Kelas Pekerja Ibu Kota Pergi Gelap Pulang Gelap, Menghadapi Pelecehan di Perjalanan demi Uang Lemburan

Adrian Mulya, Mawa Kresna
8 menit

Zahra Nabila Zulkifli (21) sudah bangun ketika jarum jam mendekati pukul 04.00. Azan subuh pun belum terdengar saat ia keluar dari kamarnya. Sambil menahan kantuk, ia menyambar beberapa helai pakaian, bergegas menuju kamar mandi. Sementara ayah dan bundanya sibuk menyiapkan bekal untuk Zahra.

Pada pagi buta yang dingin karena hujan tak kunjung berhenti sejak kemarin, aktivitas keluarga Zahra sudah dimulai. “Ya begini kalau saya masuk pagi, semua ikut bangun, bulan ini jadwal masuk pagi,” kata Zahra sambil melihat jadwal yang ditempel di belakang ponsel cerdasnya.

Atas: Pada saat orang masih terlelap tidur, Zahra harus bangun lebih pagi dan bergegas menuju stasiun kereta komuter untuk menghindari kepadatan dan keterlambatan tiba di tempatnya bekerja.
Bawah: Berangkat gelap pulang gelap terbiasa bagi Zahra demi mendapat bonus lemburan. (Project M/Edy Susanto)

Sang ayah membuatkannya telur dadar dan sayur. Menu yang cukup untuk menjadi pondasi untuk perjalanan pagi ini. Setelah dirasa cukup bekal di perut, Zahra pun bergegas untuk menuju stasiun kereta komuter, karena hujan tidak juga reda, payung menjadi andalan agar terhindar dari hujan. Langkah kakinya gesit menyusuri gang-gang sempit dan sedikit genangan.

“Takut telat dan kereta keburu penuh,“ sautnya.

Jika mendapat jadwal kerja pagi, perjuangannya menuju Jakarta terasa lebih berat karena harus bangun pagi sekali untuk menghindari kereta komuter penuh sesak. Paling tidak pukul 4.30 ia sudah harus berada di Stasiun Bojong Gede yang kebetulan tidak begitu jauh dari rumahnya dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

“Itu pun di kereta tetap berdiri, desak-desakan, kalau mau dapat duduk harus dari Bogor,” jelasnya.

Atas: Di pagi buta yang dingin, stasiun kereta komuter sudah dipenuhi calon penumpang. Kebanyakan adalah pekerja yang mencari nafkah di Jakarta.
Bawah: Padatnya penumpang kereta komuter di stasiun terlihat dari refleksi atau pantulan kaca stasiun. (Project M/Edy Susanto)

Dari depan stasiun terlihat kerumunan orang memasuki peron. Derap langkah kaki mereka tergesa di lantai stasiun yang licin, sementara itu terdengar suara berdecit ketika komuter mengerem roda bajanya untuk berhenti di stasiun.

Orang-orang berhamburan menaiki tangga menuju peron dua saat suara pemberitahuan kereta komuter tujuan Jakarta tiba. Mereka adu lari dengan napas tersengal, berharap bisa lebih dulu masuk ke dalam gerbong-gerbong kereta. Meski masih pagi buta, antrean manusia di bibir peron sudah menumpuk. Rangkaian gerbong kereta komuter yang terisi penuh manusia baru saja berangkat.

Atas: Penumpang kereta komuter mengantre di bibir peron menunggu kedatangan kereta.
Bawah: Meski interval jadwal kedatangan kereta komuter yang tidak terlalu lama, puluhan gerbong tetap saja tidak bisa menampung ratusan bahkan ribuan penumpang. (Project M/Edy Susanto)

“Naik yang berikutnya aja, tadi terlalu penuh, “ kata Zahra. Dari raut mukanya sedikit kecewa, khawatir akan terlambat tiba di tempat kerja, karena harus menunggu kedatangan kereta tujuan Jakarta berikutnya. Interval jadwal kedatangan kereta berikutnya berkisar 10 hingga 15 menit.

Tempatnya bekerja memang mengharuskan karyawannya untuk datang tempat waktu, pemotongan gaji bulanan akan dilakukan jika karyawan terlambat tiba di kantor, berkisar antara Rp10-50rb tergantung seberapa lama waktu keterlambatan. Meski masih terhitung wajar namun untuk pekerja seperti Zahra dan ribuan pekerja lainnya 1 rupiah pun menjadi sangat berharga.

“Pernah dulu terlambat karena kereta ada gangguan, kantor maklum jadi aman, nggak dipotong deh,” jawabnya sambil terkekeh. Bila cuaca hujan seperti pagi ini, ia jadi lebih khawatir, gangguan jadwal kedatangan kereta komuter memang masih sering terjadi meski sudah tidak sesering dulu.

Atas: Penumpang tertidur dalam perjalan kereta yang terisi penuh menuju Jakarta.
Bawah: Karena tubuhnya tergolong mungil, Zahra tergencet di antara ratusan penumpang kereta komuter. Masih bisa mendapat pegangan atau bisa bersandar di dalam gerbong yang padat penumpang adalah sebuah kemewahan menurutnya. (Project M/Edy Susanto)

Pemberitahuan kedatangan kereta komuter tujuan Jakarta kembali terdengar. Bibir peron kembali dipenuhi puluhan penumpang yang serentak merangsek maju padahal kereta yang ditunggu belum kelihatan batang hidungnya. Begitu kereta tiba dan pintu kereta terbuka, penumpang berebut masuk, saling dorong untuk dapat posisi terbaik meski tetap berdiri. Tubuh Zahra yang tergolong mungil tergencet, berada di tengah kerumunan di dalam gerbong kereta. Tangannya sigap menggapai pegangan yang tergantung.

“Masih untung dapat pegangan, biasanya untuk pegangan juga susah,” katanya.

Atas: Zahra menunggu kedatangan kereta komuter di Stasiun Manggarai. Zahra dan ribuan penumpang kereta komuter harus berjibaku setiap hari menuju Jakarta untuk mencari rupiah.
Bawah: Zahra mengecek jadwal kerja setiap bulan yang ditempel di belakang telepon selulernya. Dalam sebulan jadwal kerjanya dibagi dalam dua shift yaitu, pagi dan siang. (Project M/Edy Susanto)

Kereta pun melaju, membawa ratusan penumpang yang sebagian besar kelas pekerja bertumpuk jadi satu. Gesekan badan tak terhindar untuk menjaga keseimbangan saat kereta melaju. Pengap. Aroma keringat menguap, di antara mata merah penumpang yang menahan kantuk. Ada yang tertidur bersandar pada tiang atau kaca kereta. Suara dengkuran terdengar sayup-sayup di antara deru kereta.

Satu jam lebih 45 menit waktu yang dibutuhkan dari Stasiun Bojong Gede menuju Jakarta. Itu adalah perjuangan bagi para pencari rupiah seperti Zahra di ibu kota.

Atas: Penumpang mengantre di Stasiun Manggarai yang menjadi titik “keruwetan” semenjak diberlakukan sistem transit.
Bawah: Hujan deras mengguyur Stasiun Kereta Komuter Gondangdia. Jadwal kereta bisa saja terganggu akibat gangguan teknis yang disebabkan buruknya cuaca. Jika hal ini terjadi, bisa dipastikan akan terjadi penumpukan penumpang yang lebih parah. (Project M/Edy Susanto)

Realitas komuter sudah akrab bagi Zahra sejak beberapa tahun terakhir ini. Meski penuh sesak, namun biaya yang murah dan waktu perjalanan menjadi alasan utama Zahra memilih komuter. Selain itu menurutnya, puncak keramaian penumpang di kereta komuter lebih bisa diprediksi. Anak kedua dari keluarga kecil ini memang bisa dibilang tulang punggung keluarga sejak sang ayah di-PHK (pemutusan hubungan kerja) beberapa tahun silam.

Berangkat sebelum matahari terbit dan pulang larut malam demi mengejar bonus lemburan hampir setiap hari dijalaninya. “Aku pemegang rekor tertinggi lemburan di kantor,” ujarnya bangga.

Atas: Menyantap bekal yang dibawa atau terpaksa membeli makanan di stasiun komuter sebelum berdesakan di dalam gerbong komuter.
Bawah: Puluhan kilometer rel yang terbentang, melewati lebih dari 20 stasiun, dilalui setiap hari. (Project M/Edy Susanto)

Sore hari dalam perjalanan pulang, Zahra bercerita panjang lebar pengalaman tentang realitas kereta komuter pada jam sibuk antara pukul 05.00 hingga pukul 08.00.

Pada rentang waktu itu komuter berada pada titik ekstrem. Stasiun Manggarai menjadi titik keruwetan. Desak-desakan, saling dorong, teriakan penumpang kembali terjadi. Puluhan gerbong kereta seolah tidak mampu mengangkut ratusan bahkan ribuan penumpang yang tidak ada habisnya. Kapasitas gerbong kereta komuter yang normalnya muat 250 penumpang bisa naik hingga 2 sampai 3 kali lipat.

Untuk menghindari hal tersebut terkadang Zahra memilih untuk naik dari stasiun yang lebih jauh seperti Stasiun Gondangdia hanya untuk menghindari masuk secara berebutan dan sikut-sikutan.

“Kalau lagi capek banget kerja milih menghindar naik dari Manggarai,” jelasnya. Ia memilih naik di gerbong umum, bukan gerbong khusus wanita. “Gerbong khusus cewek itu kadang lebih ganas dorong-dorongannya,” ceritanya sambil tertawa.

Atas: Zahra menunggu kedatangan kereta komuter di peron stasiun. Zahra lebih memilih naik di gerbong umum dibanding gerbong khusus wanita.
Bawah: Ancaman pelecehan seksual masih kerap terjadi di gerbong kereta komuter, terutama saat gerbong terisi penuh dan penumpang berdesakan. (Project M/Edy Susanto)

Berada di gerbong umum baginya lebih ramah, meski harus bercampur dengan pria. Namun ini bukan tanpa risiko, ia pernah mengalami pelecehan meski waktu itu gerbong komuter tidak terlalu padat, seorang pria terus memepetnya padahal ia sudah terdesak menghadap pintu kereta. Karena firasat tidak enak, ia memutuskan untuk berbalik badan sambil menyikut pria tersebut. “Nggak lama dia menjauh, takut kali liat saya,“ sambungnya sambil tertawa.

Pelayanan dan fasilitas kereta komuter memang jauh lebih baik sekarang ini, namun menurut Zahra kepadatan kereta komuter tidak bisa dihindari, terutama sejak diberlakukannya sistem transit di Stasiun Manggarai. Ia merasakan kepadatan lebih parah di pagi hari.

Kiri: Suasana Stasiun Manggarai, jutaan penumpang kereta komuter bertumpuk di stasiun ini setiap harinya terutama di saat jam-jam sibuk.
Kanan: Seorang pria bersandar pada kaca stasiun dengan latar belakang puluhan penumpang yang hendak naik ke peron atas di Stasiun Manggarai. Banyak penumpang yang memilih beristirahat terlebih dahulu dan memilih pulang lebih larut demi menghindari berdesakan di dalam gerbong komuter. (Project M/Edy Susanto)

Semua pekerja kantor memiliki jadwal masuk yang sama, sekitar pukul 8-9 pagi. Pada pukul 6-8 pagi, penumpang membludak saban hari di Manggarai, stasiun transit dari banyak jalur komuter. Mereka yang pindah dari Bekasi ke Sudirman, Jakarta Kota, Bogor, Tangerang, Duri, dan Cikarang harus turun di Manggarai. Satu juta penumpang komuter harus berjibaku, bertumpuk di Stasiun Manggarai per harinya.


Cerita foto ini merupakan bagian dari serial #Perburuhan.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Adrian Mulya, Mawa Kresna
8 menit