Perempuan yang memiliki anak lebih sulit melanjutkan kariernya dibanding yang lajang. Bukan hanya karena beban pekerjaan, tetapi juga terbatasnya fasilitas pengasuhan yang layak dan terjangkau. Keterbatasan yang berdampak pada kesetaraan dan kualitas hidup para ibu pekerja ini juga kami temukan di kantor-kantor pemerintahan di Jakarta.
TUMPUKAN kasur tampak menggunung di sudut ruangan Tempat Penitipan Anak (TPA) Bale Belajar Pelangi di lingkungan Kantor Wali Kota Jakarta Barat. Di atasnya, bantal dan selimut anak-anak berserakan.
Ruangan ini bisa berubah wujud dalam sekejap; pagi jadi tempat belajar, siang jadi tempat makan, lalu setelahnya jadi tempat tidur.
Ruangan yang terletak di Gedung B lantai 2 itu hanya seluas sekitar 120 meter persegi. Setiap harinya, ruangan ini menampung 40 anak berusia 3-6 tahun dengan tiga guru. Orangtua dari anak-anak yang dititipkan di TPA adalah para PNS dan non-PNS yang bekerja di Kantor Wali Kota.
TPA dibuka mulai pukul 8 pagi hingga 4 sore. Dalam waktu delapan jam itu, para guru harus sigap mengubah ruangan menyesuaikan aktivitas anak-anak. Salah satu tantangan paling sulit adalah ketika transisi jam belajar ke jam makan siang. Para guru harus segera membereskan meja, menyiapkan makanan, membersihkan sisa makanan agar tidak mengundang semut, dan menata kasur untuk tidur siang.
“Harus cepat kitanya, enggak bisa, ‘bentar dulu, deh’,” kata Noviar Putri (28), salah satu guru, saat ditemui pertengahan Maret.
Di daycare ini, anak-anak dibagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan usia: Kelompok Bermain-KB (3–4 tahun), Kelompok A (4–5 tahun), dan Kelompok B (5–6 tahun). Sebenarnya KB itu mulai dari usia 2 tahun, tapi karena ruangan tidak memadai, TPA membatasi umur anak jadi 3 tahun.
Pembagian usia ini perlu karena tiap anak punya kebutuhan berbeda. Kelompok B yang lebih besar misalnya, bisa lebih lama belajar dan memahami instruksi. Tapi anak usia 3 tahun tentu belum bisa diminta duduk diam terlalu lama. Sayangnya, ruang yang kecil membuat mereka tetap harus berbagi tempat dan waktu.
Keterbatasan fasilitas bukan hanya menyulitkan aktivitas tetapi berdampak juga pada anak-anak.
Enny Nuraini, guru lain di sana, bercerita saat bermain, anak-anak yang berlarian bisa tanpa sengaja menyenggol teman lain hingga berujung tangis dan kemarahan. Tak jarang pula muncul kata-kata kasar yang ditiru anak-anak lain karena ruangan yang terlalu terbuka, tanpa sekat atau ruang khusus untuk meredakan emosi.
“Kadang orangtua bertanya, ‘Bunda, kok anak saya jadi ngomong seperti ini?’” ujar Enny.
Belum lagi bila ada anak yang sedang memasuki fase tantrum. Guru biasanya hanya bisa menenangkan mereka di ruang kepala sekolah yang berada di sebelah dan masih dapat dilihat anak-anak melalui celah kaca.
Menurut Enny, ruang yang nyaman bisa membuat suasana jadi lebih kondusif. “Meski anak-anaknya banyak, kalau ruangannya mendukung, rasanya beda,” katanya.
Hanya saja upaya pengajuan perbaikan dan perluasan ruang TPA Bale Belajar Pelangi belum juga membuahkan hasil hingga saat ini.
Daycare adalah Penyelamat Ibu Pekerja
Setiap pukul 5 pagi, Novia Puspitasari (33) menempuh perjalanan dari Depok, Jawa Barat, menuju Balai Kota Jakarta dengan menggunakan KRL Commuter Line dan bus TransJakarta.
Ia adalah staf pelayanan publik di kantor gubernur Jakarta itu. Perjalanan antar-kota ini Novia tempuh bersama buah hatinya, 4 tahun, yang akan dititipkan di TPA Bale Bermain di kantornya.
“Dilema ibu-ibu, apalagi yang baru punya anak, itu nyata banget. Anak sudah lahir, kita harus kembali kerja. Tapi anak ditaruh di mana? Orangtua saya di Padang, mertua juga masih kerja dan tinggalnya jauh,” kata Novia.
Para ibu pekerja kerap terjebak di antara dilema menitipkan anak di daycare atau mencari pengasuh. Novia belum berani meninggalkan anaknya dengan pengasuh, tetapi juga khawatir menitipkan anaknya di daycare, apalagi yang ada di Depok. Kekhawatirannya merujuk pada insiden penganiayaan anak oleh pengasuh sekaligus pemilik Daycare Wensen School Indonesia pada Juni 2024. Atau kasus serupa di Daycare Kiddy Space cabang Pengasinan, Depok.
Di sisi lain, daycare dengan kualitas terjamin umumnya mematok biaya tinggi. Misalnya LittleBee Montessori School & Daycare, dengan Rp4 juta per bulan untuk program half day (4 jam), sedangkan full day (8 jam) sebesar Rp5,5 juta per bulan.
Maka, memboyong anaknya setiap pagi ke Jakarta saat ini menjadi opsi terbaik. Meski berat membiarkan anaknya ikut bangun pagi dan terjebak kemacetan setiap hari, paling tidak, di daycare ini ia bisa lebih mudah memantau anaknya dari dekat.
Fasilitas di daycare meliputi loker, sudut baca, ruang makan, dapur, toilet anak-anak, wastafel hingga area bermain. Makanan gratis untuk anak-anak berasal dari program PMT-AS (Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah). Paling penting, fasilitas ini gratis untuk para pegawai Balai Kota dan cocok bagi buah hatinya.
“Anaknya, sih, sejauh ini senang banget sekolah. Kalau saya lagi nggak bisa bawa ke kantor karena pekerjaan menumpuk, dia malah nanya, ‘Bu, kapan aku sekolah lagi ke kantor ibu?’” cerita Novia sambil tersenyum.
Menurut Novia, fasilitas daycare di perkantoran seharusnya diperluas, di banyak kota. Bagi para pekerja perantau yang jauh dari keluarga dan tak memiliki saudara untuk membantu menjaga anak, keberadaan daycare bakal sangat berarti.
“Kalaupun tidak gratis atau disubsidi pemerintah, saya rasa banyak orangtua tetap mau bayar,” katanya.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) mencatat pada 2020, dari 4,1 juta PNS aktif, sebanyak 52% adalah perempuan. Namun, persentase perempuan pekerja yang menikah dan memiliki anak terus menurun tidak lebih banyak dari perempuan pekerja yang belum menikah.
Merujuk Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017, persentase perempuan menikah berusia 19-49 tahun yang bekerja di sektor formal dan informal adalah 44,29% dibanding perempuan pekerja yang masih single. Persentase akan turun jadi 41,78% ketika mereka memiliki lebih dari dua anak. Penurunan signifikan hingga 19% terjadi pada perempuan dengan anak balita.
Aliyah Halim, perempuan pekerja dengan dua anak, berbagi pengalamannya menitipkan anak keduanya di TPA Bale Bermain. Menurutnya, daycare membantu kemampuan sang buah hati untuk bersosialisasi dan yang terpenting adalah anaknya menjadi senang dengan sekolah.
“Kalau Sabtu dan Minggu, dia suka tanya, ‘Kenapa hari ini libur? Aku mau sekolah,’” kata Aliyah.
Fasilitas daycare di balai kota terbilang lengkap. Mulai dari area bermain yang luas, alat permainan edukatif, hingga program harian seimbang yang dirancang untuk mendukung tumbuh kembang anak di masa emasnya.
Dengan berbagai fasilitas yang disediakan dan tanpa dipungut biaya, kata perempuan 33 tahun itu, wajar banyak pekerja yang ingin memasukan anaknya ke daycare ini. Menurutnya, TPA Balai Kota bisa menjadi percontohan untuk instansi lain.
Selain di Balai Kota, beberapa kementerian seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Kementerian Pariwisata dan Kementerian Luar Negeri juga menyediakan fasilitas daycare gratis untuk para pegawainya.
Mega Yolanda, salah satu orangtua di TPA Tara Sapa milik KemenPPPA, mengaku sangat terbantu dengan keberadaan daycare di tempat kerjanya setelah ia beberapa kali mengganti pengasuh anak di rumah karena tidak cocok dan bermasalah.
“Kebetulan di kantor juga gratis, jadi kita tidak perlu mengeluarkan biaya lagi. Kemudian sekalian kita berangkat kerja dan dekat dengan kantor, jadi lebih aman dan tenang bersama miss Tsabita (guru TPA Tara Sapa),” kata Mega.
Meski harus menempuh perjalanan sekitar 40 menit dengan menggunakan motor dari Cipinang, Mega tetap merasa lebih nyaman karena anaknya dititipkan di lingkungan yang ia percaya. Ia bilang tantangannya ketika cuaca sedang tidak bersahabat sehingga menyulitkan perjalanan menuju kantor.
Siapa Cepat Ia Dapat Tempat
Keberadaan daycare di Balai Kota jadi incaran banyak pekerja di sekitar pusat Jakarta.
Syifa Fauziya, salah satu staf di TPA, mengatakan dari tahun ke tahun, permintaan dari orangtua terus meningkat, bukan hanya yang berstatus PNS tetapi juga non-PNS. Syifa menjelaskan sistem penerimaan anak didik bergantung dengan kelulusan. Semisalnya ada dua anak yang lulus, jadi kuotanya untuk tahun ajaran barunya cuma dua anak.
“Tahun 2024 kami hanya bisa menerima lima anak baru karena sebagian besar masih melanjutkan. Sementara yang daftar dua kali lipat, 10 anak,” kata Syifa.
Biasanya, anak yang pertama kali masuk daycare di umur 2 tahun akan bertahan hingga 6 tahun. Beberapa anak dari TPA bahkan bisa langsung melanjutkan ke jenjang SD. Menurut Syifa, TPA akan mengutamakan orangtua yang menjadi pegawai Balai Kota untuk mendapat kuota. Namun, semisalnya, ada kuota kosong, jatah itu bisa diberikan ke pekerja dari instansi lain.
“Ada satu anak TPA yang orang tuanya kerja di Danareksa,” kata Syifa.
TPA Bale Bermain dibuka pada masa Gubernur Anies Baswedan. TPA awalnya hanya memiliki 10 anak, kini, jumlahnya sudah dua kali lipat. Untuk anak usia 2–4 tahun, jadwal penitipan hanya tiga kali seminggu: Senin, Rabu, dan Jumat. Untuk anak usia 4–6 tahun, mereka bisa mengikuti kegiatan setiap hari dari jam 8 pagi hingga 3 sore.
Kondisi serupa juga terjadi di TPA KemenPU.
Novdini Nurwiryani (46), Ketua Tim Bidang Kesehatan yang juga pengelola TPA, mengatakan pihaknya sampai harus mengubah sistem admisi karena banyaknya keluhan dari orangtua pekerja yang tidak pernah mendapatkan kuota.
“Jadi ada semacam protes atau komplain dari yang lain karena waiting list-nya jadi panjang. Akhirnya kami ubah sistemnya jadi rolling per tiga bulan, agar semua orang punya kesempatan merasakan fasilitas ini,” kata Novdini.
Dengan sistem baru ini, setiap anak hanya bisa dititipkan selama tiga bulan sebelum kuota diberikan kepada pendaftar lain. Namun, jika daftar tunggu sedang kosong, anak bisa tetap lanjut tanpa harus digantikan.
“Karena fasilitas tidak berbayar, kadang kadang ada semacam kecemburuan. Ini kan gratis, kok dia sendiri yang dapat. Oh, benar juga, ya,” katanya.
TPA KemenPU juga fleksibel dalam kondisi darurat. Jika ada pegawai yang mendadak perlu menitipkan anak, mereka bisa mengajukan izin satu hari sebelumnya. Selama masih ada kuota harian, anak bisa dititipkan meski tidak terdaftar dalam sistem tiga bulanan. Ia menyebut pihaknya tidak kaku dengan aturan.
Mega Yolanda, orangtua yang menitipkan anaknya di TPA Tara Sapa KemenPPPA, mengatakan antrean orangtua pendaftar terjadi karena tingginya minat yang tidak sebanding dengan kapasitas ruangan. Di TPA Tara Sapa misalnya, hanya mampu menampung 12 anak.
Kondisi gedung menjadi salah satu faktor yang membatasi pengembangan fasilitas penitipan anak di KemenPPPA. Berbeda dengan Kementerian Keuangan, Kementerian PU, atau Kementerian Luar Negeri yang memiliki kompleks luas dan beberapa gedung, KemenPPPA hanya menempati satu bangunan berlantai sebelas.
Lahan yang tersedia sangat terbatas, sehingga sulit mengalokasikan ruang tambahan khusus untuk TPA. Upaya penyesuaian pun tidak bisa dilakukan secara cepat, karena membutuhkan pertimbangan teknis dan administratif dari biro terkait. Mega berharap ke depannya ada perbaikan sarana dan prasarana daycare.
“Gak hanya perluasan tempat, tapi perbaikan fasilitas seperti lantai kamar mandi kadang masih suka licin. Sebenarnya Miss Tsabita juga pernah menyampaikan ke biro umum, mungkin belum menindaklanjutinya,” kata Mega.

Timpang dan Terkuras Efisiensi
Pemerintah pada Juni tahun lalu, mengesahkan UU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) yang salah satu pasalnya, Pasal 4 ayat 3, mengatur bahwa setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan akses penitipan anak yang terjangkau secara jarak dan biaya.
Di Jakarta, fasilitas penitipan anak oleh institusi pemerintah bisa dilacak setidaknya sejak tahun 2018. Namun, keberadaannya masih sedikit dan belum merata.
Semisalnya di area pemerintahan Jakarta. Meski semua penitipan anak berada di bawah pengelolaan Suku Dinas Pendidikan Jakarta tetapi perbedaan fasilitas bisa terlihat antara daycare yang dimiliki Balai Kota dengan yang ada di kantor Wali Kota Jakarta Barat dan Jakarta Pusat. Mulai dari luas ruangan, area bermain, tempat tidur, dapur, hingga toilet ramah anak.
Barjono, Kepala Sekolah TPA Bale Bermain Balai Kota dan TPA Bale Bermain Maju Bersama di kantor Wali Kota Jakarta Pusat, mengatakan fasilitas gedung TPA bergantung pada fasilitas yang disediakan oleh pimpinan setempat.
Di Balai Kota, TPA mendapat dukungan penuh dari Biro Umum, mulai dari penataan desain, luas ruangan hingga penyediaan sarana yang lebih lengkap. Sementara di kantor Wali Kota Jakarta Pusat, ruang dan sarana yang dialokasikan jauh lebih terbatas.
“Setiap lokasi memang punya kondisi yang berbeda-beda, apalagi kalau sudah di tingkat kecamatan,” ujar Barjono.
Barjono memperkirakan luas TPA di Balai Kota mencapai 200 meter persegi yang bisa menampung sekitar 20 anak dan 2 guru. Sementara, luas TPA Bale Bermain Maju Bersama hanya berkisar setengahnya dengan kapasitas yang ditampung mencapai 15 anak dan 2 guru.
Kondisi berbeda terjadi di kantor Wali Kota Jakarta Barat. Jumlah anak mencapai 40 dengan 3 guru, 1 operator, dan kepala sekolah.
Permendikbud Nomor 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional PAUD mengatur rasio antara pengajar dan anak yaitu seorang guru setidaknya menangani empat anak usia 0-2 tahun, atau delapan anak usia 2-4 tahun, atau 15 anak usia 4-6 tahun.
Luas ideal untuk daycare juga diatur yaitu minimal 3 meter persegi per peserta didik. Untuk TPA Balai Kota, luasannya sudah ideal. Begitu juga dengan TPA di kantor Wali Kota Jakarta Pusat.
Barjono mengatakan pihaknya sudah pernah berkoordinasi dengan Wali Kota Jakarta Pusat Dhany Sukma terkait perluasan lahan daycare pada 2024, tapi saat itu disampaikan bahwa belum ada ruangan yang cocok untuk permintaan tersebut.
“Sampai saat ini belum ketemu (ruangan yang luas) untuk TPA di Jakarta Pusat,” kata Barjono.
Hal serupa juga diungkapkan Enny, guru TPA di kantor Wali Kota Jakarta Barat. Pihaknya pernah mengajukan perluasan daycare ke ruangan sebelahnya yang kini menjadi klinik kesehatan tetapi tidak mendapat respons dari pejabat terkait. Menurutnya, selain klinik itu terlalu luas, keberadaan klinik di samping daycare juga kerap mengganggu pasien.
“Ya namanya juga anak-anak. Kenapa anak-anak boleh main bola di sini? Mau main di mana lagi? Di depan ada tangga tinggi banget, nanti bisa jatuh. Kami enggak berani main di luar,” kata Enny.
Ketimpangan fasilitas daycare juga terlihat di lingkungan kementerian.
Di daycare yang dikelola KemenPU, fasilitasnya meliputi ruang tidur bayi hingga anak, toilet ramah anak, dapur, ruang makan, ruang menyusui, ruang bermain indoor, serta ruang belajar untuk mengasah kemampuan motorik anak. Selain itu, juga tersedia sarana eksplorasi dan aktivitas luar ruangan.
Kendati demikian, TPA KemenPU saat ini mengalami kekurangan tenaga pengasuh. Saat ini, pengasuh berjumlah empat orang, angka itu lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya. Ia juga mengungkapkan ada berbagai trial error terkait batas usia minimal dan maksimal anak yang dititipkan di TPA. Mulai dari usia 4 bulan, 6 bulan, dan maksimal 5-6 tahun. Kini, pihaknya hanya menerima anak usia 1-3 tahun. Keputusan itu dibuat usai melakukan evaluasi. Menurut Novdini, pengelola TPA, daya tahan tubuh bayi di bawah 1 tahun masih terlalu rentan untuk masuk dalam fasilitas daycare umum.
Berbeda dengan standar Permendikbud Nomor 137/2014, TPA di KemenPU justru menetapkan rasio yang lebih ketat antara jumlah anak dan pengasuh.
Novdini menjelaskan bahwa setiap anak memiliki karakter dan kebutuhan yang berbeda, sehingga pendekatan tidak bisa semata-mata bergantung pada angka. Ada anak yang sangat aktif, ada yang sensitif, dan ada pula yang cukup mandiri. Karena itulah, penerapan rasio standar hanya digunakan dalam kondisi tertentu.
“Kami tidak berani menerapkan satu pengasuh untuk delapan anak. Batas maksimal kami adalah satu banding empat, bahkan sebisa mungkin satu pengasuh hanya mendampingi tiga anak,” ujarnya.
Ia mengungkapkan bahwa fasilitas daycare, begitu juga ruang menyusui, sudah masuk dalam program Pengarusutamaan Gender (PUG) yang ada sejak 2009. Untuk diketahui, pada 2023, TPA KemenPU mendapat penghargaan Taman Asuh Ceria Ramah Anak (TARA) dengan predikat “Tara Nindya” dari Kementerian PPPA.
Sebaliknya, Kementerian PPPA yang seharusnya menjadi teladan justru memiliki fasilitas daycare yang tidak sebaik KemenPU.
Kementerian PPPA berada di lantai 4, di sebuah ruangan kecil yang dijadikan serbaguna sebagai tempat belajar, ruang makan, area bermain, sekaligus penyimpanan barang. Lemari pendingin dan microwave diletakkan berdampingan dengan meja belajar, menggambarkan absennya dapur khusus.
Tak ada batas antar-fungsi ruangan, kecuali kamar tidur. Itu pun tanpa pemisahan antara tempat tidur bayi dan balita. Selain itu, toilet dewasa diubah menjadi toilet anak-anak tanpa pemisah antara anak laki-laki dan perempuan. Ruang kerja pengelola pun tak tersedia; perlengkapan administrasi seperti laptop dan printer hanya ditaruh di atas kabinet penyimpanan.
“Fasilitas seadanya. Kita gratis kayak gitu. Kalau mau berharap (fasilitas) lebih tidak di sini,” kata Tsabita Naila, salah satu guru, menambahkan bahwa masih banyak yang perlu dibenahi di TPA ini.
Di bagian luar TPA, ada sebidang lahan yang sempat direncanakan untuk diubah menjadi area bermain anak. Tsabita pernah mengusulkan agar dipasang karpet rumput sintetis, ditambah perosotan, serta alat bermain lain untuk mendukung perkembangan sensorik dan motorik anak.
Belum ada tanggapan atas permohonannya itu. Salah satu penyebabnya adalah kebingungan soal tata letak. Jika area sensorik dibangun di sana, ke mana gondola akan dipindahkan? Alhasil, dari banyak gagasan yang sudah dicetuskan, belum ada satu pun yang benar-benar diwujudkan hingga kini.
***
Keterbatasan semakin rumit ketika Presiden Prabowo Subianto mengumumkan efisiensi anggaran di banyak kementerian. Saat awal diumumkan, TPA sempat hampir ditutup karena tidak ada lagi alokasi anggaran untuk pengelolaannya. Namun, wacana itu batal dan orangtua murid mencoba membantu operasional TPA dengan iuran sukarela. Misalnya untuk pembelian air galon, tisu gulung, tisu basah, dan cuci sprei.
Eko Novi Ariyanti Rahayu Damayanti, Asisten Deputi Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Pemenuhan Hak Anak Wilayah II KemenPPPA, mengakui adanya keterbatasan ini. Ia meminta publik tidak membanding-bandingkan fasilitas yang ada, sembari pihaknya menjanjikan akan berusaha memaksimalkan fungsi ruang agar anak-anak nyaman.
“Gak ada lagi tempat, kami ini terbatas banget tempatnya. Jadi tempatnya yang memang itu yang ada,” kata Eko saat ditemui di ruangan kantornya, pertengahan April.
Dari sisi sumber daya manusia, meskipun jumlah pengasuh dianggap mencukupi, tantangan lain yang belum teratasi adalah transfer pengetahuan kepada orangtua. Pola pengasuhan berbasis hak anak yang diterapkan di daycare belum sepenuhnya dipahami keluarga di rumah, karena komunikasi antara pengasuh dan orangtua masih bersifat informal.
Idealnya, kata Eko, pemahaman tentang pendekatan pengasuhan yang digunakan tidak hanya disampaikan secara lisan saat penjemputan, tetapi melalui mekanisme yang lebih terstruktur dan berkesinambungan. Hal ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi kementerian.
Sementara soal anggaran daycare, KemenPPPA enggan membahasnya.
Merujuk laporan Bank Dunia, alokasi anggaran Indonesia untuk Pendidikan Anak Usia Dini dan layanan penitipan anak pada 2022 tercatat hanya 0,033% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini menempatkan Indonesia jauh di bawah standar rata-rata negara OECD yang berada di angka 0,7%.
Data Kemendikbud tahun 2023 menunjukkan ketersediaan layanan penitipan anak memang masih jauh dari cukup, mencerminkan lemahnya peran negara dalam menjawab kebutuhan dasar pengasuhan anak usia dini.
Menurut Eko, keberadaan daycare secara kuantitatif masih belum memadai dan cenderung terpusat di pulau Jawa. Tidak hanya soal jumlah, fasilitasnya juga masih belum mendekati standar kualitas ideal.
Ia meyakini, permintaan akan layanan daycare berbanding lurus dengan kepercayaan orangtua untuk menitipkan anaknya. Sehingga untuk mendorong permintaan terhadap daycare, mekanisme yang memadai untuk dapat memastikan kualitas sangat diperlukan.
Untuk menjawab kebutuhan penitipan anak, Eko merekomendasikan empat model daycare: berbasis industri, komunitas, institusi, dan individu sesuai standar TARA. Dari semua model, daycare berbasis komunitas dinilai paling ideal karena dekat dengan rumah, sehingga memudahkan ibu bekerja tanpa harus membawa anak ke kantor.
“Sebenarnya regulasi sudah banyak, namun memang implementasi daycare belum merata sehingga perlu adanya model-model daycare disesuaikan dengan kebutuhan lokal,” tutupnya.
Baca juga Ide dan Esai Project Multatuli tentang daycare berikut ini:
Menagih Mandat Daycare yang Terjangkau Setelah Pengesahan UU KIA