Apa ekspektasi negara, perguruan tinggi, dan masyarakat terhadap mahasiswa?
Pertanyaan itu sempat hinggap di kepala Nura, bukan nama sebenarnya, seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Indonesia. Tapi sungguh, ia tidak tahu pasti jawabannya.
Bagi Presiden Joko Widodo, mahasiswa ideal adalah mahasiswa yang “unggul dan utuh”. Itulah pesannya kepada perguruan tinggi pada 2021 lalu. “Unggul dan utuh” ia artikan sebagai mahasiswa yang memiliki “budi pekerti dan visi kebangsaan yang baik”.
Ia mewanti-wanti pihak perguruan tinggi bahwa rektor dan seluruh jajarannya mesti mendidik mahasiswa bukan hanya di dalam kampus, tetapi juga di luar kampus. Ada kekhawatiran bahwa mahasiswa keluar dari nilai-nilai Pancasila dan kebangsaan.
“Di dalam kampus dididik mengenai Pancasila, kebangsaan, tapi di luar kampus ada yang mendidik mahasiswa kita jadi ekstremis garis keras, jadi radikalis garis keras, lha untuk apa?” kata Jokowi, 13 September 2021.
Tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud Jokowi dengan “ekstremis” maupun “radikalis garis keras”. Begitu pula maksud dirinya akan nilai-nilai Pancasila dan kebangsaan. Tetapi, lewat istilah-istilah di atas, tersirat bahwa pemerintah tidak berharap perguruan tinggi mendidik mahasiswa-mahasiswanya untuk menjadi kritis dan progresif. Mahasiswa dididik untuk menjadi tenaga kerja yang patuh.
Tetapi Nura tak terlalu memusingkan itu. Ia memilih fokus untuk kuliah sebaik mungkin—masuk kelas, mengerjakan tugas, mengikuti kegiatan-kegiatan organisasi kampus, mengerjakan skripsi, magang—semuanya demi lulus dengan nilai baik, mendapatkan pengalaman sebanyak-banyaknya, dengan harapan kesempatan bekerja baginya juga akan terbuka lebar.
Nura sedang duduk di semester lima ketika ia memutuskan untuk mendaftar magang di program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) atau yang lebih dikenal sebagai Kampus Merdeka, yang merupakan program yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek).
Antusiasmenya tinggi saat itu. Kampus Merdeka menawarkan program magang setara 20 SKS, atau berarti ia bisa mengonversi satu semester kuliahnya mencari pengalaman riil bekerja di perusahaan. Menurutnya pengalaman ini akan membantu memoles isi portofolionya.
Perasaan semangat itu tak bertahan lama. Nura kini sudah semester 6, ia masih magang, tetapi tak lagi dalam program Kampus Merdeka. Magang di Kampus Merdeka jadi pengalaman tak mengenakkan baginya. Nura kerap melihat ke belakang dan berusaha mencari jawaban: Kenapa pengalamannya berakhir seperti itu? Di mana letak kesalahannya? Siapa yang salah?
Magang versi Kemdikbudristek vs Kemnaker
Pemerintah Indonesia punya perhatian khusus kepada calon-calon tenaga kerjanya. Dua kementerian, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) sama-sama menyelenggarakan program magang sejak 2021.
Menteri Ketenagakerjaan kita, Ida Fauziyah, sempat mencanangkan tahun 2021-2022 sebagai “Tahun Magang” atau “Year of Apprenticeship”. Ia menyebutkan bahwa magang dapat menjadi solusi bagi perusahaan untuk meningkatkan produktivitas mereka.
Magang menurutnya akan jadi sarana bagi pencari kerja untuk learning by doing. Ia menyebutnya sebagai paket komplit pelatihan: para pemagang tidak hanya belajar teori, tetapi bisa langsung praktik bekerja.
“Para pencari kerja tidak hanya memperoleh hard skills, tetapi juga soft skills,” katanya.
Di saat yang bersamaan, Nadiem Makarim sebagai Mendikbudristek meluncurkan program Kampus Merdeka. Ia menyebutkan ada kebutuhan bagi mahasiswa untuk menguasai ilmu lintas disiplin, yang dapat dipenuhi jika mahasiswa dibebaskan untuk mempelajari apa pun di luar bidang keilmuan dan peminatan yang sedang mereka tempuh.
Dalam situs Kampus Merdeka, disebutkan program ini menjadi kerangka untuk menyiapkan mahasiswa menjadi: sarjana yang tangguh, relevan dengan kebutuhan zaman, dan siap menjadi pemimpin dengan semangat kebangsaan yang tinggi. Mahasiswa, menurut Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nizam, mesti dipersiapkan untuk menjadi pembelajar yang terampil, lentur, dan ulet (agile learner).
Meski sama-sama bernama “magang”, tetapi program yang dicanangkan oleh Kemnaker dan Kemdikbudristek berjalan sendiri-sendiri. Target partisipannya pun berbeda.
Pemagang di program Kampus Merdeka dimaksudkan sebagai mahasiswa yang sedang berkuliah. Sementara, pemagang yang dimaksud oleh Kemnaker adalah orang-orang yang sedang mencari pekerjaan dan butuh pelatihan kerja—bukan orang yang berstatus sebagai mahasiswa. Sederhananya, jika program magang di Kampus Merdeka diterjemahkan sebagai “internship” dalam bahasa Inggris, program magang Kemnaker diterjemahkan sebagai “apprenticeship”.
Tapi, tujuan kedua program ini sebenarnya tak berbeda. Kemdikbudristek maupun Kemnaker menyorot ada persoalan “mismatch” antara kompetensi yang dibutuhkan industri, dan kemampuan calon pekerja itu sendiri. Keduanya sama-sama berupaya memenuhi kebutuhan industri lewat program magang. Link and match, istilahnya.
Magang Rasa Karyawan
Nura telah magang selama beberapa minggu, sejak Agustus 2021, di sebuah perusahaan di bidang pendidikan yang terdaftar sebagai mitra program Kampus Merdeka, ketika perusahaan memecatnya secara mendadak. Di dalam perjanjian kerja, mestinya jangka waktu magang Nura masih empat bulan lagi.
Pemecatan ini membuat Nura tidak mendapatkan uang saku. Tapi itu satu hal. Hal lain yang membuat ia lebih sakit kepala: ia diberhentikan magang di tengah semester dan ia tidak mendapatkan sertifikat magang dari perusahaan. Ini berarti ia dianggap tidak mengambil mata kuliah selama satu semester oleh universitas, atau dengan kata lain konversi SKS-nya tidak diakui.
Perusahaan beralasan mereka memecat Nura karena ia masih menjalankan aktivitas lain selama magang. Tetapi, di dalam perjanjian kerja, tidak ada ketentuan bahwa Nura tidak bisa beraktivitas atau bekerja di tempat lain selama ia magang di perusahaan tersebut.
Nura mencoba melihat ke belakang, mengingat-ingat apakah ia melakukan kesalahan fatal yang membuat pemecatan dirinya dapat diterima. Ini yang ia temukan:
-
-
- Nura kerap bekerja selama lebih dari 40 jam dalam seminggu. Perusahaan bilang jam kerja mereka “fleksibel”. “Fleksibel” ternyata tidak menawarkan fleksibilitas kepadanya, melainkan fleksibilitas kepada perusahaan untuk dapat menuntut Nura bekerja kapan saja—pagi, siang, malam.
- Nura mesti bertanggung jawab kepada lebih dari satu mentor yang masing-masing seringkali memberikan arahan yang saling bertolak belakang. “Misalnya, ada mentor A, B, dan C. Ketika saya telah mendapatkan arahan dari A, di kesempatan lain, B dan C akan mengoreksi arahan tersebut. Saya berusaha menjelaskan bahwa ini adalah arahan dari A di hadapan mereka bertiga, tetapi kemudian A bersikap defensif.”
- Nura sering diminta revisi berkali-kali. Mereka akan terus-menerus menanyakan progress revisi Nura, dan ketika jawaban Nura tidak memuaskan mereka, mereka akan kesal—menyebut Nura terlalu lambat, tidak profesional, dan lainnya.
- Nura kerap menerima “challenge” dari perusahaan. “Challenge” di sini maksudnya adalah pekerjaan tambahan yang dilimpahkan kepada anak magang di luar dari pekerjaan utama mereka. Nura bilang mereka tidak peduli ketika para anak magang sedang sibuk mengerjakan tugas-tugas magang lainnya.
- Nura tidak mendapatkan uang saku. Perusahaan dan program Kampus Merdeka menjanjikan uang saku kepada Nura. Nura juga diminta untuk tetap menyelesaikan pekerjaannya setelah ia dipecat, dengan iming-iming akan diberikan uang saku tambahan. Hingga saat ini, tidak ada uang saku sepeserpun yang masuk ke rekening Nura.
- Peserta magang di tempat kerjanya berjumlah lebih dari 40 orang. Jumlah ini jauh lebih banyak dari jumlah pekerja tetap di perusahaan itu sendiri, yang sekitar 20 orang.
-
Nura bertanya-tanya, kenapa perusahaan menempatkan tanggung jawab dan tekanan kepadanya seolah-olah ia adalah karyawan, ketimbang mahasiswa?
Employability, Link & Match, Demand Industri
Ketika ditanya apa urgensi dari adanya program Kampus Merdeka, Ketua Subpokja Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB), Nurhadi Irbath, menerangkan perbedaan karakteristik Generasi Z, dengan Generasi Millennial, ataupun generasi-generasi lain sebelumnya, termasuk juga karakteristik mereka dalam belajar—yang membuat perlunya ada program yang dapat mewadahi kebutuhan spesifik generasi ini.
Nurhadi mengatakan bahwa mahasiswa sekarang adalah bagian dari Generasi Z yang dibanjiri banyak informasi, sehingga mereka jadi lebih mudah untuk menjadi distracted atau teralihkan, dan pada saat yang sama perhatiannya hanya akan tertuju pada hal-hal yang relevan bagi mereka.
Inilah kenapa, menurut Nurhadi, program magang Kampus Merdeka langsung menawarkan mahasiswa untuk terjun langsung ke sebuah project, yang mereka tahu misinya apa, sehingga mereka tergerak dan tertantang untuk menyelesaikannya. “Misal, bantu UMKM untuk dapat ekspor ke luar negara. Misinya, dengan mahasiswa membantu mereka, UMKM itu akan lebih sejahtera. Atau, misalnya di industri, ada kebutuhan untuk meningkatkan skills karyawan di sebuah remote area, untuk meningkatkan produktivitas mereka. Maka, project-nya adalah membuat learning management system.”
Tujuan akhir dari magang adalah employability, kata Nurhadi. Semakin banyak “challenge” yang dapat dihadapi seorang mahasiswa saat magang, semakin besar prestasi mereka saat magang, maka semakin “employable” juga mereka. Dengan kata lain, lewat program magang, mahasiswa diharapkan dapat memahami kemampuan dan tingkat produktivitas yang dibutuhkan industri, mengikuti pace industri bekerja, dan memenuhi kebutuhan SDM yang industri perlukan.
Nurhadi memberikan contoh tolok ukur mahasiswa yang sukses dalam mengikuti program magang Kampus Merdeka. Misalnya, salah seorang mahasiswa di batch pertama Kampus Merdeka telah diposisikan sebagai project leader saat magang, membawahi pekerja-pekerja tetap di perusahaan tersebut. Contoh lain, seorang peserta magang lain berhasil meng-gol-kan proyek senilai Rp55 Milyar bagi sebuah perusahaan.
Totalnya, Nurhadi mengatakan, selama batch satu program MSIB ini, ada 1.898 project yang tersebar dalam 121 mitra yang dikerjakan oleh para mahasiswa peserta magang.
Di Mana Perlindungan Hukum Peserta Magang?
Bagi pihak kampus, program Kampus Merdeka adalah bentuk mandat Kemdikbudristek kepada mereka berdasarkan Permendikbud No. 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, yang salah satu isinya adalah memberikan hak kepada mahasiswa untuk belajar tiga semester di luar program studi mereka, yaitu satu semester mengambil mata kuliah di luar program studi, dan dua semester melaksanakan aktivitas belajar di luar perguruan tinggi.
Alfatika dan Muhsin, Wakil Koordinator Teknik Program MBKM di UGM, mengatakan bahwa hak dan kewajiban mahasiswa sebagai peserta magang di Kampus Merdeka telah diatur dalam buku panduan yang dikeluarkan oleh Kemdikbudristek, yang kemudian oleh UGM dibuat lagi panduan turunannya.
Kemdikbudristek mengeluarkan buku panduan “Merdeka Belajar – Kampus Merdeka” yang mengatur peran pihak-pihak yang terlibat dalam program ini, yaitu perguruan tinggi, fakultas, program studi, mahasiswa, dan mitra perusahaan.
Program magang, dari seluruh program di bawah Kampus Merdeka, menetapkan peran dan tugas mahasiswa untuk mengikuti proses seleksi sesuai dengan ketentuan tempat magang; melaksanakan kegiatan magang sesuai arah supervisor dan dosen pembimbing magang; mengisi logbook yang merinci aktivitas mahasiswa selama magang; dan menyusun laporan magang sebagai bentuk pertanggung jawaban terhadap supervisor dan dosen pembimbing.
Meski begitu, buku panduan ini tidak secara spesifik mengatur perlindungan hukum bagi mahasiswa yang mengalami isu ketenagakerjaan, begitu pula dengan langkah-langkah tindak lanjut hingga sanksi bagi perusahaan yang melakukan tindakan sewenang-wenang.
Satu-satunya isu ketenagakerjaan yang dibahas dalam aturan di level menteri atau kementerian adalah terkait syarat-syarat pengakuan SKS bagi mahasiswa, yang tertuang dalam Keputusan Mendikbud No. 74/P/2021. Itu pun hanya menyangkut jenis-jenis pelanggaran yang dilakukan oleh mahasiswa.
Poin Ketujuh Kepmen tersebut menetapkan:
“Mahasiswa yang terbukti melakukan:
-
-
- Plagiarisme, termasuk plagiasi diri;
- kriminal;
- kekerasan dan diskriminasi dalam segala bentuk, termasuk kekerasan seksual, perundungan, dan tindakan intoleransi; dan/atau
- penyalahgunaan obat-obatan terlarang
-
tidak diberikan pengakuan SKS untuk pembelajaran program Kampus Merdeka […].”
Survei Project Multatuli mengenai pengalaman magang mahasiswa menemukan sejumlah isu ketenagakerjaan terkait program magang di Kampus Merdeka. Survei telah diisi oleh 157 responden hingga artikel ini diterbitkan, dan masih kami buka, sehingga hasil temuan masih bisa terus bertambah.
Saya menyodorkan sejumlah temuan sementara survei kepada Nurhadi, selaku perwakilan dari Kampus Merdeka, dan Alfatika dan Muhsin, perwakilan dari salah satu universitas di Indonesia (UGM) yang menjalankan program Kampus Merdeka.
Permasalahan-permasalahan yang disampaikan oleh para mahasiswa di seluruh Indonesia itu adalah:
-
-
- Uang saku peserta magang terlambat cair.
- Permasalahan konversi SKS. Kampus Merdeka menjanjikan konversi mata kuliah hingga 20 SKS bagi mahasiswa yang mengikuti programnya. Tetapi, di lapangan, terdapat kasus pihak program studi atau fakultas tidak mau mengakui konversi SKS tersebut, sehingga seringkali mahasiswa terpaksa menjalankan magang dan kuliah secara bersamaan.
- Mahasiswa merasa mereka diperlakukan sebagai ‘buruh murah’: mereka dibebani tanggung jawab pekerjaan yang sama, bahkan lebih banyak, dari pekerja yang sudah berstatus tetap di perusahaan.
- Porsi jumlah peserta magang di perusahaan lebih banyak dari pekerja tetap. Sementara, dalam Permenaker No. 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri, diatur bahwa, “Penyelenggara Pemagangan hanya dapat menerima peserta Pemagangan di Dalam Negeri paling banyak 20% dari jumlah pekerja di perusahaan.”
- Mahasiswa dipecat secara sepihak di tengah program magang oleh perusahaan dan tidak mendapatkan surat keterangan magang dari perusahaan.
- Mahasiswa menjadi korban pelecehan seksual di tempat magang.
- Mahasiswa yang menyuarakan kefrustrasian mereka tentang uang saku yang tak kunjung cair lewat sebuah grup Telegram dibalas oleh sejumlah akun anonim yang mengatakan, “Mahasiswa harus cerdas. Jangan malas. Bisa nyambi dagang, ojol, kuli pasar, atau setidak-tidaknya jadi pelacur agar bisa memenuhi kebutuhan hidup.”; atau disebut sebagai “kadrun”, “Maklum paham radikal sudah menyebar di berbagai kampus, sehingga banyak KADRUN di kampus-kampus, termasuk para peserta MAGANG.”; hingga diancam akan dituntut dengan UU ITE.
-
Baca juga: Magang Tak Benar-benar Merdeka: Dijerat Overwork, Depresi, Pelecehan, Hingga Serangan Buzer
Dalam konteks UGM, Alfatika dan Muhsin mengatakan bahwa pihak kampus telah menampung persoalan-persoalan yang dialami mahasiswa mereka sebagai peserta magang. UGM telah mengundang para mahasiswa untuk mengikuti kegiatan monitoring dan evaluasi, dan lewat kegiatan tersebut diketahui bahwa persoalan utama yang mahasiswa keluhkan adalah terkait uang saku dan konversi SKS.
Muhsin mengiyakan bahwa masih ada mahasiswa yang mesti kuliah dan magang pada saat bersamaan dalam satu semester karena konversi SKS yang tidak diakui oleh pihak program studi ataupun fakultas. Dalam kasus seperti ini, solusi yang pihak kampus tawarkan adalah memasukkan riwayat magang si mahasiswa dalam Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI).
Ketika ada masalah ketenagakerjaan yang dialami mahasiswa UGM ketika magang, Alfatika mengatakan UGM telah memiliki unit layanan terpadu yang menampung laporan dari mahasiswa. Unit layanan terpadu ini beroperasi selama 24 jam setiap harinya, dan setiap laporan yang masuk akan ditangani oleh diselidiki oleh tim khusus investigasi.
Sementara, dalam hal uang saku yang terlambat cair, Nurhadi sebagai perwakilan Kampus Merdeka memaparkan salah satu faktornya adalah birokrasi yang rumit. Ia mencontohkan: ketika ada 10 dari 1.000 mahasiswa yang bermasalah dalam hal verifikasi data, pihak pemerintah, dalam hal ini Kemdikbudristek dan Kementerian Keuangan, mesti menunggu data 10 mahasiswa tersebut diperbaiki, sebelum membayarkan uang saku ke seluruh mahasiswa.
Nurhadi mengakui bahwa ada ketidaksiapan sistem dari pemerintah untuk menjalankan program ambisius Kampus Merdeka. Tetapi ia tetap optimis dengan kelanjutan program ini dan bilang pihaknya sedang terus memperbaiki sistem yang berlaku di masa mendatang.
Pertanyaannya, bagaimana perlindungan dan keadilan bagi korban yang sudah-sudah?
Di Mana Perlindungan Hukum Peserta Magang? (2)
Program Kampus Merdeka diinisiasi oleh Kemdikbudristek, dan pelaksanaannya didukung oleh LPDP yang berada di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Meski ada kerja sama lintas kementerian dalam melaksanakan program ini, Kementerian Ketenagakerjaan tidak termasuk di dalamnya. Informasi ini disampaikan baik oleh pihak Kampus Merdeka maupun Kementerian Ketenagakerjaan.
Nurhadi beralasan pihak Kemdikbudristek tidak bekerja sama dengan Kemnaker karena konsep pemagangan yang diusung oleh Kemnaker sudah tidak relevan. “Nggak anak-anak sekarang banget,” katanya. “Magang di Kemnaker itu berbasis posisi. Business as usual. Di era sekarang, segala sesuatunya sudah agile, divisi sudah ditinggalkan. Ways of working anak-anak zaman sekarang adalah project-driven.”
Di lain waktu, M. Ali Hapsah yang merupakan Direktur Bina Penyelenggara Pelatihan Vokasi dan Pemagangan di Kemnaker juga mengiyakan bahwa isu ketenagakerjaan yang dialami oleh mahasiswa tidak masuk dalam ranah Kementerian Ketenagakerjaan. “Beda kamar,” kata Ali.
Magang diatur oleh Kemnaker lewat Permenaker No. 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri. Tetapi, seperti yang telah disebutkan di atas, konsep pemagangan di Kemnaker adalah pelatihan kerja atau “apprenticeship”, dengan target peserta adalah pencari kerja atau pekerja. “Sasaran kami adalah pekerja, pencari kerja, atau orang yang sudah lepas dari pendidikan formal. Mahasiswa tidak termasuk,” papar Ali.
Permenaker No. 6 Tahun 2020 telah mengatur soal:
1.Perjanjian pemagangan (Pasal 10 ayat (2) menyatakan, “Perjanjian Pemagangan […] memuat: (a) hak dan kewajiban peserta Pemagangan; (b) hak dan kewajiban Penyelenggara Pemagangan; (c) program Pemagangan; (d) jangka waktu Pemagangan; (e) besaran uang saku.”);
2. hak dan kewajiban, dengan peserta pemagangan memiliki hak-hak sebagai berikut:
-
-
-
- memperoleh bimbingan dari Pembimbing Pemagangan atau infrastruktur;
- memperoleh pemenuhan hak sesuai dengan Perjanjian Pemagangan;
- memperoleh fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja selama mengikuti Pemagangan;
- memperoleh uang saku (meliputi biaya transportasi, uang makan, dan insentif)
- mengikutsertakan dalam program jaminan sosial;
- memperoleh sertifikat Pemagangan atau surat keterangan telah mengikuti Pemagangan.
-
-
3. batasan persentase peserta pemagangan di sebuah perusahaan, yaitu paling banyak 20%;
4. hingga mekanisme pengawasan oleh pengawas ketenagakerjaan ketika terdapat pelanggaran norma ketenagakerjaan selama magang berlangsung.
Ketika program magang yang diinisiasi oleh Kemnaker telah mengacu pada aturan ini untuk melindungi hak-hak peserta magangnya, program magang yang diinisiasi Kemdikbudristek tidak punya payung hukum yang jelas dalam hal perlindungan hak-hak peserta magang.
Dalam perjanjian magang antara mahasiswa dan perusahaan, misalnya, aturan soal hak dan kewajiban mahasiswa diserahkan kepada perusahaan, meski, kata Nurhadi, dipastikan, “tetap melindungi hak-hak mahasiswa.” Ia tidak merincikan lebih lanjut hak-hak mahasiswa apa saja yang secara spesifik diatur dan dilindungi tersebut.
Isu kekosongan hukum bagi mahasiswa yang jadi peserta magang ini juga yang jadi perhatian Nabiyla Risfa Izzati, dosen hukum ketenagakerjaan di Fakultas Hukum UGM.
Relasi antara peserta magang dan perusahaan tidaklah setara, sebagaimana relasi antara pekerja dan pemberi kerja. “Maka, tentu saja yang akan punya kendali untuk mengatur bagaimana mekanisme ini berjalan adalah si pemberi kerja. Mereka menganggap peserta magang yang lebih membutuhkan mereka. Take it or leave it,” tambahnya.
Di satu sisi, pemerintah dan perguruan tinggi melalui program Kampus Merdeka dan program-program magang lainnya berusaha membiasakan mahasiswa-mahasiswanya untuk bekerja, tetapi di sisi lain jaring pengaman dan perlindungan hukum kepada mahasiswa minim. Jadi tidak mengherankan ketika pemagangan dianggap berpotensi jadi kedok bagi perusahaan untuk mendapatkan buruh murah.
“Konsep loose internship, mahasiswa-mahasiswa yang sedang cari pengalaman, yang mayoritas terjadi di lapangan saat ini, tidak direspons sama sekali oleh ketentuan hukum, sehingga yang terjadi akhirnya semua hal terkait pemagangan dikembalikan kepada mekanisme kesepakatan para pihak,” ujar Nabiyla.
Maka, ketika ada mahasiswa yang mewajarkan, bahkan bangga terhadap eksploitasi-eksploitasi yang mereka alami—uang saku tidak atau telat dibayar, beban kerja yang melebihi pekerja tetap, dan lainnya—letak kesalahan bukan pada mereka, tetapi, pertanyaannya: mengapa pihak perguruan tinggi membiarkan hal-hal ini terjadi?
“Ada tuntutan kurikulum [kewajiban untuk magang], pewajaran magang tidak harus dibayar, dan kesulitan untuk mendapatkan tempat magang yang proper, yang mau tidak mau membentuk pemikiran seperti itu,” jelas Nabiyla. “Tugas institusi pendidikan harusnya berhenti mewajarkan hal-hal seperti itu, tetapi nyatanya ada tendensi bahwa ketika kampus bekerja sama dengan industri, kampus menjadi inferior: kampus harus mengikuti kebutuhan industri.”
***
Saya sempat menyinggung kasus Nura yang dipecat sepihak kepada Nurhadi selaku Ketua Subpokja Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB). Ia bilang perusahaan mestinya tidak bisa melakukan itu. Seharusnya, ada prosedur pemberian peringatan tersebut dahulu kepada mahasiswa, yaitu SP (surat peringatan) 1 sampai 3.
“Kami ada tim yang menampung laporan dan akan di-follow up. Mahasiswa yang dipecat di pertengahan, atau keluhan-keluhan lainnya, akan kami advokasi setelah mereka melaporkan lewat fitur chat pengaduan,” katanya.
Saat itu Bulan Oktober 2021. Nura langsung melapor lewat fitur chat atau help desk Kampus Merdeka ketika ia diberhentikan sepihak oleh perusahaan tempatnya magang. Hingga artikel ini diterbitkan, Januari 2022, belum ada respons dari pihak Kampus Merdeka. Haknya berupa uang saku dan surat keterangan magang belum ia terima.
Beruntung, pihak kampus membantunya sehingga ia dapat melanjutkan kuliah kembali, tanpa ada dukungan dari pihak Kampus Merdeka maupun mitra perusahaan itu sendiri.
“Dulu saya sangat antusias. Saya berharap mendapatkan pengalaman, portofolio, dengan SKS yang bisa dikonversi, juga mendapatkan uang saku,” katanya. “Ternyata saya nggak dapat apapun.”
Tulisan ini adalah bagian dari serial liputan #GenerasiBurnout. Jika kamu mahasiswa dan punya keluhan soal magang, bantu kami untuk isi survei berikut: bit.ly/generasiburnout
Pembaca bisa mengakses layanan konsultasi psikologi berikut: