Pencurian Data dan KBGO: Suara Korban yang Dianggap Remeh Polisi

Mawa Kresna
19 menit
Ilustrasi kekerasan berbasis gender online. (Project M/Herra Frimawati - di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2)

“Lo, nih, disuruh ngadepin pilihan, [antara] besok lo lihat UFO mendarat di depan kosan sama RUU PKS disahkan, lebih masuk akal lo lihat UFO di kosan.”

Kalimat tersebut terlontar dari mulut Sari saat kami berbincang pada akhir Agustus lalu. Ia lalu tertawa setelah mengucapkan kalimat itu. Sejak diusulkan tahun 2016 silam, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) memang belum juga diselesaikan oleh DPR RI. Sejak itu pula pembahasan mandek, lalu tidak ada lagi kabar dari Senayan. Padahal itu adalah kabar yang dinanti oleh Sari, sebagai salah satu korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).

Sari masih menjadi mahasiswa semester 4 di salah satu kampus di Jakarta ketika ia menjadi korban KBGO. Peristiwa itu terjadi lima atau enam tahun silam. Saat itu, ia dan teman-temannya iseng mencoba fitur nearby pada aplikasi WeChat. Entah beruntung atau sial, mereka menemukan sebuah akun penyedia jasa video call sex (VCS) yang memasang wajah Sari sebagai foto profilnya. 

Sari hanya punya satu akun WeChat dan tidak pernah terlibat prostitusi. Fotonya telah dicuri.

Seorang teman laki-laki Sari mengirim pesan ke akun tersebut, meminta daftar harga sekaligus mencoba mencari tahu identitasnya. Daftar harga berhasil ia dapatkan, biayanya Rp50.000 untuk panggilan telepon dan Rp100.000 untuk panggilan video tanpa wajah. Ia mencoba menawar, berkata bahwa ia bersedia membayar lebih untuk video call yang menunjukkan wajah atau pertemuan langsung. Sang pemilik akun tidak bersedia.

Sari gusar. Seorang teman perempuan mengajaknya pergi ke pusat perbelanjaan untuk menenangkan diri. Teman tersebut juga menawarkan diri untuk menemaninya ke kantor polisi seandainya Sari ingin melaporkan kejadian tersebut. Sari setuju. Mereka berdua pergi ke kantor polisi terdekat dengan berjalan kaki. Namun, sesampainya di sebuah Polsek di bilangan Jakarta Barat, bukan bantuan yang Sari dapatkan, melainkan cemoohan. Bukan ketenangan yang ia rasakan, melainkan kemarahan.

Saat itu, ada dua orang polisi laki-laki yang sedang berjaga di Polsek. Keduanya sedang bersantai. Salah seorang dari mereka bahkan hanya mengenakan kaus dalam putih dengan seragam tersampir di kursi. Sari menceritakan semua yang terjadi siang itu kepada keduanya. Usai Sari menyelesaikan ceritanya, polisi yang masih mengenakan seragam bertanya, “Lo, kok, dia bisa punya foto kamu?”

“Ah, itu mungkin cuma teman, kali. Iseng,” timpal polisi satunya, tertawa. “Saran saya, Mbak jangan kebanyakan upload-upload foto dari sekarang kalau enggak mau [fotonya] kesebar di internet.”

“Anjing. Apaan, nih?” pikir Sari. Ia datang untuk meminta bantuan, bukan untuk menjadi bahan tertawaan. Amarahnya memuncak.

Teman Sari sudah lebih dulu melawan. “Jangan sampai anak Bapak, deh, yang kena kasus begini!”

Suasana memanas. Si polisi berkaus putih membentak Sari dan temannya,. “Heh, Dek, kamu yang sopan! Masih sekolah jangan sok nantang-nantangin polisi.”

“Saya doain anak Bapak biar enggak jadi korban. Kok, marah?” balas teman Sari.

Adu mulut itu berlangsung cukup lama. Sari kesal. Semuanya berisik. Bising. Ia hanya ingin bantuan. Mengapa jadi begini?

Akhirnya, polisi berseragam itu menyuruh Sari dan temannya pergi karena suasana sudah tidak kondusif. Dalam perjalanan pulang, Sari menangis.

Hingga kini, Sari masih marah setiap kali mengingat kejadian tersebut. Setiap kali melihat orang yang mengenakan seragam cokelat, entah satpam atau polisi, ia mencoba menghindar. Bukan karena takut, melainkan karena benci.

“Orang, kan, pada bilang, ‘Ah, cuma orang jahat doang yang benci sama polisi.’ Apa, ‘njing? Lo coba dulu, lah, di posisi gue. Gue apanya yang jahat? Gue enggak pernah maling, lo. Gue enggak pernah ngajakin ribut orang, gue enggak pernah buat huru-hara, tapi gue digituin. Wajar enggak, gue benci?”

Pasca-KBGO dan peristiwa di kantor polisi, Sari menjadi jauh lebih waspada. Ia tidak pernah lagi menampakkan wajah secara penuh di akun media sosial pribadinya. Ia tahu, jika terjadi sesuatu pada data pribadinya, tak ada siapa pun yang bisa ia andalkan. Polisi dan negara sekalipun.

Dihantui Ketakutan dan Kebingungan

Awal September 2019. Dina sedang melakukan recce untuk proyek film pendek terbarunya. Ponselnya terus-menerus berdering, menampilkan nomor-nomor yang tidak ia kenali.

“Apa ini calon-calon executive producer, kali, ya?” pikirnya.

Kala itu, Dina dan rekan-rekan kerjanya memang sedang gencar-gencarnya menggalang dana untuk proyek film pendek mereka. Sebagai produser, nama dan nomor ponsel Dina tercantum di dalam proposal dan poster-poster penjualan merchandise. Namun, karena sedang recce, ia tidak bisa mengangkat panggilan telepon maupun video yang masuk ke ponselnya.

Pada jam istirahat, Dina menyusuri pesan WhatsApp yang ia terima satu per satu. Jumlahnya banyak dan isinya beragam, mulai dari foto hingga pertanyaan mengenai jasa open BO. Dina terhenyak. Ia tidak pernah menawarkan jasa prostitusi daring. Pikirannya kalut. Sepanjang recce, ia tak fokus.

Open BO merupakan singkatan dari open booking out atau “bisa disewa”. Istilah ini umum digunakan untuk merujuk kepada pekerja seks yang menawarkan jasanya melalui internet. Akun-akun yang menawarkan jasa open BO bisa ditemukan di berbagai platform, mulai aplikasi berkirim pesan seperti MiChat dan WeChat, hingga media sosial seperti Facebook dan Twitter.

Tak berselang lama, satu per satu rekan kerja Dina yang kebanyakan perempuan mulai mendapatkan teror telepon, panggilan video, dan pesan singkat yang sama. Teror berlangsung hingga larut malam, padahal syuting akan dimulai esok hari. Saat syuting pun, ponsel salah satu rekan kerja Dina tak henti-hentinya berdering. Tak banyak yang bisa Dina dan teman-temannya lakukan selain memblokir kontak orang-orang yang menghubungi mereka dengan pesan bernada serupa: apa mereka bisa dipesan?

Dina penasaran dari mana orang-orang itu mendapatkan nomor ponselnya. 

Usut punya usut, nomor ponsel Dina dan teman-temannya tersebar lewat cuitan @fWBase, sebuah akun base yang umum digunakan warga Twitter untuk mencari teman tidur (friends with benefit) secara anonim. Seseorang menyebarkannya. Dina mendapatkan informasi tersebut dari salah satu orang tak dikenal yang mengontaknya.

“Aku tanya, ‘Ini kamu dapat dari mana? Soalnya aku enggak submit ke situ, ke akun alter itu.’ Terus, dia nge-screenshot itu, deh, @fWBase itu,” ujar Dina.

Dina segera mengontak akun base tersebut melalui pesan langsung (DM) Twitter, meminta twit-twit yang mencantumkan nomor ponselnya dan teman-temannya dihapus. Sayang, ia tidak mendapatkan respons apa pun. Akhirnya, Dina dan teman-temannya tak punya pilihan lain selain ramai-ramai melaporkan twit dan akun tersebut.

Akun @FWBase yang mengunggah nomor handphone Dina.

Saat artikel ini ditulis, akun @fwBase memang sudah ditangguhkan oleh Twitter. Namun, penangguhan akun tidak otomatis menihilkan dampak peristiwa pencurian identitas dan data pribadi yang dialami Dina dan rekan-rekannya. Salah satu rekan kerja Dina mendapatkan berbagai ujaran kebencian di kotak pesan Twitternya, fotonya pun dicuri untuk membuat profil palsu di aplikasi kencan daring. Sementara itu, Dina menjadi cemas setiap kali ada nomor tak dikenal yang meneleponnya.

“Padahal mungkin itu sebenarnya, ya, enggak kenapa-kenapa. Mungkin temanku aja yang ganti nomor atau apa,” ujarnya.

Ketika ditanya apakah pernah melaporkan kejadian tersebut ke lembaga pengada layanan atau pihak berwajib, Dina mengaku tidak melapor karena tidak tahu harus meminta bantuan ke mana. Ia juga ragu kasusnya akan diurus karena akun penyebarnya sudah ditangguhkan dan kejadiannya sudah dua tahun yang lalu.

Kebingungan semacam ini lumrah dialami oleh penyintas KBGO di Indonesia. Bagaimana tidak? Di negara ini, penyintas kekerasan seksual seolah tak punya ruang aman. Negara, penegak hukum, dan masyarakat lebih sering menghakimi penyintas daripada membantu. Keluarga pun belum tentu jadi tempat aman untuk bercerita. Setidaknya, itulah yang dialami Jejet.

Jejet menjadi korban KBGO saat ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), tepatnya pada tahun pertamanya di SMP, awal 2018 lalu. Mantan kekasih Jejet membuat akun palsu di Instagram menggunakan identitasnya. Pada bio Instagram akun tersebut tertulis “OPEN BO”. Lewat akun itu, si mantan kekasih menyebarkan foto dan video tanpa busana Jejet. Tak hanya itu, akun tersebut juga mengikuti teman-teman dan keluarga Jejet. Pada satu foto, akun tersebut bahkan menandai akun Instagram ibu Jejet.

Motifnya? Balas dendam. Beberapa hari sebelumnya, Jejet memutuskan hubungan dengan mantan kekasihnya karena pria tersebut ternyata sudah beristri.

Akibat KBGO dan pencurian identitas yang ia alami, Jejet kerap dikatai “lonte” oleh teman-teman satu sekolahnya. Ia akhirnya memilih pindah sekolah karena tak kuat mendengar beragam cemoohan yang dilontarkan kepadanya. Respons keluarga Jejet terhadap kejadian yang menimpanya pun tak jauh beda. Ibunya mengira akun tersebut dibuat oleh Jejet sendiri, om dan tantenya bahkan menyimpan foto dan video yang ada di akun bodong tersebut secara diam-diam.

Kejadian ini berdampak terhadap kondisi psikologis Jejet. Saat akun bodong tersebut baru muncul, Jejet selalu dihantui oleh ketakutan. Ia takut dirundung, ia takut diteror, ia takut membuat malu keluarganya. Namun, lebih dari itu, ia merasa malu atas dirinya sendiri. Kepercayaan dirinya turun drastis karena foto-foto intimnya menjadi konsumsi publik. Rasa malu itu juga yang membuat Jejet tidak pernah lagi menggunakan nama aslinya saat bermedia sosial.

“Aku enggak bisa bebas,” katanya.

Jejet memang sempat melaporkan kasus KBGO yang ia alami kepada Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Saat itu, pihak Komnas menghubungkannya dengan tim Awas KBGO milik Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet), sebuah organisasi nonpemerintah yang memperjuangkan hak-hak digital di Asia Tenggara. Tim Awas KBGO membantu Jejet melaporkan akun bodong tersebut ke Instagram. Akun itu akhirnya menghilang. Namun, karena membuat akun media sosial adalah perkara yang sangat mudah, mantan kekasih Jejet pun kembali dengan akun baru. Lapor, hilang, buat baru. Lapor, hilang, buat baru. Teror itu terus berulang hingga akhirnya Jejet memilih untuk tak lagi menggubrisnya. Ia lelah.

Enggan Lapor Polisi

Teror berulang dari pelaku KBGO tak hanya dialami oleh Jejet. Citra, seorang penyintas lain asal Yogyakarta, juga mendapatkan teror berulang dari orang yang menyebarkan foto dan data pribadinya.

Citra pertama kali mengalami KBGO pada Mei 2018, tepat saat ia tengah mempersiapkan kelulusannya. Saat itu, ia berada dalam hubungan yang penuh kekerasan, baik fisik maupun emosional. Citra ingin keluar dari hubungan tersebut, tetapi sang mantan kekasih mengancam akan menyebarkan foto pribadi Citra jika ia berani memutuskannya.

Setelah bertengkar hebat, Citra akhirnya berhasil keluar dari hubungan toksik itu. Benar saja, si mantan kekasih kemudian membuat akun Instagram palsu atas nama Citra dan menyebarkan foto-foto pribadinya. Bio akun Instagram tersebut berisi nomor telepon Citra, disertai keterangan bahwa ia menawarkan jasa open BO.

Memang, foto-foto yang disebarluaskan melalui akun tersebut bukanlah foto tanpa busana, melainkan foto-foto portrait Citra yang diambil oleh pelaku untuk ia jadikan portofolio fotografi. Namun, foto profil akun tersebut menampilkan wajah Citra yang sedang berada di tempat tidur, tanpa memperlihatkan tubuhnya, seolah-olah foto intim.

“Aku pakai baju, tapi di display picture itu, karena hanya kepala yang dikasih liat, jadi kesannya aku tiduran ala-ala ‘cewek nakal’,” jelas Citra.

Akun palsu tersebut akhirnya berhasil dihapus setelah Citra dan teman-temannya ramai-ramai melaporkan akun tersebut ke Instagram. Namun, cerita belum belum selesai. Pada 1 Juli 2018, Citra menerima sebuah surel berisi ancaman: pelaku akan kembali membuat akun open BO gadungan atas nama Citra. Kali ini, sambil mencantumkan nomor telepon kedua orang tua Citra dan alamat rumahnya pada bio.

Citra tak tahan lagi. Ini sudah keterlaluan. Ia menelepon kedua orang tuanya untuk menjelaskan semuanya. Orang tuanya menyarankan Citra untuk berbicara dengan salah satu kerabatnya yang berprofesi sebagai polisi untuk mencari jalan keluar. Namun, sang kerabat justru menyarankan jalur kekeluargaan. Sebelumnya, Citra memang sudah mencoba melaporkan kasusnya ke salah satu Polsek di Semarang, tempat ia berkuliah, dengan membawa sejumlah bukti. Namun, polisi yang berjaga saat itu meminta Citra untuk membuat “laporan yang diketik rapi” terlebih dahulu. Karena itu, Ia pun mengurungkan niat untuk membuat laporan ke polisi.

“Padahal aku pikir kayak oh, lapor, habis itu langsung bikin [laporan di tempat], terus nanti orangnya ditemuin, tapi ternyata enggak,” ujar Citra, tertawa.

Berbeda dengan Jejet, Citra memang tidak melaporkan kasusnya ke lembaga pengada layanan mana pun karena keterbatasan informasi yang ia punya. Akhirnya, ia memilih untuk menyelesaikan kasusnya secara kekeluargaan. Ia menghubungi salah satu rekan kerja pelaku, meminta pelaku untuk mengakui perbuatannya, dan menandatangani surat perjanjian bermaterai.

“Sekarang aku kayak nyesel gitu [enggak lapor] setelah menemui [bahwa] ternyata banyak banget komunitas yang mau bantuin cewek-cewek yang mengalami kekerasan,” pungkas perempuan berusia 24 tahun tersebut.

Ilustrasi penanganan kasus kekerasan berbasis gender online. (Project M/Herra Frimawati – di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2)

Polisi Punya Cara, Tapi Tak Punya Niat

Selama pandemi, jumlah KBGO yang dilaporkan di Indonesia meningkat drastis. Dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2021, Komnas Perempuan mencatat 940 kasus KBGO yang diadukan sepanjang tahun 2020, meningkat 241 kasus dari data 2019. Selain itu, dalam Laporan Situasi Hak-Hak Digital Indonesia 2020, SAFENet mencatat kenaikan pelaporan kasus KBGO sebesar lebih dari 10 kali lipat, dari 60 kasus pada 2019 menjadi 620 kasus pada 2020. Kasus yang tidak dilaporkan, seperti kasus yang dialami Citra dan Dina, tentu lebih banyak.

Keengganan penyintas untuk melapor dilatari oleh banyak hal, mulai dari ketidaktahuan, rasa malu, trauma, hingga ketidakpercayaan kepada pihak berwajib. Padahal, berdasarkan panduan yang diterbitkan SAFENet, Indonesia sebenarnya memiliki beragam pasal UU yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku KBGO, utamanya dari UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Sayangnya, pasal-pasal dalam kedua UU ini juga bisa digunakan untuk membungkam penyintas.

Pihak kepolisian dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) juga terkesan ogah-ogahan dalam menangani kasus KBGO, meskipun memiliki sumber daya dan kuasa untuk menanganinya secara serius. Menurut panduan Usut Informasi Pelaku KBGO di Platform Digital yang dirilis SAFENet, aparat penegak hukum memiliki kuasa untuk meminta informasi data pengguna dari platform digital dalam rangka penegakan hukum seperti penyidikan atau investigasi. Selain itu, Kemenkominfo juga diketahui memiliki mesin pengais (crawler) “konten negatif” yang diberi nama Ais. Mesin ini memakan anggaran sebesar Rp200 miliar rupiah dan digadang “siap menghalau konten-konten seperti pornografi yang menyebar luas di dunia maya”, dikutip dari situs Kemenkominfo. Kedua jalur ini seharusnya bisa digunakan aparat penegak hukum untuk melacak identitas pelaku KBGO dan menghapus “konten negatif” yang diunggahnya.

Dalam struktur Polri sendiri, kasus-kasus KBGO seharusnya ditangani oleh Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) dan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA). Namun, penyintas sering kali mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan dari polisi saat melapor, mulai dari ditertawakan, dianggap remeh permasalahannya, hingga diberi pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan. Dua dari tiga hal tersebut dirasakan oleh Ida saat melaporkan KBGO yang ia alami ke Polres Klaten.

Waktu menunjukkan pukul 09.40 pagi saat Ida tiba di Polres Klaten, Kamis, 19 Oktober 2018. Sehari sebelumnya, pagi-pagi betul, seseorang yang tidak bisa ia pastikan identitasnya menandainya dalam sebuah kiriman video di Instagram. Video yang direkam secara diam-diam itu menyorot diri Ida yang sedang berganti pakaian dari belakang. Ida panik. Ia langsung menghapus semua akun media sosial atas namanya, menyisakan akun anonim yang ia punya untuk berjaga-jaga.

Sehari penuh, Ida mendapatkan teror. Foto dan videonya berganti pakai diunggah oleh pelaku ke cerita Instagram. Pelaku juga mengirimkan video dan foto-foto tersebut ke alamat surel pribadi Ida, menambah ketakutan yang ia rasakan. Ida gemetar. Ia teringat kekerasan seksual yang dialaminya semasa SMP, puluhan tahun silam. Waktu itu, seseorang meraba payudaranya saat sedang berkemah.

“Perasaan itu yang aku ingat ketika diteror. Sama. Enggak bisa ngapa-ngapain. Cuma bisa bengong dan gemeteran,” ceritanya.

Namun, berbeda dengan Ida yang berusia belasan, Ida yang berusia 40 tahun sudah tahu apa yang bisa ia lakukan: melaporkan kejadian ini ke polisi. Keesokan harinya, Ida pergi ke Polsek terdekat. Sayangnya, polisi yang berjaga di sana berkata bahwa mereka tidak bisa menangani kasus ITE. Ida pun dirujuk ke Polres Klaten.

Sesampainya di Polres, Ida langsung membuat laporan pengaduan. Ia juga menjalani pemeriksaan, sebuah proses yang menurutnya melelahkan. Sesudahnya, polisi yang memeriksa Ida berjanji akan mengabarinya mengenai perkembangan kasus. Ida menunggu. Sepekan, dua pekan, tiga pekan, tak ada kabar. Ia pun bertanya ke pihak Polres. Kata mereka, pengaduannya tidak dapat dilanjutkan karena bukti yang diberikan kurang kuat. Nomor telepon yang digunakan pelaku untuk membuat akun Instagram tersebut sudah tidak aktif dan proses penyelidikan pun berhenti begitu saja.

Selang setahun, pada Desember 2019, Ida kembali mengalami KBGO. Kali ini, seseorang membuat akun Twitter porno menggunakan identitasnya. Akun tersebut berisi foto-foto Ida di berbagai kesempatan, mulai dari foto profil hingga foto Ida di pernikahan kerabatnya. Foto-foto tersebut dicuitkan dengan beragam kata-kata dan tagar yang tak senonoh seperti #ji****ng*****, #m****ba***, dan #tantes****. Seorang mantan rekan kerja memberitahunya tentang akun tersebut.

Ida pun kembali melapor ke Polsek dan Polres. Di Polsek, Ida diberi tahu bahwa kasus ini bisa dikaitkan dengan kasus yang ia alami setahun sebelumnya. Ia tak perlu membuat laporan baru. Namun, saat melapor ke Polres, Ida ternyata harus membuat pengaduan baru karena platform yang dipakai pelaku berbeda dari kasus sebelumnya.

Meski laporannya ditangani oleh unit PAA, Ida tidak melihat satu pun polisi perempuan yang bertugas saat itu. Selain itu, ia juga tetap mendapatkan perlakuan nirempatik saat melapor. Polisi mengganggap remeh kasusnya karena foto-foto yang disebarkan pelaku bukanlah foto vulgar.

“Ini, kan, enggak jorok. Itu, kan, cuma kata-kata,” ujar polisi laki-laki yang memeriksa Ida.

Selama proses pemeriksaan, Ida merasa tidak nyaman. Polisi memeriksanya sembari merokok dan makan makanan ringan. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepadanya terasa memojokkan. Ida tidak bisa membayangkan pertanyaan-pertanyaan macam apa yang didapatkan oleh penyintas kekerasan seksual lain yang kasusnya lebih parah. Pemerkosaan, misalnya.

“Apa enggak langsung mentalnya drop?”

Ida mengganggap dirinya beruntung. Usianya sudah 40 saat melapor. Ia tahu prosedur pelaporan. Ia bisa menghabiskan banyak waktu untuk mengurus semuanya. Ia bahkan rela membayar berapa pun untuk menyelesaikan kasus ini jika diminta. Namun, hingga kini, laporannya masih menggantung, belum terselesaikan.

Jalan Panjang Menuju Aman

Project Multatuli berupaya mengonfirmasi perlakuan buruk yang diterima Citra, Ida, dan Dina, sekaligus mencari tahu alur pelaporan KBGO di kepolisian, namun belum ada jawaban. Kepala Divisi (Kadiv) divisi Humas Polri Irjen (Pol) Argo Yuwono yang dihubungi lewat pesan singkat pada 16 dan 17 September 2021 mengatakan sedang berada di luar kota dan merekomendasikan untuk menghubungi Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Rusdi Hartono.

Saat dihubungi, Brigjen Rusdi berkata bahwa dirinya sedang berada di Papua. Ia kemudian menyarankan untuk menghubungi Kombes (Pol) Ahmad Ramadhan, Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) divisi Humas Polri. Setelah dihubungi, tidak ada juga jawaban dari Kombes Ramadhan. 

Sementara itu, M. Yunus Saputra, Kepala Analisis Dittipidsiber Bareskrim Polri mengakui bahwa terdapat permasalahan struktural dalam penanganan KBGO di kepolisian, mulai dari kurangnya alat penanganan tindak pidana siber di tingkat Polsek, Polres, dan Polda, hingga tingginya jumlah polisi yang belum perspektif penyintas dan memiliki kompetensi untuk menangani kasus-kasus KBGO.

Meski berkata bahwa kasus KBGO dapat dilaporkan penyintas Polres atau Polda terdekat, Yunus juga juga berujar bahwa peralatan untuk menangani tindak pidana siber, termasuk KBGO, “hanya tersedia di kota-kota besar” seperti Jakarta dan ibu kota provinsi. Hal ini berpotensi menyulitkan penyintas yang tinggal di luar ibu kota provinsi, seperti Ida.

Yunus menjelaskan bahwa kepolisian membagi kasus KBGO ke dalam beberapa kategori berdasarkan tingkat kesulitan kasusnya, yaitu kasus ringan, sedang, sulit, dan sangat sulit. Kasus dianggap ringan adalah jika nominal kerugiannya kecil, masih bisa ditangani oleh kepolisian tempat penyintas melapor, dan tidak memerlukan koordinasi lintas wilayah yang terlalu luas. Tingkat kesulitan kasus akan ditingkatkan jika nominalnya kerugiannya bertambah dan sudah tidak bisa ditangani oleh kepolisian setempat. Jika kasus dikategorikan sulit atau sangat sulit, ia akan dilimpahkan ke Mabes Polri.

Masalahnya, kebanyakan penyintas KBGO tidak mengalami kerugian materiel yang dapat dihitung secara langsung. Para penyintas lebih sering mengalami kerugian immateriel seperti hilangnya privasi, kepercayaan diri, serta hak untuk hidup aman dan tentram. Penyintas juga harus menanggung stigma yang dapat menyebabkan ia kehilangan pekerjaan dan relasi, serta menghambat kehidupannya di masa mendatang.

Meski demikian, ada satu cara ampuh yang dapat digunakan penyintas agar kasus KBGO-nya diprioritaskan oleh Polri: menarik perhatian publik, atau dalam kata lain, memviralkan kasusnya terlebih dahulu, meski praktik tersebut dapat membahayakan keamanan penyintas dan memicu trauma kedua.

“Kasus-kasus yang menjadi perhatian publik itu langsung akan ditarik ke level Mabes Polri. Yang menjadi perhatian publik [itu], ya, yang viral, yang butuh penanganan cepat,” ujar Yunus saat diwawancarai pada Oktober 2021. “Yang membuat kegaduhan.”

Prioritas kasus viral itu mendapat kritikan Ellen Kusuma, Kepala Sub Divisi Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) SAFENet. Idealnya, kata Ellen, kasus KBGO harus sesegera mungkin ditangani, sebab, di internet, konten bisa dengan cepat tersebar dan akan sulit dilacak. 

“Berhenti memprioritaskan kasus yang viral,” kata Ellen.

Menurut Ellen, proses panjang dan berbelit dalam penanganan KBGO di tingkat kepolisian sangat bertolak belakang dengan natur dunia maya yang serba cepat. Di internet, data sangat mungkin berpindah tempat dan terduplikasi dalam hitungan detik. Namun, struktur penanganan yang ada saat ini belum mampu mengantisipasi kecepatan penyebaran konten tersebut, sehingga sangat mungkin konten intim dan data pribadi penyintas telanjur tersebar lebih luas sebelum polisi menindaklanjuti laporan penyintas. Terlebih, di Indonesia, belum ada lembaga yang dapat memastikan bahwa semua data yang disebarkan pelaku benar-benar terhapus.

Ellen menilai, kelambatan polisi saat menangani kasus KBGO berbanding terbalik dengan kinerja kepolisian saat menghadapi “konten negatif” dan hoaks yang dinilai dapat “mencemarkan nama baik negara”.

“Jadi, ini masalah niat, sebenarnya,” ujarnya.

Ketika ditanya mengenai kendala yang ditemui oleh kepolisian dalam penanganan kasus KBGO, Yunus berkata bahwa anonimitas yang diberikan oleh internet dan sifat kejahatan siber yang tidak terbatas ruang adalah salah dua kendala terbesarnya. Meski polisi memiliki wewenang untuk meminta data pelaku dari penyedia platform, Yunus mengaku timnya tetap kesulitan mendapatkan data pelaku karena dibatasi oleh kebijakan privasi platform digital.

“[Hanya] empat kategori saja [yang bisa diminta datanya]. Yang pertama, terorisme, yang kedua, kasus-kasus yang berkaitan dengan nyawa, kemudian yang ketiga, child pornography. Jadi, memang kasus-kasus pornografi online itu enggak semua bisa ditarik [data pelakunya], hanya child pornography saja,” ujarnya.

Masalah akses terhadap data ini macam buah simalakama. Di satu sisi, polisi membutuhkan akses terhadap data dan informasi untuk mengusut kasus. Namun, di sisi lain, belum ada jaminan perlindungan terhadap data pribadi. Ellen menjelaskan, dalam beberapa kasus, polisi menyita ponsel korban untuk keperluan forensik digital. Padahal, untuk melakukan forensik digital, dibutuhkan waktu yang lama. Selain itu,  juga ada kekhawatiran bahwa data yang diambil dari ponsel korban bukan hanya data yang terkait dengan kasus tersebut.

“Dalam kasus penyebaran konten nonkonsensual, digital forensics itu tidak membuat korban nyaman. Karena kalau mereka melapor ke kepolisian, mereka harus menyerahkan barang buktinya ke polisi. Kalau polisinya laki-laki, mereka sudah enggan … Kita pernah menemukan satu kasus korban harus menyerahkan handphone-nya. Bayangkan, handphone kita, kan, isinya macam-macam. Kalau kita diminta menyerahkan handphone, kita, kan, ragu-ragu. Akhirnya, kita belum jadi lapor sampai sekarang,” ujar Ellen.

Siti Husna Lebby Amin, pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) menambahkan bahwa banyak kasus KBGO yang ditangani oleh LBH APIK mengalami hambatan saat dilaporkan ke kepolisian. Kasus pencurian data pribadi seperti yang dialami Dina, Citra, Ida, dan Sari tidak dianggap urgen karena hanya dikategorikan sebagai kasus pencemaran nama baik. Dalam kasus penyebaran konten intim nonkonsensual pun, polisi hampir selalu menyalahkan penyintas.

“Kamu mau, kok, dimintain (foto dan video intimnya). Sekarang, kok, baru protes?” tiru Husna.

Husna berpendapat, kecenderungan menyalahkan penyintas dan ketidakmampuan banyak polisi untuk berperspektif penyintas saat menangani kasus KBGO sedikit-banyak dipengaruhi oleh budaya Polri yang kental maskulinitas. Itu sebabnya juga, jumlah polisi wanita (polwan) di Indonesia sedikit, hanya 6% dari total anggota Polri. Kurangnya perempuan di tubuh Polri akhirnya berdampak pada minimnya perspektif gender dalam institusi Polri itu sendiri. Sebuah lingkaran setan.

Yunus, membenarkan fakta itu. Ia bilang, di beberapa tempat, jumlah polwan masih kurang. Maka dari itu, untuk memenuhi kebutuhan institusi, polisi-polisi yang belum mendapatkan pelatihan penanganan kasus perempuan dan anak pun diminta untuk menangani kasus KBGO.

“Memang idealnya, sih, semua harus di-training, tetapi kadang ada beberapa Polres—dan itu jumlahnya ribuan Polres, ya—yang belum memahami bagaimana cara nge-treat orang atau korban,” pungkasnya.

Sari, Ida, Citra, Jejet, dan Dina bukanlah nama asli dari para penyintas. Nama disamarkan untuk melindungi identitas para penyintas.


Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #PercumaLaporPolisi yang didukung oleh Yayasan Kurawal

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
19 menit