‘Ini bukan jalan buntu tapi hanya belokan’: Anak-anak Membangun Harapan Lewat Mural di Dinding LPKA

5 menit

Ayah di sini ku sendirian, merenungi kata yang dulu kau berikan

Betapa beratnya hidup ku rasakan inginku bertemu katakan

Ayah tolong beritahu ibu, ingin memeluknya tapi aku malu

Malu jika ku hanya bisa mengeluh, maafkan aku ayah ibu


Lagu berjudul Ayah Ibu itu mengalun di pembukaan Festival Mural – Karya Anak Binaan LPKA Kelas II DKI Jakarta Februari lalu. Lagu itu merupakan karya band Pop Punk KarnaMereka yang viral di TikTok. Lagu itu disambut dengan senyum sumringah anak binaan atau Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) yang berkumpul di ruang aktivitas anak.

Setelah lagu selesai, AO dan tiga temannya menarik tirai hitam yang dipasang menutupi karya mural mereka di dinding luar bangunan. Karya mereka mereka dominasi warna hijau dan ungu, dengan gambar satu pot besar berisi bunga dan dua pohon di sela-sela grafiti yang antara lain bertuliskan ‘Walau ditiup angin, tetap kokoh seperti pohon’.

“Di sini kita juga buat tulisan, Tetap Menjadi Pribadi Yang Baik, maksudnya tuh, meskipun kita dicap orang jelek, ya kita ngerasa tetep jadi orang baik aja, pede,” ujar AO menjelaskan makna mural yang ia buat bersama tiga temannya.



Mural-mural itu merupakan ungkapan harapan serta keresahan pada anak binaan. AT salah seorang anak binaan yang membuat mural juga menganggap bahwa apa yang mereka gambar dan tuliskan pada dinding adalah upaya menghilangkan stigma bahwa tembok yang membatasi ruang gerak mereka bukan tembok yang membawa derita.

“Kalau kata orang itu, tembok derita, tapi kalau kita itu tembok cerita, satu tembok banyak cerita,” ujar AT. “Karena kebanyakan orang-orang sekarang, anak-anak muda sekarang itu jarang mau berkomunikasi secara langsung apa isi hatinya, tapi dengan tembok ini dia bisa menceritakan semua yang ada di hatinya dia.”

Sejenak AT fokus pada sebuah mural dengan gambar rumah dan sosok perempuan dan laki-laki. Ia merasa gambar itu mewakili kehangatan dan kebahagiaan bersama keluarga, seperti yang ia dan teman-temannya ingin. “Orang tua yang menunggu di rumah, jadi kita di sini tuh jangan aneh-aneh karena kita mau pulang”.

Saat itu AT sudah sekitar satu tahun di LPKA. Ia divonis tiga tahun, namun kemudian mendapat remisi karena berkelakuan baik. Setelah lebaran, tahun ini, ia pun sudah pulang ke rumah karena dua pertiga hukumannya sudah dipotong.

Sementara itu AO mengaku selama setahun di LPKA, ia justru memiliki banyak waktu buat berpikir secara jernih dan dewasa. Ia menyadari tidak bisa selamanya ia hanya main-main saja. Perbuatan yang ia lakukan di masa lalu berujung pada teguran setelah itu tertangkap dan dihukum.

“Sebenernya baru ketangkep, baru mikir, kenapa saya bisa begini, mungkin ini teguran, ya udah jalanin aja. Baru pertama, coba teguran kali ketiga, mungkin saya mati, atau dapat piring mungkin,” katanya.

Perenungan itu yang mengilhami AO menuliskan ‘walau ditiup angin, tetap kokoh seperti pohon’. “Quote dari feeling kita aja. Pohon, kalau ditiup angin tetap kokoh seperti pohon. Inspirasinya seperti kehidupan, kan saya sekarang lagi diguncang kencang, tapi saya selalu berusaha seperti pohon yang kuat dan tegar.”


Festival Mural karya Anak Binaan LPKA Kelas II DKI Jakarta terselenggara dengan dukungan dan pendampingan oleh Inklusi, PKBI, dan Ruru Kids. (Project M/ Eka Nickmatulhuda)

Kreativitas AO, AT, dan teman-temannya di LPKA itu disambut gembira oleh Kepala LPKA Kelas II Jakarta, Medi Oktaviansyah. Ia bahkan berpikir agar dinding-dinding di luar kamar juga dimural semua supaya menghilangkan kesan seram LPKA sebagai penjara anak atau tempat anak nakal. “Saya berharap stigma-stigma itu bisa luntur,” ujarnya.

Kehadiran mural itu menghadirkan suasana yang baru. Menurut Medi, suatu hari ada seorang pengunjung datang ke LPKA, saat itu terceletuk dari mulut mereka bahwa tempat ini tidak nampak seperti penjara, namun lebih mirip asrama pondok pesantren.

Nathanael Sumampouw, ahli psikologi forensik dari Fakultas Psikologi UI berpendapat, cara mengekspresikan ABH di LPKA tersebut cara yang baik untuk mengekspresikan perasaan mereka di tengah kehidupan yang berbeda dengan banyak batasan di LPKA. Belum lagi stigma negatif yang lekat pada ABH sering kali membuat ABH semakin tertekan.

“Itu situasi kehidupan yang tidak mudah mereka jalani, lalu pesan yang dibawakan menandakan ada sesuatu hal dari mereka yang berupa potensi atau value yang sifatnya positif dan itu memang diperlukan dan relevan supaya mereka survive, dalam menjalani kehidupan di LPKA maupun survive ke depannya,” ujarnya.

Menurutnya, perlu ada pemahaman yang sama dari orang-orang di sekitar ABH untuk memisahkan antara tindakan dan manusianya. Sebab, generalisasi dan cap buruk yang semena-mena dilekatkan justru akan menghambat perkembangan dan pembinaan anak.

“Manusia kan kompleks, secara spesifik menghadapi anak berkonflik dengan hukum sebagai pelaku, kita perlu memahami bahwa kita tidak bisa menerima apa yang dilakukan, kita kutuk keras apa yang mereka lakukan seperti mencuri, pemerkosaan atau apapun lah, tetapi dia as a person kita harus hormati. Apalagi kalau kita bicara anak, anak berkonflik dengan hukum dalam penelitian dan berbagai praktik kan sebenarnya adalah korban dari keluarganya yang tidak suportif, korban dari lingkungan yang banyak mengekspos kekerasan, korban dari sistem juga.”



Dukungan lingkungan yang baik itu pula yang membuat AT kini optimis dalam melihat hidup. Sebelum menjalani masa hukuman, kehidupan AT semrawut. Ia dipenuhi rasa takut, stigma yang mungkin ia dapat ketika bebas nanti dan bagaimana ia bisa memulai hidupnya menjadi bayangan yang menakutkan.

Namun lambat laun ia menyadari bahwa tidak semua orang yang ada di LPKA atau pernah ada di LPKA adalah orang jahat yang tidak akan pernah berubah. “Dulu pikirnya di LPKA, penjara itu banyak orang jahat. Tapi ternyata tergantung kitanya juga. Nggak semua orang yang di penjara itu jahat, ada juga yang pure ga salah, bermacam kasus di sini.”

AT mengambil contoh satu bagian grafiti yang bertuliskan ‘Ini bukan jalan buntu tapi hanya belokan’. “Seperti halnya kita di sini, kita bukan stuck di sini, ini bukan akhir dari segalanya, kita masih punya masa depan yang panjang, masih punya cita-cita, bisa jadi presiden kalau bisa!”


Editor: Ricky Yudhistira, Mawa Kresna

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

5 menit