Transisi Energi dan Martabat Pekerja: Kunci Menuju Indonesia Emas 2045

Yayasan CERAH
Ronna Nirmala
10 menit
Transisi energi di Indonesia sering hanya dibahas dari sisi teknologi dan investasi, padahal aspek manusianya tak kalah penting. Infrastruktur hijau membutuhkan tenaga kerja terampil, perlindungan sosial, dan pelibatan komunitas lokal. (Project M/Inez Kriya)

Narasi besar tentang transisi energi kini menjadi bagian penting dalam visi nasional menuju Indonesia Emas 2045. Namun, dalam berbagai diskusi kebijakan, saya jarang mendengar diskusi mengenai satu pertanyaan mendasar: Siapa yang akan menjalankannya? Pertanyaan ini bukan hanya penting dibahas, tapi juga amat personal karena saya pernah berada di tengah transisi karier yang merefleksikan transisi energi.

***

SELAMA lebih dari satu dekade, saya bekerja di sektor energi fosil. Bagi banyak orang dari latar ekonomi menengah dan bawah seperti saya, sektor ini adalah bentuk dari mobilitas sosial: menawarkan gaji yang cukup tinggi, jenjang karier jelas, jaminan sosial, serta peluang ilmu dan dunia kerja di level regional dan internasional.

Saya memulai karier di industri minyak dan gas pada 2007. Sepuluh tahun kemudian, saya mengambil jeda panjang dan perlahan beralih ke bidang energi terbarukan. Peralihan itu membawa saya ke sektor panas bumi bersama badan pemerintah Selandia Baru.

Seiring dengan interaksi saya bersama industri panas bumi, saya melihat langsung bahwa transisi energi bukan sekadar soal teknologi atau investasi, tapi soal manusia. Saya mengamati bagaimana Masyarakat Adat Māori dilibatkan dengan bermakna, tidak hanya sebagai pendengar, tapi pengambil keputusan dan berperan aktif. Pengalaman ini mencatatkan hal penting bagi saya bahwa transisi yang adil menempatkan manusia sebagai pusatnya.

Saya kemudian melanjutkan studi kebijakan publik di Oxford. Salah satu fokus penelitian saya bersama Oxford Martin School adalah mengukur kesiapan pendidikan vokasi (TVET) dalam menghadapi transisi energi di negara-negara berkembang. Riset itu memperlihatkan pola yang konsisten: kesiapan tenaga kerja belum menjadi prioritas utama, baik oleh pemerintah maupun pelaku industri.

Pengalaman saya menunjukkan bahwa di banyak tempat, termasuk Indonesia, aspek ketenagakerjaan belum mendapatkan perhatian yang seimbang dengan aspek teknologi dan investasi. Kesiapan tenaga kerja nyaris absen dari percakapan transisi energi. Padahal setiap proyek infrastruktur hijau membutuhkan manusia yang merancangnya, membangunnya, dan mengoperasikannya secara berkelanjutan.

Hingga hari ini, kebijakan transisi energi nasional masih belum sepenuhnya mengintegrasikan tentang pembangunan sumber daya manusia untuk mengisi lapangan kerja hijau. Belum banyak pembahasan yang secara komprehensif untuk menjawab pertanyaan tentang kesiapan keterampilan, akses pelatihan, atau rencana jangka panjang bagi jutaan pekerja di sektor energi fosil yang berpotensi terdampak.

Di balik ambisi pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), dan kendaraan listrik, tersimpan kekhawatiran tentang masa depan kelompok pekerja yang selama ini menopang sistem energi fosil dan konvensional sebagai akibat dari transisi energi.

Kegelisahan pekerja di sektor fosil mencerminkan kebutuhan akan komunikasi yang lebih terbuka, arah kebijakan yang jelas, dan kepastian masa depan yang bermartabat. Oleh karenanya, dibutuhkan pendekatan yang intensional dan kolektif, dengan melibatkan pemerintah, industri, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil, untuk menciptakan ekosistem kerja yang tidak hanya hijau tetapi juga adil dan layak. 

Kegelisahan Struktural

Dari perspektif ketenagakerjaan, transisi energi sejatinya membutuhkan dua pendekatan besar dalam bidang ketenagakerjaan: phase-in, yakni penciptaan pekerjaan baru dan mekanisme penguatan SDM untuk memenuhi kebutuhan pekerja di sektor energi bersih; dan phase-out, yaitu alih profesi bagi pekerja di sektor energi fosil.

Di kedua sisi ini, tantangan struktural masih menghantui. Dari sisi sistem pendidikan dan pelatihan vokasi di Indonesia (TVET) belum sepenuhnya selaras dengan kebutuhan tenaga kerja sektor industri hijau yang terus berkembang.

Jurusan-jurusan pendidikan tinggi dan menengah kejuruan belum secara luas mengakomodasi dan mengintegrasikan keterampilan teknis yang relevan seperti perawatan sistem penyimpanan energi, teknologi kendaraan listrik, atau pengelolaan emisi industri. Hal ini menciptakan kesenjangan antara kebutuhan pasar dan kesiapan tenaga kerja.

Beberapa negara telah mengambil langkah progresif. India, misalnya, yang sejak 2017 membentuk National Skill Development Council for Green Jobs, sebuah platform yang menyatukan kebutuhan industri dan lembaga pelatihan untuk memastikan keterkaitan antara pasokan dan permintaan tenaga kerja hijau. Di China, sistem sertifikasi pekerja energi terbarukan telah terintegrasi dari tingkat vokasi hingga universitas, memungkinkan pekerja meningkatkan keterampilannya secara bertahap.

Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, menunjukkan lebih dari 50 persen angkatan kerja hanya mengenyam pendidikan hingga SMP. Dengan kondisi ini, apakah bonus demografi benar-benar bisa menjadi anugerah? Atau justru berubah menjadi liabilitas jika infrastruktur pelatihan tenaga kerja tak segera dibenahi?

Dari sisi phase-out, tantangan terbesarnya adalah bagaimana memastikan bahwa transisi energi tidak dipersepsikan sebagai ancaman bagi keberlangsungan pekerjaan, melainkan sebagai peluang untuk transformasi ekonomi yang inklusif.. 

Transisi tenaga kerja dalam konteks energi bukan hanya soal ketersediaan pekerjaan hijau. Riset saya bersama The Future of Development Team di Oxford Martin School, Universitas Oxford (2023), menggarisbawahi bahwa setiap pemangku kepentingan perlu mengantisipasi kesenjangan (misalignment) antara kesesuaian waktu (temporal misalignment), lokasi (spatial alignment), dan sektor (sectoral misalignment).

Misalnya, jika sebuah PLTU ditutup hari ini, belum tentu ada pekerjaan alternatif langsung tersedia di lokasi yang sama. Proyek pembangkit energi surya atau angin bisa jadi baru berjalan satu atau dua tahun kemudian, dan bisa jadi berada di kota atau kabupaten lain. Dalam masa transisi ini, para pekerja berisiko kehilangan pendapatan dan jaminan sosial-ekonomi mereka. Kita juga harus jeli melihat bagaimana daerah-daerah yang pembangunannya ditopang dari pendapatan fiskal dari sektor batubara akan ada pekerjaan yang secara langsung dan tidak langsung terdampak dalam transisi energi.

Beralih ke sektor energi hijau tentu tidak sesederhana mengganti seragam kerja. Seorang ahli geologi yang telah 14 tahun bekerja di ladang minyak tak serta-merta tahu bagaimana ia bisa berkontribusi di energi terbarukan. Bahkan lulusan teknik yang dianggap relevan, seperti teknik elektro pun belum tentu memahami dengan jelas bagaimana mereka dapat mengonversi keahliannya untuk mendukung sistem energi yang lebih bersih.

Jika kelompok terdidik saja menghadapi kebingungan, apalagi para buruh di sektor seperti pertambangan batu bara atau PLTU yang memiliki keterbatasan akses terhadap pelatihan, informasi, dan perlindungan kerja.

Data dari International Renewable Energy Agency/IRENA (2020) menunjukkan bahwa lebih dari 50% pekerjaan yang diperkirakan akan muncul di sektor energi terbarukan akan dilakukan oleh “pekerja dan teknisi”. Menariknya, yang paling dibutuhkan bukanlah gelar akademik formal, melainkan keterampilan praktis yang relevan dengan kebutuhan industri. 

Untuk menjawab kebutuhan tersebut, diperlukan program pelatihan ulang (reskilling), pemetaan keterampilan yang dapat dialihkan lintas sektor (transferable skills), serta sistem sertifikasi yang memungkinkan mobilitas dan pengembangan karier secara berkelanjutan.

Sektor energi fosil yang selama ini dianggap sebagai tulang punggung ekonomi nasional sebenarnya memiliki kontribusi terhadap tenaga kerja yang kecil. Data BPS mencatat bahwa sektor pertambangan dan penggalian hanya menyerap sekitar 1,02 persen dari total tenaga kerja nasional. 

Data IRENA 2023 dan Kementerian ESDM 2022, sektor energi fosil, baik batubara, minyak, dan gas, mempekerjakan sekitar 950 ribu orang, sementara sektor energi terbarukan baru menyerap sekitar 140 ribu orang.

Hal ini mencerminkan bahwa industri energi fosil cenderung padat modal, tapi belum tentu padat karya. Artinya, meskipun menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi, sektor ini relatif terbatas dalam menciptakan lapangan kerja dalam skala besar.

Infografik jumlah tenaga kerja di sektor industri fosil. (Project M/Zulfikar Arief)

Sebaliknya, sektor energi terbarukan sejatinya menawarkan peluang yang lebih luas bagi penciptaan kerja. Studi Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2021 memperkirakan bahwa Indonesia bisa menciptakan hingga 4,4 juta pekerjaan bersih baru pada 2030 jika berhasil menjalankan skenario transisi energi berkelanjutan. Potensi ini tidak sekadar angka statistik, tetapi menjadi kesempatan nyata untuk membangun ekonomi yang lebih adil, selama disertai kebijakan yang berpihak pada pekerja, bukan semata-mata pada proyek.

Namun, dari sisi kesiapan, masih ada pekerjaan rumah besar. Berdasarkan Green Jobs Assessment Model yang dikembangkan ILO dan Bappenas, pelatihan keterampilan hijau di Indonesia belum secara luas menjangkau sektor-sektor prioritas seperti konstruksi hijau, transportasi bersih, dan manufaktur energi terbarukan.

Ketimpangan Pemerintah Daerah dan Pusat

Masalah lain yang mendesak adalah sentralisasi kebijakan energi di Jakarta. Kebijakan transisi energi kerap dibuat di ruang rapat ibu kota tanpa mempertimbangkan realitas di tapak. Padahal, proyek energi berdampak langsung pada wilayah dan komunitas lokal, termasuk masyarakat adat, buruh, dan pelaku ekonomi mikro.

Pemerintah daerah seharusnya tidak hanya menjadi pelaksana kebijakan pusat, tetapi juga penyedia informasi lokal yang penting untuk merumuskan kebijakan yang adaptif dan adil. Hingga kini, belum semua daerah memiliki kapasitas teknis dan kelembagaan untuk berperan aktif dalam perencanaan transisi energi. 

Studi Institute for Essential Services Reform (IESR) menunjukkan bahwa penyusunan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) di banyak provinsi masih menghadapi tantangan mulai dari minimnya data hingga keterbatasan SDM.

Padahal, penguatan kapasitas dan ruang gerak pemerintah daerah merupakan prasyarat penting untuk memastikan transisi energi yang adil dan partisipatif. Jika tidak, proyek-proyek energi hijau justru akan memperkuat pola ketimpangan lama, ketika pengambilan keputusan dilakukan tanpa partisipasi aktor lokal.

RUED merupakan kebijakan yang dibuat pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya energi di daerahnya secara maksimal dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Ketentuan RUED diatur dalam Peraturan Presiden No. 22/2017 tentang RUEN dan Pasal 18 ayat (1) UU 30/2007 tentang Energi. 

Bukan Sekadar Hijau, Tetapi Good Green Jobs

Mendorong pekerjaan hijau tidak cukup hanya dengan transisi sumber energi. Yang lebih penting adalah memastikan bahwa pekerjaan yang tercipta memenuhi prinsip good green jobs, pekerjaan yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga layak  dan bermartabat secara sosial dan ekonomi.

Menurut standar ILO, pekerjaan yang layak mencakup upah yang adil, kondisi kerja yang aman, perlindungan sosial, serta penghormatan terhadap hak pekerja. Tanpa regulasi yang jelas dan perlindungan hukum yang kuat, proses transisi beresiko justru memperbesar kerentanan sosial. Apalagi, banyak pekerja di sektor energi fosil berada dalam posisi informal atau rentan, seperti buruh harian lepas dan pekerja subkontrak.

Agar transisi energi benar-benar menjadi motor pembangunan inklusif, bukan sumber ketimpangan baru, Indonesia perlu membangun sistem ketenagakerjaan yang dirancang secara sadar dan terencana. Artinya, tidak cukup hanya bereaksi terhadap perubahan pasar, tetapi harus secara sadar merancang sistem pendidikan, keterampilan, sertifikasi, dan perlindungan tenaga kerja yang selaras dengan arah transisi.

Salah satu langkah konkret yang bisa diambil adalah membentuk platform kolaboratif  seperti Green Skills Council di India, yang mempertemukan pelaku industri, lembaga pendidikan, dan regulator. Platform ini bisa menjadi ruang koordinasi untuk menyamakan persepsi, menyusun standar keterampilan, dan mempercepat respons terhadap dinamika kebutuhan tenaga kerja hijau.

Selain itu, penting untuk membangun sistem lifelong learning dan mobilitas vertikal yang memungkinkan pekerja terus berkembang sepanjang kariernya. Misalnya, lulusan SMK semestinya bisa melanjutkan ke jenjang D3 atau S1 tanpa harus mengulang dari nol. 

Afrika Selatan menunjukkan contoh baik dalam membangun sistem pelatihan tenaga kerja melalui Energy Skills Roadmap 2023, yang merancang sistem pendidikan dan pelatihan tenaga kerja energi secara holistik: mulai dari pemetaan keterampilan yang dibutuhkan industri, pengembangan jalur pendidikan teknis, hingga penyediaan skema pembelajaran berkelanjutan yang memungkinkan pekerja memiliki jenjang karier yang berkesinambungan. 

Menuju Indonesia Emas atau Jalan Buntu?

Visi “Indonesia Emas 2045” hanya dapat tercapai jika kita membangun ketahanan energi nasional yang yang bertumpu pada sumber energi yang bersih, yang dimungkinkan oleh tenaga kerja lokal yang tangguh dan berkualitas. Di tengah krisis iklim dan kompetisi global untuk investasi hijau, Indonesia perlu memastikan bahwa investasi yang datang juga disertai kesiapan sumber daya manusianya.

Tanpa sistem pelatihan yang komprehensif, sinyal pasar tak akan cukup mendorong perubahan. Dan tanpa pekerjaan layak, transisi energi berisiko kehilangan maknanya sebagai alat untuk membangun masa depan yang lebih adil.

Transisi energi bukan semata persoalan mengganti sumber energi dari batubara ke sumber yang lebih bersih seperti tenaga surya, angin, panas bumi maupun hidro. Ini adalah perubahan sistemik yang menyentuh kehidupan sosial dan ekonomi: pekerjaan. Maka, pertanyaan yang perlu terus kita renungkan adalah bukan sekadar apakah kita punya target energi terbarukan, tetapi apakah kita memiliki manusia dan sistem yang siap bersama-sama mewujudkannya?


Artikel ini adalah cerminan pendapat pribadi dan tidak terafiliasi dengan organisasi. Wini Rizkiningayu adalah seorang profesional di bidang energi. Saat ini ia menjabat sebagai Direktur Regional Asia Tenggara Rocky Mountain Institute. Ia aktif mendorong agar transisi energi di kawasan ini menempatkan tenaga kerja sebagai pilar utama pembangunan yang adil dan berkelanjutan.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Yayasan CERAH
Ronna Nirmala
10 menit