EVI YUNITA POHAN (29) mengendarai sepeda motor berkaki tiganya dengan lekas menuju stadion di Universitas Negeri Medan, Sumatra Utara. Jarak antara stadion dengan mesnya itu berkisar 4 kilometer. Pagi itu, ia akan berlatih kursi roda untuk persiapan Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas), pada Oktober mendatang.
Awalnya, Peparnas 2024 akan digelar di Sumatra Utara dan Aceh. Rencana itu berubah. Tahun ini, penyelenggaraan turnamen empat tahunan itu bakal diadakan di Solo, Jawa Tengah. Evi akan ikut bertanding dalam cabang olahraga balap kursi roda. Sudah lima tahun, Evi melakoni perannya sebagai atlet di bawah naungan Komite Paralimpiade Nasional Indonesia (NPCI).
Tahun 2017, Evi terlibat dalam kecelakaan lalu lintas yang melibatkan truk pengangkut barang. Evi harus kehilangan kakinya. Di tengah upaya memulihkan diri, Evi bertemu dengan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI). Pertemuan itu menjadi titik balik bangkitnya Evi meneruskan semangat hidup.
HWDI merekomendasikan Evi ikut bertanding dalam turnamen olahraga antardaerah, cabang olahraganya renang. Semasa kecil, Evi sering berenang di sungai dekat rumahnya sehingga ia tidak ragu menerima tawaran ini. Sekitar delapan bulan berlatih dengan tekun, Evi mendaftarkan dirinya mengikuti turnamen renang.
Namun, ia ditolak karena mengenakan jilbab.
“Karena peraturannya tidak boleh pakai jilbab. Jadi, Evi memutuskan untuk tidak ikut pertandingan, dan kemudian Evi pindah ke cabor atletik,” kata gadis kelahiran Sipiongot, Kabupaten Padang Lawas Utara ini.
Penolakan itu yang kemudian membawanya mengganti arena pertandingan ke cabang atletik. Ketekunannya dalam berlatih berhasil memberinya medali emas pada Peparnas 2021 di Papua.
Seperti atlet nasional lainnya, setiap menjelang pertandingan, Evi juga akan berlatih lebih keras, terlebih ia tidak pernah memiliki pengalaman bertanding dengan kursi roda.
“Kami latihan dua kali dalam sehari, pagi dan sore, agar target dapat dicapai,” katanya, seraya melanjutkan, “Benar-benar memulainya dari nol, tangan sampai lecet dan luka, pernah juga tangan Evi kejepit masuk ke dalam roda.”
Terkadang, latihan keras tersebut juga meruntuhkan pertahanan tubuhnya.
“Kemarin Evi sakit 3 hari, kena diare, ada juga beberapa kawan atlet yang juga sedang sakit. Mungkin juga karena cuaca atau memang kurang gizi, karena rata-rata kena diare atau thypus.”
Selama ini, jika perempuan atlet disabilitas seperti Evi menderita penyakit tertentu, Komite Paralimpiade Nasional Indonesia akan menyediakan dokter khusus yang bisa datang langsung ke mes apabila sakitnya sudah parah.
Kendati demikian, apabila sakitnya perlu mendapatkan penanganan lebih lanjut, maka para atlet terkadang harus kembali dulu ke kampung halaman untuk meminta surat rujukan dari puskesmas yang terdaftar dalam layanan faskes mereka.
“Jika kami harus dirujuk ke rumah sakit, itu yang menjadi masalah, karena kami yang dari daerah ini, harus balik untuk meminta surat rujukan di puskesmas,” ucap Evi.
Menurut Evi, tanpa menjadi penyandang disabilitas, menjadi perempuan atlet adalah peran yang sulit dilalui. Tuntutan ketika telah berumah tangga atau menjadi ibu kerap menjadi penghalang perempuan atlet melanjutkan latihan.
“Beda lagi jika datang bulan, selain mood yang tidak baik, kondisi dalam berlatih pun benar-benar tidak nyaman. Apalagi duduk di kursi balap roda, mana perut yang sakit, dudukan karena adanya pembalut juga sangat mengganggu,” katanya.
Tantangan semakin bertambah ketika perempuan atlet memiliki keterbatasan fisik. Evi mengatakan tidak ada perbedaan latihan antara atlet disabilitas dengan atlet lainnya.
“Program latihan kami sama dengan atlet abilitas, ga ada bedanya, abilitas aja banyak juga yang nyerah, apalagi yang kayak kami ini, belum lagi karena fasilitas alat yang minim dan tertinggal,” kata Evi.
Bukan hanya itu, banyak fasilitas umum dari mulai sarana transportasi, tempat tinggal, hingga akses kesehatan. Pernah suatu ketika, salah satu kawan Evi yang juga atlet disabilitas, mengalami kecelakaan karena buruknya sarana jalanan umum.
“Dia sendirian, kawan-kawan yang lain sudah pada pulang, pas hujan pula, ramai-ramailah kami jemput dia, ternyata dia terperosok lubang yang cukup dalam, karena hujan kan ga terlihat kalau di situ ada lubang,” cerita Evi.
Evi dan kawan-kawannya tak punya banyak pilihan. Mereka tak memiliki kendaraan pribadi yang nyaman untuk kondisi mereka, sementara belum ada angkutan umum yang ramah difabel.
“Tak ada pegangan di dekat pintu masuk untuk kami berpegangan mengangkat badan, atau tak ada tempat khusus untuk kursi roda, nah, kalau mau naik Gojek, uang kami juga terbatas,” kata Evi.
Evi mengatakan selama ini pendapatan yang ia terima sebagai atlet tidak pernah mencukupi. Evi biasanya mendapatkan Rp2,7 juta per bulan.
“Lebih tepatnya hanya bisa kami pakai untuk beli minyak motor, sementara untuk makan dan kebutuhan hari-hari harus kami upayakan sendiri,” katanya.
Suliadi (47), Sekretaris NPCI Sumatra Utara, tidak membantah keterbatasan-keterbatasan dalam fasilitas umum dan kesehatan bagi atlet disabilitas di kotanya.
“Sebagian besar dari kami di NPCI Sumut ini, merupakan mantan atlet disabilitas, kami tahu bagaimana rasanya menjadi mereka,” kata Suliadi.
Terkait masalah kesehatan, Suliadi mengaku saat ini pihaknya tengah mengurus perpindahan layanan faskes agar para atlet disabilitas yang menderita penyakit serius tidak perlu pulang dulu untuk meminta rujukan.
“Terkhusus atlet-atlet pelatda, agar mereka bisa lebih mudah dan nyaman dalam mengakses kesehatan mereka, hanya sampai saat ini, memang belum bisa kami fasilitasi,” katanya.
Suliadi menggarisbawahi pentingnya peran pemerintah dalam situasi ini, sebab NPCI juga memiliki keterbatasan biaya. Karena keterbatasan biaya ini juga, NPCI Sumut hanya mampu membawa seratusan atlet dari batas maksimal 300 orang, untuk bertanding di Peparnas 2024.
“Ibarat sedang memeras santan, kami harus bisa benar-benar mendapatkan santan yang sangat kental,” tukas Suprayitno, Ketua II Bidang Pembinaan Prestasi NPCI Sumut.
Artikel ini merupakan bagian dari serial #HakMinoritas