Terlilit Utang UKT: Mahasiswa di Bandung Jadi Buruh Pabrik dan Jualan Cuanki di Kampus

Mawa Kresna
13 menit
Spanduk kritik tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT) terpajang di kawasan kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menurut survei yang dilakukan Senat Mahasiswa pada tahun 2023 tercatat, setidaknya ada lebih dari 400 mahasiswa baru yang kesulitan membayar UKT, terutama di semester genap ke semester ganjil. (Project M/Bukbis Candra Ismet Bey)
Hampir di semua kampus negeri ada mahasiswa tak mampu membayar uang kuliah. Kampus biasanya menyediakan mekanisme keringanan, tapi solusi ini dianggap temporer. Bahkan kampus menyarankan mahasiswa berutang ke pinjol, sementara pemerintah mewacanakan student loan. Mahasiswa makin terlilit utang, cuti kuliah, bahkan putus kuliah.

TANGAN IQWAM, bukan nama sebenarnya, bergerak lincah menuang tiga jenis bumbu ke dalam toples plastik besar berisi keripik singkong. Pemuda bertubuh kurus dan berambut gondrong itu kemudian menggoyang toples ke atas lalu ke bawah, mencampur keripik dengan bumbu racikannya sampai merata.

Berjam-jam Iqwam duduk di depan berkilo-kilo keripik singkong dan bumbu gurih pedas, tidak menghiraukan udara pengap akibat hujan yang batal turun pada awal Januari 2024. Sesekali dia mencicipi keripik racikannya atau sekadar duduk melepas bosan sembari mengisap rokok di depan kolam yang menampung ribuan ikan.

Iqwam mengemas singkong olahannya untuk untuk dijual ke beberapa tempat kenalannya demi melunasi utang UKT. (Project M/Bukbis Candra Ismet Bey)

Iqwam tidak punya pengalaman membuat singkong menjadi keripik kemasan, tapi dia rela belajar dan memulai usaha rumahan itu untuk melunasi utang Uang Kuliah Tunggal (UKT). Kesempatan untuk mengolah singkong jadi keripik datang dari salah satu dosennya di kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung pada November 2023, setelah dia berhenti jadi pengemudi ojek online. 

“Kebetulan kenalan bapak [dosen] punya bahan baku, dia minta saya mengolahnya jadi keripik buat dijual,” katanya sembari mengemas keripik hasil racikannya.

Menjadi pedagang keripik singkong bukan satu-satunya pekerjaan yang pernah dijalani Iqwam. Sebelum menyandang status mahasiswa, pemuda asal Baleendah, Kabupaten Bandung, itu sempat bekerja di pabrik cokelat selama 1,5 tahun. Upah kerjanya dia kumpulkan untuk mendaftar kuliah Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Bandung pada 2020. UIN dikenal sebagai perguruan tinggi negeri dengan UKT termurah.

Namun, semurah-murahnya, Iqwam tetap kesulitan membayar UKT, apalagi dia gagal dapat beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP) karena kendala usia. 

Iqwam dan kedua saudaranya lahir dari keluarga miskin. Untuk kebutuhan sehari-hari, mereka hanya mengandalkan penghasilan ayahnya yang membuka kios servis dan barang bekas di Cihapit, Kota Bandung. 

“Bapak sempat melarang kuliah, khawatir biayanya, tapi saya tetap ingin melanjutkan kuliah,” ungkapnya.

Tekad Iqwam menjadi orang pertama yang menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi pun meluluhkan hati orangtuanya. Meski telah mengantongi restu, alumni SMA 1 Baleendah itu sadar dirinya harus banting tulang untuk membiayai kuliahnya sampai selesai.

Iqwam membawa singkong hasil gorengannya untuk dikemas sebelum dijual ke beberapa tempat kenalannya. Ia mempunyai keinginan untuk melanjutkan sekolah S2 di luar negeri. (Project M/Bukbis Candra Ismet Bey)

Dalam hitungan kasar, Iqwam membutuhkan Rp18.896.000 untuk menyelesaikan kuliah hingga delapan semester. Sayangnya, upah kerja di pabrik cokelat hanya bisa menyokong biaya kuliah hingga semester tiga, apalagi sebagian penghasilannya digunakan untuk kebutuhan keluarganya.

Alhasil, saat memasuki akhir semester tiga, Iqwam mulai ketar-ketir karena tabungannya menipis. Padahal dia harus segera mengisi kartu rencana studi. Berbagai usaha telah dilakukan, tapi dia tak kunjung mendapatkan uang.

Ia tak tahu harus berbuat apa jika menghadapi masalah UKT. Apa yang harus dilakukan, melapor ke mana, apakah ada kemungkinan keringanan? Semuanya buntu. Satu-satunya yang tebersit adalah cuti kuliah. Baginya, cuti dan kembali bekerja adalah pilihan paling masuk akal.

Sebelum cuti jadi pilihan, ia dibantu teman-temannya bertemu dengan pihak kampus untuk meminta keringanan. Tapi, alih-alih dapat keringanan, pihak kampus malah memojokkannya. 

Sekretaris jurusan kala itu meminta Iqwam mengurungkan niat cuti. Alasannya, Iqwam tetap harus membayar penuh uang kuliah meski tidak mengikuti perkuliahan selama satu semester.

“Kan, saya cuti karena mau cari uang buat bayar kuliah,” ungkapnya sambil tertawa getir.

Buntutnya, Iqwam memilih cuti meski sempat mendapat tawaran pinjaman Rp500 ribu dari Dekan III. Baginya, kembali bekerja sebagai karyawan pabrik lebih baik ketimbang harus menerima pinjaman tersebut. 

Apalagi saat tawaran pinjaman itu datang, Iqwam dituntut untuk mencari kekurangan UKT sebesar Rp1.862.000 dalam waktu beberapa jam sebelum pembayaran ditutup. 

“Akhirnya cuti satu semester tapi terhitungnya jadi utang,” ungkap Iqwam. 

Beberapa kali Iqwam nyaris menyerah untuk tidak melanjutkan kuliah, tapi dorongan sang ibu kembali membangkitkan niat pemuda 24 tahun itu untuk bekerja lebih keras dan menyelesaikan kuliah.

Potrait Wardan di sela-sela berdagang cuanki. Ia terpaksa cuti satu semester karena tidak mampu membayar UKT. Ia berdagang cuanki di UIN Sunan Gunung Djati Bandung untuk membayar UKT serta memenuhi kebutuhan hariannya. (Project M/Bukbis Candra Ismet Bey)

Miskin Tak Dapat Beasiswa KIP

Terpaksa cuti karena tidak bisa membayar UKT juga dialami Muhamad Wardan. Padahal, pemuda asal Garut itu sudah berusaha mendapatkan keringanan dengan berbagai cara sejak diterima sebagai mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Bandung.

“Saya sudah bolak-balik minta keringanan, tapi enggak pernah berhasil,” ucap mahasiswa angkatan 2022 ini. 

Sejak mendaftar kuliah, lulusan pesantren ini berusaha mendapatkan beasiswa KIP di UIN Bandung dengan menyertakan berbagai dokumen pendukung yang menyatakan dirinya berasal dari keluarga kurang mampu, seperti Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) sampai Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).

Dengan dokumen-dokumen pendukung itu, Wardan yakin bisa lolos beasiswa dan bisa kuliah tanpa beban UKT atau minimal masuk K1, dengan biaya kuliah Rp400 ribu per semester. Tapi, harapannya pupus saat dinyatakan gagal mendapat beasiswa. Dia malah masuk K2 dengan UKT sebesar Rp2.390.000. Padahal saat mendaftar, Wardan mencantumkan penghasilan orangtua sebesar Rp700 ribu. 

“Waktu itu saya sempat kirim DM (direct message) ke bagian Kemahasiswaan dan mempertanyakan sistem penerimaan beasiswa, tapi enggak direspons,” ungkapnya. 

Wardan bisa mengikuti kuliah karena mendapat bantuan dari kedua kakaknya. Meski begitu, anak keempat dari enam bersaudara ini tetap berusaha mendapatkan keringanan UKT dengan mengajukan permohonan, apalagi adiknya pun akan segera kuliah.

Sepanjang dua semester mengikuti perkuliahan, Wardan beberapa kali mengajukan permohonan keringanan UKT tapi selalu gagal. Terakhir, dia membawa orangtuanya untuk meyakinkan pihak kampus, bahwa sang ayah hanya bekerja sebagai buruh bangunan yang dibayar jika dapat pekerjaan.

“Hasilnya, saya cuma jadi mahasiswa yang direkomendasikan dan tetap harus bayar UKT secara penuh,” imbuhnya. 

Wardan memanfaatkan waktu senggang untuk beristirahat di sela-sela berjualan cuanki. Ia memutuskan tetap kuliah untuk memutus profesi keluarga sebagai kuli bangunan. (Project M/Bukbis Candra Ismet Bey)

Berjuang seorang diri untuk dapat keringanan UKT telah menguras mental dan fisik Wardan, hingga akhirnya dia menyerah ketika tidak bisa mengisi kartu rencana studi karena belum membayar UKT semester 3. Merasa usahanya sia-sia dan lelah karena dipingpong, Wardan memutuskan mogok kuliah dan pulang kampung.

“Sebenarnya waktu itu saya diperbolehkan masuk kelas dan ikut belajar, tapi tidak bisa absen. Percuma juga, jadi saya pulang ke Cilawu,” katanya. 

Untuk mengisi cutinya, Wardan membantu orangtuanya menggarap sawah. Awal tahun 2024, harapan Wardan untuk meneruskan kuliah kembali datang berkat bantuan dari teman-teman sekelasnya yang patungan membiayai UKT dia. 

Wardan juga mendapat bantuan pekerjaan dari salah satu pedagang cuanki di kampusnya. Pemuda kelahiran 2002 ini pun kembali memperjuangkan pendidikannya di Bandung.

Wardan mempersiapkan pesanan cuanki dari pelanggannya. Wardan berjualan setelah mendapatkan bantuan dari pedagang cuanki di kampusnya. (Project M/Bukbis Candra Ismet Bey)

Ratusan Mahasiswa Terkendala UKT Setiap Semester

Iqwam dan Wardan hanya dua dari ratusan mahasiswa UIN Bandung yang tak mampu membayar UKT sehingga terpaksa cuti. Senat Mahasiswa UIN Bandung, Farhan Mubina, mengatakan masalah UKT memang selalu terjadi.

Pada 2023, setidaknya ada lebih dari 400 mahasiswa baru yang kesulitan membayar UKT, terutama di semester genap ke semester ganjil. Angka itu didapat Farhan dari formulir daring disebar lewat satuan senat fakultas.

“Kami mengawal teman-teman yang kesulitan membayar UKT untuk mendapatkan penyesuaian UKT,” katanya. 

Penyesuaian UKT merupakan suatu mekanisme supaya mahasiswa dapat membayar UKT sesuai latar belakang dan kemampuan orangtua. Namun, mekanisme ini hanya bisa dilakukan setiap bulan September dan berlaku hanya untuk mahasiswa baru. 

Sementara mahasiswa lama seperti Iqwam dan Wardan yang ingin mendapat keringanan UKT harus menjalani prosedur yang lebih panjang dan ribet. Apalagi, menurut Farhan, sosialisasi terkait kesulitan pembayaran UKT, termasuk ke mana mereka harus lapor, memang jarang dilakukan.

“Sosialisasi kampus cuma kencang di pembayaran doang,” tambah Farhan. 

Padahal, menurut Mahasiswa Jurusan Hukum Pidana Islam itu, sosialisasi merupakan salah satu kewajiban kampus supaya mahasiswa seperti Iqwam dan Wardan bisa mendapat bantuan dengan mudah.

Farhan mengatakan salah satu masalah dalam penetapan UKT di UIN Bandung adalah sistemnya. Selama ini, sistem penetapan UKT hanya mengandalkan data yang diberikan para calon mahasiswa saat mendaftar di kampus UIN. Namun, data itu tidak diverifikasi secara langsung.

“Karena sistem ini, banyak penetapan UKT tidak tepat sasaran,” ujarnya.

Meski sebagian mahasiswa kesulitan mendapat keringanan pembayaran UKT, tapi Ketua Tim Kerja Bagian Keuangan UIN Bandung, Aep Syaefudin Firdaus, mengatakan mahasiswa bisa dengan mudah mengajukan permohonan keringanan maupun penyesuaian UKT.

Mahasiswa bisa dengan mudah mengajukan penyesuaian dan permohonan keringanan UKT, hingga menurutnya cukup banyak mahasiswa yang mengajukan permohonan.

Dalam Nota Dinas Nomor: B-0431/ Un.05/II.2/KU.01.1/02/2024 perihal Permohonan Arahan Pertimbangan Usulan Keringan UKT Semester Genap Tahun Akademik 2023/2024, tercatat ada 38 mahasiswa yang mengajukan permohonan K2, sementara 154 mahasiswa lain mengajukan untuk berbagai kelompok, termasuk K3 dan K4. 

K2, K3, dan K4 merupakan kelompok kategori UKT yang ditetapkan lewat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 82 Tahun 2023 Tentang Uang Kuliah Tunggal Pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri Tahun Akademik 2023-2024.

Dalam Keputusan Menteri Agama, terdapat delapan kelompok UKT. Kelompok 1 atau K1 merupakan paling rendah dengan nominal UKT Rp400 ribu; sementara UKT di kelompok 2 atau K2 adalah Rp2.364.000 sampai Rp3.050.000, tergantung program studi.

“Kendala itu pasti ada, dan yang tahu kendalanya adalah mahasiswa. Tapi jumlahnya hanya sekian persen saja dari total 32 ribu mahasiswa aktif, karena yang UKT-nya lancar juga banyak,” ungkap Aep di kantornya pada Februari 2024. 

Menurut Aep, kesalahan dalam penetapan UKT memang mungkin terjadi. Terlebih sampai saat ini, penetapan UKT bergantung data pribadi yang diberikan mahasiswa saat mendaftar serta sistem pengolahan data tanpa ada verifikasi langsung ke lapangan, kecuali untuk calon penerima beasiswa KIP.

Kondisi itu memungkinkan terjadi kesalahan penetapan UKT. Namun, kesalahan ini dapat diperbaiki lewat mekanisme penyesuaian UKT pada bulan September. Ini juga berlaku jika ada mahasiswa yang membutuhkan keringanan karena berbagai alasan. 

“Tapi penyesuaian hanya untuk mahasiswa baru, sementara mahasiswa angkatan atas formatnya permohonan keringanan UKT,” imbuhnya. 

Refleksi gedung UIN Bandung tempat Wardan berjualan cuanki di kantin kampus untuk bisa membayar UKT. (Project M/Bukbis Candra Ismet Bey)

Selain lewat penyesuaian dan pengajuan permohonan keringanan UKT, Aep menyebutkan ada beberapa bentuk bantuan lain yang diberikan kampus kepada mahasiswa, salah satunya lewat perpanjangan waktu pembayaran UKT.

Perpanjangan waktu pembayaran dilakukan setelah melihat jumlah mahasiswa yang telah membayar UKT di dua minggu pertama waktu pembayaran. 

“Semester ini, awalnya 9-31 Januari. Diperpanjang sampai 13 Februari. Perpanjang lagi 25 Februari, karena jadwal kuliah dimulai 26 Februari. Perpanjangan biasanya kebijakan rektor, bukan karena dimohon oleh mahasiswa,” terangnya.

Selain perpanjangan waktu pembayaran, UIN juga memberikan bantuan lain termasuk bantuan zakat, infak, dan sedekah serta beasiswa. Untuk beasiswa KIP 2023, UIN menyediakan 700 orang. Menurut Aep, seluruh bantuan itu selalu disosialisasikan lewat spanduk yang dipasang di kampus sampai media sosial.

UIN Bandung juga memperbolehkan mahasiswa yang terkendala pembayaran kuliah untuk mengambil cuti tanpa perlu membayar UKT. Menurut Aep, yang perlu diperhatikan adalah mahasiswa harus memenuhi kewajibannya untuk membayar UKT selama delapan kali.

“Tidak ada kewajiban untuk membayar UKT bagi mahasiswa yang cuti, mereka perlu kembali membayar ketika akan aktif kembali ikut kuliah,” jelasnya.

Aep sedikit menjelaskan unit cost UKT selama delepan semester di UIN Bandung, yang digunakan untuk memenuhi seluruh kebutuhan mahasiswa angkatan 2022 ke atas selama kuliah. Salah satunya untuk biaya wisuda sebesar Rp400 ribu, yang dicicil selama delapan semester sebesar Rp50 ribu.

Sementara jika mahasiswa UIN belum menyelesaikan kuliah di semester 8, untuk semester 9 dan selanjutnya mereka diwajibkan membayar 50% dari biaya UKT. Berdasarkan Keputusan Menteri Agama, perhitungan ini berlaku untuk mahasiswa angkatan 2023, tapi dengan jangka waktu lebih panjang dua semester ketimbang angkatan sebelumnya. 

“Mekanisme pembayaran sekarang beda dengan dulu, sekarang mahasiswa yang mampu dan tidak mampu dibedakan. Makanya namanya UKT, untuk saling subsidi silang antara mahasiswa yang mampu dengan yang tidak mampu,” ujarnya.

Mahasiswa ITB menggelar aksi protes menolak skema pembayaran uang kuliah melalui platform pinjaman online di depan gedung Rektorat ITB, Januari 2024. (Project M/Bukbis Candra Ismet Bey)

Masalah Menahun, Solusi Pinjol

Masalah mahasiswa tak bisa bayar UKT di berbagai tempat, sudah seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Terutama jika pemerintah memang ingin mengejar target angka 36% anak Indonesia menempuh pendidikan sampai perguruan tinggi.

Berdasarkan laporan Statistik Kesejahteraan Rakyat 2023 dari BPS, hanya 10,15% penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang menamatkan pendidikan sampai perguruan tinggi.

Dosen Sosiologi FISIP Universitas Indonesia, Fajri Siregar, menyebutkan kondisi ini bisa disebabkan berbagai hal, termasuk ketidakmampuan membayar UKT sampai jumlah beasiswa KIP yang masih rendah.

“Sebenarnya, dalam UU Dikti sudah ditentukan, setiap PTNBH/PTN harus menyediakan 20% beasiswa KIP, tapi faktanya distribusi beasiswa ini masih rendah,” katanya.

Sayangnya, lanjut Fajri, hal itu tidak bisa dibuktikan dengan dukungan data konkret. Namun, untuk menghindari banyak masalah akibat tak mampu bayar UKT, ada beberapa hal yang bisa dilakukan PTN, seperti transparansi penerimaan mahasiswa baru dan dukungan dana dari pemerintah.

Menurut Fajri, PTN masih membutuhkan dukungan dana dari pemerintah, minimal 40%. Sementara 30% pendanaan bisa melalui skema internal dan sisanya lewat biaya kuliah. Namun, yang terjadi saat ini, PTN punya hak untuk menentukan golongan UKT, tapi tak punya manajerial untuk mengelola keuangan sampai akhirnya muncul istilah “UKT adalah subsidi silang”.

“Subsidi silang itu seharusnya tidak diterapkan dalam dunia pendidikan, seharusnya lewat pajak,” katanya.

Keruwetan masalah UKT yang menahun ini tidak mendapatkan solusi yang komprehensif. Kampus-kampus merespons masalah ini dengan berbagai kebijakan yang berbeda-beda tapi tidak menyelesaikan masalah utama, bahkan sejumlah kebijakan justru absurd. 

Di Institut Teknologi Bandung (ITB), mahasiswa melakukan demonstrasi karena kampus menyarankan dan mempromosikan pinjaman online (pinjol) sebagai solusi bagi mahasiswa yang tidak mampu membayar UKT. 

Mereka menggiring ratusan mahasiswa ke Gedung Rektorat di Jalan Sulanjana dan menuntut untuk bisa berbicara dengan pihak kampus, terutama Rektor ITB Prof. Reini Wirahadikusumah. Hasil audiensi dengan rektor melahirkan dua kesepakatan yang salah satunya adalah sebanyak 182 mahasiswa bisa mengikuti perkuliahan tanpa ada ancaman cuti regular. 

Seorang mahasiswa ITB berorasi menolak skema pembayaran uang kuliah dengan pinjol seperti yang diusulkan pihak kampus ITB. (Project M/Bukbis Candra Ismet Bey)

Di samping itu, kesulitan sebagian mahasiswa juga sudah teratasi berkat dana bantuan yang disalurkan lewat berbagai donasi bentukan KM ITB dengan melibatkan alumni sebagai pihak ketiga. Menurut Ketua Kabinet KM ITB, Yogi Syahputra, donasi tersebut muncul setelah kasus UKT di ITB mencuat di media sosial.

“Bentuk dan jumlah open donasinya cukup banyak karena tiap jurusan membuka donasi,” imbuh Yogi. 

Beberapa bentuk donasi di antaranya crowdfunding dan beasiswa. Hasil donasi disalurkan kepada mahasiswa yang terancam cuti. Berdasarkan data yang dimiliki KM ITB, jumlah mahasiswa yang tidak mampu membayar UKT mencapai 120 orang. 

Namun, dari hasil pertemuan antara KM ITB dan rektorat, ditemukan ada perbedaan jumlah mahasiswa yang tidak bisa membayar UKT. Dalam data yang dipegang rektorat, setidaknya ada 200 mahasiswa yang tidak bisa membayar UKT. “Tapi mereka tidak mau memberikan datanya,” ucap Yogi.

Usulan pinjol, penundaan pembayaran, dan donasi itu tentu tidak menyelesaikan masalah utama, yakni pendidikan yang makin tidak terjangkau untuk orang miskin.

Kebijakan yang berbeda-beda tiap kampus itu, menyisakan masalah yang mungkin bakal menjerat banyak mahasiswa. Iqwam misalnya, masih harus mengejar ketinggalannya sekaligus bekerja mati-matian untuk membayar utang biaya UKT. 

Sampai saat ini ia masih berutang biaya kuliah tiga semester (semester 4, 7, dan 8) pada teman-temannya. Sementara UKT semester 5 dan 6 berhasil dia bayar sendiri dengan menggunakan gaji hasil kerja di pabrik selama cuti.

Berbagai kerjaan pun dia lakoni, mulai dari pengemudi ojek online, supplier cokelat untuk beberapa toko kue, sampai membuat keripik singkong.

“Yang penting sekarang uang kuliah delapan semester ke kampus sudah lunas, tinggal bayar utang ke teman-teman dan mencari uang untuk semester 9 buat skripsi,” imbuhnya.


Artikel ini bagian dari serial #PendidikanHarusGratis. Usulan tema liputan mengenai pendidikan berasal dari rapat redaksi dengan Kawan M, program membership Project Multatuli dengan para pembaca.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
13 menit