Mahasiswa Yogyakarta Dicekik Biaya Kuliah: Terkuras Mental dan Fisik Karena UKT Mahal & Tak Tepat Sasaran

Ilustrasi UKT Tidak Tepat Sasaran. (Project M/Herra Frimawati)

Project Multatuli berkolaborasi dengan Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS) membuat survei tentang persepsi mahasiswa Yogyakarta terhadap biaya kuliah di Yogyakarta. Kolaborasi ini merupakan upaya untuk mengungkap jungkir balik mahasiswa menghadapi biaya kuliah yang mahal dan penentuan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tak tepat sasaran.


Seorang mahasiswa dari Universitas Terbuka Yogyakarta (26 tahun) mengaku harus bekerja full time untuk membiayai hidupnya dan membayar kuliah di semester ketiga. Dengan penghasilan sekitar Rp2 juta hingga Rp3,5 juta per bulan, ia harus membayar biaya kuliah antara Rp1 juta hingga Rp2,5 juta per semester. Biaya ini tidak termasuk pengeluaran pribadi bulanan, seperti uang makan, transportasi, dan kos. Ketika ditanya bagaimana dampak beban biaya kuliah berpengaruh terhadap kondisi fisik/mental, ia menjawab kadang hal ini berpengaruh terhadap kondisinya. Dampak dari biaya kuliah ini adalah serentetan urusan panjang lainnya; tidak membayar UKT berarti tidak bisa mengikuti ujian, dan kemudian mendapatkan nilai E atau ia terpaksa mengambil cuti dan menyebabkan kian lama lulus.

Mahasiswa lainnya dari UIN Sunan Kalijaga (19 tahun) mesti melakukan segala hal demi membayar uang kuliah seperti bekerja, berhutang kepada teman/keluarga, menjual atau menggadaikan barang, hingga mengajukan permohonan keringanan biaya kuliah ke kampus. Ia pun mengaku, waktu pembayaran UKT mengganggu kondisi mentalnya, sebab uang untuk membayar biaya kuliah merupakan utang kepada keluarga. Ia pun merasa kelelahan karena dari pagi hingga malam harus bekerja dibarengi kuliah dan pulang hanya untuk tidur. Keesokan paginya harus bekerja lagi.

*

Persoalan mahalnya biaya kuliah di Yogyakarta menjadi bahasan yang panjang, hingga nyawa pun dipertaruhkan. Februari lalu, seorang mahasiswi asal Kebumen ditemukan meninggal di Embung Tambakboyo, Condongcatur, Kapanewon Depok, Kabupaten Sleman. Menurut penuturan saksi, diketahui korban sedang kesulitan keuangan untuk membayar biaya kuliah. Korban merupakan mahasiswi semester 2 salah satu universitas di Yogyakarta. Seorang mahasiswi lainnya dari Purbalingga pun meninggal dunia di tengah perjuangannya untuk mendapatkan keringanan biaya kuliah. Kisah perjuangannya disampaikan oleh seorang kawannya melalui utas di media sosial. Namun, setelah susah payah berjuang, ia tidak kunjung mendapat keringanan hingga akhir hayatnya.

Perjuangan mahasiswa Yogyakarta untuk mendapat keringanan biaya kuliah membuat kami dari Project Multatuli dan Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS) tergerak untuk menginvestigasi pandangan mahasiswa di Yogyakarta terhadap biaya kuliah di Yogyakarta. Kami ingin mengetahui pandangan mahasiswa terhadap sistem biaya kuliah yang berlaku saat ini, masalah yang dihadapi terkait biaya kuliah, dan bagaimana sistem ini dapat ditingkatkan agar mempermudah akses pendidikan bagi mahasiswa.

Metodologi

Survei diselenggarakan dari 15 Maret hingga 10 April 2023 dengan melibatkan 384 responden, yakni mahasiswa S1, D3, D4 dan setara dengan wilayah riset di Daerah Istimewa Yogyakarta. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner online yang dibagikan secara mandiri oleh Project Multatuli dan Jaringan 10 Tahun UKT. Survey ini menggunakan snowball sampling dengan margin of error 5 persen.

Profil Responden

Survei ini melibatkan responden mahasiswa dengan rentang usia antara 20 hingga 28 tahun, dengan mayoritas responden berusia 20 hingga 25 tahun. Sebagian besar responden berasal dari Pulau Jawa, seperti Yogyakarta (27,60 persen), Jawa Tengah (26,30 persen), dan Jawa Timur (10,42 persen).

Untuk tempat tinggal, sebanyak 52,49 persen responden tinggal di kos-kosan dan sebanyak 30,45 persen tinggal bersama keluarga. Ada pula mahasiswa yang mengontrak dengan teman, atau tempat tinggal lainnya seperti tinggal di pondok pesantren, masjid, asrama, atau menumpang dengan orang lain.

Responden merupakan mahasiswa dari 26 kampus yang ada di Yogyakarta, dengan mayoritas responden (38,26 persen) berkuliah di UIN Sunan Kalijaga. Kemudian, 29,82 persen responden berasal dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dan 14,51 persen berasal dari Universitas Gadjah Mada (UGM).

Responden mahasiswa juga menempuh bidang keilmuan yang berbeda-beda. Mayoritas responden berada di bidang keilmuan sosial humaniora (33,51 persen), lalu 23,40 persen responden berada di bidang keilmuan sains dan teknologi, dan sebanyak 16,49 persen berada di bidang keilmuan pendidikan.

Untuk semester yang ditempuh, ada pula responden kami yang berada di semester 10 hingga semester 12. Ada pula yang seharusnya berada di semester kedua, namun sedang cuti.

Mahasiswa Cuti Karena Alasan Ekonomi Hingga Tak Mampu Bayar Kuliah

Ketika ditanya mengenai cuti kuliah, sebanyak 5,22 persen mahasiswa mengaku pernah mengajukan cuti kuliah. Kemudian, di antara mereka yang pernah mengambil cuti, sebagian besar pernah mengambil cuti hingga dua kali (50 persen). Tapi, ada pula yang mengambil cuti hingga tiga kali (5,56 persen). Sebagian besar mahasiswa mengambil cuti karena alasan ekonomi; sebanyak 42,31 persen cuti karena tidak mampu membayar uang kuliah dan sebanyak 34,62 persen cuti karena harus bekerja atas tuntutan ekonomi.

Mahasiswa Bekerja Saja Sudah Ironi, Penghasilan Pun Kecil

Hanya sekitar 16 persen responden mahasiswa yang kedua orang tuanya merupakan pegawai negeri, pegawai swasta, atau pensiunan. Artinya, hanya sekitar 16 persen responden yang keadaan finansial keluarganya bisa disebut stabil. Kemudian, ada 24,21 persen yang ayahnya bekerja sebagai pegawai negeri/swasta dan pensiunan dengan ibu yang bekerja di sektor non-formal atau mengurus rumah tangga. Selanjutnya, ada 10,41 persen responden yang ibunya bekerja di sektor formal dengan ayah yang bekerja di sektor non-formal.

Artinya, lebih banyak responden mahasiswa yang orang tuanya bekerja di sektor non-formal. Di mana bagi mereka, penghasilan bulanan bisa jadi tak menentu, pemutusan hubungan kerja bisa terjadi sewaktu-waktu, dan tak ada yang bisa menentukan permintaan pasar.

Sebanyak 28,65 persen responden memiliki orang tua yang total penghasilannya antara Rp500 ribu hingga Rp2 juta, kemudian sebanyak 13,54 persen menjawab penghasilan orang tua tidak tetap. Di sisi lain, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Januari 2023 menetapkan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2023 sebesar Rp1.981.782. Dengan demikian, dua kelompok di atas, atau sebesar 42,19 persen responden, memiliki orang tua dengan penghasilan mepet UMP Yogyakarta dan juga penghasilan tidak tetap.

Ketika ditanya apakah responden mahasiswa juga bekerja sambil berkuliah, sebanyak 22,92 persen menjawab ya. Padahal, sewajarnya kewajiban mahasiswa hanyalah belajar, tanpa harus memikirkan beban ekonomi. Separuh dari responden mahasiswa menjawab bekerja sebagai freelancer. Ada pula yang berjualan, kerja paruh waktu di kampus/membantu dosen, part time di kafe, dan lain sebagainya.

Dari mereka yang bekerja, kita mengetahui bahwa penghasilan yang didapat pun bervariasi. Beruntung ada sekitar 36,36 persen yang mendapat Rp500 ribu hingga Rp2 juta per bulan. Namun, banyak pula yang mendapat di bawah rentang tersebut. Cukup banyak responden mahasiswa yang mendapat kurang dari Rp500 ribu per bulan, yakni 35,23 persen.

Penghasilan yang didapat tentu mesti diseimbangkan dengan pengeluaran. Sebanyak 42,71 persen mahasiswa mengeluarkan Rp500 ribu hingga Rp1 juta saja per bulan dan sebanyak 34,11 persen mengeluarkan Rp1 juta hingga Rp2 juta per bulan. Pengeluaran yang bisa dibilang cukup kecil, dan seringkali istilah, “namanya juga mahasiswa”, betul-betul berlaku.

Apabila dikerucutkan kepada yang bekerja, sebanyak 39,77 persen responden yang bekerja memiliki pengeluaran sebesar Rp500 ribu hingga Rp1 juta dan 36,36 persen berpengeluaran Rp1 juta hingga Rp2 juta per bulan.

Biaya Kuliah Ideal Adalah Yang Memikirkan Mahasiswa

Kami juga bertanya mengenai biaya kuliah yang dibayarkan responden dan biaya kuliah yang ideal menurut mereka. Hampir separuh dari responden (47,66 persen) menjawab membayar Rp2,5 juta hingga Rp5 juta per semesternya. Sementara mengenai biaya kuliah ideal, pendapat lebih beragam. Misal, sebanyak 36,20 persen menjawab antara Rp1 juta hingga Rp2,5 juta. Kemudian, 21,35 persen menjawab antara Rp500 ribu hingga Rp1 juta, dan 21,35 persen lagi menjawab antara Rp2,5 juta hingga Rp5 juta.

Dapat disimpulkan bahwa rata-rata mahasiswa Yogyakarta menginginkan biaya kuliah antara Rp1 juta hingga Rp5 juta saja.

(Project M/Zulfikar Arief)

Tentu ada pula mahasiswa yang mengharapkan biaya kuliah gratis. Atau pada kampus agar memikirkan ekonomi mahasiswa juga, seperti komentar ini:

“Suruh kampus aja yg mikir. Minimal ngotak lah, dulu kan didata juga punya adik berapa, mana adik masih sekolah dan tiap bulan ada yg buat dia juga, terus tanggungan rumah siapa aja, bukan cuma gue.

Mahasiswa juga berharap agar kampus mempertimbangkan biaya kuliah penuh pada mahasiswa yang tinggal skripsi saja, seperti komentar ini:

“Untuk mahasiswa semester akhir yang mata kuliah tinggal skripsi untuk biaya UKT normal itu masih mahal.”

Responden mahasiswa juga mengeluhkan sistem penetapan biaya kuliah tidak sesuai kondisi ekonomi mahasiswa (68,23 persen), formula penghitungan/penetapan biaya kuliah tidak transparan (59,38 persen), dan biaya kuliah yang terlalu mahal (54,69 persen).

Membayar Biaya Kuliah, Apapun Caranya

Dari survei, kita mengetahui bahwa ada 31,25 persen responden mahasiswa yang pernah tidak bisa membayar biaya kuliah. Memang mayoritas responden menjawab bisa membayar biaya kuliah. Namun, persentase hingga 30 persen tentu bukan angka yang sedikit. Tujuan survei secara umum memang untuk generalisasi, namun perlu diingat bahwa responden mahasiswa bukan cuma statistik. Di balik angka-angka itu, ada beragam cerita perjuangan untuk membayar biaya kuliah.

Cara yang responden lakukan ketika tidak bisa membayar biaya kuliah, mereka pun mengajukan permohonan keringanan biaya (51,67 persen), ada yang berhutang (45,83 persen), dan lainnya. Mirisnya, ada mahasiswa yang mencoba pinjaman online untuk membayar kuliah.

Atas kondisi tersebut beberapa mahasiswa menuliskan komentar seperti:

Kerjo! Ndak dikiro pengemis! Pemerintah mana peduli.”

“GATAU GIMANA CARANYA YG PENTING TETEP BAYAR!”

Biaya kuliah juga berpengaruh pada konsekuensi seperti drop out/dikeluarkan dari kampus. Hampir 30 persen responden menyebut bahwa mereka mengenal mahasiswa yang drop out karena tidak bisa membayar biaya kuliah. Sebanyak 74,22 persen responden juga menjawab bahwa persoalan ini berpengaruh pada kondisi fisik/mental mereka.

Kami juga menanyakan responden yang mengajukan permohonan keringanan biaya kuliah. Ada sebanyak 48,77 persen responden yang pernah mengajukan. Dari kelompok itu, hanya 2,44 persen yang permohonannya dikabulkan. Sebanyak 73,17 persen menjawab permohonannya masih dalam proses, sebanyak 17,07 persen menjawab tidak dikabulkan. Ada pula yang berkomentar, “Cenderung tidak dikabulkan karena bapak PNS.”

Kami juga melihat latar belakang responden yang menjawab pengajuan keringanannya diterima, yang mana persentasenya hanya 2,44 persen. Salah satunya adalah mahasiswa dengan bapak tidak bekerja dan ibu pedagang. Total penghasilan orang tua pun antara  Rp500 ribu hingga Rp2 juta, mahasiswa ini pun juga ikut bekerja dengan penghasilan yang kurang lebih sama dengan orang tuanya. Diketahui ia membayar biaya kuliah dalam rentang antara Rp500 ribu hingga Rp1 juta per semester.

Responden juga menuturkan beberapa masalah yang dihadapi ketika mengajukan permohonan keringanan biaya kuliah. Sebanyak 64,76 persen menjawab persyaratan dokumen yang birokratis dan menyulitkan, kemudian sebanyak 55,24 persen menjawab proses pengajuan memakan waktu lama, dan 38,10 persen mengeluhkan persyaratan yang tidak masuk akal (seperti meninggalnya orang tua).

Jika dikerucutkan kepada mereka yang permohonannya tidak diterima, mereka juga mengeluhkan soal persyaratan dokumen (42,86 persen), proses yang memakan waktu lama (28,57 persen), dan syarat yang tidak masuk akal seperti orang tua meninggal (42,86 persen).

Ada pula responden yang mengeluhkan stigma sebagai anak pegawai. “Stigma yang menganggap anak pegawai (sekalipun sudah pensiun dalam kasus saya) mempunyai kemampuan lebih dalam hal finansial dan terkadang berisiko dinaikkan jika mengajukan keringanan biaya,” tuturnya. Ia juga merupakan satu dari sekian mahasiswa yang permohonan keringanannya tidak dikabulkan.

Sistem Biaya Kuliah Seharusnya

Kami juga menanyakan sistem biaya kuliah yang ideal menurut mahasiswa. Sebanyak 86,72 persen responden menjawab agar disesuaikan dengan kondisi ekonomi mahasiswa, kemudian sebanyak 65,10 persen menjawab agar sistem penghitungan dilakukan secara transparan, dan sebanyak 41,93 persen berharap tidak ada lagi pungutan selain uang semester, misal biaya lab, biaya buku, dll.

Mengenai transparansi, hal ini juga dibahas dalam Kajian Penyesuaian UKT Mahasiswa S1 dan D4 Universitas Negeri Yogyakarta/UNY (Project Multatuli mendapat salinan laporan tersebut). Melalui kajian tersebut, salah satu tuntutan mahasiswa adalah soal penyesuaian penurunan kondisi ekonomi mahasiswa. Menurut laporan tersebut, persyaratan orang tua harus meninggal dunia terlebih dahulu menjadi cerminan bahwa kampus tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi mahasiswa menurun di luar keadaan orang tuanya meninggal. Kondisi ekonomi menurun dapat disebabkan oleh banyak hal, misalnya orang tua sakit dan membutuhkan biaya tambahan untuk berobat yang besar, pekerjaan dan penghasilan yang tidak menentu, tanggungan keluarga yang meningkat, dan masalah ekonomi lainnya.

Kedua adalah soal transparansi. Biro Keuangan UNY menyampaikan bahwa terdapat 10 indikator dalam menentukan kemampuan ekonomi mahasiswa. Indikator tersebut antara lain pendapatan keluarga/orang tua, aset yang dimiliki, tanggungan keluarga, dan lainnya. Berangkat dari 10 indikator tersebut, pihak kampus merumuskan UKT yang sesuai bagi mahasiswa. Namun, masih terdapat mahasiswa yang mendapat penggolongan UKT sangat besar, meski sudah jujur mengisi pendataan kondisi ekonomi. Dengan demikian, yang jadi pertanyaan adalah bagaimana penggolongan ini bisa terjadi?

Selain itu, isu yang belum lama ramai beredar adalah tentang respon kampus Universitas Indonesia terhadap kritik BEM UI soal biaya kuliah yang memberatkan. Kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) UI Amelita Lusia mengatakan setiap mahasiswa baru akan diinformasikan tentang proses penetapan uang kuliah melalui suatu mekanisme. Menurutnya, mahasiswa bisa mengajukan sanggahan jika keberatan dengan biaya yang ditetapkan. Hanya saja, harus disertai data pendukung.

Menurut Amelita, para mahasiswa baru akan diminta menginput datanya saat mendaftar ulang setelah dinyatakan lolos seleksi masuk. Ia mengatakan penetapan UKT dilakukan berdasarkan pertimbangan data yang diinput calon mahasiswa. Ia mencontohkan, jika mahasiswa menginput data memiliki mobil Mitsubishi Pajero, yang harganya mencapai Rp500 juta, menurutnya mahasiswa tersebut tak pantas dikenai biaya UKT golongan rendah.

“Kalau dari data (yang diinput) ternyata mobilnya Pajero, rumahnya di mana, masa kami kasih (tarif UKT) Rp500 ribu,” ucap Amelita.

Kami setuju dengan pihak kampus yang mesti mengkalkulasi biaya kuliah berdasarkan data yang diinput mahasiswa. Namun, kepemilikan mobil pajero bukanlah sesuatu yang begitu saja dengan mudah dimiliki semua mahasiswa. Jika satu mahasiswa punya orang tua dengan aset mobil mewah, belum tentu mahasiswa lain juga demikian. Lagi pula, permasalahan biaya kuliah adalah masalah kolektif, terutama bagi mereka yang terbebani dengan biaya kuliah tiap semesternya hingga berujung pada masalah-masalah seperti berutang, gangguan dalam belajar, cuti kuliah, bekerja hingga kelelahan, hingga menurunnya kondisi fisik dan mental. Isu biaya kuliah mahal bukan isu individu yang kebetulan memiliki aset mobil mewah.

Selanjutnya, mayoritas responden (71,35 persen) menjawab sistem biaya kuliah saat ini tidak relevan untuk kondisi ekonomi mereka. Lalu, sebanyak 30,99 persen responden juga mengaku pernah melakukan protes secara terbuka terhadap sistem biaya kuliah. Bentuk protes itu juga bermacam-macam, seperti melakukan orasi/aksi di kampus (57,98 persen), melakukan kajian bersama BEM/organisasi setara (57,14 persen), dan melakukan protes di media sosial (56,30 persen). Ada pula yang berusaha melakukan banding terhadap biaya kuliah.

Lebih lanjut mengenai protes yang dilakukan, sebanyak 19,33 persen responden mengaku pernah mendapat ancaman/represi atas protes yang dilakukan. Bentuk-bentuk represi tersebut seperti ancaman yang berhubungan dengan akademik (skorsing, tidak lulus mata kuliah/seminar, ancaman DO, dsb). Sebanyak 40,91 persen mengaku mendapat ancaman ini. Sebanyak 27,27 persen responden menjawab pernah dipanggil secara langsung oleh pihak kampus dan diinterogasi. Ada pula sebanyak 18,18 persen yang diancam lewat media sosial, pesan teks, dan telepon.

Pada Januari lalu, tak lama setelah mahasiswi UNY asal Purbalingga meninggal dunia setelah memperjuangkan keringanan biaya kuliah, Rektor UNY Sumaryanto mengatakan, bahwa mahasiswa yang kesulitan masalah keuangan bisa mengirimkan surat ke Rektor.

“Kalau tidak bisa membayar kirim surat ke rektor, insyaallah mesti saya bantu itu komitmennya. Jadi, kami tidak ingin keluarga besar kami tidak selesai studi hanya masalah uang, maka ajukan surat ke rektor. Kalau bukan UNY yang membantu, Sumaryanto secara pribadi,” tuturnya.

Ada mekanisme untuk pengajuan penurunan nominal UKT di UNY. Mahasiswa yang bersangkutan, diketahui oleh orang tua, lalu mengajukan ke rektor. “Diketahui orang tua, juga pimpinan mengajukan ke rektor, bisa penundaan, bisa penurunan, bisa pembebasan. Pasti surat itu saya disposisi mohon untuk dipelajari, nanti jajaran biasanya Pak WR II (Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Keuangan),” seperti disampaikan Rektor.

Hari ini, 25 Juli 2023, pendaftaran untuk tahun ajaran baru mahasiswa tengah berlangsung. Hanya satu yang kami harapkan, mahasiswa tidak mesti kehilangan nyawa karena memikirkan biaya kuliah.

Keterbatasan Penelitian

Survei ini dilakukan pada 15 Maret hingga 10 April 2023 atau pada semester genap tahun ajar 2022/2023. Selama proses penyebaran survei hingga publikasi hasil survei, tentu banyak aturan-aturan mengenai biaya kuliah di kampus yang berubah. Sebagai survei yang bertujuan menggeneralisasi, kami tidak mengakomodir setiap perubahan yang terjadi di kampus secara detail. Namun, kita juga tidak bisa melupakan bahwa sistem biaya kuliah memang memberatkan mahasiswa dan oleh karena itu, sistem perumusan tersebut perlu dikritisi. Ke depannya, kami juga berharap ada penelitian yang dapat menjabarkan skema penghitungan biaya kuliah dari kampus negeri maupun kampus swasta. Studi kasus dari masing-masing kampus tersebut tentu dapat melengkapi penelitian pandangan biaya kuliah menurut mahasiswa saat ini.

Kemudian, dalam pengolahan data, kami tidak memisahkan antara mahasiswa dari kampus negeri maupun kampus swasta. Memang ada pandangan umum bahwa kampus swasta biasanya lebih mahal dibanding kampus negeri. Namun, kami tidak menampik kenyataan bahwa di salah satu kampus negeri di Yogyakarta, biaya kuliah yang dibayarkan bisa mencapai lebih dari Rp10 juta. Analisis lebih dalam dari data survei biaya kuliah ini tentu bisa dikembangkan untuk penelitian lanjutan.

Terakhir, penelitian ini dilakukan dengan daerah survei kampus Yogyakarta. Di waktu mendatang, survei mengenai biaya pendidikan dengan jangkauan daerah yang lebih luas tentu bisa dilakukan, sehingga kita bisa memetakan masalah biaya pendidikan di Indonesia.


Editor: Mawa Kresna

Laporan ini adalah bagian dari serial #PendidikanHarusGratis, hasil kolaborasi Project Multatuli bersama APATIS (Aliansi Pendidikan Gratis) . Pernyataan sikap APATIS terkait isu ini dapat diunduh di sini.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait