Pencitraan Polri: Menormalisasi Kekerasan Lewat Konten YouTube dan Media

Mawa Kresna
12 menit
Ilustrasi pencitraan polisi. (Project M/Muhammad Nauval Firdaus - di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2.0)

“Kabur… kabur… kabur…”

“Polisi… polisi.”

“Berhenti… berhenti.”

Dor! Dor! Dor! Suara tiga tembakan terdengar. Seorang pria berpakaian hijau tampak ambruk di jalan sebuah perumahan, sebelum dua polisi tanpa seragam menghampirinya. Mereka membopong orang yang ambruk itu ke dalam mobil minibus.

“Urus, bawa ke rumah sakit,” kata seorang yang memegang kamera dan mengabadikan rangkaian kejadian itu. Namun, seperti terlihat di bagian akhir video, pria berpakaian hijau itu ternyata meninggal dunia saat menuju perjalanan ke RS Polri Kramat Jati. 

Video tersebut juga merekam adegan penangkapan rekan Rus bernama Sam, di pinggir jalan raya, di wilayah Pasar Kemis Tangerang. Seorang polisi terlihat menginjak leher Sam yang tengkurap di tanah. Sementara, seorang polisi lain berusaha memborgol tangan Sam yang tersilang di punggung. Akibatnya, wajah Sam terluka.  

Pengunggah video amatir yang diduga berisi adegan extrajudicial killing atau pembunuhan di luar hukum tersebut adalah akun YouTube bernama Jacklyn Choppers dengan judul Penangkapan Residivis Pelaku Curanmor Bersenjata Api Rus dan Sam.” Video ini diunggah pada 7 Agustus 2019 dan telah ditonton 2,9 juta kali, disukai 23 ribu kali, serta mendapat 2.896 komentar per Rabu, 18 Agustus 2021.

Dalam keterangan video tersebut tertulis pria berpakaian hijau bernama Rus, seorang terduga pelaku pencurian kendaraan bermotor. Adegan video merupakan proses penangkapan Rus di kawasan Perumahan Mutiara Puri Harmoni Rajeg, Kabupaten Tangerang, oleh Tim Subdit IV Jatanras (Kejahatan dan Kekerasan) Polda Metro Jaya pada 31 Juli 2019.

Jacklyn Chopper adalah nama tenar Aiptu Jakaria, anggota Subdit IV Jatanras Polda Metro Jaya. Ia mulai aktif sebagai polisi pada 1996 dengan tugas awal di Polres Jakarta Pusat. Akun YouTube-nya tercatat dibuat pada 16 April 2014. Video pertama tercatat diunggah pada 27 April 2016 berjudul “Jacklyn Jatanras AGS Mutilasi.” 

Total pelanggan akun Jacklyn kini mencapai 537 ribu pengguna YouTube, lebih banyak dari jumlah pelanggan akun resmi Divisi Humas Polri yang 23,6 ribu. 

Video beradegan penembakan di Kabupaten Tangerang itu, bukan satu-satunya konten akun Jacklyn yang mengandung kekerasan. Dalam penelusuran atas akun YouTube Jacklyn dalam kurun waktu 3 Juli 2020 – 30 Juli 2021 paling tidak ada 112 video yang diunggah Jacklyn. Dari jumlah itu kami menemukan 23 video yang mengandung adegan kekerasan seperti piting, jambak, memukul kepala, dan menginjak badan dan lainnya.

Citra Polisi
Penangkapan residivis pelaku pencurian kendaraan bermotor bersenjata api, Rus (atas) dan Sam (bawah) oleh Tim Opsnal Unit 2 Jatanras Polda Metro Jaya. (Dokumentasi YouTube/Jacklyn Choppers)

Akun YouTube Jacklyn juga bukan satu-satunya yang mengunggah video memuat tindakan kekerasan oleh polisi. Akun YouTube NET TV dan Trans7, yang masing-masing memiliki program reality show kepolisian bernama 86 dan The Police, juga menampilkan kekerasan yang dilakukan oleh polisi. 

Kami menelusuri 84 video yang diunggah akun 86 and Custom Production NET TV per 1 Juli – 5 Agustus 2020. Dari video-video itu paling tidak kami menemukan ada 39 video yang menunjukkan kekerasan yang dilakukan oleh polisi. Sementara dari 31 video program The Police yang diunggah akun YouTube Trans7 dalam rentang rentang 14 Juli 2020-16 Juli 2021, ada empat video yang menunjukkan kekerasan yang dilakukan polisi. 

Konten kekerasan oleh personel polisi dalam tayangan kedua akun milik stasiun teve tersebut antara lain menendang, pelonco, menjambak, menginjak badan, merundung, dan lainnya. Meski demikian, proses interogasi dengan bentakan dan stigmatisasi kepada masyarakat terduga pelanggar hukum banyak kami temukan, misalnya pada konten-konten yang menampilkan kegiatan Tim Raimas Backbone Polres Jakarta Timur di akun The Police Trans7. 

Tim Raimas Backbone juga memiliki akun YouTube resmi. Dari penelusuran kami atas konten-konten sepanjang Juli-Agustus 2021, kekerasan yang tampak pada mayoritas video memang secara verbal lewat bentakan, ancaman menembak, serta stigmatisasi. Misalnya pada video berjudul “habis jual ayam cur1an kecyduk, kasihan sihyang terdapat ancaman tembakan oleh polisi terhadap dua lelaki pengendara sepeda motor.  

Upaya Mendulang Kepercayaan Publik

Setelah tiga kali batal wawancara via telepon, pada 30 Juli 2021, saya mendapat telepon dari Aiptu Jakaria a.k.a Jacklyn. Saat itu ia mengaku baru selesai melakukan wawancara dengan Kompas. 

Saya membuka obrolan dengan kondisi tindak kejahatan selama masa pandemi yang menurutnya, “itu-itu saja, curat (pencurian dengan pemberatan), curanmor (pencurian kendaraan bermotor), curas (pencurian dengan kekerasan).” 

Saat saya menyinggung keputusannya membuat akun YouTube, Jacklyn mengaku untuk dokumentasi pribadi dan edukasi kepada masyarakat. Ia pun menyatakan keputusannya mengunggah konten terkait kegiatannya saat bertugas, termasuk yang menunjukkan kekerasan, demi menunjukkan kepada publik bahwa polisi benar-benar bekerja menjaga keamanan dan melayani masyarakat. 

“O, gini lho tugas polisi. Bahwa siang dan malam melayani masyarakat tanpa memandang status sosial. Jadi dari situ jangan ada pikiran dari masyarakat–O, istilahnya–tumpul ke atas dan tajam ke bawah,” kata Jacklyn.

Kepercayaan publik memang masih menjadi masalah institusi kepolisian. Setidaknya, hal ini tercermin dari sejumlah hasil survei. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dalam survei periode 31 Juli-2 Agustus 2021 menemukan hanya 58% dari 1.000 responden yang percaya terhadap kinerja polisi. Sebanyak 38% responden mengaku kurang/tidak percaya terhadap polisi. Sisanya, 3% responden tidak tahu/tidak menjawab. 

Survei lain dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode pekan keempat Juli-pekan kedua Agustus 2020 terhadap 1.200 responden, menemukan 34,9% atau mayoritas responden menyatakan Polri sebagai institusi pemerintahan paling berpotensi melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Citra Polisi
Ratusan mahasiswa berunjuk rasa menentang aksi kekerasan polisi. (Project M/Rangga Firmansyah)

Transparency International Indonesia (TII) dalam risetnya terhadap 1.000 orang pada 15 Juni-24 Juli 2020, menemukan kantor polisi sebagai tempat pelayanan publik paling banyak terjadi penyuapan dan nepotisme. Sebanyak 41 responden mengaku pernah melakukan penyuapan di kantor polisi dan 27 lainnya melakukan nepotisme. 

Kesadaran akan pentingnya citra baik dan kepercayaan publik, sebetulnya sudah lama disadari Polri. Irjen (Pol) Djoko Susilo, mantan Kakorlantas Polri, misalnya pernah menyatakan pencitraan adalah salah satu jalan meraih kepercayaan publik, termasuk melalui media massa digital. Hal ini sebagaimana tertulis dalam bukunya berjudul Pencitraan dalam Rangka Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat

Buku tersebut diterbitkan Dit Lantas Polda Metro Jaya pada 2007. Djoko menyebut, pencitraan yang dimaksudnya, adalah “upaya mendapatkan kepercayaan yang dilandasi dengan kemampuan kinerja dan penampilan perorangan yang simpatik, peduli terhadap masalah-masalah sosial, komunikatif, jujur, dan bertanggung jawab.” 

Djoko adalah penggagas National Traffic Management Centre (NTMC) pada 2009. Institusi ini pula yang awal-awal rajin memanfaatkan media digital sebagai medium menunjukkan kinerjanya. Akun TMC Polda Metro Jaya tercatat telah ada sejak September 2009. Kini, total pengikutnya sudah mencapai 7,9 juta pengguna Twitter; jumlah yang jauh lebih banyak dari pengikut akun resmi Divisi Humas Mabes Polri, yakni 1,6 juta pengguna Twitter. 

Pada 2012, Djoko terlibat kasus korupsi pengadaan simulator Surat Izin Mengemudi (SIM); sebuah hal yang berkebalikan dari pendapatnya terkait pencitraan untuk meningkatkan kepercayaan publik. 

Namun, upaya Polri meningkatkan kepercayaan publik lewat media digital tak berhenti. Pada 2020, Mabes Polri menganggarkan Rp 2,7 miliar untuk promosi akun media sosial Divisi Humas Polri. Dana tersebut lebih tinggi Rp 100 juta dibanding tahun sebelumnya. 

Di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, seperti disampaikannya usai pelantikan pada 27 Januari 2021, Polri ingin dicitrakan tegas dan humanis. Slogan untuk hal ini adalah Presisi yang kependekan dari prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan. 

Arahan untuk menjadi Presisi itu pula bagi Jacklyn yang mengharuskan para polisi sepertinya selalu sigap memberantas kejahatan. Bahkan bila perlu melakukan tindakan penembakan yang berujung kematian seperti pada unggahannya di akun YouTube. 

“Kan gue bilang polisi melakukan tindakan tegas itu bilamana sudah yakin bahwa mereka benar-benar pelaku kejahatan. Kedua, (terduga pelaku) emang melakukan perlawanan dan membahayakan nyawa petugas maupun masyarakat,” kata Jacklyn.  

“Jadi, di lapangan itu enggak perlu ragu. Kalau emang dia membahayakan, ya harus kita berikan tindakan tegas dan kita harus siap untuk mempertanggungjawabkan,” imbuhnya. 

Dalam setiap video berisi konten penembakan, Jacklyn memang selalu menambahkan keterangan terduga pelaku melawan polisi. Pada video penembakan terduga pelaku curanmor di Kabupaten Tangerang, ia menyisipkan komentar warga sebagai saksi kejadian yang menguatkan bahwa pelaku memang melawan polisi dan berusaha melarikan diri.

Meski demikian, Jacklyn mengaku setiap unggahannya telah melalui penyuntingan adegan kekerasan. Katanya, “Semua video yang gue upload itu rata-rata sudah di pers. Sudah masuk tayangan teve.” Ia mengaku setiap tayangan di YouTube-nya sudah mendapat izin dari atasan.

Saya berusaha meminta tanggapan dari Kadiv Humas Polri Irjen (Pol) Argo Yuwono ihwal ini, tapi ia menolak berkomentar. Ia hanya mengatakan, “Silakan ke Kabagpenum dan Kabid Humas Polda yang ada YouTubernya,” melalui pesan WhatsApp pada 11 Agustus 2021.

Kabagpenum Mabes Polri Brigjen (Pol) Ahmad Ramadhan belum menjawab pesan saya melalui WhatsApp dan SMS sampai saat ini. Telepon saya pun selalu diabaikan. Sementara, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus belum bersedia berkomentar ihwal ini dengan dalih sedang mengurusi pernikahan anaknya, saat saya menghubunginya pada Jumat, 20 Agustus 2021. 

Menangkap Keinginan Pemirsa

Esty Nuryaningsih, Executive Producer The Police Trans7, paham betul cara mengemas kegiatan polisi menjadi karya video dokumenter menarik yang pas untuk sebuah acara reality show di teve. Sedikit sentuhan penyuntingan dan penataan musik, cukup membuat kegiatan polisi yang kaku menjadi lebih dramatis dan bernilai komersial, katanya.  

“Street crime, kriminal, itu memang cenderung disukai penonton kita. Tinggal cara kita menyajikannya saja. Ada yang kelas warteg, hard news. Ada yang kelas restoran kayak The Police,” kata Esty saat kami berbincang melalui telepon pada 14 Agustus 2021.

Citra Polisi
Dua polisi meringkus dua pemuda yang berusaha meloloskan diri dari razia. (Project M/Rangga Firmansyah)

Esty mencontohkan kejadian ketika polisi menangkap pemuda terlibat tawuran. Lalu polisi memanggil ibu mereka. Salah seorang ibu kemudian menangis kecewa. Dengan penyuntingan dan latar musik yang tepat, efek dramatisasi di kejadian tersebut meningkat dan “berkelas restoran.”  

Sajian kelas restoran itu lah yang membuat NTMC Polri setuju bekerja sama dengan Trans7 untuk pembuatan program The Police setelah Esty dan tim menyerahkan contoh produk. Program ini mulai tayang perdana pada 2018. Tak lama setelah program 86 NET tayang dan menjadi populer. 

Tak hanya itu, tayangan semacam itu telah membuat peringkat The Police terus menanjak. Esty menyebut share rating programnya rata-rata 7%. Membuat program ini beralih jam tayang dari malam ke primetime. 

Esty menyatakan, perjanjian antara NTMC Polri dan The Police Trans7 berada di bawah payung kerja sama antara Polri dan Transmedia untuk pemberitaan. Khusus perjanjian antara NTMC dan The Police diperbaharui setiap tahun sekali. Belakangan, menurut Esty, ada rencana Polri membuat perjanjian kerja sama untuk jangka lebih panjang. Sebuah hal yang menunjukkan ketertarikan Polri pada program semacam The Police. 

Bentuk kerja sama antara Trans7 dan NTMC, kata Esty, lebih kepada kesepahaman hal-hal yang boleh dan tidak ditayangkan. Hal yang tak bisa ditayangkan adalah yang berpotensi merugikan kedua belah pihak. Untuk pendanaan program, seluruhnya ditanggung Trans7. 

“Kalau tayangan kan ada aturan KPI-nya. Kalau polisi juga kan ada SOP-nya sendiri. Jadi, ya, sudah kita sama-sama saling tahu,” kata Esty yang juga menekankan tak ada sensor khusus dari Polri atas tayangan The Police, sebagaimana tak ada rekayasa di dalamnya. 

Pernyataan Esty tersebut menjelaskan minimnya adegan kekerasan fisik dalam video The Police yang diunggah ulang ke YouTube. Meskipun tayangan yang menunjukkan kekerasan verbal dan stigma dalam proses interogasi polisi, tetap ditemukan dalam penelusuran kami. 

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pernah secara khusus menyoroti stigmatisasi dalam tayangan reality show bertema polisi di teve. Pada 17 Oktober 2018, KPI memberi peringatan tertulis kepada 86 NET TV karena menampilkan interogasi pada korban pelecehan seksual dan beberapa anak laki-laki dan perempuan terjaring operasi kepolisian. 

Mewarisi Petrus, Menormalisasi Kekerasan

Extrajudicial killing seperti yang diduga menimpa Rus di Kabupaten Tangerang dalam video unggahan Jacklyn, bukan yang pertama di Indonesia. Negeri ini pernah mencatat sejarah kelam peristiwa Petrus (penembakan misterius) pada masa Orde Baru.

Petrus, berdasarkan dokumen ringkasan eksekutif Tim Ad Hoc Komnas HAM, terjadi dalam rentang 1982-1985 di hampir seluruh wilayah Indonesia. Peristiwa ini pun tergolong pelanggaran HAM berat lantaran dilakukan secara terkomando oleh aparatur hukum negara atau dalam hal ini ABRI, sebagai tindakan penciptaan ketertiban masyarakat. 

Sasaran dari Petrus adalah para terduga preman atau gali. Mayat-mayat para korban Petrus dalam kondisi umumnya tertembus peluru di kepala. Mayat mereka kemudian ditinggal di tempat umum, seperti pasar. Banyak dari mayat tersebut tak dikenali dan disebut sebagai Mr. X. 

Pengajar jurusan ilmu politik dan keamanan di Murdoch University Australia, Ian Wilson menilai unsur Petrus terdapat dalam konten kekerasan unggahan polisi dan pihak-pihak yang bekerja sama dengan mereka ke pelbagai platform. Unsur itu adalah berusaha secara simbolik menunjukkan kepada masyarakat bahwa polisi tidak menoleransi tindakan tertentu. 

“…juga sebagai semacam pamer otot. Untuk menunjukkan mereka jago, bahwa mereka (polisi) bisa melakukan kekerasan dan bahwa itu bagian dari kuasa dan otoritas mereka. Alih-alih menggunakan pendekatan legalistik dalam membuat kebijakan dan semacamnya,” kata Wilson melalui telepon pada Rabu, 11 Agustus 2021. 

Citra Polisi
Sebuah pentungan mengarah ke kepala seorang pemuda yang ditangkap polisi saat hendak melakukan tawuran. (Project M/Rangga Firmansyah)

Dengan kata lain, pesan simbolik itu untuk menormalisasi kekerasan sebagai bagian dari penegakan hukum. Hal ini, kata Wilson, bisa terjadi lantaran jejak keterlibatan polisi dalam ranah kontestasi kuasa politik. 

Ian Wilson berpendapat polisi Indonesia belum mampu sepenuhnya menghapus jejak sejarah sebagai alat politik kekuasaan. Upaya menjadi profesional yang telah berlangsung, belum mampu mengubah persepsi masyarakat yang menganggap polisi sebagai alat kekuasaan dan tak bisa bersikap adil dalam menegakkan hukum. Sehingga, mereka butuh pertunjukan kekuasaan demi menegaskan otoritas dan integritasnya. 

“Kita tahu bahwa polisi memiliki hak yang sah menggunakan kekuatan untuk menegakkan hukum dan ketertiban umum, tetapi ketika kekerasan digunakan secara berlebihan, itu adalah pertunjukan politik yang bermaksud mengintimidasi dan sebagai alat represif,” kata Wilson. 

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan (KontraS) mencatat 651 kekerasan oleh polisi sepanjang Juni 2020-Mei 2021. Sebanyak 399 kasus di antaranya dilakukan di tingkat Kepolisian Resor (Polres). Jenis tindak kekerasan paling banyak adalah penembakan dalam penanganan aksi kriminal. Tercatat 13 orang tewas dan 98 orang luka-luka akibat hal itu. 

Secara lebih dalam, Wilson menilai pertunjukan kekerasan oleh polisi untuk mewujudkan tatanan sosial dan politik tertentu. Hal ini terlihat dari lebih jarangnya tindakan kekerasan terhadap kelas menengah atas daripada ke kelas menengah bawah dan kaum miskin kota. 

Sebagaimana pula tercermin dari unggahan tayangan kekerasan oleh polisi dan yang bekerja sama dengan mereka ke pelbagai platform, mayoritas berbentuk kejahatan jalanan dengan terduga pelaku dari kelas ekonomi menengah ke bawah.

“Tindakan menembak tersangka di kaki dan memukuli mereka, sulit membayangkan polisi melakukan itu kepada kelas menengah atas di Indonesia,” kata Wilson. 

Pada akhirnya tindakan simbolik tersebut, menurut Wilson, berhasil membentuk persepsi bahwa kejahatan jalanan adalah bagian dari kenyataan hidup kaum miskin. Pada taraf tertentu, orang pun akan menerima bahwa kekerasan adalah cara yang dapat diterima untuk menangani masalah sosial pada kelas ekonomi tersebut.


M. Ahsan Ridhoi pernah bekerja untuk tirto.id dan katadata.co.id. Saat ini sedang merintis media investigatif, deduktif.id.

Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #PolisiBukanPreman yang didukung oleh Yayasan Kurawal.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
12 menit