Lakoat.Kujawas: Masyarakat Adat Mollo Melawan Pemiskinan Negara Indonesia

Mawa Kresna
22 menit
Mollo
Seorang pemudi dari Desa Taiftob memetik jamur payung kecil (pu’maon ana, terjemahan lurusnya, jamur anak ayam karena bentuknya mungil) yang tumbuh di batang pohon kapuk/randu. (Lakoat.Kujawas/Dicky Senda)

Seandainya saja tolok ukur kemakmuran bukanlah harta benda, melainkan hutan dan alam yang terjaga, Mollo di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, bisa saja jadi satu tempat yang dianggap kaya.


“SEBENTAR lagi kami akan memunguti jamur di hutan,” tulis Dicky Senda di layanan perpesanan. “Mama Fun akan memasak jamur-jamur itu. Dan kami juga akan belajar membaca jamur.”

Saya membaca pesan itu sambil memendam keinginan segera mengepak tas, memesan tiket pesawat, lalu pergi ke Mollo. Jamur adalah apa yang dulu membuat saya memutuskan menekan tombol ‘mengikuti’ pada akun Instagram Lakoat.Kujawas dan Dicky Senda, penggagasnya.

Saya selalu berpikir, masyarakat yang punya hubungan khusus dengan jamur adalah istimewa. Ia seperti ‘sesuatu’ yang berperan di semua lapisan kehidupan, termasuk manusia. Ia koloni yang tak terlihat, tetapi menyimpan beragam keajaiban, di antaranya sebagai penghubung dan komunikator.

Ketika Dicky menceritakan kawan-kawannya di Desa Taiftob, Mollo, yang terletak di Pegunungan Mutis, Timor Tengah Selatan, dan pelan-pelan saya terhubung dengan mereka, saya seperti memasuki semesta cendawan di tanah kekuningan. Sebuah koloni yang menopang ekosistem. Dari Nusa Tenggara Timur, tanpa perlu menjadi yang lain, mereka membuat banyak pihak terangkai, gema suara mereka menjalar hingga ke ujung-ujung negeri. Saya membayangkan masyarakat adat yang bergiat di Lakoat.Kujawas ibarat mycelium, komponen utama jamur, yang dalam artikel ilmiah Do Trees Talk to Each Other disebut bertugas sebagai medium komunikasi antarmakhluk. Cara kerjanya mirip neuron dalam otak manusia.

Pesan yang mereka sebarkan benderang dan disuarakan lantang. Bahwa untuk menjadi Indonesia, kau seharusnya berakar pada jati diri. Dan di Mollo, itu semua bermula dari menjaga alam dan tradisi.

Di Mollo, hampir semua kebutuhan hidup bisa dipenuhi tanpa perlu terus-menerus mengeluarkan uang. Jagung, jamur, lakoat, kujawas, umbi-umbian, dan sayur-mayur, semuanya tumbuh dan bisa dipanen di pekarangan rumah, kebun, dan hutan.

“Sulit untuk memilih musim mana yang paling beta sukai di Mollo. Semua istimewa,” kata Mama Fun, panggilan Marlinda Nau, salah satu warga aktif yang bergiat di Lakoat.Kujawas. Istimewa, karena kedatangan tiap-tiap musim biasanya ditandai pula kemunculan bahan pangan yang menjadi ciri khas musim tersebut. Memasuki musim hujan, ketika bau basah mulai tercium di seantero desa; mama-papa dan anak-anak muda berlarian ke hutan. Mereka akan memetik jamur-jamur gemuk yang menyembul di batang kayu dan pepohonan. Keterampilan mengenali mana jamur beracun dan tidak inilah yang disebut Dicky dengan membaca jamur.

“Kami mengenali baunya. Jika bau jamur itu terasa familiar, berarti ia bisa dimakan,” ujar Mama Fun mencoba menjelaskan cara ia mengenali jamur-jamur di hutan yang bisa disantap kepada saya. Setelah berkali-kali bertemu di layar, kami akhirnya bertatap muka langsung. Ia saat itu mewakili Lakoat.Kujawas mengikuti program residensi terkait lokalitas dan kemandirian jalan pangan di Yogyakarta.

“Bau familiar?”

Perempuan itu diam sesaat lantas menjawab, “Jika aroma itu memanggil ingatan kita atas sesuatu.” Dicky yang mendengar obrolan kami menimpali. Jika jamur bisa dimakan dan pernah hadir di piring makan mereka, aromanya akan diingat. Tubuh-tubuh mereka menjadi alat perekam paling ampuh yang mengirimkan ingatan pengetahuan untuk mengenali bahan-bahan pangan di hutan yang bisa dikonsumsi.

Menjelang musim semi—memasuki musim panas, pucuk-pucuk pohon beringin bermunculan dan itu pertanda baik. Artinya, satu hidangan khas akan muncul, sayur pucuk daun beringin. Saya belum pernah mencicipinya, tetapi Mama Fun dan Dicky menggambarkan sayuran ini seolah jika saya mati dan belum mencicipinya, satu hal besar berarti telah saya lewatkan dalam hidup. Daftar pun bertambah ketika mereka menyebutkan bunga bengkoang hutan, kot laso—kacang beracun, dan sayur bunga gamal; ketiganya adalah tipikal sayuran yang muncul pada musim kering.

Memasuki musim tanam, mereka mulai bersiap menanam jagung, sorgum, umbi-umbian, dan bahan pangan lain. Tfua Pah, sebuah ritus agraris akan digelar untuk menghormati Uis Pah, roh penguasa tanah yang dipercaya bersemayam di kebun, bukit, dan gunung; yang merawat dan memberi kesuburan bagi semua tanaman. Setelah musim tanam berakhir, Mollo memasuki musim kemarau yang panjang. Bahan-bahan pangan yang hanya muncul pada musim-musim tertentu akan diolah dengan teknik fermentasi dan pengasapan agar bisa tetap bisa dinikmati sepanjang tahun, terutama pada musim kemarau panjang. Mereka menyimpan bahan-bahan makanan yang telah diawetkan secara tradisional itu di rumah yang juga berfungsi sebagai lumbung. Tak ada cerita masyarakat Mollo akan kekurangan pangan.

Pada Oktober 2021, sebuah media nasional melansir kabar bahwa Timor Tengah Selatan adalah satu dari lima kabupaten di Nusa Tenggara Timur yang mengalami kemiskinan ekstrem.

Sebuah kabar yang sungguh terasa jauh dari apa yang dituturkan Dicky dan Mama Fun.

Mollo
Orang muda memetik dan memotret aneka jamur di Hutan Napjam dalam rangka kerja pengarsipan dan reproduksi pengetahuan adat. Napjam adalah situs batu marga (faotkanaf) dan mata air yang ada di Desa Taiftob. (Lakoat.Kujawas/Dicky Senda)

Rumah dan Identitas

Dicky merasa ia dan kawan-kawan di lingkungannya dicerabut dari identitas secara sistemis. “Kami dipaksa menjadi Indonesia,” katanya. Tumbuh menjadi anak Mollo yang tak bisa berbahasa Mollo karena diharuskan berbahasa Indonesia. Jika kedapatan berbahasa daerah di sekolah, guru-guru akan memukuli. Wajib belajar tentang Jawa dan pusat, dikucuri buku-buku bermuatan pengetahuan jawasentris dan tak tahu apa-apa tentang konteks serta sejarah sendiri. Masih pula dituntut makan beras, padahal padi tidak tumbuh di tanah kering mereka. “Aku merasa jadi orang asing di kampung halamanku sendiri,” ia merasa pendidikan justru menjauhkannya dari ‘rumah’.

Ucapan Dicky membuat saya teringat kepada apa yang diutarakan Mama Fun di Counter Internationalism and Beyond Local, Biennale Forum 2021, Oktober lalu di Yogyakarta.

“Tak makan nasi bukan berarti miskin.” Kata-katanya menghunjam. Membuat yang menyimak terdiam. Standarisasi kehidupan modern, sebutlah seperti mengonsumsi nasi, berbelanja kebutuhan pangan dengan kas keras, mendiami rumah berdinding batu dan tidak beratap rumput, membuat mereka yang bisa memenuhi kebutuhan pangan hanya dari pekarangannya ataupun tinggal di rumah tradisional dikesankan sebagai orang miskin.

Perempuan ini menggugat ketidakadilan yang mereka terima. “Tanah kami kering. Padi tidak bisa tumbuh di sini, tetapi umbi-umbian ada banyak. Jagung tumbuh subur. Hutan ada kasih banyak makanan.” Bagi orang Mollo yang juga disebut atoin meto—orang-orang dari daratan kering—itu semua adalah sumber karbohidrat yang telah mereka kenal sejak dulu.

Di satu obrolan kelas menulis Lakoat.Kujawas yang saya hadiri, saya dengar Dicky berkali-kali menyampaikan kepada kawan-kawan mudanya kalau keberagaman isi piring makan adalah bentuk ketahanan pangan. “Kita sonde perlu malu kasih tunjuk kita pung makanan,” kata penerima Ford Global Fellows itu.

Mollo
Lauk tobe, sejenis nasi dari tepung singkong (laku) kering ditanak dengan ubi ungu cincang; dimasak dalam tobe anyaman lontar berbentuk kerucut di dalam periuk tanah dengan tumis daun pepaya dicampur bunga pepaya dan terasi, semor kot pesi (sejenis kacang koto/krotok hutan, beracun tapi setelah direbus sebanyak 12 kali akan hilang racunnya); ditumis dengan tomat dan daging babi cincang; disantap dengan 3 jenis sambal lu’at usia fermentasi 3 bulan (lu’at bunga lengkuas, lu’at kulit jeruk dan lu’at bawang putih dengan belimbing wuluh). (Lakoat.Kujawas/Dicky Senda)

Ia meminta kawan-kawan mudanya melakukan pencatatan untuk makanan-makanan sehari-hari beserta bahan-bahannya lalu menceritakan kepada saya. Kelas menulis kreatif itu juga merupakan cara mereka mengarsipkan pengetahuan pangan. Dari sanalah, mereka tahu ada bahan-bahan yang sudah tak pernah lagi terlihat kendati musimnya telah tiba. Menghilangnya bahan pangan tersebut pun membuat beberapa kosakata terkait bahan pangan dan tanaman dalam bahasa Mollo hilang dari keseharian.

“Perubahan iklim tak hanya memberi dampak kepada apa yang disantap, tetapi juga memusnahkan bahasa kami,” katanya. Itu pula yang membuat mereka bergegas melakukan pengarsipan. Mereka sedang berderap dengan perubahan iklim yang seturut memudarkan ingatan kolektif warga.

Kondisi geografis yang berbeda menjadikan tiap-tiap tempat di Indonesia memiliki bahan pangannya sendiri. Keberagaman bahan pangan lokal ini, sebagaimana yang kerap dinarasikan Dicky dan Lakoat.Kujawas, sesungguhnya bentuk ketahanan pangan Nusantara.

Jika diingat-ingat, kata Dicky, krisis pangan yang pernah menimpa Mollo justru bermula dari penyeragaman isi piring makan; harus makan beras, harus empat sehat lima sempurna. Masyarakat memaksa dirinya membeli beras, meminggirkan bahan-bahan pangan di pekarangan sendiri. Menganggap apa yang mereka miliki tidak sehat dan hanya membuat mereka disebut ‘miskin’. Padahal tubuh mereka tidak terbiasa menyerap gizi dari beras atau bahan-bahan impor. Stunting pun melanda. Dan kembali, mereka lagi-lagi dilabeli oleh pusat, kali ini disebut kurang gizi.

Perkara penyeragaman tatanan pun merembet hingga ke urusan papan; rumah. Konsep ekologi di masyarakat adat terputus justru karena rumah tradisional, uem bubu, menghilang. Orang-orang sibuk membangun rumah modern karena cemas dilabeli miskin. Padahal, rumah-rumah modern tidak menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat adat di negeri yang disebut molfa mate—menguning amat sangat. Mollo berasal dari kata molfa yang artinya menguning. Menjelang senja, cahaya benderang matahari menimpa Mollo hingga seluruh penjuru terlihat kekuningan. Atap seng dan dinding semen menyebabkan rumah terasa pengap dan panas.

Bagi masyarakat adat Mollo, uem bubu bukan sekadar rumah. Ia adalah lumbung pangan dan pengetahuan. Membangun uem bubu berarti menjalani proses merawat kesadaran tentang keterhubungan mereka dengan alam. Mereka merawat hutan karena kayu-kayu untuk membangun rumah disediakan oleh hutan. Mereka merawat padang rumput karena itulah yang kelak jadi atap rumah untuk melindungi mereka dari panas dan hujan. Ketika uem bubu satu per satu menghilang, kesadaran menjagakan alam pun terbang melayang.

“Ketika definisi ‘kaya’ dibakukan dan tatanan adat kami dirusak secara sistemis,” sambung Dicky, “pengaruhnya terlihat.” Generasi sekarang tumbuh menjauh dari alam. Deforestasi dibiarkan terjadi. “Kami jadi generasi yang menikmati masalah-masalah yang ditimbulkan.” Isu hutan di Mollo diawali pengambilalihan hutan adat dan tanah ulayat untuk hutan tanaman industri. Kawasan yang awalnya dikelola dan diawasi oleh adat menjadi kawasan kementerian kehutanan atau dinas kehutanan.

Demi memenuhi definisi makmur, salah satunya jumlah uang tunai di tangan, orang terdorong bermigrasi karena apa-apa yang mereka miliki di pekarangan rumah tak masuk kategori sejahtera. Mereka meninggalkan lahan dan kebun. Human trafficking—perdagangan manusia—lantas mengintai. Deforestasi merangsak, masyarakat adat kehilangan hak atas tanah adatnya.

Menjadi Indonesia membutuhkan pengorbanan besar, mencerabut kelompok masyarakat adat dari akar. Juga meninggalkan trauma yang terus dibawa hingga hari ini.

Mollo
Uem Bubu atau rumah bulat adalah rumah tradisional Mollo menggambarkan relasi nyata manusia Mollo dengan sesama manusia, alam, leluhur, dan pencipta. Rumah yang sangat adaptif terhadap musim dan responsif terhadap peran setiap anggota keluarga. Selain mengatur pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, orang dewasa dan anak-anak lewat ruang, Uem Bubu juga menjalankan peran sebagai ruang menyimpan dan mengawetkan makanan, ruang pendidikan (transfer pengetahuan adat), dan ruang ritual yang menghubungkan manusia Mollo dengan alam semesta, leluhur dan tuhan. Namun kolonialisme, agama dan modernitas yang datang secara perlahan menghilangkan rumah tradisional ini. Banyak stigma yang diberikan ke rumah ini: identik dengan musyrik, miskin, dan tidak sehat. (Lakoat.Kujawas/Dicky Senda)

Kolektivitas, Bukan Individualitas

Kolom komentar riuh oleh tepuk tangan virtual dan emotikon dukungan seusai Maria Roswita Yulianti Seran, biasa dipanggil Indy, murid kelas 3 SMA Kristen Kapan yang aktif di Lakoat.Kujawas menyampaikan pidato kebudayaan di Tfua Pah. Tfua Pah adalah festival musim tanam yang digagas secara mandiri oleh warga Desa Taiftob. Festival ini diselenggarakan secara hibrida pada 27 November 2021 lalu, menggabungkan luring dan daring sehingga kawan-kawan di luar Mollo bisa terhubung dan turut keriaan musim tanam di Mollo. Di ruangan itu, pegiat dan komunitas literasi turut hadir bersama para BTS Army dari berbagai penjuru Indonesia.

Indy membacakan pidato kebudayaannya tentang literasi, pengetahuan adat, pangan lokal, dan BTS Army. Dalam pidatonya yang disambut riuh itu, Indy bilang bahwa mereka tanpa kebudayaan adalah sesuatu tanpa identitas. Menjauhkan mereka dari tradisi dan pengetahuan adat sama saja mencerabut jati diri mereka. Satu kesadaran kolektif rupanya muncul di diri generasi muda ini berkat kerja-kerja kolektif kebudayaan yang mereka lakukan di Lakoat.Kujawas.

Indy dan kawan-kawan Army cabang Mollo melakukan kerja riset dan pengarsipan pengetahuan adat, khususnya pangan lokal. Tradisi dan kearifan lokal menjadi praktik konservasi yang sesungguhnya; mengajarkan mereka bertindak adil, tidak hanya dari pikiran, tetapi juga isi piring makan. Hak masyarakat adat terhadap pangan tak bisa dipisahkan dari hak mereka terhadap teritori, lahan, sumber daya alam, dan kedaulatan diri.

Indy dan kawan-kawan tengah menyiapkan sebuah buku yang dimaksudkan sebagai pencatatan atas bahan pangan beserta resep olahannya. Saya membayangkan apa yang mereka lakukan persis dengan apa yang dikerjakan Soekarno, Presiden Pertama Indonesia, sewaktu membuat Mustikarasa, buku masak satu-satunya yang disusun oleh pemerintah Indonesia. Pada 1964, Soekarno meminta Hartini, istrinya, mengumpulkan resep-resep kuliner Nusantara berbahan pangan lokal dari pamong praja tiap desa, ahli kuliner, sampai ahli gizi. Buku itu tidak hanya dibuat untuk mendokumentasikan dan menyelamatkan warisan makanan-minuman Indonesia yang beragam, tetapi juga memberi dasar bagi politik pemertahanan pangan pada saat itu.

Kerja-kerja kebudayaan terbukti efektif sebagai upaya diplomasi untuk menjagakan identitas masyarakat adat. Indy dan kawan-kawan bergiat mengumpulkan pengetahuan adat yang tersebar di lingkungan mereka, termasuk mengumpulkan benih-benih lokal lalu menyimpannya di perpustakaan benih. Mencatat narasi tutur dari tetua untuk kemudian diolah menjadi tulisan, gambar, audio, ataupun video.

Kerja-kerja pengarsipan kebudayaan itu mereka lakukan secara kolektif. Belakangan, mereka mendirikan Laboratorium Pangan (food lab) untuk mencatat kekayaan pangan mereka sekaligus melakukan pengembangan. Laboratorium pangan itu diberi nama Ume Fatumfaun—rumah di tempat banyak bebatuan. Batu bagi orang Mollo punya makna khusus, ia adalah tulang, bagian penting dari tubuh manusia. Batu juga terkait kehidupan setelah kematian. Kehidupan baru setelah kematian ada di balik batu dan pohon; dunia tempat para roh bermukim. Karena  leluhur hidup di balik batu, setiap marga pun memiliki batunya.

Mollo
Benih-benih yang dikumpulkan dan diarsipkan untuk perpustakaan benih yang sedang dikembangkan Lakoat.Kujawas. Dari atas searah jarum jam: pen mtasa (jagung merah), sejenis kedelai hitam, sain (jewawut), kot fua mese (komak), biji labu pempung (labu kuning), ki’ (kecipir) dan lael mael (porang). (Lakoat.Kujawas/Dicky Senda)

Akhir pekan di Perpustakaan Lakoat.Kujawas adalah hari yang sibuk. Kalau tak sedang belajar menulis, mereka bereksperimen dengan makanan, atau ikut Skol Tamolok (sekolah budaya). Di sekolah ini mereka tidak hanya belajar membaca jamur—sebagaimana yang dipamerkan Dicky ke saya, tetapi juga membaca langit, membaca tanah, membaca rumah, dan membaca tenun. Kelas-kelasnya diampu oleh sesama warga desa yang dinilai memiliki pengetahuan tertentu terkait tradisi dan budaya Mollo. Pengetahuan-pengetahuan adat dan cerita-cerita setempat itu pun dikumpulkan.

Kelas-kelas kebudayaan ini dimaksudkan, selain untuk belajar, juga memelihara regenerasi pengetahuan kolektif masyarakat adat. Para remaja menyimak, mencatat, dan pelan-pelan menghidupkannya kembali. Dua buku kumpulan cerpen dan satu buku puisi terkait Mollo pun berhasil mereka terbitkan. Tiga buku yang mereka kerjakan secara kolektif itu berjudul Dongeng dari Kap Na’m To Fena, Tubuhku Batu Rumahku Bulan, dan Dongeng dari Nunuh Haumeni. Hasil penjualan buku digunakan mendanai kembali kerja-kerja pengarsipan dan kebudayaan mereka di Lakoat.Kujawas.

Mereka juga hadir di ruang-ruang publik mengenakan kain tenun dengan penuh sadar dan bangga bahwa itu bagian dari identitas, sesuatu yang menghubungkan mereka dengan alam. Bagi masyarakat adat Mollo, tenun bukan sekadar kain yang menunjukkan identitas atau dari mana mereka berasal, melainkan juga medium pencatatan dan penceritaan. Motif-motif tenun Mollo menarasikan keterhubungan mereka dengan alam. Mereka percaya alam adalah tubuh. Batu adalah tulang, air adalah darah, tanah adalah daging, dan hutan adalah kulit, paru, dan rambut. Merusak alam adalah merusak diri sendiri.

“Beta rasa leluhur pandai sekali memilih cara agar manusia menjaga alam. Ia menciptakan nama-nama marga yang diambil dari unsur-unsur alam,” cerita Dicky pada satu waktu di sebuah perbincangan.

Ketika gunung batu, mata air, atau hutan diganggu, masyarakat akan bereaksi karena itu terhubung dengan jati diri mereka. Kasus penambangan marmer yang terjadi di Mollo pada 1999, misalnya. Masyarakat adat melawan karena gunung batu yang hendak ditambang adalah gunung batu identitas masyarakat Mollo. Ketika gunung batu itu dihancurkan, asal muasal leluhur lenyap.

Perjuangan masyarakat Mollo mengusir perusahaan tambang berlangsung panjang. Pada 2006, para perempuan turun berjuang mempertahankan identitas mereka dengan menenun selama berbulan-bulan di gunung batu. Pendekatan kebudayaan, lewat narasi tenun dan nama marga terkait batu, mata air, dan hutan terbukti ampuh menggalang keberanian para warga untuk menolak dan melawan kehadiran perusahaan tambang.

Dicky menyebut pendekatan kebudayaan berangkat dari pengetahuan kolektif masyarakat adat terkait keberadaan diri. Pengetahuan kolektif yang sama membuat mereka bergerak bersama, melindungi teritori mereka. “Namun,” kata Dicky, “ada hal juga yang aku cermati justru menjadi sumber perpecahan semangat kolektif tersebut.” Ketika media ataupun lembaga yang mendampingi masyarakat adat justru memproduksi narasi kolektif tersebut menjadi narasi yang mengerucut ke perjuangan satu sosok, maka semangat kolektif itu tercacati. Dicky menyoal kembali kasus tambang di Mollo. Pasca perusahaan tambang angkat kaki, muncul persoalan laten yang menyebabkan perpecahan di masyarakat adat. Pemilihan sosok sebagai tokoh sentral perjuangan oleh media massa ataupun lembaga yang mendampingi dicermati Dicky sebagai musabab gesekan internal.

“Memang, untuk keperluan advokasi, publikasi, dan kampanye, strategi ini berhasil dan efektif. Namun, semangat kolektif masyarakat adat yang membuat perjuangan itu berhasil justru diabaikan.”

Perusahaan tambang hengkang diikuti semangat kolektif yang turut hilang. Dampaknya dirasakan generasi berikutnya. Narasi soal pengetahuan dan semangat kolektif tersebut tak sampai ke mereka karena tak dibicarakan. Ada keengganan, ada trauma atas perjuangan, dan ada pula perihal kepercayaan yang surut kepada antarwarga.

Sebagian orang mungkin menggambarkannya sebagai kecemburuan, sebagian menilai itu bukan perkara penting. Namun, bagi masyarakat adat persoalan menjadi berbeda. Pengetahuan yang dinarasikan dalam memperjuangkan tanah mereka adalah pengetahuan kolektif, bukan ketunggalan. Perjuangan dilakukan pula secara bersama-sama untuk melindungi teritori dan kedaulatan masyarakat adat.

Mollo
Orang muda menghadiri Skol Tamolok yang diselenggarakan setiap bulan di perpustakaan komunitas Lakoat.Kujawas. Skol Tamolok mempertemukan orang muda desa dengan tetua adat, budayawan, seniman, petani, dan penenun senior. Tamolok adalah akronim dari tabaina monit neu alekot, menjadikan hidup lebih baik. Namun tamolok sendiri juga bisa berarti berbicara. Skol Tamolok menjadi model pendidikan adat, pendidikan kritis dan kontekstual bagi warga Mollo yang diharapkan bisa menjadi ruang transfer pengetahuan adat lintas generasi. (Lakoat.Kujawas/Dicky Senda)

“Media dan lembaga yang mendampingi kerap lupa pada konteks masyarakat adat ini hal yang sensitif,” nilai Dicky. Pendekatan dan pendampingan masyarakat adat oleh media dan lembaga seharusnya diikuti kepekaan menjaga pengetahuan dan semangat kolektif tersebut. “Jika tidak, media dan lembaga-lembaga itu malah menjadi pihak yang menambah kerentanan masyarakat adat, karena tanpa sadar telah turut menggerus kekolektivitasan tersebut.”

Bagaimanapun ada persoalan pelik yang mengintai di depan, perubahan iklim, konflik agraria—perampasan tanah adat dan kebun warga untuk kepentingan investasi, dan deforestasi. Tanpa semangat kolektivitas, yang akan terjadi adalah pembiaran, dan lagi-lagi, masyarakat adat menjadi korban di pekarangannya sendiri.

Perempuan dan Nilai Inklusivitas

Riwayat Mollo adalah juga sejarah para perempuan yang merawat ekologi dan menubuh dengan alam. “Tak seorang pun bisa membantah itu karena motif-motif tenun Mollo menarasikannya,” aku Dicky. Perempuan punya peran strategis dalam tatanan masyarakat adat Mollo. Seorang bife ainaf—mama—bertugas memanajemeni keluar-masuk bahan pangan. Dialah yang mengatur hajat hidup satu keluarga dan merancang strategi agar bisa bertahan melewati musim dengan bahan pangan yang dimiliki.

Seorang bife ainaf cermat berhitung berapa banyak bahan pangan bisa disimpan dalam satu uem bubu agar cukup untuk seluruh anggota keluarga sepanjang musim. “Hanya dia yang berhak mengeluarkan bahan pangan,” terang Dicky. Jika mereka pergi, bahan pangan untuk keperluan satu keluarga telah disiapkan. Semisal ia lupa, anggota keluarga tidak boleh mengambil sendiri ke lumbung, tetapi meminjam ke keluarga lain, yang nanti akan diganti oleh bife ainaf setelah ia kembali. “Bapak ataupun anak tidak boleh, tidak punya hak.” Di mata Dicky ini peran krusial. Sebab, kesalahan hitung atau pelanggaran terhadap jumlah bahan pangan yang digunakan bisa memengaruhi keberlangsungan hidup keluarga tersebut. “Bisa jadi, sebelum waktunya, mereka telah kehabisan makanan.”

Selain mengatur manajemen keluar-masuk bahan pangan, bife ainaf merawat ritual-ritual adat untuk menjagakan relasi dengan alam dan leluhur. Seorang perempuan agung tidak hanya menjalankan fungsi terkait ketahanan pangan, tetapi juga kedaulatannya. Ritual-ritual adat yang ia jalankan terkait pengetahuan iklim dan ekologi. Merekalah yang merawat narasi itu tetap hidup dalam masyarakat adat Mollo.

Suara seorang bife ainaf penting dalam pertemuan-pertemuan adat karena ia bertanggung jawab atas hajat hidup. “Sebagian orang bilang bahwa ini bentuk domestifikasi perempuan, tetapi aku tak melihatnya begitu,” jelas Dicky soal pengamatannya ini. Pengelolaan bahan pangan dan masak memasak bukan perkara domestifikasi perempuan, melainkan politik ketahanan pangan dan ekologi di Mollo. “Bife ainaf menjalankan peran yang justru menarasikan keselamatan lingkungan, leluhur, hutan, dan ekosistem yang semuanya bermula dari rumah.”

Rumah bukanlah sekadar tempat tinggal bagi masyarakat adat Mollo. Rumah adalah semesta tersendiri yang disanggah oleh satu tiang utama bernama tiang bife ainaf; tiang mama.

Sabtu itu, 27 November 2021, kawan-kawan Lakoat.Kujawas berkumpul di perpustakaan sambil menatap layar. Dari Jakarta, patjarmerah menyiarkan pertunjukan virtual Perempuan dari Gunung untuk disaksikan kawan-kawan dari berbagai tempat di Indonesia yang mengikuti Tfua Pah. Perempuan dari Gunung, pertunjukan yang memadukan teater, tari, dan musik tradisional, diadaptasi dari dongeng asal muasal Mollo dan dimainkan para warga Taiftob. Kawan-kawan Lakoat.Kujawas memilih judul itu sebagai siasat diplomasi kebudayaan untuk menceritakan muasal Mollo dari narasi yang mulai dilupakan orang.

Mollo, kata Dicky, juga berarti perempuan dari gunung. Sayangnya, narasi perempuan tak pernah lagi dimunculkan karena masuknya cara pikir patriarki lewat penyebaran agama dan praktik kolonialisme. Mollo lantas lebih dikenal sebagai negeri kuning lantaran saban matahari terbenam, sinarnya membuat desa-desa di Pegunungan Mutis ini berwarna kekuningan. Padahal, masyarakat adat Mollo mengenal konsep kepemimpinan oleh perempuan yang disebut feot nai. Feot nai, perempuan agung, adalah anak perempuan sulung dalam keluarga dari marga-marga besar (amaf) yang dalam tatanan adat akan duduk bersama tetua adat dan usif—raja.

April 2006, para perempuan Mollo maju ke garis depan, berjuang melawan tambang bukan tanpa alasan. Merusak alam berarti mengganggu keseimbangan mereka menjalankan tugas menjaga ruang hidup dan sumber pengetahuan yang sekaligus identitas diri. Menambang gunung batu akan menyebabkan hilangnya akses rakyat terhadap air dan lahan pertanian, serta lenyapnya gunung batu yang merupakan situs masyarakat adat.

“Sudah, kalian bapa-bapa tinggal di rumah, jaga anak dan jaga kebun, kami yang akan maju berjuang,” Dicky bercerita, menirukan ucapan Anaci Anin, Lodia Oematan, Deci Nifu, dan Maria Sanam, empat mama pejuang melawan tambang yang pernah ia undang mengisi Skol Tamolok untuk kelas membaca tenun. Di kelas itulah, ketika mendengar para mama bercerita, Dicky menyadari bahwa para perempuanlah si pengatur strategi perjuangan.

“Kami suruh laki-laki tinggal di rumah, jaga anak dan jaga kebun. Kenapa?” Kata-kata mereka ditirukan Dicky.

Dalam konsep masyarakat adat Mollo, alam, hutan, mata air, batu, adalah tentang peran perempuan. Merekalah yang selama ini menjaga situs dan batu marga. Mereka si perawat narasi ekologi dan keterhubungan orang Mollo dengan alam lewat benang-benang yang ditenun dan rumah sebagai aksis siklus kehidupan beserta iklim. Jika alam dirusak, peran mereka mengatur persediaan hajat hidup keluarga dan benih tanam juga terganggu. Perempuanlah yang paling akan merasakan dampak dari ketidakseimbangan yang terjadi di alam.

Mollo
Mama Anaci Anin (memegang kain) diapit Mama Deci Nifu (kiri) dan Mama Lodia Oematan (kanan) ketika menjadi narasumber di Kelas Membaca Tenun di Skol Tamolok, sekolah budaya Lakoat.Kujawas. Ketiganya adalah pelaku sejarah perjuangan masyarakat adat Mollo tolak tambang pada dekade 2000-an, mulai dari menenun di lokasi tambang hingga melakukan aksi protes di kantor bupati dan pengadilan negeri. Mama Deci saat itu menjadi tokoh muda yang dipercaya membacakan deklarasi adat di situs batu marga mereka di Desa Tune, Mollo. (Lakoat.Kujawas/Dicky Senda)

Perjuangan kolektif perempuan Mollo berlangsung panjang. Bahkan, pasca tambang pun, tiap-tiap mereka masih berjuang dan berhadapan dengan sejumlah trauma yang harus diatasi sendirian. Tanah Ibu Kami, film dokumenter yang disutradarai Febriana Firdaus, menapaki kisah Lodia Oematan. Dalam dokumenter itu, Mama Lodia mengisahkan bagaimana saat ia menenun, bor membombardir gunung yang ia duduki. Namun, ia dan para perempuan lain terus menenun sebab harus melindungi gunungnya yang hendak dirusak tambang. Pada saat bersamaan mereka juga menghadapi aksi represif dari oknum-oknum yang bertindak mewakili perusahaan tambang.

Peran-peran perempuan dalam riwayat Mollo ini diredupkan oleh tata kehidupan modern yang justru menanamkan cara pikir patriarki, tecermin lewat tata pemerintahan yang tak menempatkan perempuan untuk peran-peran strategis. Tak ada kepala desa perempuan di Mollo.

“Ini juga yang aku duga membuat perjuangan kolektif para perempuan Mollo pasca-tambang menjadi tidak terlalu bergaung,” lanjut Dicky. Padahal, para pejuang tambang tersebut banyak yang berusia produktif dan layak masuk ke ruang-ruang strategis. Lewat salah satu kelas di Skol Tamolok yang diampu para perempuan ini, Dicky malah menemukan cara pikir progresif dalam kepemimpinan perempuan Mollo. Generasi muda diberi ruang untuk bersuara dan mengambil peran signifikan.

“Deci Nifu adalah sosok muda perempuan Mollo yang ditunjuk membaca deklarasi adat sewaktu berjuang melawan tambang.” Mata Dicky melebar dan intonasi suaranya meningkat menceritakan peristiwa sakral itu. “Ia membacakannya di puncak batu marga mereka di Desa Tune.” Masyarakat adat Mollo percaya arwah leluhur bersemayam di balik-balik batu marga. Ketika pembacaan sumpah adat dilakukan di batu marga, para leluhur terlibat dan akan ada dampak besar. “Itu adalah puncak dari semua perjuangan. Kartu As. Nyawa adalah harga yang akan dibayar oleh para pelanggar.”

Ketika peran-peran perempuan ini digerus, tidak hanya ketahanan pangan yang melemah, tetapi juga kedaulatan masyarakat adat atas tanah ulayat, tanah ibu mereka.

***

Membangun rumah, bagi masyarakat adat, bukan sekadar mendirikan tempat tinggal. Rumah, meminjam istilah Dicky, adalah sebuah semesta yang menjagakan keterhubungan mereka dengan alam dan menegaskan identitas mereka.

“Kita menjauh dari rumah, dari pekarangan kita sendiri demi memenuhi standar hidup sejahtera yang dibakukan oleh negeri-negeri asing.” Rumah yang melindungi kita sejak lahir, memberikan identitas justru menimbulkan rasa inferior akibat narasi-narasi kesejahteraan yang ditetapkan Bank Dunia ataupun lembaga-lembaga lain. Ironisnya lembaga-lembaga itu tak tahu kondisi alam dan tak pula memahami nilai-nilai yang dianut masyarakat adat. Ini masih diperburuk dengan sistem pendidikan yang juga membuat orang-orang ingin pergi dari rumah agar tak dicap hidup di bawah garis kesejahteraan.

Mollo
Ume Fatumfaun, laboratorium pangan dan ruang arsip benih yang dibangun secara kolektif di Lakoat.Kujawas, mengadaptasi konsep arsitektur uem bubu untuk menghidupkan kembali pengetahuan adat terkait preservasi pangan. Ume Fatumfaun artinya rumah di tempat berbatu banyak karena didirikan di wilayah yang dulunya disebut Fatumfaun (banyak batu) yang kini berganti menjadi Kampung Baru. Rumah ini akan jadi prototipe yang ingin Lakoat.Kujawas tawarkan kepada pemerintah dan warga Desa Taiftob untuk menjawab tantangan perubahan iklim dan krisis pangan. (Lakoat.Kujawas/Dicky Senda)

Kerja-kerja pengarsipan yang kini tengah dilakukan oleh kawan-kawan muda Lakoat.Kujawas bersama para warga aktif Desa Taiftob adalah upaya menjaga rumah. Narasi-narasi kolektif tentang adat dan tradisi dihidupkan bersama-sama. Anak-anak muda mendapat ruang untuk melakukan peran-peran signifikan serta menyuarakannya. Mereka memanfaatkan teknologi, terhubung dengan banyak jejaring di luar desanya, dan melibatkan para tetua. Pengetahuan adat dan tradisi yang mereka dapatkan dibawa pulang ke rumah lalu diceritakan kepada anggota keluarga. Ingatan-ingatan akan pengetahuan kolektif anggota keluarga pun terpanggil dan saling menjangkapi.

Satu cerita melahirkan cerita lain dan memunculkan keterlibatan yang lebih besar. Begitulah mycelium Mollo bekerja, menyebar semangat kolektif dan menjadi medium komunikasi antargenerasi.

Seperti sekoloni cendawan.


Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #MasyarakatAdat.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
22 menit