Nestapa Keluarga Kelas ‘Pas-pasan’ Mengejar Gelar Sarjana

Mawa Kresna
19 menit
Ilustrasi mahasiswa susah payah mengejar gelar Sarjana. (Project M/ Azka Maula - CC BY-NC-ND 4.0)

Keluarga Zola merupakan potret keluarga kelas menengah ‘pas-pasan’ Indonesia yang serba salah. Ayahnya bekerja sebagai polisi, ibunya jualan soto, tetap kesulitan membiayai anak untuk kuliah. Zola harus kerja ugal-ugalan buat hidup dan biaya kuliah, orangtuanya pontang-panting cari utangan, adiknya sudah berencana keluar dari UGM jika tak sanggup membayar UKT paling besar, magang pun tak mendapat bayaran, masih harus berjuang menghadapi masalah mental.


Maret 2024, Zola (bukan nama sebenarnya), remaja asal Kebumen, Jawa Tengah, termenung memandangi langit gelap Jakarta; dikelilingi gedung-gedung pencakar langit yang tertutup polusi.

Tak pernah terbayangkan dalam benaknya, jika ia akan terengah-engah mengejar gelar sarjana. Melakoni beberapa pekerjaan sekaligus demi membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT); hingga akhirnya dilanda masalah mental.

Semasa duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), bayangan tentang Jakarta selalu megah dalam dirinya. Menyaksikan langsung hiruk-pikuk ibu kota negara saat mengikuti Parlemen Remaja di DPR RI, menguatkan niatnya untuk melanjutkan jenjang pendidikan di Universitas Indonesia (UI).

Zola terbilang siswa yang aktif dan pintar. Ia lolos seleksi program bimbingan belajar (bimbel) dari Perhimpunan Mahasiswa Kebumen Universitas Indonesia (Perhimak UI). Berkat itu, ia tidak perlu merogoh kocek untuk mengikuti bimbel persiapan masuk perguruan tinggi.

Ia dibiayai untuk belajar dan tinggal selama dua bulan di Depok, Jawa Barat. Hingga akhirnya, pada 2019, mimpinya kesampaian. Zola diterima sebagai mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI. 

Di tahun pertama perkuliahan, biaya UKT sebesar Rp4 juta per semester tak terlalu memberatkan bagi Zola. Ia pun bisa fokus menjalani proses kuliah sembari aktif berorganisasi dan ikut mengadvokasi warga di Jatipadang yang akan digusur. 

Baru setahun kuliah, pandemi Covid-19 melanda. Kampus merombak model pembelajaran; yang semula luring menjadi daring. Perhimak UI juga mewajibkan Zola untuk kembali ke kampung halaman bersama mahasiswa asal Kebumen lainnya.

Covid-19 memang menyulitkan banyak orang, beberapa di antaranya harus kehilangan pekerjaan bahkan keluarga. Bagi Zola, pandemi ini sedikit mengurangi beban ekonomi kedua orangtuanya, karena tidak perlu mengeluarkan biaya Rp400 ribu per bulan untuk biaya asramanya; belum termasuk biaya makan dan UKT.

Ayah Zola seorang bintara polisi dengan gaji bersih Rp4,1 juta per bulan. Sementara ibunya bekerja sebagai penjaga warung soto di Kebumen. Gajinya tak menentu, tergantung dengan jumlah pelanggan yang datang. Sebelum menjaga warung soto, ibu Zola sempat kerja serabutan. 

Sebelum Zola menginjak kelas 2 di Sekolah Menengah Pertama (SMP), ibunya sempat menjual sambal kacang untuk dititipkan ke beberapa warung. Baru setelah itu, ibu Zola diberi kepercayaan oleh mantan atasan ayahnya untuk mengelola warung soto. 

“Kalau gitu apa ya namanya, kayak manajer gitu kali ya?”

Zola adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Saat pandemi melanda, adik sulungnya, Reza (bukan nama sebenarnya) sedang menempuh bangku SMA di Yogyakarta, sedangkan adik bungsunya masih duduk di kelas 5 Sekolah Dasar (SD).

“Orangtuaku gak pernah membatasi pendidikan anaknya. Mereka selalu berusaha mengupayakan, ya walaupun aku tahu sebenarnya mepet banget,” kata Zola. 

Kendati seorang anak dari Aparatur Sipil Negara (ASN) yang gajinya tak terdampak pandemi, nyatanya kondisi itu juga tetap menyulitkan pemasukan tambahan orangtuanya. 

Gara-gara pandemi, warung soto sepi pembeli. Biaya operasional pun tak bisa dicukupi. Terpaksa, sebagian gaji ayah Zola dialokasikan untuk menutup operasional warung sembari berutang kepada saudara.

Saat itu, Zola sempat meminta keringanan UKT, namun meskipun tak memakan fasilitas kampus, pengurangan biaya kuliah tak ia dapatkan. “Dulu BEM FISIP sempet bikin kajian juga, yang di Jakarta juga sempet demo. Tapi ya gak terjadi apa-apa,” ingat Zola

Untuk membantu perekonomian keluarga, Zola menjajaki beberapa pekerjaan sembari menjalani kuliah daring. Tak tanggung-tanggung, mulai dari review CV, motivation letter, transkrip wawancara, hingga mengajar bahasa Inggris secara daring; semuanya ia jalani bersamaan.

Beruntung, jika banyak pelanggan, Zola bisa menghasilkan Rp600 ribu per bulan. Sebagian hasil kerja itu, ia sisihkan untuk orangtuanya. Sebagiannya lagi ia jadikan tabungan. 

Mengejar Gelar Sarjana

Ilustrasi mahasiswa susah payah mengejar gelar Sarjana. (Project M/ Azka Maula – CC BY-NC-ND 4.0)

Mulai 2022, pandemi mereda, Zola akhirnya bisa kembali ke Depok dan menjalani kuliah luring. Saat kembali ia tidak bisa tinggal di asrama lagi lantaran masa tinggalnya dibatasi maksimal dua tahun.

Zola pun akhirnya mencari kos di sekitaran UI. Dibantu oleh seorang temannya dari Kebumen, ia menemukan kos dengan ukurannya 3×3 meter. Jaraknya sekitar 10 menit berjalan kaki dari Halte Bus UI. 

Meskipun di dalamnya sudah tersedia kasur, lemari, dan kamar mandi, udara di dalamnya cukup pengap karena tak ada jendela. Di samping itu, Zola harus sering mengganti penyaring air. Sebab, kosnya menggunakan air tanah. Jika tak menggunakan penyaring, airnya akan berwarna kecoklatan. Pernah suatu malam, Zola mengganti penyaring air, belum genap 24 jam airnya sudah berwarna cokelat lagi. 

Saat tak punya uang menganti penyaring air, Zola akan menumpang mandi di masjid sekitar kos atau kampus. Hal itu ia maklumi, toh, harga kosnya relatif murah katanya; Rp500 ribu per bulan.

Kembali menjalani kuliah luring, dalam benak Zola seakan menyenangkan. Bertemu teman secara langsung, berorganisasi, dan nongkrong menjadi bayangan indah. Namun, kenyataan tak demikian. 

Saat Zola kembali merantau, Reza, adiknya, juga kembali ke Yogyakarta. Orangtua mereka pun harus kembali menanggung biaya hidup dan sekolah kedua anaknya itu. Padahal, kondisi ekonomi pascapandemi tak kunjung membaik. Utang operasional warung semasa pandemi yang masih menggentayangi.

Memasuki semester 6, uang bulanan Zola mulai seret. Sesekali orangtuanya masih mengirimkan uang sekitar Rp175-200 ribu. Tapi, itu tak pasti. Belum tentu dalam seminggu, Zola dikirimi uang dari Kebumen. 

Keadaan itu memaksa Zola untuk kembali bekerja demi bertahan hidup. Ia pun memilih menjadi pengajar privat bahasa Inggris lagi. Dalam sebulan, Zola dapat mengajar 8 pertemuan. Tiap pertemuan, sekitar 1,5 jam. Jika dihitung-hitung upahnya dalam sebulan sekitar Rp750 ribu; belum termasuk ongkos transportasi, karena ia tak punya kendaraan pribadi. Uang segitu mepet buat hidup di Depok.

“Kalau lagi hemat banget, sehari aku cuma makan sekali.”

Belum selesai dengan urusan perut, Zola juga harus dipusingkan dengan biaya kuliahnya. Ia menyadari kalau biaya kuliahnya sebenarnya sangat memberatkan. Ditambah, ia tak pernah bisa mendapat keringanan UKT kendati telah berulang kali mengajukan.

Pihak kampus pun tak pernah menginformasikan alasan pengajuannya ditolak. Jalan terakhir untuk tetap kuliah adalah dengan mengajukan skema cicilan kepada pihak kampus.

UI memang menyediakan cicilan pembayaran UKT. Dibanding keringanan UKT, kata Zola, lebih mudah mengajukan cicilan. Jika pengajuan keringanan hanya dibuka tiap semester genap, skema cicilan akan dibuka tiap semester. Biaya kuliah sebesar Rp4 juta, dapat ia cicil tiga kali.

“Cicilan pertama 20 persen, cicilan kedua 30 persen. Itu, aku masih bisa bayar.”

Nah, cicilan terakhir ini yang berasa banget, 50 persen soalnya. Aku sering nunggak pas bayar yang ini,” kata Zola sambil memandangi tagihan UKT-nya. 

Ilustrasi foto cicilan tagihan UKT seorang mahasiswa. (Project M/Michelle Gabriela)

Karena sering terlambat membayar UKT, Zola terpaksa harus terlilit denda keterlambatan. Denda yang dipatok pun tak main-main, sekitar 25 persen. Terlihat dari Sistem Informasi Akademik atau SIAK UI milik Zola, dendanya hingga Rp500 ribu. “Pas semester 6 itu aku bayarnya sampe Rp6,5 juta, Rp4 juta UKT semester baru, sisanya denda plus tunggakan semester sebelumnya.”

Beruntung, saat itu Zola mendapat beasiswa sebesar Rp4 juta yang dibayarkan satu kali. Dari  beasiswa itu, setengahnya ia berikan pada orangtuanya. Sisanya, ia pakai menutup kekurangan bayar UKT.

Memasuki semester 8, Zola menjajal berbagai pekerjaan. Ia pernah jadi pengajar bahasa inggris di sebuah layanan bimbel di Jakarta. Ia dikontrak sebagai pekerja paruh waktu sehingga tak bisa meminta jadwal lebih banyak jika sedang butuh uang. Zola hanya bisa meminta jadwal agar tidak tabrakan dengan waktu kuliah atau praktikumnya. 

Zola mengajar rata-rata 4 hari dalam sebulan. Satu harinya mengajar, terdiri dari 2 sesi. Tiap sesinya sekitar 1-1,5 jam. Saat kebagian jatah mengajar pukul 8 pagi, ia akan berangkat pukul setengah 5 pagi menggunakan transportasi umum, bila jadwal mengajar pukul 7 pagi, Zola terpaksa merogoh kocek sekitar Rp26-30 ribu untuk naik ojek online. “Mahal sih, uangnya juga gak diganti kantor,” keluh Zola. 

Setelah di kantor, Zola akan naik mobil bersama pengajar lainnya menuju sekolah tempat mengajar. Sekitar pukul 11 siang, mobil kantor akan menjemput dan kembali mengantarkannya ke Depok Lama. 

Sesampainya di kos, Zola biasanya tak punya cukup waktu untuk meregangkan badan. Ia harus mengerjakan tugas kuliah atau laporan praktikum. Ditambah, ia mesti menyiapkan materi les untuk kelas privatnya di jam 4 sore.

Gaji Zola dari layanan bimbel itu sekitar Rp80-90 ribu per jam. Tapi, baru dibayarkan tiap 3 bulan. Jadi, untuk hidup di Jakarta Zola hanya mengandalkan gaji dari mengajar privat. 

Awal 2023, Zola juga sempat berselancar di Linkedln untuk mencari pekerjaan tambahan. Ia melamar di salah satu event organizer dan diterima sebagai pekerja magang. Kantornya berada di daerah Tangerang. Ia dikontrak selama 6 bulan, dari Januari hingga Juli dengan gaji Rp2 juta per bulan. Di akhir masa kontrak, Zola memilih tidak melanjutkan karena terlalu jauh lokasi kerjanya. “Ternyata capek banget, aku gak kuat,” katanya. 

Hingga hari ini, Zola masih menjalani pekerjaannya sebagai pengajar privat dan bimbel. Sebenarnya, ia telah berulang kali disuruh ibu dan dosen pembimbingnya untuk berhenti bekerja. Pasalnya, pada 2023, ia seharusnya sudah lulus jika mengikuti rancangan ideal; kuliah 4 tahun. Tapi, menjalani tiga pekerjaan sekaligus membuatnya tak fokus berkuliah. 

Sejak semester 7, Zola sudah ingin mengajukan cuti. Namun, kebijakan dari UI mewajibkan mahasiswa cuti untuk tetap membayar 50 persen dari UKT. “Ibuku bilang daripada bayar 50 persen mending dilanjutin aja. Tapi sebenernya aku dah gak kuat, dah burn out banget.”

Satu-satunya alasan Zola tak mau berhenti bekerja adalah kondisi ekonomi keluarganya yang sedang kocar-kacir. Pertengahan 2023, Reza diterima sebagai mahasiswa Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. 

Zola memang merekomendasikan Reza untuk masuk jurusan itu. Rekomendasinya itu didasari dengan hasil tryout dan potensi adiknya. Dalam bayangannya, biaya hidup di Yogyakarta akan jauh lebih murah. “Temenku yang kuliah di UGM biasanya UKT-nya gak terlalu mahal, biaya hidupnya juga lumayan murah. Jadi aku nyuruh dia masuk UGM aja,” kata Zola. 

Tak disangka, rekomendasinya itu akan ia sesali. Pertengahan Maret 2023, UGM merombak sistem UKT-nya. Zola tak tahu informasi itu. Reza juga sudah terlanjur mendaftar Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT) dan memilih UGM. 

Setelah lolos seleksi dan mendaftar ulang, mereka terkejut karena UKT Reza sebesar Rp12,5 juta per semester.  “Aku nyesel banget nyuruh adikku daftar UGM, mana dia ngikut banget orangnya.”

Zola sempat bertanya-tanya dengan nominal UKT yang didapat adiknya. “Gimana bisa, dengan pendapatan orangtua yang sama, aku di UI dapet golongan 4, tapi adikku dapat golongan tertinggi di UGM?” tanya Zola. 

Di UGM, Reza mendapat golongan Pendidikan Unggul alias golongan tertinggi. UGM menyebutnya sebagai golongan tanpa subsidi. Bagi Zola, tak masuk akal dengan total pendapatan orangtua sekitar Rp5 juta per bulan dan jumlah tanggungan 4 orang mendapat UKT tertinggi. 

Di sisi lain, Zola tak mungkin mematahkan semangat adiknya untuk melanjutkan pendidikan. Kendati, ia paham betul nominal itu tak mampu dibayarkan kedua orangtuanya. Sebagai anak pertama, Zola seakan punya beban untuk memastikan adiknya juga bisa menempuh pendidikan yang sesuai. 

Zola kemudian menyuruh adiknya untuk mengajukan keringanan UKT. Awalnya, Reza menghubungi pihak Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa (Adkesma) BEM Teknik UGM. Lalu, diarahkan untuk komunikasi langsung dengan narahubung dari tim advokasi, Himpunan Mahasiswa Teknik Industri.

Setelah mengontak narahubung tersebut, Reza diminta mengajukan penyesuaian atau peninjauan ulang UKT dengan melengkapi berkas-berkas, seperti surat permohonan, slip penghasilan orangtua, bukti pembayaran listrik, foto rumah, dan surat pemberitahuan tahunan. Setelah melengkapi berkas-berkas itu, Reza mengajukan peninjauan melalui Sistem Informasi Terintegrasi atau Simaster UGM. Tak selang beberapa lama, Reza mendapat konfirmasi bahwa peninjauannya ditolak. 

Dalam kondisi kebingungan, Zola kembali menyuruh adiknya itu untuk menghubungi narahubung tim advokasi, pada 11 Juli 2023 siang. Sementara tenggat waktu pembayaran UKT maksimal pada 12 Juli 2023. 

Reza mengirim tangkapan layar yang menyebutkan peninjauan UKT ditolak melalui pesan Line kepada tim advokasi. Pesan itu dijawab dengan pernyataan bahwa subsidi UKT sudah habis. Tak menyerah, Reza kembali menjelaskan kondisi ekonomi orangtua yang tak mampu membayar nominal UKT Rp12,5 juta.

Nahas, keputusan prodi sudah mutlak, kata tim advokasi. Adik Zola tak bisa mendapat keringanan UKT. Di grup angkatan, beberapa teman Reza juga mengeluhkan hal serupa. Angkatan 2023 Teknik Industri diterpa kebingungan dengan sistem baru yang diterapkan. 

Salah satu teman Reza mengirim pesan di grup angkatan. Rupaya, Fakultas Teknik UGM menerapkan kuota bagi mahasiswa yang mendapat subsidi. Kuota ini hanya diterapkan oleh Fakultas Teknik. Jadi, jika kuota subsidi paling tinggi sudah dipenuhi, maka akan dimasukan pada kuota subsidi di bawahnya. 

Misal, kuota subsidi 75 persen terpenuhi, mau tak mau mahasiswa akan mendapat kuota subsidi 50 persen; begitu seterusnya sampai semua subsidi terpenuhi dan harus mendapat UKT tanpa subsidi, seperti yang dialami Reza. 

Beberapa mahasiswa lainnya juga mengeluhkan peninjauan UKT yang ditolak tanpa kejelasan dan alasan. “Tertutup dan tidak transparan,” kata salah satu teman Reza, di grup Line angkatan. 

Pada Hearing Rektorat, 21 Juni 2023 yang digagas oleh Aliansi Mahasiswa UGM, sistem kuota yang diterapkan oleh Fakultas Teknik ini sempat ditanyakan kepada Arie Sujito, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat, dan Alumni. “Itu memang kebijakan fakultas masing-masing,” jawab Arie. 

Dengan tenggat waktu yang mepet, ayah Zola terpaksa berutang pada saudara untuk membayar biaya kuliah adiknya di UGM itu. Per April 2024, Reza sudah melewati dua semester di UGM. Total sudah Rp25 juta utang keluarganya untuk membayar UKT. 

“Utang yang semester sebelumnya aja belum lunas, ini dah utang lagi buat semester 2. Jujur gak enak jadinya,” ucap Zola. 

Melihat besaran UKT yang didapat Reza, orangtuanya tak yakin bisa berutang lagi pada semester depan. Utang keluarga sudah terlalu menumpuk, semetara gaji ayahnya tak akan bertambah. Penghasilan ibunya juga tak pasti. 

“Ayahku penghasilannya sama terus, jabatannya juga udah mentok. Dia bintara soalnya, potongan gajinya kan juga gede kan,” kata Zola. 

Kondisi itu dipahami juga oleh Reza. Jika semester tiga tak lagi mendapat keringanan UKT, maka ia akan keluar dari UGM dan mendaftar sekolah kedinasan. 

Pada semester dua lalu, Reza sudah mengajukan keringanan UKT, tapi ditolak. Sama persis seperti Zola, mereka tak diberi tahu alasan pengajuannya ditolak. Kata Zola, adiknya juga pernah mengajukan beasiswa dari alumni Teknik Industri. 

“Beasiswanya cuma sekitar Rp3-4 juta, itu aja gak nyampe 50 persen dari UKT. Paling cuma bisa bantu buat bayar utang UKT kemarin,” kata Zola. 

Sekarang, Reza sudah mempersiapkan untuk mendaftar sekolah kedinasan. Menurut orangtuanya, sekolah kedinasan memerluhkan biaya yang jauh lebih murah daripada melanjutkan studi di Teknik Industri UGM. 

Biaya Kuliah, Cekik Kelas Pas-pasan

Perombakan sistem UKT UGM tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Rektor UGM Nomor 261/UN1.P/KPT/HUKOR/2023 dan 595/UN1.P/KPT/HUKOR/2023. Dalam SK tersebut, UGM memangkas 8 golongan UKT menjadi 5 golongan dengan kelipatan 25 persen; subsidi 100 persen, 75 persen, 50 persen, 25 persen, dan 0 persen (Pendidikan Unggul). 

Selain itu, UGM juga menerapkan Sumbangan Solidaritas Pendidikan Unggul (SSPU) bagi mahasiswa jalur ujian mandiri. Nominalnya sebesar Rp20 juta bagi klaster Sosial Humaniora (Soshum) dan Rp30 juga bagi klaster Sains dan Teknologi (Saintek). 

Sekilas, dalam kebijakan baru itu, terlihat penurunan UKT pada golongan tertinggi. Namun, hal tersebut tak lantas membuat biaya kuliah menjadi lebih murah. Sebab, pada golongan tengah terjadi kenaikan biaya kuliah. 

Hasil kajian dari Forum Advokasi Mahasiswa (Formad) UGM, pada 2023, menyebutkan terjadi perubahan besaran biaya kuliah berdasarkan rentang penghasilan orangtua. Sebagai contoh, jika mahasiswa Teknik Industri masuk pada 2022, dengan total penghasilan orangtua sebesar Rp3,5 juta, akan mendapat UKT golongan 3; sebesar Rp4 juta. Namun, jika mahasiswa tersebut masuk pada 2023 akan mendapat golongan UKT subsidi 50 persen, sebesar Rp6,1 juta. 

Perbandingan Penggolongan UKT UGM TA 2022/2023 dan 2023/2024

Berdasarkan Pendapatan Orangtua atau Wali

Rentang Penghasilan Tahun Ajaran 2022/2023 Tahun Ajaran 2023/2024
Golongan Biaya Kuliah Golongan Biaya Kuliah
≤ Rp500 ribu I Rp500 ribu Subsidi 1 (100%) Rp0 ribu
Rp500 ribu – Rp2 juta II Rp1 juta Subsidi 1 (100%) Rp0 ribu
Rp2. juta – Rp3 juta III Rp2,4 juta – Rp7,3 juta Subsidi 2 (75%) Rp1,9 juta – Rp2,3 juta
Rp3 juta – Rp3,5 juta III Rp2,4 juta – Rp7,3 juta Subsidi 3 (50%) Rp2,7 juta – Rp12,3 juta
Rp3,5 juta – Rp5 juta IV Rp3,1 juta – Rp10,8 juta Subsidi 3 (50%) Rp2,7 juta – Rp12,3 juta
Rp5 juta – Rp10 juta V Rp4,2 juta – Rp14,5 juta Subsidi 4 (25%) Rp5,7 juta – Rp18,5 juta
Rp10 juta – Rp20 juta VI Rp5,5 juta – Rp20 juta Pendidikan Unggul (0%) Rp7,6 juta – Rp24,7 juta
Rp20 juta – Rp30 juta VII Rp7,5 juta – Rp23 juta Pendidikan Unggul (0%) Rp7,6 juta – Rp24,7 juta
> Rp30 juta VIII Rp8 juta – Rp26 juta Pendidikan Unggul (0%) Rp7,6 juta – Rp24,7 juta
Sumber: Kajian Forum Advokasi Mahasiswa UGM, 2023

Selain itu, kajian Formad UGM juga menyebutkan adanya lonjakan rasio pengorbanan orangtua hingga 68 persen. Artinya, orangtua harus mengorbankan 68 persen dari total gaji per bulan untuk membayar UKT. 

Ternyata, tak hanya UGM yang merombak kebijakan mengenai biaya kuliah. Pada 2023, UI juga merombak kebijakan biaya kuliah mahasiswa baru jalur reguler. Sebelumnya, UI menerapkan tarif biaya kuliah yang terdiri atas Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan (BOP-B) dan Biaya Operasional Pendidikan Pilihan (BOP-P).

Tarif BOP-B ditentukan oleh pihak kampus, sementara BOP-P ditentukan oleh mahasiswa baru dengan nominal yang lebih besar. Sebagai perbandingan, tarif BOP-P tertinggi sama dengan 3,5 kali BOP-B pada klaster Soshum dan 2,8 kali BOP-B pada klaster Saintek. 

Namun, pada 2023, UI langsung membagi rentang UKT menjadi 11 golongan. UKT tertinggi bagi klaster Soshum di angka Rp17,5 juta dan bagi klaster Saintek di angka Rp20 juta. Tarif UKT ini akan ditentukan oleh pihak kampus. 

Pada 19 Januari 2024 lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim juga mengeluarkan peraturan baru, yakni Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi. Peraturan ini mengganti peraturan sebelumnya, yakni Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020. Terdapat beberapa perubahan dalam peraturan baru ini. 

Pertama, terkait Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) atau besaran kuliah per tahun yang menjadi rujukan Biaya Kuliah Tunggal (BKT). Sebelumnya, tidak diatur nominal SSBOPT dan hanya melampirkan cara perhitungannya. Tapi, pada peraturan baru, dituliskan bahwa SSBOPT ditetapkan besarannya oleh menteri dengan nominal tiap wilayah yang diatur dalam Kepmendikbudristek Nomor 54/P/2024

Kedua, BKT yang merupakan besaran biaya kuliah tiap semester. Dalam peraturan sebelumnya, dijelaskan bahwa besaran UKT tiap semester paling tinggi sama dengan besaran BKT pada setiap program studi. 

Namun, dalam peraturan baru, diperbolehkan besaran UKT dua kali dari BKT pada mahasiswa sarjana dan diploma jalur kelas internasional, kerja sama, rekognisi pembelajaran lampau, dan berkewarganegaraan asing. 

Ketiga, terdapat pula perubahan pada Iuran Pengembangan Institusi (IPI) atau uang pangkal. Sebelumnya, IPI hanya disebutkan sebagai pungutan lain di luar UKT bagi mahasiswa diploma dan sarjana jalur mahasiswa asing, kelas internasional, kerja sama, dan seleksi mandiri. 

Namun, dalam peraturan baru, IPI ditetapkan sebagai nama formal dengan menyebutkan bahwa pimpinan PTN dapat menetapkan tarif IPI selain UKT. Kemudian, besaran tarif IPI dapat empat kali BKT bagi mahasiswa diploma dan sarjana jalur mahasiswa asing, kelas internasional, kerja sama, dan seleksi mandiri, serta mahasiswa program magister atau magister terapan, doktor atau doktor terapan, profesi, spesialis, dan sub spesialis. 

Sementara itu Amelita Lusia, Kepala Biro Humas dan KIP UI menjelaskan bahwa mereka memberikan ruang konsultasi kepada mahasiswa dan orangtua mahasiswa atau penanggung biaya kuliah jika ada penetapan nilai UKT dan IPI yang tidak sesuai. 

“Pada prinsipnya UI menjamin setiap mahasiswa yang diterima di kampus ini tidak akan mengalami hambatan dalam mengikuti pendidikan akibat adanya masalah finansial,” ujar Amelita Lusia, lewat video yang ia kirim dalam pesan singkat.

Nunggak Bayar Kos, Kena GERD, dan Dilanda Masalah Mental 

“Pas itu, di pikiranku cuma mati aja. Aku mikirnya kalau aku gak ada pasti orangtuaku gak perlu bayar 4 juta per semester dan mikirin biaya kos plus makanku di sini,” kata Zola, mengingat masa-masa depresinya saat itu. 

Hasil riset dari Project Multatuli dan Aliansi Pendidikan Gratis, pada 2023, juga menemukan 74,22 persen dari 384 responden berpendapat bahwa mahalnya biaya kuliah berpengaruh pada kondisi fisik atau mental mereka. 

Di banyak kasus, mahalnya biaya kuliah akan berujung pada masalah-masalah, seperti berutang, gangguan belajar, cuti kuliah, bekerja hingga kelelahan, hingga menurunnya kondisi fisik dan mental; sebagaimana yang dialami juga oleh Zola. 

“Aku hopeless banget, kayak uang kuliah aja belum bisa kebayar. Terus aku ngalamin gangguan tidur segala macem. Aku tetep coba kerja, malah makin ngerecokin kuliah.”

“Aku ngerasa apa pun yang kulakukan saat itu salah. Kayak buat istirahat aja dikejar rasa bersalah, tapi terus-terusan kerja juga aku ngerasa gak bisa,” sambung Zola.

Pada 2023, kuliah sembari menjalani tiga pekerjaan plus tuntutan untuk segera lulus memengaruhi mental Zola. Setelah berulang kali konsultasi dengan psikolog dari Klinik UI, ia dirujuk untuk menemui psikiater. Hasil diagnosis menyebutkan Zola mengalami gangguan borderline personality disorder atau BPD. 

Mengingat keterbatasan biaya, Zola sempat minta rujukan psikiater yang murah. “Pas itu aku bingung, gak punya uang juga. Psikiater gak menerima BPJS, kalau dari klink UI kan gratis. Terus, aku minta psikologku buat nyariin yang murah,” ingatnya. 

Kurang lebih selama setahun, Zola bolak-balik ke psikiater. Biayanya tak murah bagi Zola, Rp500 ribu untuk konsultasi dan obat. Belum lagi ditambah biaya transportasi menuju lokasi praktik psikiaternya di Kebayoran; jaraknya hampir 1 jam dari Depok. 

Sebenarnya psikiater merekomendasikan Zola untuk konsultasi dua kali dalam sebulan. Tapi, ia tak sanggup jika harus mengeluarkan uang sekitar Rp1 juta per bulan. Untuk membayar jasa konsultasi dan obat itu saja, ia harus menggunakan uang hasil kerjanya sendiri. 

“Aku minta obatku buat dirapel aja sebulan, gak mampu aku kalau bayar segitu,” kata Zola. 

Psikiaternya pun mengiyakan permintaan Zola. Ia diberi jadwal konsultasi satu kali dalam sebulan. Biasanya pukul 4 atau 5 sore dan selesai satu jam setelahnya. Biasanya, Zola akan naik KRL dan ojek online menuju lokasi psikiaternya. Kereta yang dinaikinya akan transit di Manggarai dan Tanah Abang. 

Saat jam pulang kerja, Stasiun Manggarai dan Tanah Abang sesak dengan kerumunan manusia. “Udah lega habis cerita, eh lihat lautan manusia rasanya pingin balik ke psikiater lagi,” ucap Zola. 

Pernah suatu ketika, Zola sudah sangat lelah menjalani rutinitasnya. Kebetulan, hari itu adalah jadwal konsultasinya. Ia pun bisa sedikit tenang sehabis bercerita hingga menangis. 

“Habis itu, aku kayak dah siap lagi memulai hari. Tapi, pas sampai stasiun, kata-kata yang pertama ku dengar, ‘k****l lo, main senggol-senggol gue aje. Gue lagi turun nih.’”

“Kondisi mental lagi gak sehat, eh lingkungannya juga mendukung untuk tidak sehat mental,” sambung Zola. 

Zola tak hanya mengalami masalah mental. Ia juga terserang gastroesophageal reflux disease (GERD) atau penyakit asam lambung lantaran kerap berhemat makan. Zola memang memilih untuk memangkas uang makannya karna tak tau lagi bagaimana harus berhemat. 

Ia sudah berupaya maksimal memangkas uang transportasinya dengan berjalan kaki, biaya kos tak mungkin bisa ia pangkas. Sebelumnya, Zola pernah tak bisa membayar kos selama enam bulan. Biaya kosnya selama Januari-Juli 2023 itu baru bisa ia bayar pada bulan Oktober. “Syukur, pas itu gak dikeluarin dari kos,” ucap Zola. 

Saat ini, Zola sedang menyusun tugas akhirnya sembari menyelesaikan mata kuliah praktikum. Mata kuliah itu mewajibkannya untuk magang di salah satu non-governmental organization (NGO); tanpa dibayar. Lokasinya ada di Kalibata, Jakarta Selatan. Dalam seminggu, Zola masuk 48 jam. Ia sering keberatan di biaya transportasi. Sedikitnya, ia harus mengeluarkan Rp12 ribu untuk pulang-pergi naik KRL dan Transjakarta. 

Di akhir pembicaraan, Zola teringat tahun pertamanya di perkuliahan. Salah seorang dosen yang sedang mengajar bilang, “Kalau kita mau mensejahterakan orang lain, kita harus mensejahterakan diri kita sendiri. Tapi kalau mau nunggu diri sendiri sejahtera, sampai kapan? Setidaknya ilmu yang kita punya bisa mensejahterakan diri sendiri dan orang lain.”

Mau tak mau, Zola terpaksa bersyukur, menelan pahit-pahit tiap kenestapaan untuk mengejar gelar sarjana. Ia dan keluarganya berusaha bertahan menghadapi chaos hari demi-hari. “Sampai sekarang, aku selalu mikir, gimana ya caranya hal ini gak terjadi lagi di masa depan?”


Laporan ini adalah bagian dari serial #PendidikanHarusGratis, kolaborasi Project Multatuli bersama APATIS (Aliansi Pendidikan Gratis).

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
19 menit