara, petugas menanyakan kesediaan siswa menerima suntik vaksin. “Siapa yang mau ikut vaksin, silakan,” kata Kepala Dinas Kesehatan Pidie Jaya, Eddy Azwar.
Setidaknya ada 27 siswa bersedia. Setelah disuntik, mereka turut diwawancara petugas untuk video testimoni.
“Bagaimana setelah vaksin?”
“Cuma grogi saja, biasa…”
Usai kejadian siswa kabur, Bakhtiar melarang tim vaksinator masuk ke sekolah. Tapi ia akan bawa siswa yang bersedia disuntik vaksin ke puskesmas. Selang beberapa hari setelah Sabtu itu, Bakhtiar membawa tujuh siswa yang kala itu kabur ke puskesmas. Kali ini mereka sudah bersedia divaksin.
“Hari itu apa juga lari,” kata Bakhtiar yang disambut ketawa tujuh siswa itu.
Vaksinasi anak usia sekolah 12-17 tahun digelar di Aceh sejak 1 Juli lalu. Petugas vaksinasi atau vaksinator masuk ke sekolah-sekolah. Dengan dalih agar dapat melaksanakan belajar dan mengajar tatap muka, Pemerintah Aceh memacu vaksinasi untuk pelajar. Targetnya tuntas pada 30 September.
Kejadian seperti di MAN 2 Pidie Jaya itu satu di antara sejumlah perkara yang membuat vaksinasi siswa di Aceh lamban. Pemerintah kebut-kebutan mencapai target dengan tenggat yang kian dekat. Menurut data yang dirilis pemerintah Aceh, per 10 Oktober 2021 sebanyak 25.298 remaja telah melakukan vaksinasi dosis I di Aceh, atau sekitar 4,4 persen dari target sasaran yang mencapai 577.015 orang. Sedangkan suntikan dosisi II telah diberikan kepada 14.346 remaja, atau setara dengan 2,5 persen.
Data itu berbeda dengan data yang dihimpun Kementerian Kesehatan. Berdasarkan data Kemenkes per 21 Oktober 2021, angka vaksinasi usia 12-17 di Aceh baru mencapai 16.248 vaksinasi pertama atau 2,8 persen dari target provinsi, sementara vaksinasi kedua baru mencapai 9.446 atau 1,6 persen.
Untuk mendongkrak vaksinasi siswa, Sekretaris Daerah Aceh Taqwallah bersama Kepala Dinas Pendidikan Aceh Alhudri keliling Aceh menyambangi sekolah-sekolah pada pertengahan September lalu.
Dalam kunjungan itu, Alhudri memberikan ultimatum kepada kepala SMA, SMK, dan SLB yang berkumpul di Sekolah Menengah Kejuruan Blangkejeren, Kabupaten Gayo Lues, Ahad, 19 September. Ia menekankan vaksinasi siswa harus tuntas sebagaimana tenggat. “Jika tidak mampu maka saya persilakan mundur saja,” kata Alhudri.
Tuntutan ini menuai polemik. Berbagai kalangan menganggapnya ancaman. Pernyataan itu dinilai tidak pantas keluar dari mulut Kepala Dinas Pendidikan. Persatuan Guru Republik Indonesia atau PGRI Aceh meminta semua pihak mengambil pendekatan sejuk terkait vaksinasi siswa.
“Tidak menakut-nakuti apalagi jika bernada ancaman untuk dan dari siapa pun apalagi untuk kepala sekolah, guru, dan tenaga kesehatan,” kata Ketua PGRI Aceh Al Munzir, Senin, 20 September.
Kepala sekolah merasa tertekan dengan ultimatum Alhudri. Padahal, menurut Munzir, kepala sekolah dan guru sudah cukup tertekan dengan sistem pembelajaran daring selama pandemi. Misalnya, wali siswa menuntut pihak sekolah menggelar belajar tatap muka, sementara aturan melarang.
Munzir menegaskan kepala sekolah dan guru pada prinsipnya sangat mendukung program pemerintah terkait vaksinasi siswa. PGRI Aceh mengkritisi tenggat penuntasan vaksinasi yang Pemerintah Aceh tetapkan. 30 September dinilai terlalu singkat. “Para kepala sekolah berharap ada kelonggaran terkait batas waktu yang telah ditentukan,” ujar Munzir.
Kepala sekolah dan guru kerap bersemuka dengan ragam rintangan saat vaksinasi siswa. Misalnya, siswa bolos pada hari jadwal vaksinasi. Kendala lain, penolakan orang tua siswa karena khawatir anaknya mengalami lumpuh setelah vaksinasi. Orang tua siswa diklaim terkontaminasi hoaks terkait vaksin. “Sehingga terjadi kebingungan di tengah masyarakat atas informasi-informasi tidak jelas yang berkembang,” ujar Munzir.
Hoaks di Balik Vaksinasi Rendah
Hoaks vaksin mengakar di kalangan masyarakat Aceh, bahkan sebelum vaksin Covid-19 tersedia. Pada November 2020, survei Kementerian Kesehatan, Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (ITAGI), United Nations Children’s Fund (UNICEF), dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menaruh Aceh sebagai daerah terendah di Indonesia dalam kesediaan menerima vaksin Covid-19 atau sebesar 46 persen.
Responden mengungkapkan menolak vaksin Covid-19 karena khawatir keamanan dan keefektifan, tidak percaya, dan menyoalkan kehalalan vaksin.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Rizanna Rosemary, menilai hoaks tentang vaksin Covid-19 gampang dipercaya karena masyarakat tidak kritis terhadap sumber informasi. Inkonsisten kebijakan pemerintah saat menangani pandemi turut memperluas ruang masyarakat tak percaya Covid-19.
Apalagi pemerintah dipandang tidak mampu meneladani masyarakat untuk patuh atas kebijakannya sendiri. “Pemerintah menginstruksikan menghindari kerumunan, tapi masih membiarkan kerumunan di wilayah publik,” kata Rizanna, Selasa, 21 September.
Rizanna yang mendalami bidang komunikasi kesehatan menilai, pemerintah cenderung memakai komunikasi krisis dibandingkan komunikasi risiko dalam menangani pandemi. Dampaknya malah menguatkan penolakan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah terkait Covid-19. Misalnya, razia masker mendadak sehingga timbul penolakan. “Penanganan bersifat represif menjadi pilihan pemerintah,” tuturnya.
Menurut Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Aceh dr Iman Murahman, hoaks yang kerap ditemui petugas vaksinasi di lapangan adalah terkait Cina menguasai Indonesia dan masyarakat dibodoh-bodohi Cina melalui vaksin. “Hoaksnya itu-itu saja,” katanya, Ahad, 27 Juni lalu.
Bukan hanya Covid-19, kata Iman, hampir semua program baru mengenai kesehatan dari dulu agak sulit diterima masyarakat Aceh. Salah satunya Keluarga Berencana. “Tapi kami terus meningkatkan pengetahuan masyarakat. Itu jadi tantangan buat kami,” tuturnya.
Salah satu hoaks seputar vaksin yang dipercaya di Aceh adalah terdapat cip di dalamnya. Ini, misalnya, dikemukakan seorang pria pekerja lepas di Kota Banda Aceh yang menolak vaksin. “Saya tidak ingin tubuh saya dikuasai mereka, pembuat vaksin,” katanya, Rabu, 6 Oktober, sembari meminta namanya tak dikutip.
Kabar bohong berpengaruh atas capaian vaksinasi di Aceh. Berdasarkan data Kemenkes per 21 Oktober 2021, Aceh menempati posisi kedua paling sedikit melaksanakan vaksinasi pertama dengan capaian 28,85 persen, sementara vaksinasi kedua berada di posisi paling buncit dengan capaian 14,81 persen.
Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Pemerintah Aceh Saifullah Abdulgani, mengklaim kendala vaksinasi bukan pada sisi pemerintah. Sebab, vaksin hingga vaksinator tersedia. “Masyarakat masih harus ditingkatkan kesadarannya untuk vaksinasi,” katanya, Rabu, 22 September. Ia mengajak semua pihak terlibat melawan narasi hoaks vaksin.
Rentetan Kebijakan Memaksa
Vaksinasi Covid-19 perdana dilakukan di Aceh pada 15 Januari lalu. Kala itu target vaksinasi masih memprioritaskan kalangan tenaga kesehatan. Karena sukarela, penyuntikan berlangsung lamban. Hingga akhir Januari, capaian vaksinasi dosis 1 hanya 744 orang dan 6 orang dosis 2.
Pekan pertama Februari, Gubernur Aceh Nova Iriansyah merespons kelambanan itu dengan mewajibkan vaksinasi bagi tenaga kesehatan di lingkungan Pemerintah Aceh melalui sebuah instruksi. Kalau menolak ikut vaksinasi: tenaga kesehatan berstatus aparatur sipil negara disanksi, sementara yang berstatus tenaga kontrak dipecat.
“Di awal program vaksinasi tenaga kesehatan memang Aceh masih kurang menggembirakan. Namun setelah mendapat arahan dari Bapak Gubernur, vaksinasi berjalan lancar. Animo para nakes pun tinggi,” kata Kepala Dinas Kesehatan Aceh dr Hanif dalam keterangan pers, Sabtu, 20 Februari lalu.
ND sejak awal sudah ragu-ragu dengan vaksinasi Covid-19. Lelaki 28 tahun bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit di Kota Banda Aceh ini pada Juli lalu terpaksa menerima suntik vaksin karena didesak atasan tempat bekerja. “Bukan karena keinginan sendiri, tapi sudah disuruh dan ditelepon-telepon. Kalau tidak disuruh, tidak mau vaksin juga,” katanya, Rabu, 6 Oktober lalu. Ia menolak namanya ditulis lengkap.
Menurutnya, lebih baik menjaga pola makan dan protokol kesehatan dibanding vaksin. Ia beranggapan vaksin pada orang yang sehat sepertinya justru membuat tubuh sakit, bahkan meninggal. Kini ketika petugas kesehatan mulai menerima vaksin dosis ketiga sebagai booster, ND menolak. “Vaksin ketiga saya tidak mau lagi, meski sudah dipanggil berkali-kali,” ujarnya.
ND menolak vaksin karena dari awal memang menganggap Covid-19 bukan penyakit berbahaya. Meski percaya Covid-19 nyata, namun ia menyamakannya dengan demam biasa yang sudah lama menjangkit manusia. Anggapan ini membuat ND lebih yakin ketika merawat pasien positif Covid-19 di ruang penyakit infeksi new emerging dan re-emerging (Pinere), Rumah Sakit Umum Daerah dr Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh, Agustus lalu.
“Saya menangani pasien Covid-19 tanpa alat pelindung diri, alhamdulillah tidak apa-apa. Yang penting jangan takabur atau merasa diri tidak terjangkit,” katanya.
ND sebenarnya bukanlah perawat RSUDZA. Tapi, di sela tugasnya sebagai perawat rumah sakit lain, ia menerima tawaran keluarga seorang pasien Covid-19 untuk merawat orang dekat mereka di ruang isolasi. Pasien memang diperkenankan untuk didampingi satu orang terdekat. “Mungkin keluarga mereka tidak berani. Saya dibayar Rp 250-300 ribu per sif. Satu sif selama 12 jam.”
ND tidak pernah memakai alat pelindung diri selama merawat pasien itu, meski kerap bersentuhan langsung. Hari ke delapan ND bertugas, pasien itu meninggal dunia karena sesak berat. “Meninggal berselang beberapa jam usai saya pulang dari Pinere,” katanya. Bagaimana reaksi begitu tahu pasien itu meninggal? “Biasa saja. Saya kemudian tes swab, hasilnya negatif.”
Apa yang dibilang Hanif terbukti. Setelah keluar instruksi itu, capaian vaksinasi dosis 1 di Aceh meningkat drastis dibanding Januari, yaitu Februari 44.943 orang dan Maret 50.201 orang.
Saat hampir semua tenaga kesehatan sudah ikut vaksinasi. Memasuki April dan Mei, sasaran vaksinasi mulai menyasar kalangan pelayan publik dan orang lanjut usia atau lansia. Kali ini, laju vaksinasi kembali pelan. Capaian vaksinasi dosis 1 pun turun dua kali lipat dibanding bulan sebelumnya: April hanya 19.236 orang dan Mei 13.809 orang.
Saifullah Abdulgani mengakui ada kelambanan vaksinasi kalangan pelayan publik dan lansia. “Progres vaksinasi lansia nihil, tidak ada progres dalam laporan terakhir yang kami terima,” katanya melalui keterangan pers, pada Ahad, 23 Mei lalu.
Berkaca pada kesuksesan vaksinasi tenaga kesehatan, pada 7 Juni, Gubernur Aceh Nova Iriansyah merespons kelambanan itu dengan kembali mengeluarkan instruksi. Isinya tak jauh beda: mewajibkan vaksinasi bagi aparatur sipil negara, tenaga kontrak, dan outsourcing di lingkungan Pemerintah Aceh.
Kalau menolak? Pemerintah Aceh juga memberikan sanksi bagi aparatur sipil negara dan pecat bagi tenaga kontrak dan outsourcing. “Kecuali tidak memenuhi kriteria penerima vaksin,” kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol Sekretariat Daerah Aceh Muhammad Iswanto, Rabu, 9 Juni.
Pemerintah Aceh kala itu juga membuka sejumlah posko vaksinasi massal. Hasilnya, capaian vaksinasi dosis 1 pada Juni melonjak drastis mencapai 273.982 orang. Berkali-kali lipat dibanding bulan Mei.
Kerap berhasil meningkatkan capaian vaksinasi di Aceh, langkah demikian terus digunakan. Misalnya, awal Juli, Universitas Syiah Kuala Banda Aceh mewajibkan semua mahasiswa ikut vaksinasi. Mahasiswa baru bisa mengisi kartu rencana studi atau KRS daring semester berikutnya kalau sudah mengunggah sertifikat vaksin.
Strategi ini juga membuat masyarakat umum terdesak. Misalnya, di Kabupaten Pidie, warga penerima bantuan sosial langsung tunai dikirimi surat undangan agar ikut vaksinasi, pada Juni lalu. Poin pertama warkat itu mencantumkan isi peraturan presiden soal sanksi bagi penolak vaksin.
Wakil Bupati Pidie Fadhlullah TM Daud membantah kalau undangan itu dibilang surat ancaman. Menurutnya, vaksinasi masyarakat umum bersifat sukarela tanpa pemaksaan. Namun, ia tidak menjawab ketika ditanyakan soal bentuk sanksi sebagaimana tercantum dalam surat. “Kita jangan fokus dulu ke situ. Itukan semangat mengajak, kami baru tahap mengajak,” ujarnya.
Sertifikat vaksin dijadikan syarat menerima bantuan sosial juga berlaku di daerah lain, seperti Pidie Jaya, Kota Lhokseumawe, dan Subulussalam.
Berbagai kebijakan pemerintah itu, menurut Saifullah Abdulgani, bagian dari strategi meningkatkan capaian vaksinasi di Aceh. Ia menyamakannya dengan wajib sertifikat vaksin atau tes swab saat naik pesawat. “Itulah cara-cara yang ditempuh supaya dalam jangka waktu yang singkat cakupan (vaksinasi) itu bisa naik,” tuturnya.
Anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, dr Purnama Setia Budi SpOG, menawarkan strategi lain untuk mengedukasi masyarakat soal Covid-19 dan vaksinasi dengan melibatkan ulama. Sebab, ulama dianggap mampu meyakinkan jemaahnya bahwa Covid-19 penyakit serius. “Kalau ulama tidak diajak, tidak berhasil program penanganan Covid-19 di Aceh,” katanya.
Halal dan Suci Hanya Milik Sinovac
Sehari menjelang vaksinasi perdana di Aceh 15 Januari lalu, Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh mengeluarkan tausiah nomor 1/2021 tentang Vaksinasi Covid-19 dengan Vaksin Sinovac Life Sciences Co. Ltd. China dan PT Biofarma (Persero).
Diteken 14 Januari, isi tausiah lembaga independen bersifat khusus dan istimewa di Aceh ini meminta semua pihak memedomani fatwa Majelis Ulama Indonesia bahwa vaksin Covid-19 jenis Sinovac halal dan suci.
Tausiah itu meminta Pemerintah Aceh melaksanakan vaksinasi secara transparan dengan mengedepankan pendekatan humanis dan berupaya sedapat mungkin menghindari cara-cara yang tidak sesuai dengan kearifan lokal. Terakhir, masyarakat Aceh diminta senantiasa arif dan bijak dalam merespons setiap isu aktual sesuai dengan syariat Islam dan adat istiadat.
Seruan vaksinasi Covid-19 hanya dilakukan MPU Aceh memakai vaksin jenis Sinovac karena sudah terbukti halal dan suci, meski vaksinasi di Aceh kini juga memakai vaksin jenis Moderna.
Menurut Ketua MPU Aceh Teungku Faisal Ali, vaksin Covid-19 jenis Moderna belum ada kajian dari ulama sehingga belum diketahui apakah bernajis atau tidak. Sedangkan jenis Astrazeneca sudah ada kajian bahwa mengandung najis, tapi menurut Majelis Ulama Indonesia bisa digunakan karena darurat. Sifat darurat itu, kata dia, harus dikaji kembali apakah juga berlaku di Aceh. Karena Sinovac masih tersedia, kajian darurat Moderna belum dilakukan MPU Aceh.
“Di Aceh untuk masyarakat tetap kami minta cuma Sinovac saja. Hanya Sinovac. Yang kami kampanye juga Sinovac,” kata Teungku Faisal, Jumat, 24 September.
Kendati sudah ada petuah ulama, Nursiah masih ragu-ragu ikut vaksinasi. Sebab, guru tempat perempuan 45 tahun ini ikut pengajian rutin belum disuntik vaksin. “Saya lihat teungku dulu, kalau beliau divaksin saya juga ikut,” kata warga Kabupaten Pidie ini. Teungku adalah sebutan untuk ulama di Aceh. Nursiah merujuk guru pengajiannya.
Setelah ada tausiah MPU Aceh, Teungku Faisal mengatakan isu halal atau haram vaksin Sinovac tak lagi bergaung di Aceh. Yang terjadi sekarang, orang masih takut vaksinasi karena terpapar hoaks dampak setelah disuntik vaksin.
Teungku Faisal mengakui banyak teungku di Aceh tidak memahami detail soal vaksin Sinovac lantaran memang tidak semua orang paham soal itu. Karena itu, ia tak mempersalahkan bila orang-orang memakai nama MPU untuk mengajak orang ikut vaksinasi dengan vaksin Sinovac.
“Teungku meunasah (imam di kampung-kampung-kampung) misalnya mengajak warga dengan mengatakan ayo ikut vaksin karena keputusan MPU sudah bisa divaksin dengan Sinovac,” tuturnya.
Sikap MPU Aceh yang getol sosialisasi kehalalan vaksin Sinovac disambut pro dan kontra masyarakat. Namun, suara-suara penolakan hanya terdengar di media sosial. Misalnya, menuding MPU sebagai ulama penerima gaji pemerintah karena kerap mengampanyekan program pemerintah sehingga tidak lagi independen.
Teungku Faisal dan anggota MPU Aceh lain kerap menerima berbagai pertanyaan seputar vaksin saat mengisi pengajian di daerah-daerah. Menurut Teungku Faisal, dalam berbagai hal menyangkut agama, masyarakat Aceh hanya mendengarkan petuah ulama Aceh. Alhasil, masyarakat langsung memahami setelah diberi penjelasan soal vaksin. “Enggak ada penolakan,” kata Teungku Faisal.
Dia membantah tudingan bahwa MPU Aceh mengampanyekan program pemerintah terkait vaksin. Sosialisasi vaksin yang MPU lakukan, kata Teungku Faisal, adalah menyampaikan kebenaran dan itu bagian dari dakwah. “Kami tidak menginginkan masyarakat Aceh tersesat oleh kebodohan yang dibodohkan oleh orang yang bodoh. Kebenaran itu siapapun harus menyuarakannya,” tuturnya.
Teungku Faisal mengaku tidak pernah marah atas berbagai reaksi masyarakat. Karena, tugas MPU adalah memberikan pencerahan bagi masyarakat yang belum paham. “Covid itu ada. Dunia sudah tampak (perubahan) dengan ada vaksin. Bagi orang yang tidak paham, perlu diberikan pemahaman. Bukan karena keterkaitan dengan pemerintah.”
Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #KamiSesakNapas dan #DiabaikanNegara