Sebuah pesan WhatsApp masuk ke ponsel android milik Agus Salim. Pengirimnya adalah ibunya sendiri, yang mengerti sekaligus ikut prihatin dengan kondisi anak bungsunya sejak aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat untuk daerah Jawa-Bali mulai jalan awal Juli (3/7) kemarin. Dari pertama kali menyadari bahwa pesan itu adalah pesan berentet yang diteruskan saja ia sudah curiga. Meskipun secara sekilas, terutama untuk orang yang sedang butuh duit, isi pesan tersebut terlihat cukup meyakinkan.
Bantuan PPKM Darurat Bulan Juli!
Cek nama Anda untuk menerima bantuan PPKM sebesar Rp. 300.000.
Periksa apakah nama Anda ada di daftar untuk menarik manfaat
Daftar lengkap http://bungappkm.online/pembagian-subsisdi/PPKMjuli
Program ditutup 3 Hari Lagi.
Agus Salim mengabaikannya. Ia tidak terpancing. Malam itu, adalah hari keenam PPKM Darurat berlangsung, seperti biasa ia tetap berangkat dari rumahnya di daerah Bintara, Bekasi menuju kawasan pasar malam Banjir Kanal Timur (BKT), Duren Sawit, Jakarta Timur, tempatnya berjualan susu jahe manis selama tiga tahun terakhir. PPKM Darurat sebenarnya memberi ketentuan yang cukup mengakomodasi buat kaki lima macam Agus Salim, masih diperbolehkan berdagang tapi konsumen harus membawa pulang pesanannya. Mereka juga dibatasi hanya boleh berjualan sampai pukul delapan malam.
Otomatis pengunjung sepi. Razia Satpol PP yang digelar setiap hari membuat surut geliat wisata niaga kawasan pinggir kali tersebut. Maka bimbanglah Agus Salim, keuntungannya terjun bebas. Tidak sepadan dengan kebutuhan menghidupi istri dan anak perempuannya yang baru saja naik ke kelas tiga sekolah dasar. Ditengoklah tawaran bantuan Rp300 ribu yang mampir via kasih sayang seorang ibu kepada anak lelakinya, sang pedagang kaki lima.
Berbekal pada kombinasi ajaran agama agar tidak mudah berprasangka buruk sambil menguatkan ikhtiar di antara jepitan ekonomi, diketuklah tautan yang dikirim ibunya.
“Selamat! Untuk mendapatkan bantuan PPKM sebesar Rp. 300.000, Anda harus menyelesaikan langkah terakhir ini: Anda harus menginstal aplikasi di bawah ini dan Anda harus membukanya selama 30 detik. Setelah menyelesaikan tindakan di atas, harap tunggu memeriksanya, peninjauan akan selesai dalam waktu 24 jam kerja.”
Kemudian muncul pilihan: Klaim Sekarang.
Tak lama menyusul konfirmasi, “Selamat! Anda berhak mendapatkan bantuan PPKM sebesar Rp. 300.000! Bagaimana cara mendapatkannya: 1) Berbagi dengan 5 grup/20 teman melalui WHATSAPP 2) Setelah berbagi, Anda akan diarahkan untuk mengaktifkan bantuan PPKM Anda 3) Anda akan menerima konfirmasi SMS dalam waktu 2 hingga 5 menit.”
Selanjutnya keluar pilihan: Bagikan hingga bilah biru penuh!
Kepalang melangkah, pantang baginya urung. Walau sejujurnya membatin ragu, ia bagikan juga kesempatan mendapatkan ‘BLT’ ini kepada segenap rekan-rekan yang sama putus asa dengan dirinya. Berharap masih ada orang baik yang tulus membantu di masa sekarat pandemi ini.
Ternyata hasilnya zonk!
Boro-boro dapat hadiah Rp300 ribu masuk rekeningnya, yang ada mungkin sekarang data pribadinya telah terjual entah kepada siapa dan untuk keperluan apa. Karena yang berikutnya muncul di layar ponsel adalah aplikasi VPN semu, yang terpaksa di-instal pula akibat telanjur penasaran. Setelah dibuka, isinya lompong. Ia cuma bisa mengucap Istighfar, “satu lagi orang miskin kena tipu di Indonesia.”
Hilangnya Kepercayaan Kepada Negara
Seandainya Presiden Joko Widodo berani menerapkan kebijakan karantina wilayah dengan, tentu saja melakukan kewajiban memenuhi kebutuhan dasar warga negara sesuai UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan Pasal 55, Agus Salim mungkin akan tetap meneguh pendiriannya, memilih tidak mempercayai tawaran bantuan liar yang nongol di ponselnya.
Sejak Covid-19 menerjang awal 2020 silam, sebagai pengganti karantina wilayah, pemerintah telah melaksanakan serangkaian program pembatasan mobilitas warga seperti PSBB, PSBB Transisi, PPKM, PPKM Mikro hingga PPKM Darurat dengan gembar-gembor bakal menggelontorkan dana bantuan kepada masyarakat terdampak, tapi anehnya tak ada sepeser pun yang mendarat di tangan Agus Salim.
Kenapa bisa begitu?
Kepala Agus Salim menggeleng. “Padahal,” katanya sembari menyaring air jahe yang dikucurkan ke dalam gelas, “karena kami inilah mereka bisa dapat posisi kekuasaan.”
Saya tertawa lalu menimpali, “Pertama dan terakhir kali saya nyoblos pemilu tahun 2004, Pak.”
“Semua partai itu rezim, siapa pun yang menang. Kayak pemilu kemarin, kita cuma berharap ada satu dari mereka yang benar-benar memikirkan nasib orang miskin. Tapi kenyataan tidak ada,” ucap Agus Salim.
Sudut tempat gerobak motor susu jahe Agus Salim parkir berada di ujung dalam jembatan yang menghubungkan antara bantaran kali BKT dengan Jalan Raya Kolonel Sugiono. Sebelum mampir di gerobak susu jahe milik Agus Salim, saya sempat menyusuri jalan itu terlebih dahulu, menengok situasi pasar malam BKT yang pada hari-hari normal sebelum pandemi selalu hingar gemerlapan oleh berbagai wahana rekreasi pun lapak dagang yang menjadi destinasi para pelancong akhir pekan.
Tapi di hari itu, pada Sabtu malam tepat seminggu setelah PPKM Darurat berlaku, populasi manusia di sana kelihatan menyusut. Beberapa lapak tetap buka, tapi pengunjung tampak sepi. Di sepanjang jalan itu bau tubuh kambing dan sapi korban Idul Adha dengan tahi-tahinya begitu menusuk indera cium.
Kanal BKT sendiri memiliki panjang sekitar 23,5 km yang membentang dari wilayah Kebon Nanas sampai Pantai Marunda. Meski menyediakan arena bermain Bianglala dan Turangga-Rangga mini dan berjajar berbagai kedai makanan dan kios niaga, jangan bayangkan BKT cantik seperti kawasan Clarke Quay di Singapura atau Kapellbrücke di Luzern, Swiss, sebab ini Jakarta Timur, salah satu distrik paling padat serta kumuh di Provinsi DKI Jakarta.
Data terakhir yang dilansir Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tertanggal 11 Juli 2021, dari 13.331 catatan positif infeksi Covid-19 di ibukota, Jakarta Timur menyumbang angka tertinggi 3.461 kasus, sedang yang terendah adalah Jakarta Pusat sebanyak 1.351 kasus dan Kepulauan Seribu, hanya 38 kasus.
Tidak heran jika konsentrasi pengamanan – pembubaran massa bagi wilayah Jakarta Timur lebih ketat dibanding kabupaten DKI Jakarta lainnya. Terdapat empat titik penyekatan di Jakarta Timur, salah satu yang terdekat dari kawasan BKT ada di area lampu merah Lampiri, Duren Sawit dan dua jalur berlawanan Jalan Raya Kalimalang, dengan tujuan khusus supaya mencegah keluar masuknya warga Bekasi ke Jakarta, dan sebaliknya.
Laporan pandang mata dari lokasi penyekatan terdekat di Jalan Raya Kalimalang menemukan sejumlah personel gabungan Satpol PP, polisi, petugas Dishub, dan Angkatan Darat. Yang dilengkapi dengan laras mesin tercangklong santai ke belakang, tiga panser Anoa, dua truk tronton dan sebuah blangwir pemadam kebakaran yang terparkir di dekat posko satgas pengamanan Covid-19.
Di sekitar tempat saya hinggap di gerobak susu jahe Agus Salim terdapat sejumlah pedagang yang tetap nekat berjualan; tukang kentang goreng, tukang siomay, tiga sepeda keliling penjaja keliling kopi sachet, ibu-ibu penjual buah-buahan, cak sate madura, tenda nasi uduk, warung rokok, dan masih banyak lagi terbentang sepanjang bantaran kali. Tidak ada mimik was-was, beberapa dari mereka juga menurunkan masker, saling bercanda riang dan terang tanpa menjaga jarak seakan malam itu adalah malam sehat di kalender 2019.
Sementara Agus Salim sibuk melayani satu-dua pelanggan, mengocok, menuang, mencampur takaran pas susu, jahe, dan gula dengan gesit bak bartender profesional. Satu seruput mengawali pertanyaan polos saya kemudian.
“Sudah berapa gelas laku malam ini, Pak?”
“Sama punya mas tadi, baru tiga.” Ia terkekeh. “Susah. Sejak PPKM ini sepi, saya juga bingung.”
Biasanya dalam semalam–di kondisi normal ia mulai berjualan sekitar pukul 7 malam, tapi sejak PPKM Darurat aktivitas berjualannya dimulai lebih pagi. Hari itu ia sudah nangkring di BKT sejak pukul enam magrib–Agus Salim mampu menjual paling sedikit 50 gelas susu jahe. Jika untuk satu gelas susu jahe ia mematok harga Rp10.000, berarti paling tidak pundi fluktuatifnya minimal berjumlah Rp500 ribu per malam bila kondisi normal; dikali 30 hari, sama dengan Rp15 juta. Angka ini adalah perkiraan omset, belum dikurangi modal yang dikeluarkan.
Tentu jika dibanding seorang karyawan swasta bergelar S1 yang bekerja kantoran 9 to 5 dengan gaji bulanan UMR DKI Jakarta Rp4,4 juta, angka itu terlihat begitu besar, tapi bila dihitung keuntungannya mungkin tidak jauh berbeda.
Saya mencoba menyelidiki kenapa program bantuan sosial yang dialokasikan pemerintah bisa tidak sampai ke tangan Agus Salim. Di masa PSSB, Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta menetapkan 6 kriteria yang harus dipenuhi seseorang agar distribusi bantuan sosial dapat sampai. Status sosial yang diutamakan, diperuntukkan bagi warga dengan kategori miskin dan rentan miskin.
Yang pertama, harus terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial. Kedua, harus termasuk sebagai penerima bantuan eksisting Kartu Kesejahteraan Sosial DKI Jakarta. Ketiga, memiliki penghasilan kurang dari Rp5 juta /bulan. Keempat, pekerja yang terkena PHK atau dirumahkan dengan pengurangan atau tidak menerima gaji. Kelima, warga yang usahanya tutup, tidak bisa berjualan kembali. Keenam, warga yang pendapatannya berkurang drastis sebagai imbas pandemi Covid-19.
Dari enam kriteria di atas hanya poin keenam yang sesuai dengan kondisi hidup Agus Salim. Bantuan sosial bernilai Rp598 ribu tersebut akan dipecah menjadi empat kuartal dan disalurkan melalui RW di tempat masing-masing warga penerima.
Tapi apa yang ada di benak Agus Salim adalah skeptisisme. Itu yang membuatnya memutuskan enggan untuk mendaftarkan diri ke Data Terpadu Kesejahteraan Sosial. Karena itu pula ia pun tidak bisa menerima sokongan pemerintah di masa pemberlakuan PPKM Darurat yang di antaranya berupa bantuan tunai sebesar Rp300 ribu, sembako hingga diskon tarif listrik PLN.
“Saya sudah kecewa duluan, mas. Korupsi menghancurkan negara kita yang kaya ini,” cetus Agus Salim tenang seakan sudah terbiasa. “Dan orang-orang miskin seperti kami inilah yang selalu jadi korbannya.”
Mendengar keluhan proletar macam itu saya pun membalasnya dengan gerutuan, “Terkutuklah Juliari Batubara.”
“Amin!” sahut Agus Salim sambil tertawa.
Termakan Omongan Pejabat dan Teori Konspirasi
Raung sirene mobil ambulans menghadirkan teror di perempatan lampu merah Jalan Raya Raden Inten, Duren Sawit. Meminta bukaan jalan kepada mobil-mobil dan sepeda motor yang menanti giliran lampu hijau. Mereka tidak banyak bisa membantu sebenarnya karena celah yang tersedia terlalu sempit, terhadang oleh rapatnya antrean padat rayap kemacetan Jakarta Timur. Tapi sirene ambulans menyalak semakin pekak seperti genderang keadaan darurat yang harus segera ditangani.
Satu per satu pun akhirnya coba menyerongkan moncong kendaraan supaya sang ambulans bisa lewat. Sedikit demi sedikit, pelan-pelan ambulans menyicil inci aspal melaju ke depan. Begitu lampu hijau menyala, melesatlah hentakan pedal gas supir ambulans. Melihat terobosan blingsatan sopir ambulans, saya yang berjarak dua mobil dari ambulans itu jadi penasaran. Seberapa kritis kondisi manusia yang tergolek di dalamnya? Saya memutuskan mengikuti ambulans itu.
Beberapa waktu lalu santer desas-desus kalau di masa pandemi ini banyak ambulans kosong yang sengaja ditugaskan meraungkan sirene mengelilingi jalanan dengan tujuan menakuti masyarakat. Akibat desas-desus itu, sebuah ambulans di Yogyakarta sempat dihadang dan dirusak oleh orang tak dikenal.
Atas alasan itulah saya mengejarnya. Saya menempelnya ketat sambil sesekali berusaha menoleh ke dalam jendelanya. Ambulans menyalip liar, ambil kanan, libas kiri. Tampaknya si supir tidak pernah menginjak pedal rem. Tiba-tiba saja sudah masuk Jalan Raya Pondok Kelapa, lalu belok masuk ke jalan kecil Haji Dogon yang di kedua sisinya berdempetan atap-atap rumah penduduk. Ketika supir memotong rute via gang sebuah komplek, gesit speedometer saya kedodoran akibat tersendat barisan polisi tidur dan mobil-mobil yang berhenti.
Sampai di pintu keluar komplek hilanglah sudah jejak ambulans. Pun raung sirenenya. Saya terpaksa merelakan pengejaran ini dan menegakkan prasangka baik sembari berdoa semoga si pasien beruntung ketika sampai di rumah sakit tujuan, mendapat perawatan yang layak dan masih tersedia ruang okupansi untuk menampungnya, dan dilayani oleh para nakes berenergi fit. Semoga itu tidak muluk-muluk, mengingat lonjakan kasus Covid-19 yang menggila sejak Juni kemarin. Hari itu, 10 Juli 2021 varian Delta telah memakan korban baru sebanyak 12.920 kasus di Jakarta.
Meski varian Delta ini terkenal cepat bertransmisi, tapi itu tak bikin Agus Salim takut. Ia bahkan memutuskan untuk tidak ikut vaksinasi. Ia tidak percaya dengan vaksin dan menganggapnya sebagai permainan bisnis orang-orang kaya yang bernafsu mengontrol kebebasan orang-orang miskin dan memerasnya.
“Covid enggak mempan sama orang miskin,” sesumbar Agus Salim setengah bercanda.
Saya tertawa dan kembali menyeruput susu jahe yang tandas seperempat gelas.
“Maaf, nih sebelumnya, mas mengikuti konspirasi soal Covid ini enggak?”
“Wah, saya jarang baca berita, Pak. Kenapa memangnya?” ujar saya berlagak pilon.
“Coba, deh sekali-sekali ikutin. Covid ini ada tapi enggak seberbahaya itu. Sama kayak flu, kita akan hidup terus berdampingan dengan virus ini untuk waktu yang lama.”
Omongan Agus Salim itu sama persis seperti omongan para pejabat negara yang meremehkan Covid-19 pada awal penyebarannya. Sialnya, Agus menelan bulat-bulat omongan pejabat itu.
“Begitu juga Siti Fadilah. Beliau itu orang pintar dan berani. Beliau menolak vaksin flu burung karena flu burung itu tidak menular. Beliau ajukan itu ke PBB, dan setelahnya apa yang terjadi? Beliau masuk penjara karena dituduh korupsi. Ini permainan bisnis elit global. Siapa yang coba-coba menghalanginya pasti disingkirkan,” katanya lagi.
“Jadi, Covid ini dibikin sama manusia atau alami dari binatang?” tanya saya.
“Kurang tahu. Yang jelas Cina dan Amerika cuma antek. Ada kekuatan yang lebih besar lagi di atas mereka. Dan mereka sedang merencanakan sesuatu yang jahat untuk menguasai peradaban manusia.”
“Maksudnya, Israel?”
Agus menarik napas panjang. “Maaf, tapi mas Islam, bukan?”
Saya tersenyum. “Agama saya cinta, Pak.”
Ia mengangguk. “Kita ini lagi digiring, mas. Vaksin-vaksin ini murni bisnis. Indonesia sekarang dibilang negara dengan kasus Covid tertinggi di dunia, kenapa coba?” katanya. “Yang jelas kita lagi dikadalin supaya beli vaksin yang banyak. Karena kita negara tidak mampu, jadi ujung-ujungnya dikasih pinjaman utang. Berikutnya nanti kita akan dikontrol oleh mereka. Harus menuruti apa yang mereka inginkan.”
“Tapi banyak, lho, Pak, orang-orang yang mati karena Covid,” kata saya menyanggah.
“Beneran murni karena Covid, enggak? Virus itu membangkitkan penyakit-penyakit yang sudah ada di dalam tubuh kita selama ini. Jadi, orang-orang yang mati itu akibat penyakit yang sudah ada dari dulu.”
“Dengan kata lain, kita ini sedang di-Covid-kan, dong?”
“Bisa jadi iya. Dan yang dikorbankan orang-orang miskin. Kita dipaksa vaksin, tapi enggak tahu apa yang mereka suntikkan ke tubuh kita sebenarnya. Coba, deh tonton wawancara Luhut (Binsar Panjaitan) sama Deddy (Corbuzier). Luhut bilang, ‘orang-orang kayak Deddy ini jangan sampai kena Covid dulu, karena masih diperlukan sama negara dan dunia. Yang artinya . . .”
Kalimatnya saya cegat duluan, “Biarin saja yang mati duluan orang-orang miskin yang enggak berguna.”
Ia tertawa. “Ya kurang ajarnya kayak begitu.”
“Jadi bapak enggak khawatir tertular Covid, karena virus itu tidak sebegitu mematikannya?”
“Mendingan saya percaya itu. Yah, habis mau bagaimana lagi? Kalau malah takut, terus enggak jualan, masak anak-istri mau dikasih makan angin?” ujarnya. “Saya lebih takut sama Satpol PP dibanding virus. Selama antibodi kuat, insyaallah Covid-nya pasti kalah.”
Warga VS Satpol PP
Tensi tinggi tak bisa dihindari ketika perintah penertiban kerumunan publik dikeluarkan dan Satpol PP menjadi garda depan berhadapan dengan warga. Keduanya sama-sama memiliki kepentingan dan main garang-garangan. Satpol PP diberi beban tugas oleh negara untuk meminimalisir pergerakan warga, sementara warga menanggung beban hidup harian yang harus konstan dipenuhi. Tidak heran bila akhirnya sejumlah insiden bentrok mewarnai drama ricuh Covid-19 tahun kedua di Indonesia.
Seperti kejadian di pertigaan Lampiri, Kalimalang yang merupakan salah satu titik penyekatan utama PPKM Darurat di wilayah Jakarta Timur. Daerah itu adalah jalur utama bagi para pemotor dari Bekasi yang beraktifitas di Jakarta. Pada hari-hari biasa saja kepadatannya bisa bikin kita tobat, apalagi jika ditambah penutupan jalan, kacaulah pasti.
Perkara bermula saat seorang pemotor yang tampak sedang terburu waktu menolak diminta putar balik. Meski sudah diberi petunjuk jalur lain yang terdekat, si pemotor tetap tidak terima. Ia ngotot, mungkin karena merasa dibekingi oleh ratusan pemotor lain yang gemas mengantre di belakang dan mulai menyalakkan klakson. Perdebatan sengit melahirkan amarah, hingga emosi mencapai kulminasi dengan sajian adegan saling bentak dan tantang yang akhirnya melontarkan sejumlah makian kebun binatang.
Ujungnya si pemotor nekat menerobos, tarikan gas hampir saja menyenggol tubuh petugas yang untungnya sigap menghindar. Setelah berhasil menembus penjagaan si pemotor kemudian melakukan aksi provokasi dengan menendang kanstin pembatas jalan. Dibalas lemparan batu oleh petugas. Akses yang telanjur terbuka memberi nyali bagi ratusan pemotor lainnya, bantuan pun datang dari warga sekitar yang ikut meneriaki jajaran petugas. Kalah jumlah, para petugas tak punya pilihan selain mengalah dan membuka jalur. Sejak peristiwa itu kini jumlah personel Satpol PP dilipatgandakan dan bertindak sangat tegas.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam unggahan di akun Instagram-nya pada hari Kamis (15/7) menuntut ketegasan penuh Satpol PP selama masa PPKM Darurat ini. “Pesan pada semua: Ketika Anda memakai seragam Sapol PP berarti bertindak atas nama negara. Pastikan proses pendisiplinan berjalan dengan tegas, tidak pandang bulu, dan tetap beradab, jaga marwah Satpol PP.”
Jika Anies berharap Satpol PP beradab, seperti itu yang tidak terjadi. Dalam banyak rekaman di media sosial perilaku Satpol PP justru arogan.
Di Gowa, Sulawesi Selatan, oknum Satpol PP menampar seorang ibu yang warung kopinya tetap buka. Di Semarang, Jawa Tengah, sebuah tank air sekonyong-konyong menyemprot sejumlah warung dan restoran yang beroperasi melewati jam malam. Di Surabaya, Jawa Timur, mereka menyita KTP dan tabung LPG 3 KG milik pemilik warung – yang direspons agresif warga dengan mengeroyok para petugas dan merusak mobil petugas protokol kesehatan. Di Tasikmalaya, Jawa Barat, seorang penjual bubur didenda 5 juta rupiah karena membiarkan pelanggannya makan di tempat.
Menyadari preseden buruk beralamat kepada jajaran Satpol PP, Anies Baswedan lagi melanjutkan seruan di Instagram-nya agar penegakkan ketertiban dapat dilakukan dengan cara yang humanis, elegan bin bermartabat: “Saat ini rakyat kebanyakan sedang dalam kondisi sulit, Ibu/Bapak akan menemui orang-orang yang melanggar karena kebutuhan. Itu beda dengan orang-orang yang melanggar karena keserakahan. Sapa mereka dengan hati, tegur dengan hati, perlakukan mereka sebagai saudara sendiri yang sedang dalam kondisi sulit. Tetap tegakkan disiplin dengan rasa hormat dan rasa kasih.”
Memang di Jakarta kelakuan Satpol PP tidak separah di wilayah lain, memang. Agus Salim mengakuinya. Patroli razia Satpol PP yang dialaminya di BKT tak terlalu kejam, “Mereka masih bisa mengerti,” akunya. Ia hanya diminta untuk segera menutup dagangannya apabila pukul sudah menunjuk 10 malam.
“Kecuali kalau yang turun tangan personel gabungan, Satpol PP, tentara, polisi. Mungkin karena gengsi, enggak mau kalah sangar sama tentara dan polisi. Baru saja kemarin gerobak temen saya diangkut.”
“Terus,” kata saya, “kalau kena angkut, bakal dibalikin enggak? Atau harus bayar denda dulu?”
“Ya, mas tahulah. Semua bisa dikondisikan, ujung-ujungnya, kan tetap nego duit.”
Reporter Project Multatuli mencoba mengonfirmasi soal razia dan prosedur penyitaan ini kepada Kepala Satpol PP DKI Jakarta, Arifin. Namun permintaan wawancara lewat pesan WhatsApp belum dibalas hingga berita ini diterbitkan. Kami juga berupaya menghubungi via telepon namun juga tidak diangkat.
Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #KamiSesakNapas dan #DiabaikanNegara yang didukung oleh Yayasan Kurawal.