Relawan Warga Bantu Warga saat Covid-19 Menelanjangi Negara Telah Mengkhianati Kita

Project Multatuli
6 menit
Catatan Relawan
Wisnu Sopian, seorang relawan, memberikan bantuan berupa makanan dan suplemen kepada warga kelompok rentan yang sedang melakukan isoman di Cianjur. (Project M/Rangga Firmansyah)

Djikalau saja peras jang lima mendjadi tiga dan jang tiga mendjadi satu, maka dapatlah saja satu perkataan Indonesia jang tulen, jaitu perkataan gotong-rojong. Negara Indonesia jang kita dirikan haruslah negara gotong-rojong. Alangkah hebatnja, negara gotong-rojong!


Seruan Sukarno dari atas mimbar di Gedung Chuo Sang In, Djakarta, 1 Juni 1945 itu menjelaskan saripati terakhir dari lima butir dasar negara yang ia jabarkan sebelumnya. Dasar “gotong-royong”, yang dinamainya “Eka Sila”, memang kemudian tak dipilih sebagai dasar Indonesia merdeka. Namun, sebagai alternatif Panca Sila, “gotong-royong” tetaplah mengandung kebenaran paralel yang terbukti tetap relevan, khususnya di tengah krisis pandemi sekarang. 

Situasi pandemi Covid-19 yang sangat parah hari-hari ini justru terjadi karena inkompetensi pemerintahan Joko Widodo menangani wabah sejak awal Maret 2020. Krisis ini meliputi banyak aspek, di antaranya layanan dan tenaga kesehatan yang kolaps, pelacakan dan pengambilan sampel yang sarat manipulasi data, komunikasi risiko yang buruk (diperparah narasi beracun para buzzer yang mengeksploitasi polarisasi politik), hingga angka kematian 1.000 jiwa per hari sejak minggu kedua Juli 2021. 

Maka, wajar belaka bilamana rakyat berhak dan sah melayangkan kekecewaan dan ketidakpercayaan kepada pemerintah, secara moral maupun legal-formal, atas serangkaian bencana selama pandemi. Meski demikian, kekecewaan selalu tak pernah cukup sebagai peringatan bagi para elite ini—yang pandai lepas tangan dan cepat mengonsolidasikan kekuatan saat diganggu kepentingannya. 

Kepercayaan dan mandat rakyat telah dikhianati berkali-kali selama pandemi lewat berbagai kebijakan dan produk hukum pemerintah yang menguntungkan segelintir kaum elite (cabal politisi dan pengusaha), alih-alih untuk kepentingan dan kesulitan hidup kelompok masyarakat rentan seperti pekerja berbasis mitra, kaum miskin urban, dan pekerja kerah biru lain.  

Kita boleh-boleh saja berharap keajaiban jatuh dari langit: pemerintahan Jokowi seketika bisa diandalkan; proyek-proyek mercusuar yang eksploitatif disetop; distribusi kebutuhan pokok tanpa dikorupsi dan datanya beres; vaksinasi beneran dikebut sehingga bisa capai target harian satu juta warga per hari (yang enggak cuma sebatas janji dan klaim).

Semua keajaiban itu, kalau dipikir-pikir, boleh juga menaikkan imunitas. Tapi nyatanya tidak, kan? Karena itu, what is to be done

Pemerintah yang gagal tangani pandemi jelas tak bisa lagi jadi gantungan harapan. Sejak awal pandemi, pemerintahan Jokowi memilih jalan keliru. Imbasnya, rakyat berjibaku dengan nasibnya sendiri-sendiri. Pada saat bersamaan, rakyat juga mengambil jalan solidaritas untuk saling membantu; tak cuma bergantung kepada penguasa.  

Menjangkau dari apa yang diomongkan Sukarno tentang gotong-royong, solidaritas warga dan gerakan kerelawanan selama pandemi ini tumbuh dari situasi tak terbayangkan ketika krisis ini telah merenggut satu per satu nyawa orang terdekat kita, saat sistem kesehatan kita telah kolaps, ketika kita tak cuma menyelamatkan diri dan saudara kita sendiri tapi ikut memanggul nasib orang lain. 

Kita sedikitnya terlibat, dari tingkat RT hingga via media sosial, membantu warga yang sedang isoman dan yang butuh oksigen, menyumbang donasi untuk anak-anak yang kehilangan orangtuanya, ikut berbagi informasi secara kolektif untuk melengkapi akses kebutuhan pasien Covid-19, dan menolong kelompok rentan yang diabaikan negara, yang menjadi salah satu kelompok masyarakat paling terpukul selama pandemi. Kita juga sedikitnya membaca dan menyaksikan seseorang, dengan latar belakang profesi—seniman, karyawan, dan sebagainya—ikut menyangga sistem kesehatan publik yang ancuran-ancuran: membuat peti mati, terlibat sebagai relawan pemulasaran jenazah, petugas ambulans, dan sebagainya.  

Kerelawanan ini menyediakan bantuan konkret, yang menafsirkan gotong-royong sebagai tindakan. Ia mengisi celah-celah yang gagal ditambal pemerintah lewat kebijakan maupun bantuan nyata yang dikorupsi di sana-sini. Adagium we are in same storm but not in the same boat menemukan bentuknya yang paling purba, yaitu yang masih kuat membantu yang lemah, yang masih sanggup menolong yang sudah tak berdaya, justru dalam keadaan telanjang sekarang bahwa siapa yang kuat maka dia yang selamat.  

Akan tetapi, dari kerelawanan ini pula seharusnya kita bertanya: Mau sampai kapan kita mengandalkan diri kita sendiri dan berpuas diri menamakan ‘gotong-royong’ ini, sementara lalai menuntut tanggung jawab negara?


Baca juga:

Dari Peti Jenazah Sampai Ambulans Laut, Relawan Covid-19: Kami Kewalahan

Cerita dari Cianjur: Warga Bantu Warga Isoman, Berjejaring di Media Sosial

Kami Sesak Napas: Hilang Nafkah, Hilang Nyawa di Kampung Kota Jakarta saat Covid-19


Spontanitas menyelamatkan sesama ini, bagaimanapun, adalah ekses dari akumulasi berbagai kekacauan atas hasil kebijakan pengendalian pandemi yang dijalankan pemerintah sekarang. 

Mempercayakan komando pengendalian pandemi kepada politisi dan pengusaha, kita tahu, telah berakibat fatal. Para elite penguasa ini memakai dikotomi palsu antara ekonomi dan kesehatan; seakan-akan keduanya berjalan berseberangan. Kita tahu, negara yang menyepelekan dan gagal menangani kesehatan selama pandemi, telah terkuras pula sumber ekonominya, sebagaimana situasi yang kita hadapi sekarang.   

Perangkat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (yang ironisnya diteken oleh Presiden Jokowi) sebagai amanat konstitusi pelaksanaan karantina kesehatan, disebut sangatlah jelas memuat delapan kata “kebutuhan” yang wajib dipenuhi pemerintah. 

Dalam Pasal 8 dijelaskan, “Setiap orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama Karantina” dengan penjelasan Pasal 8, “Yang dimaksud dengan “kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya antara lain kebutuhan pakaian dan perlengkapan mandi, cuci, dan buang air.” 

Hak mendapatkan pelayanan dan kebutuhan tersebut dirinci pula dalam Pasal 52 angka (1), “Selama penyelenggaraan Karantina Rumah, kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan ternak yang berada dalam Karantina Rumah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.” Artinya, dalam situasi isolasi mandiri, kita berhak menuntut pemerintah memenuhi dan melayani kebutuhan pokok kita. 

Lebih luas lagi, apabila pelaksanaan PSBB, PPKM Mikro, PPKM Darurat, atau apa pun itu yang tergolong “karantina wilayah”, maka Pasal 55 angka (1) menjelaskan ada hak yang tidak dipenuhi pemerintah selama ini, yaitu “kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.” 

Saya insaf bahwa di republik ini, hitam di atas putih tidak ada artinya di tangan pemerintah selama menghalangi kepentingan penguasa. Karena itu, dari pandemi ini kita belajar pada kenyataan bahwa bukan pemerintah yang selama ini menyelamatkan kita, tetapi gotong-royong antarwarga. 

Saya insaf bahwa di republik ini, hitam di atas putih tidak ada artinya di tangan pemerintah selama menghalangi kepentingan penguasa. Karena itu, dari pandemi ini kita belajar pada kenyataan bahwa bukan pemerintah yang selama ini menyelamatkan kita, tetapi gotong-royong antarwarga.Click To Tweet

Pemerintah yang seharusnya jadi sumber pemenuhan kebutuhan hidup kita, ternyata memilih menjadi minyak di atas air mata kita yang kehilangan orang-orang tercinta, yang seharusnya bisa dihindari, yang seharusnya seorang anak masih punya ibu dan bapaknya, yang seharusnya kita tidak kehilangan pekerjaan, tidak terus-menerus mengirimkan ucapan duka setiap hari. Krisis sekarang adalah krisis yang diciptakan oleh penguasa; rezim yang punya agenda kepentingan untuk diri mereka sendiri, bukan untuk rakyatnya.

Maka, untuk sementara selama pandemi, kita bisa saling jaga dan saling bantu, betapapun terbatasnya. Setelah pandemi, mari kita menuntut pertanggungjawaban penguasa.


Chris Wibisana, usia 18 tahun, adalah mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Opini ini bagian dari inisiatif kami melibatkan anak-anak muda menyalurkan gagasan untuk topik dan isu yang relevan bagi generasi muda dan kepentingan publik lainnya. Baca juga serial reportase #KamiSesakNapas dan #DiabaikanNegaraFahri Salam

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Project Multatuli
6 menit