Ritus Sanghyang Dedari: Tari Bali Pembangkit Semangat Bertani Kala Sawah Digempur Turisme

Mawa Kresna
10 menit
Ilustrasi Sanghyang Dedari. (Project M/Sekarjoget)

I Nengah Langgeng masih ingat ketika tiga dekade lalu desa adat Geriana Kauh bagian dari Desa Duda Utara, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem diserang hama. Padi milik warga habis dimakan wereng, tikus dan burung. Kala itu kondisinya begitu menyedihkan sebab warga menggantungkan hidup dari hari panen.

Saat itu warga bertani subsisten di mana mereka memproduksi hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Karena itu, sekali panen gagal, pertaruhannya adalah hidup dengan kelaparan.

Selain berdampak kebutuhan jasmani, ketiadaan hasil panen itu juga berdampak pada kebutuhan rohani. Ketiadaan hasil sawah untuk kebutuhan upacara agama membuat mereka semakin resah. Setiap laku ritus warga membutuhkan padi ketan dan padi beras, terutama bibit lokal, yang disebut dengan padi masa atau padi tahun. Disebut demikian karena memerlukan waktu hampir setahun untuk persiapan benih, bibit, sampai panen.

Langgeng yang kini menjadi Ketua Tempekan Sebudi, Subak Bangbang Biaung, salah satu pengurus pertanian di desa adat mereka heran dengan gagal panen saat itu. Warga pun tak kalah pusing.

Setelah berunding panjang, tetua desa memberikan petunjuk agar warga menghelat kembali ritus Sanghyang, sebuah ritus tarian kepercayaan warga untuk menolak bala atau wabah penyakit. Ada dua ritus Sanghyang, yakni Sanghyang Jaran dan Sanghyang Dedari.

Ritus ini dulu sempat dihentikan karena beragam alasan, dari tidak ada yang mengurus pengayah atau penari hingga sarana kelengkapannya yang tidak tersedia.

Akhirnya sekitar 1991, Sanghyang dihidupkan. I Wayan Brata, Petengen Jro Raksa atau bendahara desa adat mengingat terakhir kali digelar sekitar tahun 1971 atau 1972. Sanghyang Jaran oleh pengayah laki-laki, turun temurun, biasanya orang yang memiliki pengalaman spiritual seperti Jro Mangku atau pemimpin persembahyangan.

Sedangkan Sanghyang Dedari oleh pengayah anak perempuan yang belum menstruasi. Pada 1991 itu, Brata mengingat ada 7 anak perempuan yang bersedia ngayah (membantu secara ikhlas). Setelah menentukan hari baik, warga mohon petunjuk dan izin secara spiritual di Pura Paibon.

Pengayah Sanghyang Dedari memulai tahapan ritus ini dengan Pangukupan atau memanggil roh. Pangukupan dilakukan tengah malam dengan menghadapkan wajah ke Pengasepan (wadah tanah liat yang berasap). Proses ini berlangsung sunyi (pingit), tidak boleh ada lelaki yang melihat, kecuali Jro Mangku. Para ibu melantunkan gending. Gending adalah gamelan atau bunyi-bunyian utama dalam ritus Sanghyang yang memandu pengayah Sanghyang.

“Setelah Sanghyang, hasil panen meningkat, kami meyakini ini tolak bala. Dampaknya terasa setelah nyolahang (menarikan). Hidup juga lebih aman, apalagi saat Covid,” tutur Brata yang mengaitkan dengan pandemi Covid-19. Sanghyang ditarikan tiap tahun, ketika bulir padi mulai terlihat, sebagai ritus agar panen berhasil. Pada 2023 nanti, diperkirakan ditarikan sekitar April, namun waktu pastinya harus menunggu rapat tetua.

Penghormatan warga yang begitu tinggi pada padi masa menunjukkan keyakinan mereka pada jenis padi lokal yang ditanam minim input kimia ini. Dalam konteks ini, laku spiritual berbanding lurus dengan pertaniannya.

Tetapi program swasembada pangan pemerintah Orde Baru mengoyak pertanian organik desa adat di kaki Gunung Agung ini. Untuk mempercepat masa tanam, pemerintah memaksa warga menanam jenis padi yang memerlukan input kimia seperti urea. Dalam jangka panjang, petani akhirnya bergantung pada urea dan menanam padi usia pendek hingga sekarang.

“Tahun 80an masih organik. Kami pernah menolak subsidi pupuk kimia, mending kompos daun,” sebut Langgeng.

Dulu, warga mengumpulkan dedaunan lalu dilayukan di sawah selama 6 bulan, setelah itu baru tanah diolah. Namun, revolusi hijau ini tak bisa ditahan. Warga pun menanam padi umur pendek 2 kali setahun, kemudian baru padi masa.

Selain padi masa, warga di desa adat Geriana Kauh juga melestarikan kebun bambu dan buah, kedua tanaman ini lekat dengan kebutuhan ritual. Saat berkunjung ke desa adat ini, tata ruangnya unik khas pola ruang desa-desa kuno Bali. Paling utara adalah tempat sembahyang dengan sejumlah pura. Di sela-sela pura ada kebun bambu, salak, aren, dan pohon besar lain.

Setelah itu, di bagian tengah ada pemukiman memanjang berhadapan kanan dan kiri. Selanjutnya ada ruang publik seperti bale banjar. Kemudian paling hilir adalah persawahan. Sawah nampak menguning, bulir padi membuat batangnya merunduk tanda siap panen.

Padi menguning menjadi tanda dimulainya ritual besar. Salah satunya Ngusaba Goreng, upacara penyelamatan desa dengan menampilkan aneka hasil tani, terutama padi. Upacara ini berlangsung selama satu minggu.

Para penari Rejang dan ratusan warga desa berkeliling desa, bagian dari ritual Ngusaba Goreng. (Project M/Luh De Suriyani)

Salah satu ritualnya adalah Rejang Pusung. Sekitar sembilan anak perempuan belum akil balik menari dengan gerak gemulai mengelilingi Pura Puseh. Pakaian dan hiasan rambutnya berwarna cerah dominan kuning.

Pusung artinya seni menggelung rambut agar rapi. Setelah tergelung, mulailah mahkota bunga dipasang. Alat bantunya adalah kulit jeruk bali. Warga di Geriana Kauh menyebut jeruk bali muntis, sedangkan orang Bali kebanyakan menyebut jerungga. Di atas kulit jeruk disusun aneka bunga yang sering jadi sarana sembahyang dan aromanya harum seperti cempaka, kenanga, dan jepun bulan.

Penari rejang berada dalam barisan lain seperti indra, para tetua, anak muda, ibu-ibu, anak-anak perempuan, dan anak laki-laki membawa tegenang atau pikulan berisi hasil bumi. Mereka berjalan mengelilingi pura sembari menyebar bulir padi ke tanah.

Selain ritual, warga juga membuat aneka jajanan seperti glandiran biu, jaje uli, tape, jaje goreng, kiping merah, kuning, dan hitam, daldal, dan lainnya. Semua jajanan itu digantung di beberapa sudut rumah sebagai bentuk syukur sudah diberikan pangan dari sawah dan kebun.

Selain itu warga juga menggelar upacara Ngusaba Emping, sebuah ritual penganugerahan bibit padi masa kepada krama atau warga adat. Bibit itu nantinya ditanam pada awal tahun setelah panen padi usia pendek dan direhatkan dengan palawija.

Dalam setiap upacara adat dan agama, perempuan memiliki peran tersendiri. Mereka menjadi pengayah dan menyiapkan jajanan untuk sesajen. Secara simbolik, perempuan begitu lekat dalam tradisi pertanian di desa. Dalam Sanghyang Dedari mereka menjadi simbol penolak bala.

Ni Kadek Anggi Riskayanti (18) merasa bangga pernah menjadi pengayah Sanghyang Dedari saat ia belum akil balik. Saat itu pengurus desa menawarinya menjadi pengayah karena neneknya dulu juga pernah menjadi pengayah. Baginya, pengalaman menjadi pengayah itu membuat semakin dekat dengan alam dan pertanian.

“Saya merasa bangga pernah jadi pengayah,” katanya. Anggi berharap ritus Sanghyang Dedari dikelola sepenuhnya oleh anak muda mulai dari mencari sarana kelengkapan sampai membuat gelungan.

Ni Ketut Turun salah satu perempuan warga desa adat mengatakan bahwa perempuan memiliki tugas berat menjaga hasil panen. Di keluarganya, ia masih merawat jineng atau gelebeg, tempat penyimpanan hasil panen. Ni Ketut terampil menganyam bilah bambu menjadi bedeg (anyaman bambu), sebuah keterampilan yang kini sudah jarang dimiliki warga lainnya.

“Dulu semua dari bedeg. Karena sudah rusak dan rumit buat lagi, atap jineng diganti seng. Rumah-rumah juga sudah berganti beton, mungkin iri lihat orang lain, perlu bahan banyak dan buatnya lama,” selorohnya.

Tantangan Pertanian Desa

I Nyoman Subrata, Bendesa Adat (kepala desa adat) Geriana Kauh menyebut ada keinginan untuk memperluas pertanian minim kimia. Namun ia perlu pendamping yang bisa memberikan contoh yang berhasil.

Ia optimis pertanian di desanya bakal tetap terjaga karena banyak anak muda menjadi petani meneruskan orang tuanya, meski ada yang memilih merantau seperti kerja kapal pesiar, hal yang jamak di sebagian desa di Bali.

Untuk luas lahan, dari perhitungannya pasti ada penurunan luas karena pasangan baru membangun rumah. Tetapi tidak banyak, hanya sekitar 3 rumah atau 50 are lahan pertanian alih fungsi.

“Tapi ada kekhawatiran bagaimana melindungi sawah, misalnya dibeli pihak luar. Perarem (aturan adat) direncanakan untuk melindungi tanah,” urai Subrata tentang peraturan adat. Misalnya ada larangan menjual tanah ke luar krama adat.

Kekhawatiran ini beralasan karena sebagian pemilik lahan sawah di kawasan desa adatnya adalah warga desa tetangga yakni Amertha Buana di Geriana Kangin. Dua perarem yang hendak disusun adalah perlindungan tanah dan pengelolaan sampah.

Kiri: I Ketut Widana menunjukkan peta desa di Museum Sanghyang Dedari Giri Amerta. Kanan: Salah satu lahan pertanian sawah dengan papan dijual. (Project M/Luh De Suriyani)

Upaya melestarikan pertanian juga dilakukan dengan membangun museum Sanghyang Dedari Giri Amerta yang merekam tradisi pertanian dan ritus Sanghyang.Museum ini diresmikan pada 2019 dari program pengabdian masyarakat Universitas Indonesia. Lokasi museum ini berdekatan dengan Pura Puseh dan Pura Pajenengan yang dikenal sebagai lokasi penyineban (tahapan akhir ritus) Sanghyang.

“Dengan museum, ada edukasi yang bisa dipelajari anak-anak. Dulu kita menerapkan sistem pertanian tradisional yang sudah makin tidak diketahui,” sebut Subrata. Salah satunya membajak sawah dengan sapi. Ia ingin menghidupkan ini lagi.

Menurutnya hilangnya sapi sebagai sarana membajak sawah mulai terjadi pada 2017. Saat itu warga menjual murah sapi karena erupsi Gunung Agung. Sejak saat itu mulai ada penggunaan traktor. Secara ekonomis, menurut Subrata membajak dengan sapi lebih hemat, sementara traktor harus menyewa dengan harga Rp400 ribu.

Jineng atau tempat menyimpan padi juga makin menghilang, karena padi habis dikonsumsi sendiri. Mereka bahkan kekurangan padi untuk upacara adat dan agama. Tidak semua warga pun bertani. Dari 800an jiwa warga atau 250 Kepala Keluarga, hanya setengah saja yang bertani. Penghasilan utama warga juga masih dari bekerja sebagai buruh bangunan dan tukang batu.

Setiap keluarga dikenai iuran tahunan sebesar Rp300 ribu untuk biaya ritual. Biaya itu digunakan untuk sesajen kolektif di pura, belum termasuk sesajen dan perlengkapannya untuk di rumah warga atau dibawa ke pura. Ia merasa biaya Dewa Yadnya (upacara di pura) tidak memberatkan, kecuali Manusa Yadnya seperti pernikahan, kematian, dan lainnya.

Desa adat ini memang masih memegang teguh keyakinan ritual-ritualnya. Termasuk kala bencana. Warga percaya keteguhan menggelar ritual itu membuat desanya selamat dari erupsi besar Gunung Agung pada 1963 yang mengubur banyak desa dan menghilangkan ribuan jiwa.

Tetapi dalam bencana banjir dan longsor yang belakangan terjadi berbagai kabupaten dan kota di Bali berdampak besar pada desa. Sawah dan rumah beberapa warga hancur terkubur material batu dan pasir dari hulu, yang diperkirakan bersumber dari lokasi penambangan galian C di kaki gunung.

“Alam rusak diperkosa, cuaca ekstrem karena penguapan dari perubahan iklim. Manusia terlalu rakus,” ujar Subrata.

Salah satu hal solusi mencegah bencana menurutnya mengembalikan kearifan pertanian. “Padi lokal kalah waktu, kalau organik trauma perlakuan pada petani tidak adil misal permainan harga tengkulak,” keluh Subrata.

Atas: Salah satu rumah warga rusak parah terendam material batu dan pasir dari hulu desa saat bencana longsor dan banjir di seluruh kabupaten di Bali, pada Oktober lalu. Bawah: Hamparan sawah usai panen dan simbol-simbol ritual pertanian yang sangat kaya di Desa Adat Geriana Kauh. (Project M/Luh De Suriyani)

Pertanian Hanya Jargon Pariwisata

Sementara petani mengeluh, pemerintah justru membanggakan pariwisata Bali yang berbasis pertanian. Faktanya, alih fungsi lahan makin tak terkendali. Ida Bagus Wisnuwardhana, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali menyebut rata-rata alih fungsi lahan tani sekitar 700 hektar per tahun. Data pada 2020 disebut luas sawah sekitar 79 ribu sekitar 14% dari wilayah Bali. Kondisi itu dinilai pemerintah masih bagus.

Ketika pandemi Covid-19 menghajar industri pariwisata Bali, sebagian besar perantau kembali ke desa untuk kerja di sawah, ladang, dan lainnya. Sayangnya hal ini tidak dimanfaatkan pemerintah yang menunggu penerbangan internasional dibuka.

Minimnya dampak pariwisata ini pada pertanian diakui Made Sarjana, akademisi Universitas Udayana yang meneliti pertanian dan pariwisata. “Pariwisata berbasis pertanian adalah upaya sharing benefit pariwisata ke komunitas petani. Selama ini banyak aset pertanian seperti pemandangan alam, kebun, dan komoditas pertanian digunakan sebagai daya tarik wisata namun petani tak dapat apa-apa,” katanya.

Ada berbagai peristiwa protes langsung petani pada pariwisata di Bali. Misalnya di Jatiluwih, Tabanan, kawasan warisan budaya dunia ada yang memagari sawahnya agar turis tidak bisa masuk. Di obyek wisata sawah Ceking, Tegalalang, petani memasang cermin agar pantulannya mengganggu wisatawan. Ada juga kampanye Not For Sale dari seniman di Ubud yang mengingatkan rentannya posisi petani.

Sarjana juga mengingat ada petani membuat kandang sapi dengan seng agar memantulkan cahaya ke wisatawan di hotel-hotel di tebing Sungai Tukad Ayung.

“Ketika sudah ada sharing benefit pariwisata kan konfliknya bisa diatasi. Ide pariwisata berbasis pertanian, upaya memberdayakan petani agar mendapat benefit pariwisata dengan persentase lebih tinggi,” jelasnya.

Menurutnya pariwisata berbasis pertanian membantu petani mengemas aset-aset pertanian menjadi daya tarik wisata dan petani terlibat langsung dalam pengelolaannya. Ia mengatakan dukungan pemerintah pada daya tarik ini belum optimal. Pemerintah hanya terlibat setelah kunjungan pengunjung mulai meningkat atau daya tarik wisata tersebut sudah bisa berkontribusi pada pendapatan daerah.

Sementara itu selama pandemi, ada rasionalisasi anggaran untuk penanganan Covid-19. Tidak ada kebijakan untuk menyokong pembangunan pertanian secara khusus. Pembangunan pertanian sebagai sabuk pengaman di masa krisis Covid-19 dinilai berjalan alamiah, atau minim campur tangan dari pemerintah.


Tulisan ini merupakan bagian dari serial #MasyarakatAdat.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
10 menit