Akhir Mei 2022, menjadi target Kementerian Kesehatan (Kemenkes) merampungkan naskah akademik revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Usulan perubahan regulasi ini sebenarnya sudah berproses sekitar lima tahun silam, tapi berulang kali terpental dan gagal direvisi. Yang terbaru, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengajukan izin prakarsa untuk merevisi PP 109/2012 pada Mei 2021 ke Sekretariat Negara (Setneg).
Namun lagi-lagi, revisi urung terlaksana. Izin prakarsa dikembalikan Setneg ke Kemenkes. Alasannya, masih perlu kajian menyeluruh. Mengapa regulasi setingkat peraturan pemerintah ini begitu alot?
Pengembalian izin prakarsa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, boleh jadi mengecewakan sebagian kelompok. Utamanya mereka yang aktif mengkampanyekan regulasi pengendalian rokok.
Namun, bagi sebagian orang yang terlibat jalan panjang regulasi, keputusan itu barangkali bukan hal yang mengejutkan. Termasuk, penuturan seorang sumber yang sekitar lima tahun mengikuti proses ini.
“Saya tidak kaget kalau Izin Prakarsa itu kemudian dikembalikan dan diminta kajian dan lain sebagainya,” ungkap sumber ini percaya diri. Dia meminta identitasnya tak disebutkan.
Izin Prakarsa merupakan salah satu ‘pintu’ untuk mengubah peraturan dalam hal ini PP 109/2012. Regulasi yang hampir 10 tahun tak direvisi ini secara garis besar memuat rambu-rambu pembatasan rokok dan pengendalian tembakau.
Tujuannya antara lain untuk melindungi kesehatan warga dan mencegah perokok anak. Akan tetapi bagi para aktivis pengendalian rokok dan Kementerian Kesehatan—sebagai otoritas yang mengurus kesehatan—menilai PP berisi 65 pasal tersebut masih menyimpan celah.
Itu sebabnya, revisi diperlukan. Tapi sayangnya, jalan mengubah regulasi tersebut tak sepenuhnya lempang. Perubahan sudah digodok dan usulkan sejak 2017, tapi hingga kini seperti tak berbuah hasil. Terpental berkali-kali.
Sumber yang mengikuti hampir seluruh rapat demi rapat pembahasan PP 109/2012 membeberkan nyaris selalu ada benturan pendapat pada setiap pertemuan. Yang terjadi biasanya, sektor ekonomi dihadap-hadapkan pada tujuan perlindungan kesehatan.
Debat kusir itu bukan hanya dijumpai pada forum-forum tertutup, melainkan juga saat diskusi terbuka. Salah satu contohnya dalam webinar pada 21 Oktober 2021, yang digelar Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi, Jawa Barat.
Trikawan Jati Iswono yang mewakili Sekretariat Kabinet mengungkapkan kecemasan akan keruwetan dampak jika revisi PP 109/2012 jadi terlaksana. Ia setengah mengingatkan, niat merevisi aturan ini tak boleh hanya berfokus pada konteks kesehatan.
“Ketika kita mengendalikan konsumsi rokok, itu kemudian tak bisa lepas, dimensinya sangat kompleks. Karena untuk kasus Indonesia, ada keterkaitan hulu ke hilir termasuk keterlibatan petani dan dari sisi industri,” Trikawan beralasan dan coba meyakinkan bahwa PP 109/2012 belum urgen direvisi.
Padahal jika bicara soal kondisi petani tembakau, tulisan sebelum ini telah menyinggung bahwa akar masalah para petani terletak pada absennya negara mengatur perlindungan bagi petani dan indikasi pembiaran tata niaga tembakau yang karut-marut.
Selain itu, Trikawan sebagai Kepala Bidang Perencanaan Pembangunan, Fiskal, dan Pengendalian Aset Setkab ini merasa, kebijakan revisi akan memberikan pukulan yang sangat berat bagi industri rokok.
“Kita harus melihat revisi ini akan berdampak pada IHT (industri hasil tembakau), dan sektor-sektor terkait lainnya. Belum lagi aspek kultural sosiologis yang berkembang di masyarakat terkait tembakau,” ucap Trikawan.
“Yang kedua, timing dan urgensi. Dari sisi timing, dengan adanya pandemi, saat ini industri tembakau sudah mendapat tekanan yang berat,” lanjutnya.
Sebaliknya, mengutip data Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, produksi rokok sepanjang Januari-November 2021 justru naik 4,6 persen dibanding tahun sebelumnya, atau mencapai 235 miliar batang.
Sumber yang ditemui Project Multatuli mengungkapkan, geliat investasi diduga kuat jadi salah satu alasan pengembalian Izin Prakarsa yang diajukan Mei 2021. Asumsi ini muncul bertolak pada dokumen yang ia miliki dan rapat terbatas yang dihadirinya.
Ia pun bercerita, pada salah satu rapat bersama Presiden Joko “Jokowi” Widodo sempat ditekankan agar masing-masing kementerian dan lembaga menggenjot pertumbuhan ekonomi.
“Tidak spesifik soal industri rokok, tapi ada arahan soal meningkatkan investasi,” ungkap sumber tersebut tentang rapat terbatas yang diikutinya pada 2019.
Sejak mula pembahasan wacana revisi ini berjalan ia sudah mengira, salah satu regulasi pengendalian tembakau seperti PP 109/2012 rentan dianggap menjadi batu sandungan investasi.
“Itu berangkat dari dokumen yang saya tunjukkan, investasi itu yang ditekankan. Pasti Izin Prakarsa dikembalikan, karena memang pertimbangan itu (sektor ekonomi dan investasi). Sudah pasti,” tukasnya.
“(Mengapa Anda yakin betul?) Sangat yakin saya [Izin Prakarsa akan dikembalikan karena pertimbangan ekonomi]. Karena memang di situ (dokumen yang dimiliki sumber Project Multatuli) mengatakan, pertimbangan ekonomi dan investasi memang harus betul-betul ditingkatkan,” terang dia lagi.
Dokumen yang dimaksudnya merupakan sebendel berkas paparan dalam sebuah rapat terbatas pada 2019. Pelbagai runutan itu kemudian jadi penanda-penanda baginya, sehingga sudah bisa memprediksi bahwa revisi PP 109/2012 tak bakal gol.
Betul belaka, belakangan kemudian ia mendengar kabar, Setneg menerbitkan surat pengembalian izin prakarsa revisi PP 109/2012. Itu tak mengherankan baginya.
Malahan, muncul kecurigaan, pengembalian izin prakarsa bukan murni persoalan teknis melainkan cara untuk ‘memperhalus’ penolakan.
“Jadi itu sebenarnya bahasa bijak untuk menolak secara halus,” kata dia menduga.
Sumber yang menghadiri pelbagai rapat demi rapat mulai dari pembahasan antar-kementerian pada sekitar 2018-2019 hingga pertemuan yang digelar Setneg pada 2021 ini mengungkapkan, pengembalian izin prakarsa seperti menguatkan syak wasangkanya ihwal keengganan untuk merevisi PP 109/2012.
Sempat anjloknya kondisi perekonomian dan hantaman pandemi COVID-19, tak ayal menambah keruwetan. Belum lagi surat-surat keberatan yang sampai ke meja Jokowi. Pelbagai situasi itu menurutnya berkelindan meningkatkan tensi. Sehingga revisi salah satu aturan pengendalian rokok melalui PP 109/2012 pun sulit kelakon.
Meski tak gamblang menyebut soal investasi, ihwal alasan situasi perekonomian ini juga ditangkap Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan, Elvieda Sariwati. Selain soal ketaksepahaman antar-kementerian dan lembaga terhadap urgensi pengendalian rokok, menurut dia penyebab lain kebuntuan revisi adalah kewaswasan akan kondisi ekonomi.
“Masih ada keraguan dari pihak tertentu yang menyatakan imbasnya sangat besar terhadap perkembangan ekonomi bila RPP No. 109/2012 disahkan,” analisa Elvie soal mengapa revisi peraturan sekelas PP ini sukar ditembus.
“Padahal perubahan PP Nomor 109/2012 ditujukan mengendalikan konsumsi rokok pada generasi muda yang sudah meningkat secara drastis, demi meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia,” terang dia lagi kepada Project Multatuli pada April 2022.
‘Batu Sandungan’ Revisi PP 109/2012
Senada, Kepala Biro Hukum Kementerian Kesehatan, Indah Febrianti menduga alasan pengembalian lantaran pihak Setneg mempertimbangkan pendapat kelompok yang menolak revisi. Meski ia mengakui, Izin Prakarsa yang dikirim ke Setneg masih berupa pokok-pokok usulan perubahan secara garis besar.
Namun menurutnya, bukan itu yang menjadi alasan pokok pengembalian.
“Jadi memang kami tidak menyampaikan satu draft naskah analisis,” tutur Indah saat dihubungi.
“Tapi karena Setneg menyelenggarakan rapat klarifikasi dan di dalam rapat tersebut ada banyak pertimbangan-pertimbangan dari sektor lainnya untuk tidak menyepakati atau ada substansi yang kurang disetujui, sehingga mungkin ini menjadi pertimbangan Setneg agar Kemenkes melengkapi dulu dengan kajian,” tambahnya.
Usulan revisi PP 109/2012 yang diajukan Kemenkes memuat empat poin antara lain perubahan terkait perluasan peringatan kesehatan bergambar (PHW/Pictorial Health Warning), pengaturan iklan, pengawasan terhadap kepatuhan regulasi dan, penambahan aturan soal rokok elektrik.
Keempat poin tersebut bersinggungan setidaknya dengan regulasi lain seperti UU Penyiaran, UU Cukai, UU Perlindungan Anak, UU Informasi dan Transaksi Elektronik dan, Permendag. Mau tak mau, pembahasan revisi ini juga perlu melibatkan lintas sektor.
Beberapa institusi yang berkaitan dengan revisi PP 109/2012 di antaranya Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Investasi, Kementerian Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Perempuan, Kementerian Kesehatan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
Revisi PP 109/2012 ini bukan saja mengundang perhatian kelompok sipil melainkan juga berbagai institusi. Banyaknya pihak yang perlu diajak bicara ini boleh jadi menggambarkan cermin betapa kompleks mengatur ihwal rokok.
Adapun dalam surat pengembalian izin prakarsa rancangan PP 109/2012 ke Kemenkes, Setneg tak memerincikan alasan detail. Surat yang juga ditembuskan ke Sekretaris Kabinet itu sekadar menyatakan bahwa perlu kajian menyeluruh, karena itu izin prakarsa dikembalikan.
“Untuk terlebih dahulu dilakukan pengkajian komprehensif atas konsepsi RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) tersebut bersama dengan kementerian/lembaga terkait dan melibatkan partisipasi publik,” tulis surat balasan yang diteken Menteri Sekretaris Negara Pratikno tertanggal 8 November 2021.
Surat Setneg itu tak spesifik menyebut bagian mana yang perlu dikaji atau diperbaiki.
Hanya saja, balasan ini mencantumkan keterangan bahwa pengembalian izin prakarsa revisi PP 109/2012 menindaklanjuti surat dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia, Forum Warga Kota Indonesia, Komite Nasional Pengendalian Tembakau, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Perkumpulan Onkologi Indonesia, Ahmad Dahlan Tobacco Control, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPRI), Gabungan Produsen Rokok Putih Seluruh Indonesia, dan Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia.
Beberapa surat yang disebut di atas berisi penolakan terhadap revisi PP 109/2012.
Dua Poin yang Dominan Ditolak
Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya adalah salah satu kelompok yang mengirim surat penolakan revisi PP 109/2012 ke Presiden Joko Widodo. Dokumen yang didapatkan Project Multatuli menunjukkan surat keberatan itu dilayangkan sebulan setelah izin prakarsa dari Kemenkes dikirim ke Setneg.
“Melalui surat ini, kami bermaksud menyampaikan penolakan kami atas seluruh isi dari Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan PP No. 109 Tahun 2012,” tulis GAPERO Surabaya dalam surat tertanggal 18 Juni 2021.
Ketua Gapero Surabaya Sulami Bahar menganggap regulasi yang kini ada sudah cukup untuk membatasi konsumsi rokok. Sehingga ia pun merasa revisi tak lagi perlu ditempuh. Toh, Sulami mengklaim, ketentuan dalam PP 109/2012 saat ini sudah lebih ketat jika dibandingkan traktat FCTC (Framework Convention on Tobacco Control).
“Kalau perubahannya, enggak (setuju). Kalau PP 109/2012 yang sudah jalan itu kami sudah bisa menerima. Namun kalau revisi PP 109 kami menolak, sebaiknya tidak ada revisi,” ucap Sulami saat dihubungi ihwal rencana revisi PP 109/2012.
“Karena juga ada yang memberatkan, gambar peringatan kesehatan dilebarkan menjadi 90 persen, iklan tidak boleh,” kata dia lagi.
Penentangan bukan saja datang dari ‘kaki dan tangan’ industri rokok, melainkan juga kepala daerah. Sebulan sebelum surat pengembalian dari Setneg terbit, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa bersurat ke Presiden Joko Widodo.
Surat tertanggal 30 September 2021 ini, mulanya membahas penyampaian aspirasi terkait kebijakan tarif cukai hasil tembakau. Tapi isi surat juga menyiratkan keberatan soal revisi PP 109/2012.
“Rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tidak memiliki urgensi maupun penelitian yang kuat, karena pasal-pasal pada PP 109/2012 telah cukup dalam mengendalikan konsumsi produk hasil tembakau,” dikutip dari salinan dokumen dengan stempel dan tanda tangan Gubernur Jawa Timur, yang didapatkan Project Multatuli.
Surat Khofifah menyinggung usulan Kemenkes soal rencana perluasan gambar peringatan kesehatan hingga 90 persen yang dianggap menghilangkan hak atas merek dan berpotensi menyuburkan praktik rokok ilegal.
“Gambar peringatan kesehatan yang ditujukan sebagai salah satu dari sarana edukasi atas bahaya merokok yang saat ini mencapai 45% dari luas kemasan depan dan belakang telah mampu menjadi jalan tengah atas kebutuhan edukasi kepada masyarakat Indonesia,” Khofifah beralasan.
Berdasarkan surat-surat keberatan yang dilayangkan ke Presiden Jokowi, seorang sumber yang terlibat pembahasan revisi PP 109/2012 mengungkapkan, setidaknya ada dua dari empat poin revisi yang secara dominan ditolak. Rencana perluasan PHW adalah salah satunya. Sementara poin lain, adalah soal pengaturan iklan.
Sementara Kepala Biro Kemenkes, Indah Febrianti mengakui memang tak mendapat penjelasan detail. Karena itu kementeriannya secara informal menghubungi pihak Setneg sebelum menindaklanjuti surat pengembalian.
“Kami sudah hubungi dan mengundang Setneg, prinsipnya kami diminta mengkaji secara komprehensif keseluruhan substansi yang akan dituangkan dalam RPP perubahan. Termasuk juga dengan mempertimbangkan pendapat publik dan masyarakat, tidak hanya yang pro tetapi yang kontra juga,” terang Indah.
Bayangan ‘Kaki Tangan’ Industri Rokok
Bila dirunut, terpentalnya revisi PP 109/2012 ini terjadi bukan karena faktor tunggal. Ada saling silang kepentingan antar-kementerian dan lembaga, tekanan dari berbagai kalangan untuk menunda revisi, hingga kesan kurang gigihnya Kementerian Kesehatan mengupayakan perubahan.
Pakar hukum yang juga tergabung dalam Jaringan Koalisi Pengendalian Tembakau, Julius Ibrani menilai, industri rokok skala besar adalah pihak yang paling diuntungkan akibat berlarutnya revisi PP 109/2012. Indikasi itu berdasarkan analisisnya membaca pola kebijakan pelbagai kementerian.
Kendati yang terlihat seperti benturan kepentingan antar-kementerian dan lembaga, tapi menurut Julius justru ada keseragaman gerak yang arahnya menguntungkan industri.
“Adanya kekosongan-kekosongan hukum yang mengatur, ini semua kompak dan serempak lho,” tukas Julius yang bertahun-tahun fokus di isu pengendalian tembakau.
“Di Kementerian Kesehatan PP 109/2012 nggak direvisi, dia pertahankan yang lama. Di Kementerian Pertanian, nggak ada aturan yang melindungi petani, menetapkan harga dan segala macam,” urai Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) tersebut.
Namun, tak mudah membuktikan ada lobi kawanan industri rokok di sana.
“Kalau saya menyebut, gurita, ya bisa seperti gurita, karena kan kakinya banyak, tangannya banyak dan panjang panjang semua. Semacam itu lah menurut saya,” kata seorang sumber mengibaratkan kekuatan industri rokok.
“Karena mereka (industri rokok) menggunakan sesuatu, ya bukan satu sisi saja, banyak sisi. Mulai dari advokasi, kemitraan, melalui edukasi, yayasan, dan lain sebagainya, semua dikerjakan. Dan mereka memiliki tenaga profesional semua itu. Jadi gempurannya masif, strateginya masif,” terang sumber yang sekitar 5 tahun terlibat perjalanan revisi PP 109/2012.
Bagian dari kelompok industri rokok dari Gabungan Pengusaha Rokok (GAPERO) Surabaya, Sulami Bahar mengklaim sebenarnya pihaknya tak keberatan dengan pembatasan konsumsi rokok. Asalkan, kata dia, tidak mematikan industri rokok.
Dan cukup dengan regulasi yang saat ini ada, alias tidak perlu ada revisi PP 109/2012.
“Kalau memang tujuan pengendalian rokok untuk kesehatan masyarakat dan ada bukti real bahwa rokok mengakibatkan kematian yang cukup signifikan dan lain-lain, silakan saja. Selama ini kan juga sudah dikendalikan. Namun jangan dimatikan,” Sulami menukas.
“Kan sekarang arahnya pemerintah akan mematikan. Kalau mengendalikan kan paling diawasi. Tapi sekarang kan enggak. Salah satu contoh, harga rokok ditinggikan, naiknya tinggi sekali, tidak boleh ini tidak boleh itu. Namanya itu kan mematikan, bukan mengendalikan,” lanjutnya.
Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jawa Timur pun menyuarakan hal yang sama. Ketua Kadin Jatim Adik Dwi Putranto menyatakan pada kesempatan sebelumnya: “Wacana revisi PP 109/2012 akan memberikan tekanan yang hebat bagi Industri Hasil Tembakau (IHT) yang merupakan penggerak ekonomi dan seluruh mata rantai yang ada didalamnya, termasuk industri penyiaran dan periklanan.”
Ia melanjutkan di masa pandemi ini: “Pemerintah sebaiknya berfokus pada pemulihan ekonomi dari pada melakukan Revisi Peraturan yang berpotensi kontra produktif.”
Sementara itu Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Yogyakarta menyatakan revisi PP 109/2012 akan menjadi persoalan serius di tengah pandemi COVID-19, tutur ketua Waljid Budi Lestarianto dalam temu wartawan.
“Kementerian Kesehatan ditunggangi oleh kepentingan lain sehingga kami sebagai salah satu stakeholder tidak diberi tahu hingga akhir revisi dan tahap sosialisasi,” ujar Waljid.
Sebelumnya Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengatakan bahwa revisi tidak tepat apabila dilakukan pada masa pandemi. Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Abdul Rohim mengatakan situasi industri sedang turun sehingga fokus saat ini ada pada pemulihan ekonomi—lagi-lagi masalah ekonomi.
Selain masalah ekonomi, keberatan tentang Revisi PP 109/2012 adalah masalah kedaulatan negara. Hal ini disampaikan oleh pakar hukum internasional Universitas Indonesia yang juga rektor Universitas Ahmad Jani (UNJANI) Hikmahanto pada sebuah acara Webinar: “Revisi PP 109/2012 sebaiknya tidak dilanjutkan karena tidak memiliki urgensitas dan sarat akan adanya intervensi asing yang mengganggu kedaulatan negara.”
Kompromi Membatasi Rokok
Sumber dari kalangan pemerintah yang menyaksikan benturan kepentingan pelbagai pihak berpendapat, tanpa kompromi, sampai kapanpun revisi salah satu aturan pengendalian rokok ini rentan dijegal.
“Jadi terbitnya regulasi yang tidak mengalami jalan kompromi yang baik itu pasti akan mengalami upaya pelemahan. Pertama, akan dibangun regulasi-regulasi lain tandingannya yang lebih tinggi lagi yang bisa melemahkan pasal-pasal,” terang dia.
“Kemudian ada juga, penggalangan kekuatan. Yang lainnya, menciptakan opini seakan-akan penyebab masalah adalah regulasi ini. Dalam proses perjalanannya terjadi,” kata dia lagi membeberkan kemungkinan-kemungkinan.
Namun apakah Kemenkes sebagai pengusul revisi akan menempuh jalan kompromi?
Kepala Biro Hukum Kemenkes Indah Febrianti mengaku, kompromi adalah salah satu yang diusulkan ke Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes sebagai koordinator pengkajian revisi PP 109/2012. Demi menekan pro-kontra dan mengakhiri berlarutnya revisi.
“Kalau kami sih mengarahkannya, makanya di dalam kajian ini betul-betul melihat pro-kontranya. Jadi pasal-pasalnya kami kelompokkan. Kan arahan pimpinan ada 4 substansi pokok yang harus dibahas,” tutur Indah.
“Nanti kita coba cari win-winnya seperti apa. Karena kan dulu juga PP 109/2012 sebenarnya isinya banyak kompromi kompromi. Kan kita, yang Namanya aturan, apalagi lintas sektor, itu harus ada yang Namanya sinkronisasi, harmonisasi dengan aturan lain,” imbuhnya.
Dengan catatan, tim pengkaji tetap akan menelusuri substansi masing-masing pasal dan mengelompokkan poin yang penting dimasukkan untuk mengatur konsumsi rokok.
“Mana yang berpotensi mendapatkan pertentangan publik, mana yang memang harus diselesaikan untuk pengendalian tembakau. Itu semuanya nanti ada pertimbangannya, kajiannya secara menyeluruh,” Indah menerangkan.
Saat ini tim di Kementerian Kesehatan tengah menyusun kajian menyeluruh revisi PP 109/2012 dari segi substansi dan hukum. Kemenkes menargetkan, penyempurnaan naskah akademik rampung akhir Mei 2022 dan berkas perbaikan bakal langsung diserahkan ke Setneg.
“Saat ini sedang berlangsung pembahasan terkait dengan data dukung dari berbagai riset yang berkenaan dengan dampak konsumsi rokok dan bila hal ini sudah terselesaikan, maka akan dilakukan pengusulan kembali Izin Prakarsa revisi PP 109/2012,” tutur Plt. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes, Elvieda Sariwati.
Pembahasan meliputi empat substansi pokok yang diajukan dalam revisi PP 109/2012 yakni pembesaran Peringatan Kesehatan Bergambar (PHW); larangan iklan, promosi dan sponsorship; peningkatan fungsi pengawasan pengendalian konsumsi tembakau; dan pengaturan rokok elektrik.
Elvie menambahkan, pembahasan kajian ini melibatkan lintas program dan sektor di Kemenkes, praktisi kesehatan serta, kalangan akademisi. Sementara koordinasi lintas kementerian dan lembaga akan dilakukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Andai seluruh proses tersebut berjalan lancar, Kementerian Kesehatan optimistis setidaknya akhir tahun ini mampu mencapai harmonisasi aturan. Dan revisi, bakal berlanjut tahun depan.
“Kalau memang itu bisa kami sepakati dan pimpinan juga dukung dan punya komitmen tinggi, ya mudah-mudahan tahun ini bisa selesaikan, walaupun paling tidak sampai tahapan harmonisasi, itu sudah bisa hampir terselesaikan lah,” tukas Kepala Biro Hukum Kemenkes, Indah Febrianti.
Tulisan ini merupakan bagian dari serial #TobaccoDeadlock yang ingin memeriksa mengapa diskusi dan kebijakan tentang pengendalian tembakau kerap menghadapi jalan buntu. Serial ini didukung oleh dana hibah dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia. Dana hibah tidak memengaruhi independensi redaksi Project Multatuli.