Pada tahun 2015 ketika Gojek hadir menawarkan kesejahteraan dan fleksibilitas kerja pada mitranya. Para mitra yang sempat mencicipi masa jayanya, kini hanya bisa mengenang itu semua sebagai sebuah cerita masa lalu. Bonus kecil yang makin sulit dicapai dan potongan dari aplikator bikin sejumlah mitra terlunta-lunta.
TIGA JAM berlalu, langit sudah menjadi gelap. Agam Zubir (45) tak lagi mendapatkan order setelah mengantarkan penumpang ke daerah Sunggal dan kawasan Jalan Setia Budi, Medan, Sumatra Utara.
Berharap algoritma Gojek berpihak padanya, ia menunggu beberapa menit lagi di sebuah warung kopi di kawasan Jalan Denai, tempat para pengemudi ojek online (ojol) biasa mangkal. Tapi pesanan tak juga masuk.
“Sudah ditutup sepertinya orderan untuk akunku ini,” katanya.
“Gawat kalau begini!”
Sekitar lima menit kemudian, rekannya, Aldi Fisno (43) yang sudah menunggu sekitar hampir dua jam, bergegas pergi setelah mendapatkan pesanan.
“Izin gerak dulu, ya, bang, aku tinggal dulu, ada orderan,” katanya kepada Agam.
“Oke siap, lanjut!” Agam membalas.
Berselang sepuluh menit kemudian, Endi (33), rekan Agam, juga meninggalkan warung setelah ponselnya menunjukkan pemberitahuan ada order masuk. Sudah hampir tiga jam Endi menunggu orderan.
“Sebentar, ya, aku tinggal juga, ada orderan masuk nih,” katanya, seraya bergegas mengenakan jaket, helm, dan menggas sepeda motornya.
Agam memeriksa ponselnya, “Jangan-jangan ponselku ini kumatikan pas ngecas tadi,” katanya.
Ternyata ponselnya menyala, namun, pesanan memang sedang tidak berpihak padanya pada sore, awal Juni itu.
Ia menghabiskan kopinya, mengenakan jaketnya, mengambil helm, lalu meninggalkan warung. Ia berencana mencari rejeki di tempat lain. Ia menduga di warung itu sudah terlalu banyak ojol ngetem sehingga perlu mencari lokasi yang lebih sepi.
“Gerak ke daerah Diponegoro dulu, lah,” katanya. Di lokasi di sekitaran inti kota itu terdapat sejumlah mal, gedung perkantoran, kafe, dan restoran. Ia berharap masih ada pekerja-pekerja kantoran yang membutuhkan ojol, selain juga mengharapkan adanya pesanan pembelian makanan atau minuman.
Upayanya membuahkan hasil. Malam itu dia mendapatkan dua orderan lagi.
Bila diakumulasikan, sepanjang hari itu, mulai 09.00 hingga pukul 23.30, ia mendapatkan lima pesanan dengan total penghasilan bersih Rp88.200.
Sehari berikutnya pendapatannya lebih sedikit, hanya Rp20.000 dan pada hari berikutnya Rp26.000. Dalam dua hari itu, ia mulai online dari sekitar pukul 8 pagi sampai 11 malam.
“Pendapatan sekarang semakin tidak pasti,” katanya.
Beberapa hari sebelumnya, selama dua hari berturut-turut, 7 – 8 Juni 2023, Agam sama sekali tidak mendapatkan pesanan. Penghasilannya nol. Dia menunjukkan tangkapan layar dari ponselnya yang menunjukkan pendapatannya yang nihil itu.
“Kondisi sekarang sangat berbeda dengan dulu, jauh kali, lah, masa-masa nikmat dengan Gojek sudah berakhir, dan sekarang kita nggak tahu apa bakal begini terus atau makin buruk,” kata ayah dua anak ini.
Bujuk Rayu Bonus Ojol
Ibarat terjebak jerat karena tergiur, lalu susah lepas dari jeratan itu, begitu Agam melalui pengalamannya jadi pengemudi ojol, mitra Gojek.
Agam terpikat dengan Gojek dua minggu setelah aplikasi itu diluncurkan di Medan, November 2015. Seorang temannya menunjukkan pendapatan bersih sebesar Rp300.000, yang didapat tak sampai setengah hari bekerja.
Tanpa pikir panjang ia mengikuti jejak temannya itu. Awalnya ia menjadikan profesi ini sebagai pekerjaan sampingan.
Lama kelamaan, ia melepaskan pekerjaannya sebagai tenaga pemasaran showroom mobil. Keputusan itu diambil karena penghasilannya dari Gojek sudah mencapai dua kali lipat dari pekerjaan sebelumnya.
“Kalau ada yang bilang penghasilan ojol bisa sepuluh sampai lima belas juta sebulan, itu memang benar. Tidak sulit mencari penghasilan Rp250.000 hingga Rp300.000, tak perlu seharian untuk mendapatkannya,” katanya.
Sekitar setahun Agam dan ribuan mitra Gojek di Medan menikmati penghasilan dan bonus dengan jam kerja fleksibel. Ada yang mulai dari pagi hingga siang, ada yang dari siang hingga sore, dan ada yang memilih hanya malam, istilahnya ‘ngalong.’
“Kalau dulu sore sebelum magrib biasanya sudah sampai di rumah,” katanya.
Mereka bebas memilih waktu ‘online’ – sebutan ketika mitra Gojek menyalakan aplikasinya, untuk mendapatkan orderan dan sebagian besar tidak perlu bekerja seharian untuk mendapatkan penghasilan lumayan.
Dengan aturan yang fleksibel, tak sedikit di antara para mitra adalah pekerja paruh waktu (part time). Beberapa di antaranya anak-anak mahasiswa yang memanfaatkan waktu di luar kuliah untuk sekadar mencari uang tambahan.
Namun, pelan-pelan dan pasti, Gojek mengubah sistem kemitraannya.
Pertama, perubahan sistem pencapaian bonus yang mulai berlaku pada April 2016.
“Saat itu mulai ada perubahan atau pembatasan bahwa bonus maksimal hanya Rp100.000. Jadi kalau pun mendapatkan order dari jumlah target minimal untuk mendapatkan bonus, tetap mendapatkan bonus Rp100.000,” kata Agam.
Tahun berikutnya perubahan terjadi lagi. Gojek menerapkan sistem bonus berkala dengan penetapan poin dalam penentuan bonus, dimulai dari poin 10, 22, hingga 34. Poin itu didapat dari jumlah dan jenis orderan, pengantaran penumpang (GoRide), pengiriman barang (GoSend) dan pemesanan makanan (GoFood), orderan yang paling tinggi poinnya.
“Waktu itu Gojek juga sedang gencar-gencarnya naikkan GoFood, dan teman-teman ojol paling senang dapat orderan itu karena poinnya paling tinggi, hampir dua kali dari GoRide, atau GoSend,” katanya.
Mitra mendapatkan 1 hingga 2 poin dari pemesanan GoFood, sedangkan orderan lainnya rata-rata satu poin. Semakin banyak poin, semakin banyak insentif yang didapat.
Seorang ojol di Medan yang bisa menyelesaikan pesanan hingga mengumpulkan 34 poin, maka akan mendapatkan bonus maksimal Rp150.000.
Demi mengejar total poin, tak jarang mitra bekerja melebihi jam kerja normal – delapan jam sehari – untuk menunggu atau mendapatkan orderan.
“Kadang ada ojol ketika sudah mendapatkan 20-an poin, biasanya dia akan menunggu, bahkan hingga larut malam untuk mengejar 34 poin. Dia harus korbankan waktunya yang seharusnya dia pulang untuk istirahat untuk menunggu orderan lagi. Kalau dia pulang, maka potensi untuk dapat poin 34 itu akan hilang, dia hanya akan mendapatkan poin di level bawahnya [22 poin],” katanya.
Penerapan sistem bonus berkala itu berlaku selama dua tahun lebih hingga kondisi terburuk terjadi pada tahun 2020, ketika pandemi Covid-19 terjadi. Terhitung sejak 17 Juli 2020, Gojek menghapus bonus berkala, dan menggantinya dengan program berkat.
Berdasarkan pengalaman sejumlah Gojek di Medan, dalam program ini aplikator akan menambahkan kekurangan dari pendapatan mitra, maksimal Rp70.000, yang tidak tercapai dalam tujuh kali orderan.
Misalnya, jika seorang pengemudi hanya mendapatkan Rp50.000 dalam tujuh orderan, aplikasi menambahkan bonus berkat Rp20.000. Tetapi, bonus berkat itu tidak berlaku jika pengemudi mengambil orderan di atas maksimal tujuh.
Sistem inilah yang memicu aksi protes para mitra ojol di sejumlah kota, termasuk di Medan pada Maret 2020.
***
Pandemi Covid-19 menjadi awal terpuruknya mitra Gojek, lanjut Agam. Dua tahun pandemi merupakan masa-masa paling sulit dilaluinya. Kenaikan bahan bakar minyak September 2022, ikut memperburuk kondisi itu, yang membuat ketimpangan antara penghasilan dengan pengeluaran harian semakin tinggi.
Nasib mereka kian terpuruk sejak Gojek mulai menerapkan sistem ‘kasta’ bagi seluruh mitranya. Kasta platinum untuk pengemudi yang sudah mencapai poin 48.000 dan rating 4,97, gold 41.000 dan rating 4,9, silver 35.000 poin dengan rating 4,9, dan basic di level terendah, yaitu yang ratingnya di bawah silver dengan rating hingga nol.
Kendati sudah delapan tahun menjadi mitra Gojek, Agam masih saja berada di level basic. Tak heran bila ia bukan prioritas untuk mendapatkan orderan.
“Supaya diprioritaskan mendapatkan orderan, kalau bisa dapat level silver sampai platinum,” katanya.
Jatah orderan per hari untuk pengemudi level basic dibatasi, yaitu minimum Rp50.000 jika mencapai 700 poin, silver minimum Rp120.000 jika mencapai 1100 poin, gold Rp140.000 jika mencapai 1.400 poin dan platinum Rp180.000 jika mencapai 1.700 poin.
Poin itu didapat dari jumlah orderan dikalikan 100. Jika seorang mitra mendapatkan satu orderan dengan nilai 1 poin maka dia akan mendapatkan poin 100, dan begitu selanjutnya. Performa pengemudi juga menentukan agar levelnya naik, antara lain tidak melakukan pembatalan sepihak dan komplain dari pelanggan.
Menurut Agam, lamanya seseorang menjadi mitra Gojek tidak menjamin untuk naik level. Aplikator tidak peduli soal sudah berapa lama mitra bekerja untuk mereka, melainkan hanya peduli pada mitra yang mau ikut bekerja dengan sistem mereka.
“Lama jadi mitra tidak jadi penilaian, aplikator hanya melihat performa, di sini kita seperti tidak dianggap sebagai manusia,” katanya.
Saya mencoba membuktikan penerapan sistem kasta itu dengan melakukan orderan secara acak saat memesan GoRide, pada 17 Juni 2023, pukul 21.09 WIB dari kawasan Jalan Ngumban Surbakti, Medan.
Tidak sampai satu menit orderan langsung masuk ke seorang pengemudi yang lokasinya sekitar dua kilometer dari lokasi pemesanan atau penjemputan. Padahal, di lokasi penjemputan tersebut terdapat dua pengemudi Gojek yang sedang menunggu orderan.
“Kenapa Abang yang langsung dapat orderan, padahal tadi di lokasi [penjemputan] ada juga pengemudi lain?” tanya saya.
“Itulah nggak tahu kita, Bang. Sekarang kita nggak tahu sistemnya, sekarang penentuan siapa yang dapat order tidak selalu tergantung jarak pemesanan, bahkan sekarang sistem juga melihat profil pemesan, biasanya kalau bagus track record-nya, cepat dapat,” kata pengemudi itu.
Tanpa menyebut dia merupakan pengemudi ‘kasta’ prioritas, dengan rating 4,9, sang pengemudi, rata-rata mendapatkan orderan 15 – 20 dalam dari pukul 09.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB. Dia mengaku akan masih mungkin mendapatkan tiga orderan lagi untuk mencapai 20 orderan.
“Tiga orderan lagi masih dapat ini, Bang,” katanya optimistis.
Menurut Agam, seorang pengemudi tetap bisa mempertahankan level prioritasnya selama ia tidak pernah menolak pesanan dari pelanggan.
“Ya, tapi tetap juga seperti ada unsur pemaksaan. Bisa saja pengemudinya sudah lelah ingin istirahat, tapi karena tak ingin levelnya turun, kan dia harus terima orderan terus. Apa salahnya orderan itu dibagi ke pengemudi lain?” ujarnya.
Terjebak dan Dikompetisikan
Bekerja rata-rata selama sepuluh hingga dua belas jam, tidak membuat penghasilan seorang ojol lebih banyak, apalagi bila kastanya masih rendah. Sebab, sistem ini membuat mereka harus mengalah kepada mitra-mitra prioritas yang sudah punya rating atau level platinum.
Endi mengalaminya. Meskipun sudah dua tahun menjadi mitra Gojek, tapi sampai kini levelnya masih basic. Ia sudah mengerahkan hampir semua waktunya untuk pekerjaan itu. Tetapi, orderan tidak selalu berpihak padanya.
“Memang ada syarat dan kriteria untuk naik level, tetapi bagaimana kita mau naik level kalau orderan jarang masuk?” katanya.
Orderan yang selalu berpihak kepada mitra prioritas membuat mitra kasta-kasta rendah seperti Endi dan Agam akan sulit naik level.
Endi lalu membuka ponsel dan menunjukkan catatan perjalanannya sebagai mitra. Ia mengambil contoh dari satu hari yang pernah dijalaninya.
“Misalnya di hari ini, kita lihat, ya,” katanya sambil menunjukkan akunnya.
Terekam pada 12 Juni 2023, ia hanya mendapatkan Rp99.500 dari sembilan order yang didapat, atau rata-rata Rp11.000 per orderan. Untuk mendapatkan itu, ia sudah mulai online sejak pukul sembilan pagi dan selesai pada 12 malam, atau selama 15 jam.
Bila dikalkulasikan, maka penghasilan bersihnya berkisar Rp40.000 setelah dipotong untuk bensin sekitar Rp25.000 per hari, makan dan minum selama bekerja Rp35.000, pulsa dan pengeluaran tidak terduga lainnya, seperti ban bocor.
“Paling bisa rata-rata Rp40.000, itu pun karena saya tidak punya cicilan sepeda motor lagi, karena dulu pas mau mulai [jadi pengemudi ojol] saya beli sepeda motor kontan dari uang tabungan pekerjaan saya sebelumnya,” katanya.
Ia berandai-andai jika ia punya cicilan sepeda motor, anggap Rp900.000 per bulan, atau dengan memotong Rp30.000 dari penghasilan, maka penghasilan bersih per hari hanya Rp10.000. Untuk mendapatkan itu, dia harus bekerja setiap hari dalam sebulan dengan lama beraktivitas rata-rata di atas sepuluh jam.
“Penghasilan yang didapat hanya untuk kebutuhan sehari-hari aja, nggak ada yang bisa ditabung,” katanya.
Kondisi saat ini, kata Endi, juga membuatnya tidak punya hari libur. Bahkan pada hari raya besar pun ia mengaku tetap mengaktifkan akunnya, syukur-syukur dapat orderan.
“Habis salam-salaman langsung online, bagi kita itu seperti nggak ada hari libur. Memang tidak ada yang mengharuskan, tetapi sistemnya membuat kita jadi seperti itu, kalau nggak online ya nggak dapat order, nggak ada penghasilan,” katanya.
Menurutnya, selain penerapan sistem kasta bagi pengemudi, tergerusnya pendapatannya juga karena aplikator menambah biaya-biaya tambahan untuk setiap order. Biaya tambahan itu di luar potongan 20 persen dari pendapatan yang mereka dapat dari setiap orderan.
Salah satunya pemberlakuan biaya jasa aplikasi sebesar Rp 1.000, Rp 2.000, dan Rp 3.000 yang dihitung sesuai jarak tempuh perjalanan. Gojek mengklaim biaya itu untuk meningkatkan layanan kepada para pengguna aplikasi.
Kepada media, Gojek mengatakan bahwa penerapan biaya aplikasi itu sebenarnya sudah berlaku sejak 2019, untuk GoRide dan GoCar, dan baru mulai diberlakukan untuk GoFood dan GoSend pada 24 Mei 2021.
Tetapi bagi Endi, tambahan-tambahan biaya itu membebani pelanggan dan berdampak pada jumlah orderan.
“Kalau order pengiriman barang ada lagi biaya asuransi untuk pengiriman paket. Sehingga konsumen menganggap tarif sekarang lebih tinggi, dan mungkin membuat menurunnya orang untuk menggunakan aplikasi ini, dan dampaknya tetap ke kita [pengemudi],” kata Endi.
Penggunaan biaya aplikasi itu juga membuat pelanggan sering komplain kepada pengemudi.
“Sering kali setiap komplain dari pemesan itu selalu ke kita,” katanya.
Dengan penghasilan kecil, sistem yang memaksa mereka online melebihi jam kerja normal, Endi menganggap pekerjaan jadi mitra Gojek saat ini sangat tidak manusiawi. Pekerjaan ini membuatnya kehilangan waktu untuk berlibur, dipaksa oleh sistem dan kini semakin kompetitif dengan adanya ‘sistem kasta.’
“Untung saya masih lajang, jadi belum banyak tanggungan, kalau nggak, nggak mungkin hanya mengandalkan ini,” katanya.
Pengalaman tidak jauh berbeda dialami Aldi Fisno. Laki-laki yang menjadi tulang punggung dalam keluarganya itu hanya mengandalkan Gojek sebagai sumber pencaharian keluarga.
Seharian penuh ia menghabiskan waktu untuk menanti orderan. Belakangan ia juga lebih sering “ngalong.”
“Kalau ngalong, saingan kan kecil dan kemungkin dapat orderan lebih tinggi, tapi resiko lebih tinggi, sering begadang dan begal,” katanya. Saat ngalong, dari pukul 12 malam hingga 6 pagi, ia bisa mendapatkan enam orderan dengan tambahan penghasilan Rp60.000 – Rp70.000. Demi menambah lagi penghasilannya, ia juga akan online kembali pada siang hari.
“Sehari rata-rata Rp100.000 ke Rp150.000, bisa lebih kalau akhir pekan,” katanya.
Ketika ditanya apakah ada pekerjaan sampingan atau ingin mencari pekerjaan lain, dia menggeleng sambil tersenyum kecil. “Belum ada, untuk sementara bertahan di sini dulu, belum tahu sampai kapan,” katanya.
Penyingkiran dan Pemaksaan Tersistem
Sejak awal Arif Novianto, peneliti muda Institute of Governance and Public Affairs Universitas Gadjah Mada (UGM), menilai relasi antara perusahaan aplikasi dengan mitranya timpang. Kontrak kerjasama dan sistem yang dibangun oleh perusahaan aplikasi tidak bisa lagi dinegosiasi. Itulah alasan mengapa para pengemudi ojol tidak punya pilihan selain tunduk pada sistem yang dibuat sepihak oleh perusahaan aplikasi.
Kemitraan yang timpang itu diperparah dengan cara perusahaan aplikasi membuat sistem ojol selayaknya sebuah gim. Kondisi itu menurut Arif sesungguhnya adalah upaya penyingkiran dan pemaksaan tersistem oleh aplikator. Dengan sistem itu pula, aplikator memaksa mitranya tunduk dan patuh pada aturan apapun yang mereka buat.
Metode ini yang ia sebut gamifikasi untuk menyingkirkan mitra-mitra yang ‘kalah’, dan menciptakan ‘pemenang’ dengan memberinya level, tetapi pada kenyataannya sistem memaksa mereka bekerja keras dan mengikuti aturan yang dibuat sepihak.
Agam, Endi, dan Fisno hanyalah tiga dari mitra yang kalah dalam gamifikasi itu.
“Sementara, mereka yang ‘menang’ atau yang memenangkan permainan akan mendapatkan privilege, diprioritaskan untuk mendapatkan orderan dan bonus. Problem dari sistem seperti ini akan menciptakan proses kerja menjadi tidak manusiawi,” kata Arif, awal Juli lalu.
Demi mempertaruhkan levelnya, mitra harus selalu siap menerima orderan, diburu waktu, rentan dengan kecelakaan karena kelelahan, dan kehilangan banyak waktu yang seharusnya digunakan untuk istirahat atau libur.
Arif melakukan riset tentang kemitraan dan tarif murah mitra perusahaan transportasi berbasis platform aplikasi, seperti Gojek, Grab, GoKilat, Shopee Food sepanjang 2020 hingga 2021, dan menemukan fakta bahwa mitra yang kalah tercipta karena sejumlah faktor, misalnya dikarenakan sakit atau kondisi tidak terduga.
“Kadang mereka harus libur karena ada keluarga yang sakit, dan levelnya turun. Pada waktu pandemi Covid-19, bahkan ada beberapa yang [sengaja] menolak vaksin, karena kalau mereka divaksin harus istirahat sampai tiga hari, dan selama itu tidak menerima orderan, dan aplikasi menganggap mereka tidak aktif sehingga ratingnya menjadi buruk,” jelasnya.
Sistem kompetisi ini juga menciptakan kesan bahwa pengemudi yang kalah dalam permainan menyalahkan diri sendiri.
“Menganggap diri kurang kerja keras, performa tidak baik, ya, itulah, masalah sistem gamifikasi yang cenderungnya tidak memanusiakan manusia, karena yang dituntut adalah kerja keras, harus mampu mengejar target,” kata Arif.
Sistem ini menciptakan adanya ketimpangan penghasilan. Yang kalah tetap berjuang, tidak mendapatkan bonus, dan orderan sering sepi. Sementara yang menang diprioritaskan, tetapi tetap dipaksa oleh sistem.
Berdasarkan risetnya, pada 2021, hanya satu dari lima ojol yang menjadi prioritas. Sementara empat lainnya mendapatkan penghasilan kotor rata-rata Rp 99.610 per hari dengan waktu kerja berkisar 13,76 jam.
Merujuk pada hasil surveinya terhadap pengemudi GoKilat di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi), para mitra ojol hanya mampu menghasilkan pendapatan bersih Rp1,6 juta per bulan.
Dasar penghitungan tarif yang tidak sesuai Pasal 11 Permenhub PM No. 12 Tahun 2019, juga turut membuat penghasilan masih jauh dari standar layak. Sesuai aturan itu, seharusnya penetapan tarif dihitung berdasarkan jarak per pesanan, biaya pembatalan pesan hingga biaya pemesanan.
Namun, dalam konteks transportasi berbasis platform di Indonesia, tarif hanya ditetapkan berdasarkan jarak pengantaran pesanan per km. Dengan mengacu hal itu, maka diasumsikan pengemudi mendapatkan jumlah pesanan tertentu setiap hari sehingga pendapatan mereka layak.
“Kenyataannya, aplikator menjadi penentu utama, melalui algoritmanya, siapa pengemudi yang mendapatkan orderan, sehingga tidak semua pengemudi mendapatkan pendapatan yang layak,” tulis Arif.
Dengan merekrut sebanyak-banyaknya pengemudi, aplikator dapat membayar murah dan menjatuhkan sanksi secara sepihak. Mereka dibuat berkompetisi, siapa yang bisa bekerja lebih lama, lebih keras, disiplin akan menjadi gacor (gampang cari orderan), dan yang kalah bersaing akan menjadi gagu—pengemudi yang sepi orderan.
Penghasilan pengemudi semakin dikikis ketika aplikator tidak hanya memotong 20% dari biaya pendapatan mereka, tetapi juga menerapkan biaya-biaya tambahan ke pelanggan. Misalnya, ada biaya bungkus untuk layanan GoFood, biaya penggunaan aplikasi, sampai biaya perlindungan pengiriman barang.
Menurut Arif, dalam regulasi pemotongan maksimal 25 persen, tapi ada aplikasi yang memotong hingga sampai 40%.
“Kondisi yang dialami semakin kompleks, pelevelan, penggunaan kenderaan listrik diprioritaskan. Dikompetisikan satu sama lain, di-gamifikasi oleh aplikasi, ini yang menciptakan ini yang kuat yang bisa bertahan, yang lemah akan tergeser,” tukas Arif.
Editor: Mawa Kresna
Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #SekrupKecil di Mesin ‘Big Tech’.