Dari Peti Jenazah sampai Ambulans Laut, Relawan Covid-19: Kami Kewalahan

Mawa Kresna
13 menit
Relawan Kewalahan
Seorang paramedis hendak memeriksa seorang perempuan yang terbaring di bak mobil pickup di halaman RSUD Kota Bekasi. (Project M/Kenyo Ayu)

“Kami ini pasukan elite, alias ekonomi sulit,” kata Antok lalu terkekeh.

Julukan banyolan pasukan elit itu ditujukan Antok untuknya dan kawan-kawannya yang menjadi relawan penanganan Covid-19 di Pare, Kediri, Jawa Timur. Sejak kasus Covid-19 kembali melonjak di wilayahnya pada Juni 2021, Antok mesti merelakan sebagian besar waktunya menjadi relawan yang membantu memenuhi kebutuhan warga terdampak Covid-19. Di luar aktivitas itu, sehari-hari Antok bekerja sebagai pengemudi, pengantar LPG, hingga membuat lukisan tiga dimensi. “Apa saja yang bisa dikerjakan, dikerjakan,” katanya. 

Antok beserta kawan-kawan relawan lainnya yang tergabung dengan GUSDURian Peduli awalnya lebih banyak bertugas membagikan sembako dan membantu pemakaman jenazah terpapar Covid-19. Namun, semakin ke sini, mereka juga melihat peti jenazah menjadi semakin langka, sementara stok peti di Pare terbatas dan dijual dengan harga yang relatif tidak terjangkau bagi sebagian warga.

“Kami biasa menyalurkan bantuan dengan sistem urunan. Melihat situasi peti jenazah di lapangan yang sudah mengalami kelangkaan, kami sepakat untuk membuat peti tanpa mengambil keuntungan untuk pribadi.”

Relawan yang berjumlah sekitar empat orang membuat peti jenazah sesuai standar pemulasaraan Covid-19. Peti dijual dengan harga beragam, jika dijual ke rumah sakit, mereka memasang harga sekitar Rp800 ribu, bagi warga yang mampu secara ekonomi dijual seharga biaya produksi, dan bagi warga yang tidak mampu diberikan secara gratis. 

Sementara itu, proses pemulasaraan jenazah dilakukan oleh 6-7 relawan. Mereka tidak mematok harga kepada keluarga. “Kami kadang dikasih [uang], tapi nggak dikasih juga monggo,” sebut Antok.

Antok mengaku kewalahan. Setiap harinya, setidaknya ada permintaan tiga peti jenazah dan tiga pemulasaraan jenazah. Mereka juga masih mesti menyalurkan sembako dan sesekali memberikan sosialisasi tentang Covid-19 kepada warga. 

Relawan Kewalahan
Relawan GUSDURian Peduli di Pare, Kediri, membuat peti jenazah yang akan disalurkan ke rumah sakit dan warga tidak mampu. (Dokumentasi Antok Mbeler)

Pada 30 Juni 2021, GUSDURian lewat akun Twitter-nya, @GUSDURians, mengumumkan bahwa mereka telah kewalahan dalam menangani korban terdampak pandemi. Mereka meminta maaf kepada masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta karena para relawan sudah “di titik batas kemampuan”. “Kami tidak mampu melangkah lebih jauh untuk mengambil kebijakan afirmatif dan progresif yang diperlukan,” tulis GUSDURian di Twitter.

Komunitas GUSDURian Peduli yang merupakan organisasi sayap dari GUSDURian tersebar di 150 kota/kabupaten di Indonesia. Sejak awal pandemi, mereka telah bergerak membagikan sembako hingga pembuat 68 posko penanganan Covid-19 yang difokuskan untuk masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah. 

Abdullah Al-Kudus salah satu relawan GUSDURian Peduli mengungkapkan mereka mulai merasakan lonjakan kasus Covid-19 sejak Juni 2021. “Tahun lalu, orang paling minta bantuan berupa sembako, obat, masker. Tapi, tahun ini, permintaan orang sudah aneh-aneh: dari peti mati hingga kantung mayat,” kata Abdullah. “Jujur, kami kewalahan.”

Abdullah juga mengeluhkan kelangkaan vitamin, obat-obatan, hingga oksigen di hampir seluruh wilayah Indonesia. “Sekarang, permintaan multivitamin saja membludak. Belum lagi sembako. Kemudian, oxymeter. Itu sekarang saya cari sudah nggak ada barangnya. Kalaupun ada, mahal. Padahal itu harus dimiliki untuk setiap KK yang sedang isolasi mandiri untuk mengukur saturasi oksigen,” papar Abdullah.

Saat ini, dengan kasus yang meningkat pesat, GUSDURian Peduli membangun tempat-tempat penampungan bagi warga yang terinfeksi COVID-19 tanpa gejala (OTG). Mereka juga memberikan paket bantuan sembako, paket sehat berupa vitamin, masker, obat-obatan, dan lain-lain, juga bantuan konsultasi dokter via telepon—bekerja sama dengan dokter-dokter yang juga menjadi relawan.

“Mulai awal Juli ini, kami lebih banyak membantu pasien yang sedang isolasi mandiri karena banyak orang yang sakit tapi sudah tidak tertampung di rumah sakit,” ujar Abdullah.

Kabar Duka Bertubi-tubi

Windy relawan tim Advokasi Laporan Warga Lapor Covid-19 menerima sebuah laporan darurat pada akhir Juni lalu. Seorang warga di Tangerang Selatan mengalami sesak napas dan membutuhkan penanganan dari rumah sakit secepatnya. Ia segera menghubungi beberapa kontak ambulans untuk menjemput pasien, tetapi tidak ada yang menjawab. Satu jam kemudian ia akhirnya mendapatkan kabar ambulans yang bersedia mengantarkan pasien ke rumah sakit.

Ketika sampai di rumah sakit, ambulans dicegat oleh satpam. Rumah sakit sudah kewalahan dan tak lagi bersedia menerima pasien baru. Ambulans bertolak ke rumah sakit lain, tetapi pasien mesti mengantre untuk dapat masuk ke ruang IGD tanpa mendapatkan bantuan oksigen. Dalam proses mengantre, stok oksigen yang dimiliki pasien habis dan pasien meninggal dunia. 

Relawan Kewalahan
Petugas medis menanyakan ketersediaan oksigen di sebuah kios di Jalan Kusbini, Yogyakarta. Kelangkaan oksigen terjadi seiring besarnya permintaan dan peningkatan jumlah penderita COVID-19. (Project M/Dhoni Setiawan)

Ini adalah satu dari dua laporan yang Windy tangani dengan pelapor berakhir meninggal dunia. Pengalaman itu membuat Windy terguncang. Malam harinya, selepas membahas kejadian yang Windy dan relawan lain alami, Lapor Covid-19 memutuskan untuk menutup layanan permintaan rumah sakit dari warga terhitung 1 Juli 2021.

Selain Windy, Hana relawan tim Advokasi Laporan Warga Lapor Covid-19 lainnya juga dengan berat hati menyampaikan kegagalan mendapatkan rumah sakit untuk pasien kepada pelapor. Ada pelapor yang bisa menerima dengan lapang dada, tetapi tak sedikit yang sedang dalam kondisi putus asa dan tidak bisa menerimanya. 

“Ada keluarga pasien yang sampai bilang, ‘Apa ini maksudnya dibiarkan saja?’ Padahal maksud kami nggak begitu,” tutur Hana. “Ada juga yang menelepon salah satu https://projectmultatuli.org/wp-content/uploads/2021/06/5668A357-39CA-4B12-902A-DAE1F707FCD7-1.jpeg berkali-kali sambil menangis, bilang ayah dan ibunya sudah dalam kondisi kritis.”

Sejak 3-19 Juli 2021, Lapor Covid-19 yang membuka kanal laporan warga melalui WhatsApp dan chat bot di Telegram telah menerima  481 laporan warga. Jenis laporan bermacam-macam, mulai dari warga yang curhat tentang stigma Covid-19 yang mereka alami, keluhan atas layanan kesehatan dan non-kesehatan seputar Covid-19, pelanggaran protokol kesehatan, layanan bantuan sosial, vaksinasi, hingga cerita tentang kerabat mereka yang meninggal akibat Covid-19. 

Tim advokasi laporan warga Lapor Covid-19 telah mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19 saat itu dengan menambah jumlah relawan mereka. Dari yang awalnya berjumlah tujuh orang, menjadi 10 orang. Hanya saja, dengan banyaknya jumlah laporan yang masuk, waktu kerja relawan justru bertambah. Masing-masing relawan awalnya piket tiga hari dalam seminggu, tetapi kini menjadi lima hari dalam seminggu. 

Selama piket, masing-masing orang menangani 5-10 laporan warga. Setiap laporan yang masuk mesti diverifikasi dengan berkomunikasi langsung dengan pelapor. Setelah itu, laporan perlu ditulis ulang sesuai format pendataan, barulah kemudian diteruskan ke pihak-pihak berwenang: dinas kesehatan, satpol pp, dan lainnya. Tak jarang para relawan mesti bertugas di luar waktu piket mereka karena pelapor kembali menghubungi dan membutuhkan bantuan lagi. 

“Satu laporan saja bisa menghabiskan waktu lebih dari sehari untuk ditangani. Belum lagi jika pelapor tiba-tiba membutuhkan bantuan di tengah malam karena kondisi pasien memburuk,” tutur Windy.

Sebelum Lapor Covid-19 menutup layanan permintaan rumah sakit, setiap permintaan atas rumah sakit akan ditangani dengan mengirimkan pesan (blasting) ke seluruh kontak WhatsApp Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) yang dimiliki oleh Lapor Covid-19. Hanya saja, sebagian besar permintaan tersebut berakhir dengan penolakan. 

“Walaupun kami sudah mengontak lebih dari seratus SPGDT, menelepon lebih dari 10 rumah sakit, pasien ditolak berkali-kali hingga harus berpindah dari satu IGD ke IGD lain,” ujar Windy. “Sebagai relawan, kami berharap semua laporan yang kami terima dapat tertangani dengan baik, tetapi kondisi di lapangan tidak memungkinkan bagi pasien untuk diselamatkan.”

Ambulans bertolak ke rumah sakit lain, tetapi pasien mesti mengantre untuk dapat masuk ke ruang IGD tanpa mendapatkan bantuan oksigen. Dalam proses mengantre, stok oksigen yang dimiliki pasien habis dan pasien meninggal dunia. Click To Tweet

Krisis Ambulans di Laut

Shalahuddin A. Warist, atau yang akrab disebut Gus Mamak, tinggal di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur merasakan lonjakan kasus Covid-19 di daerahnya mulai terjadi sejak pertengahan Juli 2021. 

Sumenep yang terletak di ujung timur Pulau Madura terdiri dari wilayah daratan dan kepulauan, yaitu tepatnya terdiri dari sekitar 126 pulau dengan luas wilayah 2.093 km persegi. Pulau Sapeken menjadi salah satu pulau yang terdampak Covid-19 paling parah. Gus Mamak mengatakan bahwa banyak tenaga kesehatan yang terpapar, tetapi mereka tidak bisa dibawa ke wilayah daratan untuk ditangani karena sulitnya transportasi. Ada pula puskesmas kecil di Pulau Pagerungan yang mesti tutup. “Pagerungan itu pulau kecil. Kalau satu orang saja kena Covid-19, puskesmasnya tutup.”

Saat ini, Gus Mamak mengatakan bahwa kabar kematian datang di Sumenep setidaknya tiga kali setiap harinya. “Hampir seluruh kecamatan di Sumenep bisa dikatakan sudah terkepung oleh wabah ini,” ujar Gus Mamak. 

Karena itu, para relawan di Sumenep yang tergabung dalam komunitas Sataretanan—yang dalam bahasa Indonesia berarti sesaudara—bekerja sama dengan GUSDURian memutuskan untuk membangun ambulans laut. Ambulans akan digunakan untuk mobilisasi pasien, tenaga relawan, tenaga medis; logistik semacam obat-obatan, oksigen, APD; ataupun jenazah. “Karena, tidak semua perahu mau mengangkat jenazah,” jelas Gus Mamak. 

“Sebagai gambaran, untuk jarak tempuh 16 km saja, dibutuhkan waktu sekitar satu jam perjalanan laut. Itu kan cukup menyusahkan kalau perlu cari perahu sewa. Itu pun kalau ada yang mau.”

Ambulans laut merupakan hasil modifikasi dari perahu kayu. Untuk membuat ambulans laut, perahu kayu berukuran 12×2,4 meter yang terbuat dari kayu ulin diberikan tutup yang terbuat dari kayu bungur di atasnya sehingga aman dari air hujan. Perahu digunakan untuk melakukan mobilisasi antar pulau atau ke fasilitas kesehatan terdekat.

“Contohnya begini. Dari kepulauan, kami tempatkan ke puskesmas pembantu di Pagerungan. Kalau di sana nggak mampu, akan dikirim ke Pulau Sapeken yang berjarak satu jam. Jika di sana juga penuh, kami bakal kirim ke Pulau Kangean yang memiliki fasilitas kesehatan lebih besar. Jaraknya kurang lebih 4-5 jam. Kalaupun masih tidak bisa, kami antarkan ke kapal-kapal cepat yang akan menuju ke daratan Sumenep, atau tempat lainnya,” jelas Gus Mamak.

Untuk memodifikasi satu perahu, para relawan membutuhkan waktu hingga 10 hari. Saat ini mereka baru berhasil memodifikasi satu perahu. “Kami butuh setidaknya 4-6 ambulans laut dalam waktu dekat.” 

Dengan ketersediaan perahu yang terbatas dan proses modifikasi perahu yang butuh waktu cukup lama, Gus Mamak dan kawan-kawan relawan lain ketar-ketir mengantisipasi gelombang penularan virus. “Kami nggak tahu nanti virus ini sudah merembet ke mana.”

Relawan Kewalahan 

“Walaupun kami paspampres—pas sembarang ngepres, guyonan ala Jawa Timuran— makannya masakan padang. Rumahnya minimalis. Minimal, maksudnya. Hanya itu-itu saja,” ujar Antok sambil tertawa. “Guyon, ya, maaf.”

Menurutnya, guyonan jadi pelipur lara sekaligus cara bagi Antok dan para relawan lain untuk tetap waras. “Habis, kalau nggak gini, haduh. Kalau kami kecapekan, bahaya juga.”

Antok dan relawan lainnya memang harus pintar-pintar mengatur tenaga, apalagi kalau sedang memakamkan jenazah. Apalagi mereka harus mengenakan APD yang menurut Antok sangat menyiksa. Namun, itu harus dijalani daripada terpapar virus. Proses pemakaman jenazah perlu dilakukan secara ketat demi menghindari penularan virus. Dalam dua minggu terakhir, para relawan telah menghabiskan 100 baju hazmat dari hasil donasi yang dipakai untuk memakamkan tiga jenazah setiap harinya. 

“Sebelumnya malah kami pakai kresek yang dilakban, hingga sempat ada kejadian teman kami terpleset dan jatuh ke lereng dalam perjalanan ke makam. Karena, kan, jalanan di setiap makam berbeda-beda.”

Dengan padatnya pekerjaan, Antok mengakui bahwa energi para relawan telah terkuras habis. “Teman-teman sampai tidur di makam karena kelelahan, dari pukul 11 malam sampai 2 pagi.”

Relawan Kewalahan
Petugas pemakaman di TPU Rorotan, Jakarta Utara, menguburkan sejumlah peti jenazah yang dikirim dari penjuru Jakarta. (Project M/Ali Vikry)

Selain letih secara fisik, laporan demi laporan kasus yang terus berdatangan dan mesti mereka tangani juga berdampak pada kesehatan mental para relawan. 

Terkadang, Antok merasa pedih ketika mesti menguburkan jenazah sepasang orang tua. “Sudah tiga kali kami menemui anak yang menjadi yatim piatu. Bapak ibunya meninggal, anaknya masih kecil-kecil. Kami hanya bisa kasih dukungan dengan kirim semangat lewat WhatsApp. Mau bagaimana lagi?”

Abdullah merasa pilu ketika ia mesti menolak permintaan bantuan dari warga. “Kami turun ke lapangan, kerja sampai tengah malam, rapat sampai dini hari, nggak masalah. Itu sudah pilihan kami,” ujar Abdullah. “Tapi, yang paling berat adalah ketika melihat ada orang yang butuh bantuan tapi kami nggak bisa bantu. Menangis, rasanya.”

Semakin ke sini, semakin sedikit orang yang berdonasi untuk warga terdampak Covid-19, sehingga semakin terbatas pula sumber daya para relawan untuk membantu warga. “Mungkin mereka juga sudah terdampak secara ekonomi, atau orang-orang di sekitar mereka sudah kena Covid-19 juga. Secara sumber dana kami agak susah, tapi permintaan dari masyarakat tinggi.”

Sementara itu, bagi Windy dan Hana di Lapor Covid-19, menerima laporan warga terdampak Covid-19 yang keluarganya berakhir meninggal dunia juga berdampak ke perilaku mereka sehari-hari. Hana merasa ia jadi lebih sensitif dan sering menangis, dan ini berpengaruh pada hubungannya dengan anggota keluarga di rumah. 

“Saya terkadang merasa kesal ketika orang tua sayang mengajak omong, bahkan tentang hal sepele sekali pun. Ini bikin saya bertanya-tanya sendiri, ‘Kenapa saya kesal?’” 

Windy kerap merasa bersalah. Ia sempat berpikir bahwa ia kurang berusaha keras dalam membantu mencarikan oksigen dan rumah sakit bagi pelapor, apalagi jika pasien sampai meninggal dunia. Ia yang saat ini sedang sibuk mengerjakan skripsi juga kerap merasa bersalah ketika melakukan aktivitas lain di sela-sela waktu menangani laporan warga. 

“Kok bisa-bisanya saya makan padahal ada warga yang sedang berkeliling rumah sakit untuk masuk IGD?” 

Kekecewaan Terhadap Pemerintah

Rasa sedih dan frustrasi yang dialami para relawan bercampur dengan amarah dan kekecewaan kepada pemerintah yang dianggap abai dalam melindungi warga negaranya. “Saya merasa belum ada usaha keras dari pemerintah untuk menangani pandemi,” ujar Hana. “Istilahnya, kalau pemerintah saja ogah-ogahan, kenapa saya perlu bekerja sekeras ini?” 

Bagi Gus Mamak, meski pandemi telah berlangsung lebih dari satu tahun, pemerintah masih gagal memahami kebutuhan warga dalam hal penanganan pandemi. “Contohnya di Kepulauan Madura ini. Di sini kami perlu fokus ke isolasi mandiri. Tapi pemerintah justru menggetolkan pembuatan ruang inap darurat Covid-19 [RIDC]. Padahal, kalau tidak merasa sakit, masyarakat tidak akan mau ke rumah sakit. Sementara, kalau kondisinya sudah parah, fasilitas RIDC yang hanya tempat tidur tidak akan memadai,” jelasnya. 

“Perlu ada perubahan perilaku di seluruh tataran. Di tingkat kebijakan, pemerintah perlu menangani pandemi dengan tidak semata-mata melihat ini sebagai peristiwa medis, tetapi juga sebagai fenomena sosial. Kalau pendekatannya hanya secara medis, permasalahan yang sudah berkembang menjadi permasalahan sosial tidak akan mampu diselesaikan.”

Sementara bagi Antok, tidak memadainya informasi tentang Covid-19 di masyarakat membuat pekerjaannya menjadi berkali lipat lebih sulit. Untuk keluarga yang beragama Islam, Antok biasanya menawarkan proses penyucian jenazah dilakukan secara tayamum (mengusap wajah dan kedua tangan jenazah dengan debu). Namun, Antok kerap menemui keluarga yang protes dan mendesak agar jenazah anggota keluarganya dimandikan. 

“‘Ini manusia, lho.’ Pihak keluarga kadang protes begitu. Ya, ini yang relawan apa nggak manusia?” komentar Antok sembari mengkritisi masih belum meratanya pemahaman Covid-19 di kalangan masyarakat. “Kami peduli tapi nggak mau bunuh diri.” 

Di tengah situasi yang serba sulit, para relawan memilih untuk terus bertahan. “Saya muak dengan pemerintah, tapi saya sangat dikuatkan oleh warga yang tidak henti-hentinya mendukung, mendoakan, bahkan berinisiatif memberikan bantuan untuk relawan. Mereka membuktikan bahwa warga bisa berdaya, bisa menguatkan satu sama lain, dan menumbuhkan semangat kemanusiaan di tengah kesulitan,” tutur Windy. 

Bagi Antok, meski pekerjaan sebagai relawan kerap bertabrakan dengan pekerjaannya sendiri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi ia merasa memiliki tanggung jawab moral untuk membantu sesama. “Kita percaya Tuhan itu baik. Burung di udara saja bisa makan. Pasti ada rezeki.”


Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #KamiSesakNapas dan #DiabaikanNegara yang didukung oleh Yayasan Kurawal.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
13 menit