Satu Jam dari Palembang: Kisah Sekolah Satu Guru di Desa Tanpa Listrik

Ricky Yudhistira
8 menit

“Kami juga pengin anak-anak kami berhasil seperti orang di luar sana, sekolah tinggi. Jangan sampai putus sampai SD saja.”


SITI QOMARIAH tidak pernah menyangka bakal beralih profesi menjadi seorang guru sekolah dasar. Sebuah tawaran membawanya ke perjalanan hidup yang baru.

“Waktu itu, pengurus SD filial mendatangi saya meminta tolong untuk mengajar di SD karena kekurangan pengajar,” kata Qomariah, seraya menjelaskan, “Banyak yang berhenti karena jarak dan akses yang susah.”

Qomariah menamatkan pendidikan formalnya sampai jenjang sekolah menengah atas. Sebelum tawaran itu datang, Qomariah sehari-harinya bekerja sebagai pedagang sayur keliling.

Alasan kepala sekolah mengajak Qomariah mengajar sederhana, rumahnya dekat dengan sekolah.

Sekolah itu berdiri sejak 1997, di Desa Saluran, Talang Kalapa, Banyuasin, Sumatra Selatan. Jarak tempuhnya sekitar satu jam dari Kota Palembang. Sekolah dibangun atas swadaya masyarakat.

Awalnya, bantuan pengajar datang dari lembaga pendidikan Muhammadiyah. Namun, perlahan para guru berhenti mengajar. Gaji kecil dan akses menuju sekolah yang sulit membuat mereka tidak kerasan.

Filial adalah sebutan lain untuk ‘kelas jauh’ atau kelas yang dibuka di luar sekolah induk bagi murid-murid yang tidak tertampung di sekolah asal karena keterbatasan kursi/ruang kelas maupun jarak tempat tinggal yang jauh.

Dengan segala keterbatasannya, keberadaan SD ini begitu berarti bagi warga desa. Sekolah tidak memungut biaya bagi para siswa di sekolah ini.

Di Desa Saluran terdapat 53 kepala keluarga atau total 130 orang. Sebagian besarnya berprofesi sebagai petani, termasuk suami Qomariah, Totok.

Qomariah mulai mengajar pada tahun 2014. Kala itu, ia masih ditemani oleh seorang guru lainnya. Beberapa bulan kemudian, guru tersebut mengundurkan diri. Sejak saat itu, Qomariah menjadi guru satu-satunya di sekolah itu.

“Saya prihatin dengan kondisi SD yang tidak ada guru, karena pendidikan itu sangat penting,’’ kata Totok menyatakan dukungan kepada istrinya.

Siti Qomariah bersama murid-muridnya di dalam kelas. SD Muhammadiyah 4 Filial hanya mempunyai satu guru dan satu kelas untuk enam jenjang SD. (Project M/Prabu Riski)
Dua murid sedang belajar di dalam kelas. SD dibangun secara swadaya oleh warga desa pada 1997. (Project M/Prabu Rizki)
Siti Qomariah mengajar dua muridnya. Hanya ada dua papan tulis yang digunakan bergantian untuk tiap jenjang. (Project M/Prabu Rizki)
Murid-murid bermain di waktu istirahat. Jumlah murid SD tak lebih dari 20 anak, dari kelas I hingga kelas VI. (Project M/Prabu Rizki)
Tidak semua murid mengenakan sepatu. Kondisi perekonomian warga desa umumnya tidak mampu. (Project M/Prabu Rizki)
Seorang murid berdiri menyendiri di waktu istirahat. Sekolah gratis ini sangat berarti untuk warga desa. (Project M/Prabu Rizki)

Qomariah baru melahirkan anak keempatnya. Kerepotan mengurus anak serta mengajar di sekolah kerap membuat Totok ikut membantunya menjadi guru.

“Saya juga sering membantu ibu mengajar di sekolah sehabis dari kebun, karena ibu sering kesulitan jika harus mengajar sekaligus mengasuh anak yang masih kecil,” kata Totok.

Qomariah merasakan manis pahit menjadi guru. Ia pernah tidak digaji selama dua tahun, sejak 2015 hingga 2017. Gaji yang diterimanya dari Muhammadiyah sebesar Rp500 ribu. Akan tetapi, mandeknya pembayaran gaji itu tidak membuatnya mundur.

Jumlah murid di SD filial tempat Qomariah mengajar tak lebih dari 20 anak, dari kelas I sampai VI. Ruang kelas hanya ada satu dan menampung semua murid dari berbagai jenjang itu. Mata pelajaran akan diberikan secara bergantian karena papan tulis hanya ada dua.

“Saya tetap mengajar karena dukungan suami dan kasihan melihat anak-anak desa. Jika saya berhenti mengajar, mereka kebanyakan akan putus sekolah,’’ kata Qomariah.

Semangatnya  pernah surut pada 2018. Bukan karena persoalan gaji, melainkan karena ketidakjelasan status pada ijazah murid-muridnya.

“Waktu itu sempat ingin merasa berhenti karena ketidakjelasan NISN (Nomor Induk Siswa Nasional) pada ijazah murid. Banyak wali murid yang mengeluh (anak mereka) susah masuk ke SMP negeri karena tidak terdaftar NISN,’’ katanya.

Problem tersebut berhasil teratasi ketika sekolahnya dinyatakan menginduk ke SD Muhammadiyah 4, Kelurahan Mata Merah, Banyuasin.

Namun, keputusan itu memunculkan tantangan lain bagi Qomariah. Pasalnya sejak itu juga, ia harus menempuh perjalanan yang tak mudah untuk mengambil buku dan keperluan sekolah lainnya di Mata Merah.

Foto-foto keluarga Siti Qomariah dan Totok tergantung di dinding. (Project M/Prabu Rizki)
Siti Qomariah mengasuh bayinya yang baru lahir. Dia tetap mengajar selama mengandung hingga 9 bulan. (Project M/Prabu Riski)
Siti Qomariah mengasuh bayinya di waktu istirahat. (Project M/Prabu Rizki)
Murid-murid bermain di luar kelas, dekat jalan setapak desa. (Project M/Prabu Rizki)
Seorang murid berpamitan kepada Siti Qomariah saat pulang sekolah. (Project M/Prabu Rizki)

* * *

MASALAH sekolah di Saluran tidak selesai di masalah minimnya fasilitas. Desa Saluran tidak punya infrastruktur yang memadai.

Sumiati harus mengantar dan menjemput anaknya yang duduk di kelas dua dengan menggunakan perahu untuk menyeberangi sungai.

“Kami harus menyeberang dengan perahu jika ingin ke sekolah. Kalau lewat darat harus memutar jauh dan jalannya rusak,’’ kata Sumiati.

Lain dari itu, listrik juga belum masuk desa.

“Desa Saluran ini padahal dekat dengan kota Palembang, namun listrik tidak pernah masuk ke desa. Kami hanya bisa melihat terangnya kota Palembang dari desa,’’ kata Haerudin, seorang warga Saluran.

Kondisi ini berdampak pada anak-anak. Alif, murid kelas lima, mengalami kesulitan belajar pada malam hari.

“Belajar di rumah sulit jika malam hari karena tidak ada listrik. Hanya menggunakan lampu minyak,’’ kata Erni, ibu Alif.

Sekretaris Desa Saluran, Al Imron, mengungkapkan pada tahun 2020 pemerintah desa telah mengajukan proposal pembangunan tiang listrik sejumlah 100 titik. Namun, hal itu belum terpenuhi hingga sekarang.

“Jawaban dari PLN belum bisa karena jumlah kepala keluarga di sini kurang,” ujar Imron.

Menurut PLN, pemasangan listrik dapat dipasang apabila Desa Saluran memiliki setidaknya 200 kepala keluarga. Selain itu, sulitnya akses juga membuat biaya pemasangan tiang membengkak.

Sebelumnya pada 2019, pemerintah desa pernah mengajukan surat usulan ke Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta Dinas Perairan Banyuasin untuk perbaikan jalan. Hanya saja pembangunan dibatalkan dengan alasan  pandemi Covid-19.

Sebagai gantinya, pemerintah desa berencana membangun dermaga supaya warga bisa memanfaatkan transportasi air untuk beraktivitas.

“Dibangun kira-kira akhir tahun ini atau awal tahun depan. Nantinya biaya pembangunan akan menggunakan dana desa,” kata Imron.

Sementara Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Banyuasin, Rayan Nurdiyansah, mengatakan perihal pembangunan desa itu merupakan tanggung jawab pemerintah setempat.

“Masalah pembangunan jalan dan akses listrik itu kan program desa. Jadi kades yang membuat program dan melakukan pengusulan proposal ke bupati. Nanti bupati yang meneruskan proposal itu,” jelas Rayan.

Kepala Desa Saluran, Dewi, menegaskan SD Muhammadiyah 4 Filial bukan tanggung jawab pemerintah desa setempat. Pada 2011 silam, dinas pendidikan setempat sudah pernah mengajak SD itu bergabung menjadi SD negeri, tetapi pengurusnya menolak.

“Bukan tanggung jawab kami karena di sini sudah ada sekolah dasar negeri yang dibangun. Pemerintah Kabupaten Banyuasin mau fokus ke sekolah dasar negeri,” kata Dewi.

Menurutnya, izin pendirian sekolah itu juga bukan dari Pemerintah Kabupaten Banyuasin, melainkan dari Pemerintah Kota Palembang.

“Siswanya juga kurang, jadi belum terlalu diperhatikan. Dari segi bangunan juga bukan di Banyuasin perizinannya,” kata dia.

Tapi, keberadaan SD gratis di Saluran ini menjadi satu-satunya harapan bagi orangtua tidak mampu agar anak-anak mereka setidaknya mengenyam pendidikan. Harapannya, anak-anak juga terus termotivasi untuk belajar setidaknya sampai menyelesaikan pendidikan formal. Bukan apa-apa. Selama ini, banyak anak desa putus sekolah karena sulitnya akses menuju sekolah terdekat di Kelurahan Mata Merah.

“Kami juga ingin anak-anak kami berhasil seperti seperti orang di luar sana, sekolah tinggi. Jangan sampai putus sampai SD saja. Dan bekerja di tempat yang bagus,’’ kata Neli, seorang wali murid lainnya.

Sebagai guru, Qomariah turut menyemangati anak-anak didiknya agar terus melanjutkan pendidikan sampai jenjang paling tinggi.

“Saya sering mengantar anak yang akan masuk SMP dan menawarkan bantuan kepada orangtua siswa yang anaknya mau masuk ke SMP negeri. Banyak anak dari SD filial yang berhasil masuk SMP negeri di luar Desa Saluran,” kata Qomariah.

Kaos bergambar Presiden Jokowi tertancap pada tongkat di sawah. Mayoritas warga desa Saluran bertani. (Project M/Prabu Rizki)
Panel surya terpasang pada rumah warga. Listrik belum masuk Saluran. Tidak semua warga mampu mengupayakan kebutuhan listrik secara mandiri. (Project M/Prabu Rizki)
Murid-murid menghias sekolah mereka menyambut Kemerdekaan RI ke-77. (Project M/Prabu Rizki)
Murid-murid mengikuti lomba di Hari Kemerdekaan RI ke-77. (Project M/Prabu Rizki)
Murid-murid bersiap menaiki perahu saat pulang sekolah. (Project M/Prabu Rizki)
Bagi sejumlah murid, transportasi sungai merupakan akses tersingkat antara rumah dan sekolah. (Project M/Prabu Rizki)

Cerita foto ini adalah serial liputan Project Multatuli mendokumentasikan lika-liku #DuniaPendidikan.

Catatan redaksi: Cerita foto mengalami pembaruan pada 20 Oktober 2022 pukul 11.40 WIB untuk menambahkan keterangan pemerintah daerah.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Ricky Yudhistira
8 menit