Generasi Cemas di Maros: Bekerja Tanpa Kontrak, Diupah Sangat Murah

Mawa Kresna
13 menit
Kiri ke kanan: Azkiyah, Khusnul, Ariska dan Emy sedang kesulitan mendapatkan pekerjaan di Maros, Sulawesi Selatan karena lapangan kerja terbatas serta syarat kerja memberatkan. Selain itu, patriarki mengungkung Maros. Anak perempuan kerap tak diizinkan melanjutkan pendidikan tinggi di Kota Makassar. Selesai menamatkan SMA, mereka ikut dibebankan membantu keuangan keluarga. (Project M/Iqbal Lubis)

Di Maros, sebuah kabupaten Sulawesi Selatan, anak-anak muda pontang-panting bekerja untuk sekadar bertahan hidup. Mereka bekerja dengan upah harian murah tanpa kontrak, tanpa jaminan masa depan.


RINI masih dapat mengenang saat bekerja sebagai pengepak kardus roti. Ia bekerja selama sembilan bulan. Lalu mengundurkan diri dua bulan lalu. 

“Ini hasilnya,” katanya sambil memperlihatkan salah satu barang elektroniknya. “Harganya, sekitar Rp5 juta. Tapi orang tua dan Kakak yang menambahkan uangnya. Kalau saya sendiri, tidak mungkin bisa beli.” Ia tersenyum.

Rini berusia 23 tahun. Dia tinggal bersama orang tuanya di sebuah kampung yang dikelilingi tebing karst di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Orang tuanya bekerja sebagai petani dan buruh tani.

Setelah lulus SMA, Rini sempat merantau ke luar Maros, bekerja sebagai sales produk kecantikan. Upahnya cukup baik, mencapai Rp3 juta per bulan dengan bonus penjualan. Namun kampung dan rumah selalu membuatnya ingin kembali. Ia memutuskan pulang dan mencari kerja di Maros. 

Lamaran kerja telah terkirim ke beberapa tempat, tak lama kemudian ia mendapat tanggapan dari toko roti. Dia senang dan melakukan wawancara, kemudian dinyatakan diterima bekerja untuk mengepak roti ke kardus kotak. Tak ada tanda tangan kontrak, semua perjanjian kerjanya dilakukan secara lisan. 

Ketika hari pertama kerja, dia melajukan motornya dari kampung menuju toko roti yang waktu tempuhnya 20 menit. 

Di toko roti itu para pekerja dibagi tiga shift dengan durasi kerja masing-masing 9 jam. Toko roti itu melayani pembeli selama 24 jam. Rini mendapat jadwal kerja pukul 17.00-02.00. 

Setiap hari bersama beberapa pekerja lain, dia mengepak antara 1.500-2.000 kotak. Jika hari ramai, saat liburan dan menjelang hari raya, dia mengepak hingga 4.000 kotak. Satu kotak harga roti dijual Rp20 ribu 

Selama bekerja di sana, Rini tak pernah tahu mengenai perlindungan pekerja, termasuk soal asuransi Kesehatan dan ketenagakerjaan. Meski demikian dia masih menganggap pekerjaan itu mudah. 

Dia tak pernah berhitung mengenai waktu yang dihabiskan dalam bekerja. Dia hanya tahu ketika minggu terakhir tiba, dia mendapatkan upah Rp315 ribu atau Rp45 ribu per hari. Jadi dalam sebulan, jika kerja tanpa izin dan sakit, total upahnya Rp1.260.000. Plus lembur Rp5 ribu per jam. 

“Jadi gaji bisa Rp405 ribu kalau lembur dua hari per minggu. Itu kalau hari ramai,” katanya. 

Jika menghitung pengeluarannya, setiap hari dia mengeluarkan uang bensin Rp10 ribu-Rp15 ribu. Ditambah uang makan jika tak membawa bekal sebesar Rp15 ribu. 

Upah di toko roti itu tak merata. Para pekerja yang sudah bekerja selama tahunan, upahnya bisa Rp80 ribu perhari. Rini yang baru bekerja selama 9 bulan, masih terhitung buruh baru. 

Tiga bulan pertama, Rini mulai kelelahan. Pulang malam membuatnya semakin berisiko mengendarai motor. Jalan yang ditempuhnya melewati jalan utama yang ramai kendaraan, dari roda dua hingga truk. Suatu kali dia demam dan tipes. Dia beristirahat beberapa hari. Dan sebagai buruh yang dibayar harian, upahnya jauh menurun. 

Secara sosial juga dia jadi jarang bertemu keluarga dan teman-teman. Sepulang kerja, badannya terasa remuk dan membutuhkan istirahat yang cukup.  Tapi tak ada pilihan selain bertahan. “Di Maros, kalau bukan di toko roti, ya kerja di toko bahan bangunan atau rumah makan,” katanya. 

Suasana salah satu toko roti di rest area kabupaten Maros . Toko roti menjadi salah satu lapangan pekerjaan yang paling banyak diminati kaum muda karena tidak memiliki banyak syarat meski upahnya kecil. (Project M/Iqbal Lubis)

Roti Maros adalah merk dagang umum yang mudah dijumpai di sepanjang wilayah ini. Pemiliknya bisa berbeda, hanya dengan melihat nama belakang. Seperti Roti Maros Salenrang, Roti Maros Sallewangang, Roti Maros Karaengta, Roti Maros Futry, dan beberapa lainnya. 

Toko roti itu menjadi magnet bagi para pengendara yang melintas menuju wilayah timur Sulawesi Selatan, selepas dari kemacetan Makassar. Padatnya pembeli bisa terlihat setelah pukul 19.00 sebab mobil penumpang kecil dan bus tujuan Toraja, Palopo, hingga Sorowako, berderet memenuhi bahu jalan.  

Rini adalah salah satu cerita umum anak muda di Maros. 

Saya menemui 10 remaja dan mereka mengeluhkan hal sama. “Saya tamat SMA, tidak ada kerjaan yang baik dan mudah untuk orang seperti kami,” kata Nensi. 

Nensi adalah perempuan berusia 19 tahun. Kampungnya di pesisir Maros yang dikelilingi tambak. Di lingkungannya, banyak orang bekerja di Kawasan Industri Makassar (KIMA). Ini merupakan wilayah industri bermacam pabrik, dari pabrik pembuatan plastik, boks dari gabus, pergudangan, hingga perusahaan pengelola sumber daya laut. 

Nensi ikut mengirimkan lamaran di sebuah perusahaan ekspor udang. Sudah jelang setahun dia melakoni pekerjaan itu. Tugasnya memisahkan kepala dan badan udang. Pekerjaannya dimulai pukul 07.00-17.00. 

Perusahaan itu memberinya waktu rehat antara pukul 12.00-13.30. Upahnya Rp500 ribu per minggu selama lima hari kerja. 

Nensi bekerja tanpa memegang kontrak perjanjian kerja. Semua kesepakatan dilakukan secara lisan dan persetujuan “bos”. Tak ada jaminan kesehatan, sosial, dan ketenagakerjaan. Dia menempuh 45 menit menggunakan sepeda motor dari rumah menuju tempat kerjanya. 

“Kalau macet bisa sampai 1 jam lebih,” katanya. 

Bagi Nensi, menerima pekerjaan dengan upah di bawah standar minimum daerah, bukan menjadi hal yang dikeluhkan. Banyak orang berkata kepada Nensi, mengapa bertahan dengan pekerjaan berat seperti itu? 

“Mau bagaimana lagi. Saya melamar ke mana-mana tapi tak diterima.” 

Pantai Tak Berombak (PTB), salah satu area publik tempat generasi muda Maros bertemu dan berkumpul termasuk melakukan pertukaran informasi lowongan kerja. Maros merupakan salah satu kabupaten penyangga Kota Makassar. Sebagian besar pekerja di Makassar memilih tinggal di kabupaten berpenduduk 404,98 ribu jiwa itu. (Project M//Iqbal Lubis)

Hal yang sama dirasakan Andi Muhammad Fitrah, 24 tahun. Dia mengenang semangatnya belajar dan impiannya bekerja di sebuah perusahaan tambang, lalu memutuskan mengambil kuliah pertambangan di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Semua angan itu kandas pada tahun kedua karena biaya kuliahnya mencapai Rp5 juta setiap semester. 

Dua tahun sebelumnya, Fitrah bekerja di kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep. Menjadi seorang staf admin untuk menginput berbagai kebutuhan Sekretaris Daerah Kabupaten. Upahnya Rp800 ribu setiap bulan. 

Setiap hari kerja ia menempuh 45 menit dan mengeluarkan uang bensin Rp20 ribu. Pada bulan ketujuh bekerja, ia memutuskan berhenti. Kini dia bekerja di sebuah kedai kopi. Menjadi barista dengan upah Rp1 juta setiap bulan dan pemilik menanggung sekali makan. 

“Tidak ada tabungan. Tapi minimal tak lagi membebani orang tua,” katanya. 

Repotnya, Maros tidak memiliki dewan pengupahan. Maka standar upah minimal regional mengikuti upah yang ditetapkan Provinsi Sulawesi Selatan, sebesar Rp3,6 juta. 

“Pada kenyataannya tak banyak pemberi kerja yang mematuhinya,” kata Darwangsyah, Kepala Bidang Penempatan, Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Maros. 

Seorang pemuda mencari informasi lowongan kerja di salah satu platform media sosial. Informasi lowongan kerja banyak bertebaran di media sosial,, namun posisi kerja yang ditawarkan sering tidak sesuai keterangan awal atau ternyata itu adalah modus penipuan. (Project M/Iqbal Lubis)

Darwangsyah berkata, untuk menaati upah provinsi, sebuah perusahaan atau pemberi kerja hendaknya memiliki standar pekerja mencapai 100 orang. Sementara lapangan kerja di Maros kebanyakan adalah usaha jasa seperti toko makanan dan kedai kecil. Meskipun toko roti skala besar mempekerjakan karyawan hingga ratusan orang. 

“Benar. Tapi kami tak bisa apa-apa. Jika ada yang melapor, maka itu diselesaikan melalui perkara hubungan industrial. Lalu Dinas Tenaga Kerja Provinsi akan menurunkan tim untuk melakukan evaluasi dan mengeluarkan rekomendasi. Dari rekomendasi itu, kami di kabupaten baru bisa bergerak. Itu pun sifatnya hanya mengimbau,” lanjutnya. 

Darwangsyah menghela napas dan menyandarkan kepalanya di kursi. “Saya juga cerita-cerita dengan pelayan di warung kopi, upahnya bahkan tak sampai Rp1 juta. Tapi mereka bertahan. Mungkin itu cukup,” lanjutnya. 

Bagi Darwangsyah, hidup di Maros masih sederhana. Sekali makan di warung masih bisa seharga Rp15 ribu. “Jadi untuk bujang pendapatan Rp2 juta, saya kira sudah cukup baik,” katanya. “Tapi untuk yang berkeluarga, bisa Rp3 juta. Tapi itu harus tinggal dengan keluarganya.” 

Setiap tahun, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Maros mengadakan job fair. Ada 30 rekanan perusahaan yang ikut bergabung. Namun, permintaan terbanyak adalah pekerja jasa, untuk sales dan marketing. “Kalau di Maros, penyerapan tenaga kerja tidak ada yang signifikan,” katanya. 

Badan Pusat Statistik Maros mencatat pada 2023, jumlah angkatan kerja 187.446 jiwa: 180.630 berstatus bekerja dan 6.816 orang adalah pengangguran. Sektor jasa menjadi penyumbang tenaga kerja sebesar 51 persen, kemudian sektor manufaktur 25 persen, dan sektor pertanian 24 persen. 

Generasi Cemas, Makin Pasrah

Ariska mengernyit ketika ditanya mengenai Indonesia Emas 2045. “Emasnya karena Gen Z, yang makin tua dan makin susah hidup,” katanya. 

Ariska berusia 23 tahun. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan sarjana di perguruan tinggi pariwisata di Makassar. Dia mulai menghadapi kecemasan ketika memasuki semester akhir kuliah. 

“Saya mau jadi apa? Dan bekerja di mana?” katanya. 

Permohonan lamaran pekerjaan telah dikirimkan ke berbagai perusahaan. Dia mengikuti media sosial yang menawarkan info lowongan pekerjaan. Tak ada satu pun lamarannya ditanggapi perusahaan. Hingga ia menyelesaikan kuliahnya, dia semakin getol mengirimkan lamaran. 

“Sudah lebih 100 lamaran saya kirim ke mana-mana. Ini satu yang ada panggilan wawancara, sales penjualan mobil,” katanya. 

Pekerjaan itu bukanlah impiannya. Dia ingin bekerja di bandara atau tempat seperti BUMN. Harapannya, agar memiliki uang pensiunan dan jaminan sosial kesehatan di hari tua. “Tapi saya lihat teman-temanku, saya rasakan sendiri susahnya cari kerja, kayaknya akan bekerja sampai tua ka?”

Tak hanya itu, beban stigma pada Gen Z terlalu dilebih-lebihkan. Orang-orang, kata Ariska, menganggap generasi mereka sangat memilih pekerjaan. 

“Mungkin itu di kota besar. Kau bisa kerja di satu kedai. Tidak suka, bisa pindah di kedai lain. Tapi di Maros, mau bagaimana? Dapat kerjaan saja susah,” katanya. 

Tidak banyak pilihan lowongan pekerjaan bagi generasi muda Maros selain pegawai toko retail, pegawai toko roti, atau barista sebagai pilihan tersisa di saat perusahaan-perusahaan yang lebih besar membuka lowongan dengan syarat beragam dan memberatkan. (Project M/Iqbal Lubis)

Secara administratif, Kabupaten Maros adalah wilayah yang berbatasan langsung dengan Makassar. Bandar Udara Sultan Hasanuddin berada di wilayah Maros, meski pintu gerbangnya berada di wilayah Makassar. Maros juga menjadi sumber utama air bersih Makassar. Tapi infrastruktur kota bergerak pelan. 

Secara sosial, patriarki mengungkung wilayah ini. Ada banyak orang tua membatasi anak perempuan untuk meninggalkan kampung. Saya menemukan beberapa anak muda yang tak diizinkan melanjutkan pendidikan tinggi di Kota Makassar karena dianggap jauh. 

Sementara anak laki-laki akan diberikan kebebasan. Sebaliknya, anak-anak perempuan saat selesai menamatkan SMA, ikut dibebankan membantu keuangan keluarga. 

“Kami menghadapi itu. Tapi tak ada yang membicarakannya,” kata seorang perempuan muda Maros. 

Maros seperti wilayah yang bergerak lamban. Orang-orang menggunjingnya sebagai daerah dengan gaya hidup santai (slow living). Tapi slow-nya, karena angkatan kerjanya tak tahu akan melakukan apa. 

“Ya kalau mau memperbaiki hidup, biasanya angkatan kerja itu keluar daerah. Merantau,” kata Darwangsyah. 

“Kalau sekarang, misalnya, banyak anak muda yang kerja ke tambang nikel di Morowali dan Halmahera. Itu bisa memperbaiki taraf hidup,” lanjutnya. 

Andi benar-benar merasakannya. Dia adalah pekerja rantau di Malaysia. Dia kembali ke Maros ketika sudah mengumpulkan uang untuk menikah. 

Di Malaysia, Andi bekerja sebagai tukang las kapal di galangan. Upahnya Rp8 juta per bulan. 

Sudah setahun Andi pulang ke Maros dari Malaysia, tapi sampai sekarang belum mendapatkan pekerjaan.  Suatu kali dia mengirimkan lamaran di pergudangan. Seminggu kemudian, dia mendapatkan panggilan wawancara dan dinyatakan diterima. Pekerjaannya adalah menjual keramik lantai. Dia diberi target menjual minimal 300 dos keramik agar mendapatkan upah Rp3,4 juta. 

“Jadi kalau tidak sampai 300 dos, upah akan dihitung per dosnya. Kalau 200 dos, itu upahnya tak sampai Rp3 juta. Jadinya tak ada kepastian,” kata pria 26 tahun ini. 

Andi sempat mencoba mengirimkan lamaran ke pergudangan minimarket, tapi tak ada panggilan. “Teman-teman saya bilang, itu harus ada kenalan. Jadi kalau seperti itu, ya sudah saya tidak akan dapat apa-apa,” katanya. 

Akhirnya, impiannya bekerja di kampung tak bisa tercapai. Dia kembali menghubungi perusahaannya di Malaysia dan mendapatkan kembali tawaran. 

“Akhir bulan, saya akan ke Malaysia lagi. Bawa istri. Sedih juga karena harus meninggalkan kampung. Tapi kalau tidak begini, bagaimana bisa hidup?”

Andi (26 tahun) adalah mantan Tenaga Kerja Indonesia yang merantau ke Malaysia, ia kembali ke Maros untuk membangun keluarga. Setelah 1 tahun mencari kerja dan tak ada panggilan, ia berniat kembali ke Malaysia. (Project M/Iqbal Lubis)

Di Kota Makassar, saya menemui Putra, 25 tahun, yang melampiaskan kekesalannya soal akses pekerjaan dan pendidikan. 

“Mereka kuliah karena keluarganya punya uang. Kami tidak bisa,” katanya. 

Putra menamatkan SMA di Pulau Taka Bonerate, Kabupaten Kepulauan Selayar. Sebagai orang pulau, dia tak piawai memancing dan menangkap ikan. Berbekal keberanian dan nekat, membawa ijazah SMA, pada 2020, dia naik kapal kayu menuju Makassar. Dua hari perjalanan dengan uang di saku hanya Rp50 ribu. 

Putra menumpang di rumah keluarga. Cita-citanya ingin bekerja di jaringan minimarket seperti Alfamart, Indomaret dan Alfamidi, serta bekerja di gerai makanan cepat saji seperti McDonald dan KFC. 

Lamaran terkirim, tapi tak ada tanggapan. Dia kemudian mendengar kabar bahwa sebuah perusahaan besar yang melakukan ekspor-impor hasil laut di KIMA menerima pekerja.   

Putra diterima sebagai buruh untuk memilah dan memisahkan kepala udang. Jam kerjanya pukul 07.00-17.00. Jika lembur, ia bekerja hingga pukul 23.00. Upahnya dihitung per hari dan gajian dilakukan setiap pekan. Dia ingat pekan pertama kerja sebagai tahap percobaan. 

“Satu minggu, gajiku Rp25 ribu. Saya mau menangis,” katanya. 

“Tapi mereka bilang gaji akan naik setelah minggu kedua. Jadi saya lanjutkan kerja lagi.” 

Akhirnya pada pekan kedua, upahnya menjadi Rp200 ribu. Selanjutnya, setelah bekerja selama tiga bulan, upahnya Rp400 ribu per minggu. Jika dapat lembur, bisa mencapai Rp600 ribu. 

Pendapatan itu membuatnya cukup senang. Lalu dia menyewa rumah kontrakan tak jauh dari KIMA. Dia memilih yang paling murah dengan dinding tripleks, dengan biaya sewa Rp400 ribu sebulan. 

Setiap hari, Putra berjalan kaki menuju tempat kerja selama 20 menit. Jika menggunakan ojek, biayanya Rp5 ribu. “Sebisaku tidak akan pakai ojek. Biar saya berhemat,” katanya. “Saya juga kirimkan ke Mamak di pulau, biasanya Rp200 ribu per bulan.” 

Putra menjadi begitu piawai memisahkan kepala udang. Dia bekerja di sana hingga dua tahun. Dia juga mendapatkan penghasilan tambahan sebagai penyapu jalanan di KIMA. Sebagai tukang sapu, dia diupah Rp18 ribu per jam. 

“Jadi seminggu itu saya bisa dapat Rp700 ribu, kalau rajin,” katanya. 

Sebelum bekerja di sebuah salon, Putra (25) pernah bekerja di beberapa perusahan, namun berhenti karena upah dan jam kerja tak layak. Putra merantau dari Kepulauan Selayar ke Makassar karena sulit mendapatkan pekerjaan di kampung sementara ia harus menghidupi ibu dan dua adiknya yang masih sekolah. (Project M/ Iqbal Lubis)

Bekerja tanpa henti dan tanpa jaminan sosial yang dilakoninya, akhirnya berbuntut pada kesehatan. Suatu kali jempolnya tertusuk sungut udang dan bengkak hingga pergelangan. Perusahaan mengharuskan dia tetap masuk kerja. 

Jempolnya yang sudah tak bisa digerakkan, akhirnya digantikan jari telunjuk dan jari tengah untuk menjepit udang. 

Frasa bekerja seperti robot, mungkin tepat untuk menggambarkan pengalaman Putra. “Sakit itu, tidak boleh lebih dari tiga hari. Kalau lebih, HRD akan kasih kita surat peringatan,” katanya. 

Pada akhir masa kerjanya, Putra sudah mengalami tipes. Dia berkali-kali demam tinggi dan memaksakan untuk terus bekerja. Hingga akhirnya, ketika dia pulang ke rumah kontrakan, tangannya tak sempat membuka pintu dan terjatuh pingsan. 

“Selama beberapa hari saya tidak masuk kerja. Setelah saya masuk kerja, upah yang saya terima tinggal Rp180 ribu.” 

“Jadi saya rasa orang perusahaan hanya mau kita sehat saja. Kalau sakit, bukan urusannya.”


Rini dan Nensi bukan nama sebenarnya.

Tulisan ini adalah bagian dari serial liputan Generasi Cemas.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
13 menit