Manifesto Warga Pinggiran: Untuk Kehidupan yang Lebih Baik 

4 menit

Berkumpul, bergerak, bersuara. Di surat suara? Suara rakyat untuk oligarki dan elite?


Tidak. Suara untuk kehidupan yang lebih baik, suara untuk kesejahteraan bersama warga yang dipinggirkan, kita, perempuan dan minoritas gender, buruh, petani, rakyat miskin di kota maupun di desa, anak muda underprivileged, cemas dan burnout, petani dan nelayan kecil, masyarakat adat, kaum prekariat: buruh pabrik, karyawan, dosen, jurnalis, buruh SCBD, kita semua prekariat.

Orang-orang yang alam sekitarnya sedang dirampas dan dirusak, anak muda “usia produktif” yang menanggung beban ekonomi keluarga, korban kekerasan seksual, orang-orang kerja perawatan yang tak dianggap kerja, mahasiswa yang tak mampu bayar UKT, rakyat Papua, minoritas agama, queer. Kita yang harus menanggung beban krisis lingkungan sendiri-sendiri, mengurangi plastik, diminta beli-beli barang lagi dengan label hijau, sementara korporat terus-terusan bikin polusi.

Kelas menengah yang tampak baik-baik saja tapi menghadapi polusi udara, krisis air, dan krisis sampah, korban HAM di tangan polisi dan tentara. Dan tentu saja, korban genosida hari ini (orang Palestina, Rohingya, Masalit di Sudan).

Kita hidup di bawah eksploitasi dan rezim pertumbuhan ekonomi yang rakus, kita juga hidup di bawah patriarki, serta genosida yang masih terus terjadi di depan mata. Setiap hari berjuang sendiri-sendiri, sudahlah dimiskinkan, cinta dan kasih sayang pun sulit didapatkan.

Yang kaya raya tak ragu pamer harta di sosial media sementara yang selalu hidup dalam mode bertahan mencicil makan dan kebutuhan dengan paylater.

Kerja di desa makin tak memungkinkan, karena tanah dirampas terus-terusan. Orang-orang tua tetap menjadi buruh tani, sementara anak-anak muda merantau ke kota dan pulau Jawa kesulitan dapat kerja.

Tak semua bisa kuliah karena pendidikan harganya selangit. Sudah begitu, sewaktu kerja, gaji sebulan hanya cukup untuk makan. Sering kali juga tak cukup karena kost dan ongkos juga mahal. Pinjam seratus, buat makan, sudah jadi hal yang normal.

Kena polusi tiap waktu, skincare-an pun terasa percuma.

Mau healing, alam rusak karena sawit dan tambang.

Yang berkuasa bilang politik pemilu riang gembira, karena mereka hanya ingat bagi-bagi kuasa. Politik itu harus serius karena riang gembiranya penguasa selalu jadi tangis keringat juga darah rakyat jelata.

Mau protes di media sosial, ngeri ditangkap aparat. Mogok di pabrik, risikonya diputus kontrak.

Pengunjung Pesta Pinggiran, Berkumpul, Bergerak dan Bersuara. Acara di Taman Ismail Marzuki, 25-26 November 2023.

Tapi kita punya harapan karena ada orang-orang seperti kita yang berkumpul, bergerak, bersuara di Pesta Pinggiran, meski tidak banyak jumlahnya, tetapi besar tenaganya karena bersama-sama, lebar solidaritas, dan banyak cintanya. 

Mengutip slogan yang populer dalam gerakan Mei 1968 di Paris: Jadilah realistis! Tuntut yang tidak mungkin!

Karena tidak realistis bagi kita jika kita menerima semua penindasan ini. Kita harus tuntut yang seolah tidak mungkin: Kehidupan yang lebih baik, hidup berkecukupan tanpa utang dan penuh cinta kasih sayang. Kehidupan tanpa eksploitasi di mana penindas berhenti ugal-ugalan.

Oligarki mungkin punya uang tak berseri untuk menyihir massa mengambang. Pelanggar HAM bisa jadi “gemoy”, koruptor bisa jadi ketua KPK, “orang baik” bisa bangun dinasti politik, buzzer bisa pecah belah rakyat. 

Tapi kita punya banyak kawan dalam solidaritas dan cinta. Mari kita saling terhubung. melepaskan diri dari keterisolasian dunia sehari-hari, menjauhkan diri dari hubungan-hubungan toksik. Mari jadi radikal, meski amatiran, toh perubahan besar selalu dimulai oleh sedikit orang. 

Para Mama dari Suku Mollo, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur bahu membahu membangun Lopo. Sebuah tempat pertemuan untuk warga masyarakat adat. Lokasi di Bukit Nausus, bekas tambang batu marmer yang berhasil mereka duduki.

Mari kita warga pinggiran menuntut yang tidak mungkin: hentikan perampasan tanah, hormati hak masyarakat adat, punahkan kekerasan seksual di muka Bumi, mewujudkan keadilan iklim, hentikan aturan diskriminatif, hargai kerja-kerja perawatan, tuntut tanggung jawab korporat dan pemerintah untuk menghentikan pembangunan yang rakus tanah dan sumber daya alam, sediakan pendidikan gratis, beri keadilan pada korban pelanggaran HAM, tangkap para maling uang rakyat. Runtuhkan kapitalisme dan patriarki. 


Manifesto ini ditulis bersama-sama oleh akademisi politik, Fathimah Fildzah Izzati, dan Direktur Eksekutif Project M, Evi Mariani, dengan turut merangkum pemikiran para pembicara di 6 sesi Bincang Pinggiran, juga pemikiran para orator selama Pesta Pinggiran, 25-26 November 2023, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

4 menit