Jalan Politik Dinasti Gibran

Fahri Salam
8 menit
"Para anggota dinasti politik bermain dalam koridor hukum. Mereka sangat mungkin melanggar etik, tapi etik seringkali tidak berlaku untuk politik," tulis Made Supriatma. (Dokumentasi Warta Transparansi, 2015)

Jalan politik Gibran adalah jalan politik dinasti. Mendapatkan berbagai macam kemudahan dan keistimewaan. Bukan pertama-tama karena kemampuan.


Akhirnya yang ditunggu banyak orang datang juga. Minggu lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan salah satu gugatan tentang batasan umur calon wakil presiden. MK menyatakan orang yang pernah atau sedang menjadi kepala daerah atau yang duduk di jabatan publik lewat pemilihan bisa diajukan menjadi calon wakil presiden, atau bahkan presiden.

Putusan itu melancarkan jalan Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Jokowi yang sejak Januari 2021 menjadi Walikota Solo, menjadi calon wakil presiden. Setelah berkali-kali menolak mengakui “skenario” bahwa putusan MK itu dibikin khusus untuk melapangkan jalannya menjadi calon wakil presiden, Gibran melakukan persis seperti yang sudah diperkirakan.

Gibran dicalonkan oleh Partai Golkar. Dia pergi begitu saja tanpa berpamitan dengan PDIP, partai yang menaikkannya ke kekuasaan di Solo, juga menaikkan iparnya menjadi Walikota Medan, dan memenangkan bapaknya dalam lima kali pemilihan umum.

Segera sesudah diumumkan menjadi cawapres, Gibran berkeliling ke partai-partai. Tampaknya, tidak ada resistensi apa pun dari koalisi Prabowo untuk mengusung Gibran untuk maju menjadi calon wakil presiden.

Seperti apakah perjalanan politik Gibran Rakabuming Raka?

Pada 2020, di tengah-tengah pandemi COVID-19, saya dan seorang kolega peneliti mengamati dari dekat pemilihan Walikota Solo. Langkah politik Gibran tidak bisa dilepaskan dari posisinya sebagai anak presiden. Bahkan dalam pemilihan Walikota Solo pun, dia tidak lepas dari berbagai keistimewaan (privileges). Tulisan ini berbahan dari temuan dalam penelitian tersebut.

Perjalanan Gibran menjadi Walikota Solo sungguh tidak terduga sebelumnya. Pada masa jabatannya yang pertama, Presiden Jokowi selalu mengatakan anak-anaknya tidak ada yang tertarik pada politik. Gibran sendiri dalam berbagai kesempatan mengatakan lebih tertarik menjadi pengusaha ketimbang politisi. Dia sempat ceramah keliling di beberapa kampus ketika itu.

Namun, semuanya berubah setelah Jokowi menang pemilihan periode kedua. Gibran mulai melirik jabatan politik. Yang diliriknya adalah kursi Walikota Solo yang akan kosong pada 2020.

Gibran mulai mempersiapkan segalanya. Dia mulai mengeksplorasi kemungkinan untuk menjadi walikota pada September 2019 dengan menemui F. X. Hadi Rudyatmo, yang saat itu menjabat Walikota Solo menggantikan bapaknya. Rudy, demikian panggilannya, sebelumnya adalah Wakil Walikota Solo dan kemudian menjadi walikota menggantikan Jokowi yang terpilih menjadi Gubernur Jakarta pada 2012.

Sebagaimana bapaknya, Gibran juga memakai PDIP sebagai kendaraan politiknya. Secara elektoral PDIP adalah partai terbesar di Solo. Untuk menjadi calon Walikota Solo, Gibran pertama-tama harus mendapatkan rekomendasi dari partai ini.

Nah, di sinilah letak persoalannya. PDIP memiliki mekanisme untuk pencalonan walikota. Sesuai dengan pasal 10, peraturan PDIP No. 24/2017, DPC memiliki hak untuk mengajukan calon walikota. Selain itu ada persyaratan bahwa kader yang menjadi calon bupati/walikota harus menjadi anggota partai minimal selama dua tahun.

Dewan Pengurus Cabang PDIP Solo sudah memiliki mekanisme untuk pencalonan walikota. Sesuai dengan mekanisme itu, kader yang berhak untuk maju adalah Achmad Purnomo, yang saat itu menjabat Wakil Walikota Solo. Rintangan lain adalah Gibran baru masuk menjadi anggota PDIP pada September 2019, belum genap dua tahun menjadi anggota partai.

DPC PDIP bersikukuh yang berhak menjadi calon adalah Achmad Purnomo, seorang yang meniti karier dalam partai. Namun, Gibran tidak putus asa. Dia meminta rekomendasi dari DPD PDIP di Semarang, yang mengabulkan permohonan Gibran dan meneruskannya ke DPP PDIP di Jakarta.

Megawati Soekarnoputri akhirnya memberikan rekomendasi untuk pencalonan Gibran. Baru kemudian, politisi PDIP Panda Nababan mengemukakan bahwa pencalonan Gibran terjadi karena lobi Jokowi langsung kepada Megawati. Kader-kader PDIP di tingkat akar rumput saat itu kelihatan sangat gusar karena mekanisme partai telah dilanggar.

Bagaimana dengan Achmad Purnomo sendiri?

Ia dipanggil ke Istana Negara oleh Jokowi dan ditawari jabatan. Namun, Purnomo menolak tawaran itu. Dia kembali ke Solo dan kembali ke profesi semulanya sebagai pengusaha. Purnomo mengaku bahwa dia realistis karena tidak akan menang melawan anak presiden.

Setelah mendapatkan rekomendasi, Gibran memulai proses pencalonan. Untuk bisa diajukan menjadi calon, seseorang harus didukung oleh partai atau koalisi partai-partai yang memiliki 20% kursi parlemen atau memiliki perolehan 24% suara pada pemilu sebelumnya. Batasan ini dengan mudah dilampaui PDIP yang menguasai 60% kursi DPRD. Pada akhirnya koalisi pencalonan Gibran didukung oleh koalisi partai yang menguasai 40 dari 45 kursi DPRD Kota (88,9%).

Ini kekuatan yang luar biasa besar. Karena melawan anak presiden, tidak ada politisi yang berani mencalonkan diri.

Namun, kekuatan itu sekaligus mengkhawatirkan. Tim Gibran berkaca Pilkada Kota Makassar 2018. Ketika itu calon tunggal yang kebetulan adalah orang yang sangat berpengaruh dan bagian dari dinasti politik di Makassar, kalah melawan kotak kosong.

Secara tidak terduga, tiba-tiba muncul pasangan calon independen yang akan melawan pasangan Gibran–Teguh Prakosa.

Peraturan KPU No. 3/2017 menyatakan seorang calon independen harus membuktikan bahwa dia didukung oleh 8,5% pemilih yang memilih pada pemilu sebelumnya (2019) dan jumlah pemilih ini tersebar di 50% jumlah kecamatan. Untuk Solo, ini berarti seorang calon independen harus didukung 35.870 pemilih yang tersebar setidaknya di 3 kecamatan. Ini sebuah syarat yang berat.

Hingga bulan Januari 2020, muncul dua pasang calon walikota dari jalur independen. Mereka adalah Bagyo Wahyono-FX. Supardjo (Bajo) dan Muhammad Ali Achmad-Abu Jazid (Alam). Yang terakhir mengundurkan diri karena tidak mampu memenuhi syarat.

Bagyo Wahyono-FX. Supardjo (Bajo) menyerahkan 41.425 KTP pada akhir Febrauri 2020. Dalam pemeriksaan administratif dan faktual, KPU menemukan 28.629 KTP yang sah. Pada akhir Juli 2020, pasangan Bajo menyerahkan 21.603 KTP, dan yang lolos verifikasi faktual tahap dua sebanyak 10.202 KTP. Akhirnya, KPU memverifikasi sebanyak 38.831 KTP yang sah. Ini sudah cukup untuk memenuhi syarat sebagai calon independen.

Pasangan Bagyo Wahyono-FX. Supardjo (Bajo) ini bukan pasangan yang dikenal oleh masyarakat Solo. Bahkan di kalangan politik pun nama mereka tidak terdengar. Bagyo Wahyono dalah seorang tukang jahit di Pasar Gede Solo dan memiliki kios bernama Solo Bagyo Fashion. Dia spesialis menjahit kebaya. Sedangkan pasangannya, FX Suparjo, adalah pensiunan Balai Latihan Kerja.

Tentu mengumpulkan 38 ribu KTP itu bukan sesuatu yang mudah. Pasangan Bajo mengaku bahwa mereka didukung sebuah organisasi bernama Tikus Pithi Hanata Baris. Organisasi yang tidak pernah terdengar namanya ini memiliki nama yang cukup bagus, yakni “barisan tikus-tikus kecil.”

Tikus pithi dipimpin Tuntas Subagyo, yang namanya tercatat dalam beberapa skandal keuangan. Dia mengaku menemukan harta karun RI di Swiss yang besarnya beberapa miliar dolar Amerika. Dia mengumpulkan uang untuk menggugat dan mengembalikan uang yang jumlahnya triliunan itu ke Indonesia. Namun, uang yang terkumpul itu tidak jelas ke mana larinya.

Organisasi ini mengklaim bahwa mereka getol memajukan calon independen dalam Pilkada, tidak hanya di Solo tapi juga di kabupaten-kabupaten sekitarnya seperti Klaten, Sragen, dan Boyolali. Calon-calon mereka gagal memenuhi syarat administratif di kota-kota itu, hanya di Solo mereka berhasil.

Pasangan Bajo jelas bukan apa-apa melawan kampanye Gibran-Teguh Prakosa. Gibran membangun citra sebagai anak muda yang bervisi teknologi masa depan. Di tengah-tengah pandemi COVID-19, dia melakukan kampanye virtual dengan memasang perangkat-perangkat audio-visual yang mobile dan bisa menyapa pemilih di kampung-kampung tanpa turun ke lapangan dengan alasan pandemi. Hal seperti itu tentu jauh dari kemampuan Bajo dan Tikus Pithi yang mendukungnya.

Dipandang dari sudut apa pun, Gibran jelas unggul. Tidak heran dalam pemilihan, dia memenangkan 86,5% suara, sementara Bajo hanya mendapat 11,4%. Partisipasi pemilih 70,4%, mungkin karena faktor pandemi.

Suara Gibran sesungguhnya jauh lebih rendah jika jumlah suara Bajo, suara tidak sah, dan mereka yang tidak berpartisipasi dalam pemilihan juga ikut dihitung. Gibran sesungguhnya hanya dipilih 56% pemilih yang terdaftar. Ada 419,347 pemilih yang terdaftar tapi hanya 295.112 menggunakan hak pilihnya. Sebanyak 33.488 suara dinyatakan tidak sah.

Toh, 11,4% suara yang didapat Bajo memvalidasi kemenangan Gibran, yang bisa dikatakan mutlak (landslide). Namun, jelas tampak bahwa pertarungan elektoral ini tidak berimbang.

Bajo adalah pasangan yang sama sekali tidak dikenal. Latar belakang mereka sangat sederhana, kalah jauh dibandingkan Gibran. Namun, kehadiran mereka menjadi penting secara simbolik karena membuat proses Pilkada Solo seolah-olah demokratis.

Akhir-akhir ini, ketika ditanya soal dinasti politik dan pengaruh bapaknya dalam pencalonan wakil presiden, Gibran kerap mengatakan, “Tergantung warga, kalau saya masih dipercaya ya boleh, kalau tidak ya enggak apa-apa.”

Jawaban standar ini tentu tepat untuk meredakan situasi. Namun, yang tidak dikatakan oleh Gibran adalah bahwa suara warga itu bisa “dimasak” terlebih dulu untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.

Tidak ada apa pun yang dilanggar oleh sebuah politik dinasti. Sistem politik di negara-negara demokrasi, seperti India dan Jepang, misalnya subur dengan dinasti politik. Anggota-anggota dinasti itu dipilih dalam proses pemilihan. Namun, proses seperti ini menutup persaingan.

Anggota dinasti mendapatkan berbagai macam kemudahan dan keistimewaan (privileges). Mereka berlari di jalan datar, sementara calon-calon lain di jalur menanjak dan berbatu tajam. Calon-calon lain harus melewati ujian yang ketat sementara mereka seakan lulus tanpa tes. Bukan karena kemampuan, melainkan karena hak istimewa.

Tidak ada hukum yang dilanggar oleh para anggota dinasti ini. Mereka bermain dalam koridor hukum. Seperti Gibran yang bisa menabrak sistem rekomendasi pencalonan PDIP di Solo dan batasan umur yang kemudian dikabulkan Mahkamah Konstitusi yang diketuai hakim Anwar Usman, adik ipar Jokowi alias paman Gibran sendiri.

Orang-orang mungkin mengeluh bahwa Gibran dan Jokowi melanggar etik. Namun, perlu diingat, moral dan etik seringkali tidak berlaku untuk politik. Menuntut politisi untuk punya rasa malu adalah sama seperti menuntut pohon sirih berbuah semangka.

Lalu apa yang bisa dilakukan? Saya kira, kita kembali kepada “Doktrin Gibran” di atas tadi. Kalau Anda tidak suka, jangan pilih dia. Namun, yakinlah, politisi sangat pintar meyakinkan Anda untuk berpihak dan membela hal-hal yang sama sekali tidak berguna.

Masih ingatkah Anda waktu kehilangan teman dan bermusuhan dengan sesama anggota keluarga pada Pilpres 2019? Akhirnya apa yang terjadi? Permusuhan Anda abadi dan para politisi itu mendengkur dalam satu selimut!


Made Supriatma adalah peneliti pada ISEAS – Yusof Ishak Institute, Singapura

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Fahri Salam
8 menit