“Saya Hanya Anak Magang”: Cerita 153 Responden Peserta Magang Survei #GenerasiBurnout

Mawa Kresna
15 menit
Magang
Ilustrasi Pemagang. (Project M/Instagram @sekarjoget - di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2.0)

Bagi seorang mahasiswa, magang bisa jadi kesempatan untuk mengenal dinamika dunia kerja, memupuk pengalaman, hingga membangun jejaring profesional. Pada saat yang sama, perusahaan juga bisa mendapatkan manfaat berupa potensi tambahan sumber daya. Magang bisa jadi sebuah win-win solution yang memberikan manfaat kepada kedua belah pihak.

Namun, bagaimana kenyataannya? Win-win solution bisa tercapai jika mengasumsikan posisi peserta magang dan pemberi kerja setara. Benarkah begitu?

Sepanjang Oktober 2021-Februari 2022, Project Multatuli membuka survei #GenerasiBurnout yang menampung pengalaman dan keluhan mahasiswa selama menjadi peserta magang. Totalnya terdapat 158 responden yang mengisi survei. Setelah melakukan filtering–menghapus data yang diisi lebih dari sekali dan memastikan respondennya berstatus mahasiswa–kami mendapatkan 153 responden yang datanya valid untuk diolah.

Sebagian besar responden berasal dari Pulau Jawa, yaitu 34 orang berasal dari Jawa Barat, 32 orang dari DKI Jakarta, 19 orang dari Banten, 19 orang dari Jawa Tengah, dan 17 orang dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Responden lainnya berasal dari Sumatera Barat (4), Riau (2), Lampung (1), Jawa Timur (14), Bali (3), Kalimantan Barat (1),  Sulawesi Selatan (2), Maluku Utara (1), Maluku (1), dan sisanya tidak mengisi.

 

Dari seluruh responden, sebanyak 33,3% atau 51 responden merupakan peserta program Kampus Merdeka.

 

* * *

“Apakah ini Hustle Culture?”

Berdasarkan pengalaman saya, saya merasa tidak mengalami kerugian yang berarti. Menurut saya, dunia kerja nantinya akan lebih keras. Saya harus kuat bertahan. Walaupun tidak dibayar.

Tugas magang saya adalah mencari, mengelompokkan, dan menganalisis data. Cukup berat awalnya mendapat tugas yang banyak dan mesti selesai dalam waktu yang singkat. Saya juga masih mesti mengatur waktu untuk mengerjakan tugas kuliah.

Saya merasa terdorong untuk belajar lebih keras. Saya merasa mendapat pengalaman dan ilmu baru tentang bagaimana aplikasi materi kuliah di dunia kerja. 

Namun, setelah membaca artikel-artikel tentang hustle culture, saya mulai berpikir ulang: apakah pola pikir saya perlu diubah?

      • D, mahasiswa semester 7 asal Jember.

Baca juga: Bermagang-magang Dahulu, Kerja, Kerja, Kerja Kemudian, Kena Kesehatan Mental Duluan: Ketika Mahasiswa Dituntut Terus ‘Produktif’

Sebagian besar peserta magang sedang duduk di semester 7 (82 responden). Ada pula yang telah magang sejak semester 3 (4 responden), semester 5 (28 responden), dan semester 6 (2 responden). Responden lain menyebutkan bahwa mereka sedang duduk di semester 8 (15 orang), semester 9 (11 orang), semester 10 (1 orang), semester 11 (6 orang), dan semester 13 (1 orang).

 

Kebanyakan responden sedang atau telah melaksanakan magang di satu tempat (56,86%). Tetapi ada pula yang sedang atau telah magang di 2-3 tempat (33,99%), 4-6 tempat (8,50%), dan lebih dari enam tempat (0,65%).

 

* * *

“Saya Rapat Hingga Larut Malam.”

Saya magang di sebuah edutech. Saya merasa jobdesk di sini sangat menekankan pembuatan program belajar yang laku keras di pasaran. Implikasinya, pekerjaan saya tidak sesuai jobdesk yang disebutkan di poster. 

Atasan saya memiliki ekspektasi berlebihan terhadap anak magang. Saya pernah dipermalukan di depan teman-teman saya saat sedang presentasi. Mereka bilang, “Ide seperti ini tidak akan laku kalau di-pitch.”

Selain itu, kami juga kerap melakukan rapat hingga larut malam demi membahas pembuatan program belajar yang nantinya jadi salah satu komponen penilaian. 

Sementara, pembayaran uang saku Kampus Merdeka telat terus. Saya butuh uangnya karena magang mengurangi jatah kerja sampingan saya.

      • D, mahasiswa semester 7 asal Yogyakarta.

* * *

ALASAN DAN EKSPEKTASI MAGANG

Melalui survei, kami mencoba menampung alasan mahasiswa menjadi peserta magang, dan bagaimana mereka membayangkan magang ideal versi mereka. Dalam survei ini responden bisa memilih lebih dari satu alasan mengapa mereka magang dan kondisi magang ideal bagi mereka.

Sebagian besar responden (107 responden) menjawab mereka butuh magang untuk menambah pengalaman kerja mereka. Sebanyak 82 responden juga menjawab bahwa kampus mereka mewajibkan mahasiswa untuk magang. Ada pula yang menjawab berharap mendapatkan penghasilan tambahan (69 responden) dan membangun jejaring profesional (44 responden).

Alasan-alasan lain yang disampaikan responden termasuk ekspektasi untuk mendapatkan sertifikat magang, membangun relasi profesional dengan atasan di perusahaan terkait, hingga adanya tekanan sejawat (peer-pressure) untuk turut magang.

 

Sementara, untuk konsep magang yang ideal menurut responden, sebagian besar responden (130 responden) berekspektasi untuk mendapatkan mentor yang dapat mendampingi dan memberikan ilmu kepada mereka. Sebanyak 120 responden juga mengisi mereka ingin tempat magang yang dapat memberikan kesempatan untuk belajar tanpa menjadi eksploitatif, dan 112 responden mengisi ingin mendapatkan upah atau uang saku dan jaminan sosial yang sesuai.

Hampir separuh atau 82 responden juga mengisi ada harapan bahwa perusahaan akan mengangkat mereka jadi pekerja tetap setelah magang. Ada pula ekspektasi agar aktivitas mereka selama magang sesuai dengan minat kerja/bidang akademik mereka. Lainnya termasuk mendapatkan ilmu baru, bayaran uang saku atau upah yang tepat waktu, tidak adanya senioritas, dan lain-lain.

 

TANPA HITAM DI ATAS PUTIH

Ketika berhadapan dengan kenyataan, realitas magang ternyata tidak seindah apa yang diekspektasikan para responden mahasiswa. Salah satunya, sebanyak 36,6% atau 56 responden mengungkapkan kekecewaan karena mereka tidak mendapatkan perjanjian kerja ketika magang.

 

“Di Mana Surat Perjanjian Kerja?”

Idealnya, di awal magang, ada surat perjanjian kerja antara perusahaan/penyelenggara bersama pemagang, isi perjanjian atau kontrak tersebut bisa mengacu pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri, yaitu di antaranya: 

      • hak dan kewajiban peserta pemagangan, 
      • hak dan kewajiban penyelenggara pemagangan, 
      • program pemagangan, 
      • jangka waktu pemagangan,
      • besaran uang saku. 

Selain itu, harus ada pelatihan atau pembekalan terlebih dahulu mengenai deskripsi kerja pemagang. 

      • M, mahasiswa semester 7 asal Bandung.

Baca juga:Normalisasi Magang oleh Kampus Merdeka di Tengah Kosongnya Perlindungan Hukum

* * *

BEBAN KERJA SETARA PEKERJA TETAP

Selain itu, responden juga mengeluhkan beban kerja selama magang yang besar (63 responden) dan atasan mereka yang banyak menuntut (44 responden). Akhirnya, banyak dari mereka yang kesulitan untuk membagi waktu dengan kegiatan lain di luar magang (62 responden). Ada pula yang mengeluhkan apa yang mereka kerjakan selama magang tidak sesuai dengan jobdesk yang awalnya ditawarkan, atau yang sesuai dengan minat atau bidang akademik mereka (33 responden).

“Magang Rasa Pekerja”

Sudah 10 bulan saya menjalankan program magang Kampus Merdeka di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan jasa bongkar muat kapal. 

Awalnya, saya hanya dikontrak selama enam bulan. Tetapi perusahaan mengeluarkan kebijakan untuk memperpanjang kontrak lagi selama enam bulan ke depan. 

Saya merasa diperlakukan bukan seperti anak magang, tetapi seperti seorang karyawan. Saya terkadang pulang sampai malam tanpa ada hitungan lembur. Upah juga tidak seberapa. 

Pada enam bulan pertama, saya harus selalu berhadapan dengan direksi dan diikutsertakan untuk memaparkan progress kerja divisi dalam rapat manajer dan direksi. 

Banyak hal hal yang membuat saya sempat berpikir, “Apakah ada unsur eksploitasi mahasiswa agar perusahaan tidak perlu merekrut karyawan?” 

      • N, mahasiswa semester 7 asal Cilegon.

“Saya Hanya Anak Magang.”

Saya magang di sebuah agensi periklanan. Awalnya tidak ada masalah, orang-orang tampak ramah dan membantu dalam proses adaptasi saya dengan lingkungan kantor dan pekerjaan. Beban pekerjaannya pun cukup wajar untuk anak magang, mengerjakan konten untuk sebuah akun media sosial klien. 

Pada hari kedua, saya diberitahu bahwa akan dilaksanakan produksi untuk sebuah serial. Ini adalah produksi in-house “proper” pertama yang akan dilakukan oleh perusahaan ini. Sebagai mahasiswa film, saya diminta untuk membantu mereka dalam proses pra-produksi dalam waktu seminggu. 

Jujur saja, proses yang mereka lakukan sangat berantakan dan tidak terstruktur. Sebagai anak magang, kenapa saya diminta untuk mengurus ini? Saya agak kaget. 

Ketika saya memberi saran, saya tidak digubris. Ketika saya diam saja, saya malah diminta untuk secara aktif dan spontan memberi masukan. Saya menjadi bingung, saya hanya anak magang di sini. 

      • A, mahasiswa semester 11 asal Tangerang Selatan.

* * *

KAMPUS MERDEKA SEPELEKAN MASALAH UANG SAKU

Keluhan-keluhan lainnya adalah mereka tidak mendapatkan upah atau uang saku (63 responden), uang saku mereka telat dibayarkan (47 responden), dan uang saku yang ditawarkan terlalu kecil (37 responden).

Survei #GenerasiBurnout dibuka ketika program magang dan studi independen bersertifikat (MSIB) Kampus Merdeka batch 1 sedang berlangsung.

Pada saat itu pula, uang saku para peserta magang Kampus Merdeka beberapa kali telat dibayarkan. Program magang telah mulai berlangsung sejak Agustus 2021, tetapi uang saku baru mulai cair Oktober 2021. Persoalan ini masih terus berlanjut hingga Desember 2021, hingga para peserta magang membuat petisi menuntut pencairan uang saku dan reimbursement segera dilaksanakan.

 

“Saya Mesti Pinjam Uang.”

Selain untuk mencari pengalaman kerja, tujuan utama saya mengikuti magang adalah untuk mendapatkan pemasukan tambahan guna mengurangi beban keluarga yang selama ini membiayai hidup saya selama kuliah. 

Saya berminat mengikuti program Magang Kampus Merdeka karena di awal dijanjikan akan diberikan uang saku setiap bulannya. Maka dari itu, saya memberitahu orang tua saya untuk tidak mengirim uang saku seperti biasanya karena sudah ada uang saku dari Magang Kampus Merdeka. 

Tapi uang saku yang dijanjikan tidak kunjung diberikan kepada peserta magang selama kurang lebih 2 bulan. 

Sehingga, untuk mencukupi kebutuhan hidup di perantauan ketika magang–seperti makan, membayar kost, transportasi, dan lainnya, saya cukup kesulitan. Memang, pada awalnya saya masih bisa membiayainya dengan sedikit tabungan saya, tapi, lama-lama tabungan saya tidak cukup lagi. 

Saya akhirnya meminjam uang kepada teman saya untuk mencukupi kebutuhan hidup selama magang. 

Bukan hanya saya yang mengalami masalah tersebut, tetapi ada juga peserta magang lain yang sampai mesti meminjam uang. Terutama bagi mereka yang mesti WFO. 

* * *

Para responden menyayangkan cara pihak Kemdikbudristek merespons permasalahan ini. Pihak pemerintah beberapa kali memberikan janji kosong pencairan uang saku. Responden juga mengekspresikan kekecewaan mereka atas sejumlah pernyataan dari Kemdikbudristek dan panitia MBKM yang terkesan menyepelekan permasalahan uang saku.

“‘HANYA KARENA???’”

Saya tahu ini adalah tahun pertama pelaksanaan program Kampus Merdeka. Tapi, proses administrasi dan pencairan uang sakunya mengecewakan. Saya sudah magang dari September. Tapi uang saku baru cair pada bulan Oktober untuk satu bulan. Itu pun janjinya dari tanggal 15 Oktober, tapi lalu diundur sampai hampir semingguan. 

Tapi yang bikin paling kesal adalah pernyataan yang bilang, “Coba, ya, teman-teman, semangatnya jangan kendor hanya karena uang saku belum turun.” HANYA KARENA?? Ya ampun. Ada juga yang bilang, “Jangan sampai malu-maluin Kemdikbud dengan ikutan demo atau bikin petisi itu. Pihak Kemdikbud sudah berusaha sekuat tenaga kok.” 

      • T, mahasiswa semester 5 asal Pasuruan.

“Tidak Ada Permintaan Maaf.”

Saya akui fungsi program Kampus Merdeka cukup bagus. Tetapi, sistem dan birokrasinya sangat tidak tersusun dengan baik. Panitia juga sulit untuk mengakui kesalahan dan cenderung menutup-nutupi. Bahkan tidak ada permintaan maaf sedikitpun mengenai keterlambatan ini. Kami mahasiswa kecewa. Kami seperti ditelantarkan. Kami juga tidak mendapatkan penjelasan dan harus menunggu kasus ini viral untuk mendapatkan hak kami yang semestinya.

      • D, mahasiswa semester 11 asal Sleman.

***

STANDAR UANG SAKU BERBEDA-BEDA

Persoalan lain yang secara khusus diungkapkan oleh peserta Kampus Merdeka adalah standar uang saku yang berbeda-beda, tergantung skema program magang yang diikuti. Selain program flagship yang dilaksanakan oleh pemerintah lewat Kemdibudristek, program Kampus Merdeka juga bisa dilaksanakan secara mandiri oleh pihak kampus–bekerja sama langsung dengan mitra perusahaan. Ada pula program Kampus Merdeka yang dilaksanakan atas inisiatif perusahaan, seperti yang dilakukan oleh BUMN melalui Forum Human Capital Indonesia.

“Magang di BUMN Tanpa Uang Saku. ”

Saya ikut program Kampus Merdeka di sebuah BUMN. Dan saya tidak digaji sama sekali. Sumpah, aneh banget. Masa sekelas BUMN terima anak magang, tapi ongkos atau uang makan bahkan nggak dikasih? 

Kami full-time kerja selama 8 jam. Satu jam istirahat. Kerjaannya juga nggak jelas. Misal, kamu magang di divisi HRD, tapi tugas kamu adalah bikin konten Instagram. Ada juga saat di kantor kami di kantor nggak ngapa-ngapain. Bengong doang. Kenapa nggak dijadwalkan WFH aja, sih? Mereka kan juga nggak bayarin ongkos. Sia-sia banget rasanya.

      • C, mahasiswa semester 7 asal Bandung.

“Uang Saku Dipotong Karena Ikut Beasiswa Pemerintah”

Pada semester 7 ini, saya mengikuti program Kampus Mengajar. Selain untuk mendapatkan pengalaman, latar belakang saya sebagai mahasiswa pendidikan juga memudahkan saya untuk mendapat konversi SKS. 

Sayangnya, terdapat perbedaan upah antara mahasiswa beasiswa pemerintah (Bidikmisi, KIP, dsb) dengan mahasiswa penerima beasiswa non-pemerintah dan tidak mendapatkan beasiswa. Upah normal kegiatan adalah Rp1,2 juta. Tetapi untuk mahasiswa bidikmisi seperti saya upahnya menjadi Rp500 ribu. 

Padahal, beasiswa tersebut saya gunakan untuk biaya hidup selama merantau. Upah kegiatan yang telah dipotong juga hanya bisa menutupi biaya transportasi kegiatan, yang menghabiskan Rp350 ribu-400 ribu per bulan. 

Mulanya saya tidak mengeluhkan ini. Namun, dampaknya begitu terasa setelah beberapa bulan mengabdi. Saya harus menambah penghasilan di samping juga mengejar kewajiban saya sebagai mahasiswa akhir untuk mengerjakan tugas akhir. Hal ini cukup berdampak pada performa fisik saya. Saya rasa upah untuk mahasiswa harus sesuai dengan apa yang sudah dijalankan. Apalagi, tuntutannya hampir setara dengan mereka yang profesional.

      • R, mahasiswa semester 7 asal Pontianak.

Baca juga: Magang Tak Benar-Benar Merdeka: Dijerat Overwork, Depresi, Pelecehan, hingga Serangan Buzzer

KEWALAHAN HINGGA KENA KESEHATAN MENTAL

Selama melaksanakan program magang, sebagian peserta magang, baik yang masuk dalam program Kampus Merdeka ataupun yang tidak, juga memiliki kesibukan lain. Sebanyak 95 responden sedang menyelesaikan skripsi atau tugas akhir. Ada pula yang sedang aktif di kegiatan kampus (46 responden), memiliki kerja sampingan di luar kampus (34 responden), menjadi asisten dosen (12 responden), dan lainnya–termasuk sambil bekerja dan mengurus rumah tangga.

 

Sejumlah responden mengungkapkan perasaan kewalahan ketika magang. Kesibukan selama magang membuat tugas kuliah terbengkalai, tidak punya waktu untuk diri sendiri dan keluarga, hingga membuat mereka mengalami keletihan secara fisik maupun mental.

“That Period of Internship Took A Toll on My Mental Health.”

Gaji saya sebesar Rp2 juta untuk waktu magang selama empat bulan terlambat diberikan. Tidak ada perjanjian kerja sejak awal, hanya bukti surat-menyurat antara pihak kampus dan perusahaan dan sebaliknya. 

Saya magang sebagai desainer grafis. Saya juga mendapatkan task kecil lain dari bos saya. Saya bekerja overtime. Tidak ada uang transportasi. WFO seminggu sekali.

Nilai magang saya A, but that period of my college life took a toll on my mental and physical health–yang saya rasa tidak sebanding dengan manfaatnya.

      • E, mahasiswa semester 10 asal Banten.

“Untuk Makan, Ibadah, atau Ngobrol dengan Teman dan Keluarga saja Sulit.”

Saya magang di sebuah startup yang bergerak di bidang kesehatan mental. Tapi kesehatan mental saya jadi kacau setelah ikut magang.

Saya merasa diperbudak. Startup ini kayak nggak punya jam istirahat. Saya masih diteror pekerjaan pada hari Sabtu, Minggu, sampai libur nasional. Bahkan masih ada rapat online saat malam takbiran. Saya stres banget. Saya nggak bisa fokus mengerjakan skripsi. Untuk sekadar hidup normal kayak makan, mandi, salat, hingga mengobrol dengan keluarga dan teman sulit. Saya sering kena marah orang tua karena terlalu sibuk mengurus pekerjaan.

Setelah masa magang berakhir, saya merasa bebas. Tapi kemudian muncul perasaan depresi dan cemas. Saya sempat berbulan-bulan nggak bisa tidur nyenyak. Rasa cemasnya seperti menjalar ke punggung. Pola makan saya jadi berantakan. Saya jadi kurang merawat diri dan malas bersosialisasi.

      • B, mahasiswa semester 9 asal DKI Jakarta.

* * *

ANAK MAGANG > PEKERJA TETAP

Selain keluhan soal beban kerja, uang saku, dan imbas ke kesehatan mental, sejumlah responden menyorot soal komposisi peserta magang yang lebih banyak dibandingkan pekerja tetapnya di dalam perusahaan.

“Jumlah Anak Magang Kayak Manasik Haji.”

Jumlah peserta magang lebih banyak dari pekerja full-time. Bingung banget–ini wajar atau nggak ya? Bayangin aja jumlah anak magangnya sudah kayak manasik haji.

      • S, mahasiswa semester 4 asal Bandung.

“Anak Magang 4x Lipat Pekerja Tetap.”

Perusahaan ini hanya punya pekerja tetap kurang dari 15 orang. Sementara, anak magangnya sampai 65 orang. Mereka buka perekrutan setiap 3 bulan. Unpaid internship.

      • S, mahasiswa semester 8 asal DKI Jakarta.

“Tidak Ada Pekerja Tetap, Hanya Anak Magang.”

Startup tempat saya magang tidak memiliki satupun pekerja tetap. Isinya hanya anak magang yang dipekerjakan untuk melaksanakan event promosi, tanpa adanya bimbingan. Beban kerja berat. Sangat eksploitatif.

      • S, mahasiswa semester 8 asal Riau.

* * *

CITRA PERUSAHAAN > WELL-BEING ANAK MAGANG

Dengan uang saku yang tidak seberapa, atau bahkan tidak mendapatkan uang saku sama sekali, beberapa responden juga mengekspresikan rasa heran mereka terhadap perusahaan yang masih meminta macam-macam, termasuk meminta peserta magang untuk memoles profil Linkedin mereka dengan nama jabatan yang terdengar mentereng, hingga perusahaan yang tersinggung ketika peserta magangnya menyebut diri sebagai relawan.

“Perusahaan Mengatur Bagaimana Nama Jabatan Tampil di Linkedin.”

Katanya, sih, biar keren. Mungkin, media ini berpikir ini adalah bentuk penjenamaan diri, agar “jabatan” bisa dipamerkan di media sosial. 

Contohnya, kami tidak diperkenankan menggunakan kata “intern” di Linkedin. Jujur, saya sangat tidak tertarik. Saya mengikuti program magang murni untuk menambah pengalaman.

Gaji saya Rp500 ribu. Itu juga telat dibayarkan selama satu bulan dan dipotong Rp100 ribu dari jumlah yang tertera pada surat komitmen. 

      • O, mahasiswa semester 7 asal DKI Jakarta.

Volunteering, Bukan Magang.”

Saya magang di suatu organisasi nirlaba. Sebenarnya, saya tidak keberatan magang tanpa dibayar. Tetapi, pihak di organisasi tersebut tersinggung ketika saya menyebut diri saya sebagai relawan, bukan anak magang. 

Menurut saya, saat ini banyak orang yang menyalahgunakan kata magang. Seharusnya, ketika menggunakan kata magang saat melakukan perekrutan, ada kewajiban yang mesti dipenuhi oleh pemberi kerja sesuai dengan yang telah diatur dalam undang-undang.

Lagipula, menurut saya, apa salahnya mengatakan kalau mereka butuh volunteer? 

      • L, mahasiswa semester 3 di Depok.

* * *

HARAPAN MAHASISWA

Tidak dimungkiri, di tengah persaingan kerja yang semakin ketat, ada kebutuhan bagi mahasiswa untuk melaksanakan magang. Program magang bisa memberikan manfaat: sebagian besar responden mengungkapkan magang telah menambah pengalaman kerja mereka (127 responden), menambah ilmu (97 responden), jejaring sosial (86 responden), hingga uang saku.

Namun, apakah eksploitasi yang berujung pada kesehatan mental adalah timbal balik yang sepadan? Masih ada 16 responden yang bilang mereka tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari magang.

 

Para responden mengungkapkan bahwa permintaan mereka tidaklah muluk-muluk. Mereka hanya ingin diperlakukan adil.

“Program Magang Mesti Memberikan Manfaat Bagi Kedua Pihak.”

Ketika magang di sebuah think tank, saya merasakan adanya perbedaan strata sosial dan hierarki kedudukan antara peserta magang dan pekerja tetap di sana. Saya juga mengalami overworked. Dalam satu hari, saya bisa bekerja hingga 10 jam. Mereka juga menuntut saya untuk merespons cepat. Saya hanya mendapatkan upah Rp1 juta untuk jangka waktu magang tiga bulan. Berarti, setiap harinya, saya hanya diupah Rp11 ribu.

Harapan saya, perusahaan dapat melaksanakan program magang dengan sistem yang menguntungkan kedua pihak (perusahaan dan peserta magang). Hal ini tidak hanya terkait pemenuhan upah, tetapi juga pemenuhan hak peserta magang–seperti pelatihan atau bimbingan. 

      • I, mahasiswa semester 7 asal Yogyakarta.

Tulisan ini adalah bagian dari serial liputan #GenerasiBurnout.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
15 menit