Masyarakat Adat Papua Melawan Perusahaan Sawit: Mencabut Izin, Mengembalikan Hak Adat

Mawa Kresna
19 menit
Sawit Papua
Anak-anak bermain dengan buldozer di lokasi kebun sawit PT. Inti Kebun Sejahtera. PT. Inti Kebun Sejahtera (IKSJ), PT. Inti Kebun Sawit (IKS), dan PT. Inti Kebun Lestari (IKL) adalah tiga perusahaan Grup Kayu Lapis Indonesia yang mendapat ijin di Kabupaten Sorong. Pada 2020 ketiganya dijual ke Grup Ciliandry Angky Abadi. (Project M/Asrida Elisabeth)

Kabar Bupati Johny Kamuru mencabut izin-izin sawit di kabupaten Sorong sampai juga ke warga di distrik Segun. Warga yang sejak awal menolak kehadiran perusahaan sawit menyambut baik; sedangkan yang pernah terlibat menandatangani pelepasan hak ulayat dan menerima uang dari perusahaan menjadi gamang, sebab uang itu membuat mereka merasa sudah terikat dengan perusahaan.

Distrik Segun terletak di pesisir selatan Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. Masyarakat yang mendiami wilayah ini adalah bagian dari suku besar Moi. Meski hutan alam di wilayah ini masih tampak lebat, kenyataannya puluhan ribu hektarnya sudah dibebani izin sawit. 

Dua perusahaan yang izinnya dicabut berlokasi di distrik ini. PT. Papua Lestari Abadi (PT. PLA) seluas 15.631 hektar di wilayah kampung Waimon dan 13.053 hektar dari total 40.000 hektar luas izin PT. Sorong Agro Sawitindo (PT. SAS) di wilayah kampung Gisim. 

Kedua perusahaan ini berada bawah satu grup yaitu Mega Masindo. Laporan Greenpeace ​​menyatakan, Mega Masindo Group adalah grup perusahaan yang dikendalikan oleh Paulus George Hung, seorang pengusaha pembalakan kayu di Tanah Papua. Hung masuk dalam daftar pelaku usaha yang diduga melakukan pembalakan liar dan menjadi sasaran Operasi Hutan Lestari pada 2006. 

Di Kampung Gisim, kami menemui Wenan Kayaru dan saudaranya Daniel Kayaru pada Senin 20 September 2021. Wenan Kayaru adalah satu dari tiga tua adat marga Kayaru di Kampung Gisim, yang pada 2009 silam menandatangani perjanjian pelepasan hak ulayat marga Kayaru ke PT. SAS.

Keduanya bercerita, pada tahun 2000 ke atas, orang ramai-ramai ke wilayah Segun untuk mencari lahan sawit. Kala itu perusahaan pengolahan kayu sudah masuk ke wilayah ini. Orang-orang yang hendak membuka lahan sawit merupakan orang-orang perusahaan kayu. Mereka mendekati tua-tua adat untuk meminta lahan milik komunal marga. Perusahaan memberikan sejumlah uang kepada masing-masing perwakilan marga. 

“Mereka datang sendiri. Istilahnya mereka rayu kita. Mereka bilang, kamu mau ka tidak lahan kamu kasi kita untuk buka kebun sawit? Dengan kebun ini, kamu bisa sejahtera,” ucap Daniel Kayaru menirukan ucapan orang-orang perusahaan kala itu.

Tidak hanya itu, tua-tua adat ini juga diajak pergi studi banding di Kalimantan. Perusahaan hendak memperlihatkan bagaimana masyarakat adat di sana yang sejahtera karena kehadiran perusahaan sawit. 

Sekembali dari Kalimantan, ada tua-tua adat marga yang menerima, ada juga yang tetap menolak. Dua marga di Kampung Gisim yang tua-tua adatnya setuju melepaskan hak ulayat adalah Kayaru dan Sede. 

Perjanjian Antara Marga dan Perusahaan

Atas persetujuan melepaskan hak ulayat, perusahaan dan perwakilan marga Kayaru dan Sede membuat pernyataan sikap bersama. Pernyataan sikap dituangkan dalam akta perjanjian kerjasama dan akta pernyataan sikap marga di hadapan notaris atas nama Irnawati Nazar di Sorong. Seseorang bernama Suyono mewakili PT. SAS dan tiga orang yaitu Benjamin Kayaru, Wenan Kayaru dan Wempi Kayaru mewakili marga Kayaru.

Dalam dokumen pernyataan sikap PT SAS yang dibuat pada 12 Januari 2009 itu, perusahaan berjanji memberikan kompensasi kepada marga Kayaru antara lain uang upacara adat/sirih pinang/ketuk pintu sebesar Rp100 juta dan uang ikatan sebesar Rp75 juta. 

Perusahaan juga berjanji membangunkan rumah 2 unit ukuran 45 meter persegi dengan harga Rp75 juta di Aimas, ibu kota Sorong, 10 unit rumah tipe 36 meter persegi di kampung Gisim, motor kapal merk Johnson masing-masing 2 unit bertenaga 40 pk dan 2 unit bertenaga 12 pk, 1 unit mesin chainsaw merk Stihl, dan 1 unit sepeda motor bebek merk Yamaha. Semuanya diberikan satu tahun setelah perusahaan mendapat IPK dan alat berat tiba di lokasi perkebunan, kecuali satu rumah di Aimas dan 10 rumah di kampung yang baru diberikan saat 6 tahun setelah pembukaan lahan.

Untuk pohon-pohon yang ditebang, perusahaan akan memberi ganti rugi masyarakat adat sebesar Rp20 ribu per meter kubik untuk kayu merbau dan Rp10 ribu per meter kubik untuk kayu campuran.

Perjanjian dengan isi kurang lebih sama juga dibuat untuk marga Sede. 

Dalam dokumen itu tidak disebutkan berapa luas hak ulayat marga Kayaru atau Sede yang akan dipakai perusahaan. Hanya ada pernyataan bahwa marga melimpahkan seluruh kepemilikan dan pengelolaan atas tanah ulayat kepada perusahaan yang disetujui oleh pemerintah. 

Sejak perjanjian dibuat, perwakilan marga Kayaru dan marga Sede sudah menerima sejumlah uang dari perusahaan. Dalam catatan keuangan PT. SAS, uang-uang itu dicatat sebagai uang ikatan dan uang sirih pinang. 

Selanjutnya sejak 2014, masyarakat tidak bisa lagi berkontak dengan pihak perusahaan. Perusahaan juga tak kunjung datang membuka lahan. Hingga datangnya kabar izin PT. SAS dicabut. 

​​“Makanya dengan (pencabutan) izin bupati ini, kami masyarakat merasa takut dan tegang karena kami mendukung. Tetapi bagaimana dengan perusahaan itu? Jangan sampai menuntut kita,” ucap Daniel Kayaru.

Pro Kontra Antar Pemilik Ulayat

Baik di Gisim maupun Waimon, tidak semua marga setuju menerima perusahaan sawit. Bahkan keluarga dalam satu marga pun ada yang tidak setuju. 

Di kampung Waimon, dua marga yang membuat perjanjian pelepasan dengan perusahaan adalah marga Malalu dan Kasilit. Perusahaan membuat perjanjian ini, justru setelah Bupati Sorong mencabut izin-izinnya. Kedua perwakilan marga juga diberi sejumlah uang. Selain adanya kompensasi khusus untuk marga seperti di Gisim, perwakilan marga yang menerima perusahaan di kampung ini menyatakan terima PT. PLA karena perusahaan itu berjanji membangunkan jalan dan menyediakan penerangan bagi warga kampung Waimon.

Meski dari marga Malalu, Samjar Malalu justru menolak kehadiran perusahaan sawit. Samjar mendukung keputusan Bupati Johny Kamuru mencabut izin PT. PLA di kampung Waimon. Menurutnya, penerbitan izin perusahaan ini akan mendatangkan konflik antar marga. Pasalnya, meski hanya dua marga yang setuju memberikan lahan, tetapi dalam peta izin yang dilihatnya, wilayah perusahaan mencakup area milik marga-marga lain yang menolak seperti Aresi, Igip, dan Fadan.

“Kami tidak tahu rahasia perusahaan ini, kenapa bisa mengukur lokasi kami, tanah adat kami sehingga sampai ada peta. Dia survei dengan siapa sebetulnya?” ucapnya di balai kampung Waimon pada Senin 20 September 2021.

Masyarakat adat di wilayah ini belum pernah melakukan pemetaan wilayah adat. Batas-batas yang mereka pakai selama ini hanyalah batas-batas alam yang  disepakati secara tidak tertulis.  

Samjar juga mengingatkan ketergantungan masyarakat atas hutan. Kehadiran perusahaan kayu sebelumnya sudah cukup mengambil hasil dari wilayah adat. Dia tidak setuju perusahaan sawit lanjut mengambil alih wilayah adat marga-marga di kampung Waimon.

Sawit Papua
Mama-mama, anak-anak dan beberapa pemuda di kampung Waimon berdiri di luar pintu masuk balai kampung untuk menyimak pembicaraan tentang rencana kehadiran PT. Papua Lestari Abadi. (Project M/Asrida Elisabeth)

Kampung yang marga-marga di dalamnya satu suara menolak perusahaan sawit adalah kampung Segun. Kampung Segun terletak di pusat distrik Segun. Tua-tua adat di kampung ini dulu ikut juga studi banding ke Kalimantan namun menolak memberi lahan. Pada Minggu, 19 September 2021, kami menemui Permenas Hay, Ishak Mili, dan beberapa tokoh adat di kampung Segun.

Permenas Hay, Kepala kampung Segun menyatakan menolak terlibat dalam perjanjian pelepasan hak ulayat. Ia tidak ingin dikenang generasi berikut sebagai mantan kepala kampung yang melepas tanah adat marga-marga di Segun. Dia juga berpendapat wilayah Segun tidak luas. Tidak jauh dari Segun yaitu di Modan, ada juga perusahaan sawit yang sudah membuka lahan bahkan sudah memanen buahnya. Namun faktanya, kondisi masyarakat adat di Modan juga sulit. 

“Di Segun ini kalau mau buka kelapa sawit semua, tidak ada lagi tempat masyarakat Segun untuk hidup. Dan tidak ada lagi masyarakat Segun untuk hidup yang baik karena tidak ada hutan lagi.”

Ishak Mili, Ketua Dewan Adat di wilayah ini menyatakan, keputusan memberi hak ulayat kepada perusahaan sawit dilakukan perwakilan-perwakilan marga tanpa berbicara dengan seluruh anggota marga. Jika dibicarakan dengan seluruh anggota marga, dia meyakini tidak ada persetujuan pelepasan ulayat itu. Baik Gisim maupun Waimon, ada marga yang melakukan sumpah adat sebagai bentuk penolakan masuknya perusahaan di tanah ulayat mereka.

“Wilayah ini bukan satu orang pu wilayah. Tetapi ada bagi batas-batas. Ada batas, ini orang punya-ini orang punya. Kalau ada persetujuan sama-sama, oke. Kalau tidak, sudah. Kalau dia punya alam diganggu, nyawa terancam.”

“Benar-benar kami dari distrik Segun tidak siap buka kebun kelapa sawit dan kami tolak.” 

Bupati Cabut Izin Sawit

Ada tujuh perusahaan sawit yang mendapat izin di Kabupaten Sorong, yakni PT Henrison Inti Persada (The Capitol), PT Inti Kebun Lestari (Kayu Lapis Indonesia), PT Inti Kebun Sejahtera (Kayu Lapis Indonesia), PT Inti Kebun Sawit (Kayu Lapis Indonesia), PT Papua Lestari Abadi (Mega Masindo), PT Sorong Agro Sawitindo (Mega Masindo), dan PT Cipta Papua Plantation (Ciptana Masindo). Total luas konsesinya mencapai 213.548,30 hektar. 

Dari tujuh perusahaan ini, baru tiga yang beroperasi, yakni PT. Henrison Inti Persada (PT. HIP), PT Inti Kebun Sejahtera (PT IKSJ), dan PT Inti Kebun Sawit (PT. IKS). Empat lainnya belum mengantongi dokumen Hak Guna Usaha (HGU) dan membuka lahan sehingga dicabut. Empat perusahaan itu PT Inti Kebun Lestari (PT. IKL), PT. Sorong Agro Sawitindo (PT. SAS),  PT. Papua Lestari Abadi (PT. PLA), dan PT. Cipta Papua Plantation (PT. CPL). 

Izin perusahaan-perusahan ini diterbitkan Bupati periode sebelumnya. Dalam dokumen evaluasi izin sawit di Provinsi Papua Barat, pelanggaran empat perusahaan ini dijelaskan secara rinci. Tidak menjalankan kewajiban dalam dalam IUP, adanya kejanggalan dalam penerbitan IUP maupun izin lokasi, hingga jual beli izin tanpa melaporkan kepada pemerintah.

Atas dasar inilah tim evaluasi di Provinsi membuat rekomendasi pencabutan. Setelah membentuk tim evaluasi di tingkat kabupaten Sorong, Pemerintah Kabupaten Sorong mengeluarkan Surat Keputusan pencabutan pada Pada 27 April 2021. Izin-izin yang dicabut antara lain lingkungan, izin lokasi, dan Izin Usaha Perkebunan (IUP). 

Saat ditemui di kediamannya di Aimas pada Rabu 22 September 2021, Bupati Kamuru mengatakan sejak lama menyadari kerugian masyarakat adat akibat melepas hak ulayat mereka ke perusahaan sawit. Perusahaan mendapat untung yang sangat besar, sebaliknya masyarakat rugi sekaligus kehilangan ruang hidup untuk generasi berikut. Perusahaan memanfaatkan ketidaktahuan pemilik ulayat sehingga dengan mudah mendapat persetujuan pelepasan hak ulayat sebagaimana di distrik Segun.

Adanya rekomendasi pencabutan izin-izin ini dari pemerintah Provinsi Papua Barat bagi dia, menjadi waktu yang tepat untuk mengembalikan lahan-lahan ini kepada pemilik ulayat.

“Ini momentumnya untuk membela masyarakat. Karena setelah itu kalau tidak ambil keputusan cepat berarti tidak ada ruang dan waktu lagi untuk kita membela masyarakat,” tegasnya.

Sawit Papua
Mahasiswa asal Provinsi Papua Barat melakukan demonstrasi di halaman Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura. (Project M/Asrida Elisabeth)

PT. IKL, PT. SAS, dan PT. PLA lalu menggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura. Sesuai dengan fungsinya, para hakim PTUN akan memutuskan apakah keputusan pencabutan izin-izin ini sudah tepat baik dari segi wewenang, prosedur maupun substansi. 

Dari materi gugatannya, perusahaan-perusahaan ini berpendapat bahwa pemberian sanksi berupa keputusan pencabutan ini tidak sesuai sesuai dengan peraturan perundangan dan Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Mereka menggunakan berbagai peraturan di tingkat nasional terkait perkebunan, lingkungan hidup dan kehutanan, dan pertanahan sebagai dasar gugatan.

Sidang sudah bergulir dan mendekati akhir. Dokumen bukti surat, saksi fakta, dan ahli dari masing-masing pihak sudah dihadirkan di persidangan. Gugatan PT. SAS dan PT. PLA akan diputus lebih awal pada 7 Desember 2021. Sedangkan gugatan PT. IKL masih berlangsung.

Jika gugatan tiga perusahaan ini ditolak, ada 90.031 hektar hutan yang tidak jadi dikonversi menjadi kebun sawit.  

Bupati Kamuru meyakini keputusannya sudah tepat. Dia berjanji lahan-lahan itu kembali ke masyarakat adat, termasuk masyarakat adat yang ada di distrik Segun.

Provinsi Papua Barat Evaluasi Izin Sawit

Sejak 2018, Pemerintah Provinsi Papua Barat melakukan evaluasi seluruh izin-izin sawit yang pernah terbit di seluruh wilayah Papua Barat. Landasan kebijakan dari evaluasi ini adalah Deklarasi Manokwari, Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2018 tentang Penundaan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan Sawit (Inpres Moratorium Sawit), dan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) yang diinisiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Deklarasi Manokwari adalah komitmen bersama pemerintah di Provinsi Papua dan Papua Barat untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan berbasis wilayah adat. Evaluasi ini bertujuan untuk perbaikan tata kelola perizinan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Papua Barat, optimalisasi penerimaan negara dari sektor sawit, dan sebagai upaya menjaga luas tutupan hutan di Provinsi Papua Barat.

Evaluasi ini dipimpin Gubernur Papua Barat di bawah koordinasi Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan (Dinas TPHBun) Papua Barat.

Lembaga yang terlibat dalam evaluasi antara lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Papua Barat, Dinas Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Provinsi Papua Barat, Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat, Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Provinsi Papua Barat, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua Barat, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Provinsi Papua Barat, dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Papua Barat. Dinas TPHBun dari masing-masing kabupaten di Papua Barat juga terlibat dalam kegiatan evaluasi ini. Dari lembaga swadaya masyarakat, diwakili Yayasan EcoNusa. 

Sebanyak 24 perusahaan dievaluasi dengan total luas 576.090,84 hektar. Perusahaan-perusahaan ini mendapat izin di Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Maybrat, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Manokwari Selatan, Kabupaten Teluk Wondama, dan Kabupaten Teluk Bintuni. 

Benidiktus Hery Wijayanto, Kepala Bidang Perkebunan Dinas TPHBun Papua Barat, sekaligus ketua tim evaluasi menyatakan, proses evaluasi ini berhasil mengumpulkan data perijinan sawit di Papua Barat. Selama ini data-data perijinan ini tersebar masing-masing di berbagai lembaga pemerintahan bahkan ada tidak tersedia lagi dan hanya ada di perusahaan. Perusahaan-perusahaan ikut dipanggil untuk menyampaikan dan mengklasifikasi data-data perizinan mereka. 

“Sebelum evaluasi perizinan ini data itu nggak jelas ada di mana. Pelan-pelan kita kumpul kumpul kumpul sampai lengkap, kita evaluasi.”

Dari proses evaluasi ini, sepuluh perusahaan mendapat rekomendasi pencabutan dengan luas 224.044,86 ha. Perusahaan sawit yang mendapat rekomendasi itu dikarenakan tidak memenuhi yang diwajibkan dalam Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan belum membuka lahan. Empat dari sepuluh perusahaan ini ada di kabupaten Sorong.

Masyarakat Adat Jadi Saksi di Persidangan PTUN Jayapura

Dalam persidangan, ketiga perusahaan tidak menghadirkan masyarakat adat sebagai saksi fakta. Sebaliknya, kuasa hukum pemerintah kabupaten Sorong menghadirkan 7 orang. Mereka adalah perwakilan marga-marga yang hak ulayatnya masuk dalam izin lokasi tiga perusahaan. Izin lokasi adalah izin memperoleh tanah. Perusahaan harus terlebih dahulu mendapat surat pelepasan hak ulayat dari pemilik ulayat sebagai syarat mendapat  sertifikat Hak Guna Usaha (HGU).

Dari lokasi PT. IKL hadir Manase Fadan dan Ruben Malakabu menjadi saksi. Keduanya mengatakan bahwa marga mereka tidak pernah memberikan lahannya untuk PT. IKL. Hal ini senada dengan keterangan saksi dari PT. IKL bahwa mereka kesulitan mendapat izin pelepasan dari pemilik ulayat.

Dari lokasi PT. SAS, hadir Samuel Klafiu, Gideon Kilme, Seljun Kayaru, dan Calvin Sede sebagai saksi. Samuel Klafiu mengatakan sejak awal perusahaan datang meminta hak ulayat marga menjadi kebun sawit, marga Klafiu menolak memberi lahan. Gideon Kilme mengatakan tidak pernah didatangi perusahaan dan tidak tahu wilayahnya masuk izin lokasi. Dia baru mengetahui saat ramai pencabutan izin. Lembaga Musyawarah Adat (LMA) Malamoi yang menginformasikan kepadanya.

Seljun Kayaru dan Calvin Sede adalah anak dari perwakilan marga yang pernah menandatangani perjanjian pelepasan dengan perusahaan. Mereka mengakui bahwa orang tua mereka pernah membuat perjanjian dan menerima sejumlah uang. Namun sejak perjanjian dibuat, perusahaan tidak pernah datang lagi hingga terdengar berita pencabutan izin. Perusahaan menghubungi mereka dan meminta lanjut bekerjasama pasca izin dicabut. 

Sawit Papua
Calvin Sede (kiri) dan Seljun Kayaru bersumpah sebelum menjadi saksi persidangan di PTUN Jayapura. Orangtua keduanya sempat menandatangani perjanjian dengan PT. Sorong Agro Sawitindo. (Project M/Asrida Elisabeth)

Dari lokasi PT. PLA hadir Hendrik Malalu menjadi saksi. Hendrik mengatakan perusahaan baru datang membuat perjanjian dan memberi sejumlah uang kepada dua marga di kampung Waimon pada 2021 setelah izin dicabut.

Tujuh lembaga dan organisasi masyarakat sipil yang mengajukan dokumen Amicus Curiae (Sahabat Peradilan) ke PTUN Jayapura untuk sengketa ini. Amicus Curiae adalah mekanisme yang disediakan oleh peradilan untuk pihak di luar penggugat dan tergugat memberikan pertimbangan kepada hakim jika sengketa itu terkait dengan kepentingan mereka. 

Ketujuh lembaga itu antara lain HuMA, Elsam, ICEL, Yayasan Pusaka, Greenpeace Indonesia, Walhi Papua, dan AMAN Sorong Raya. Total empat dokumen Amicus Curiae yang diajukan. Mereka meminta hakim mempertimbangkan  hak-hak masyarakat adat pemilik ulayat dan keberlanjutan lingkungan hidup dalam memutus perkara ini. 

Ditemui di PTUN Jayapura pada Kamis 18 November 2021, Tigor Hutapea dari Yayasan Pusaka mengatakan perkara ini bukan sekedar permasalahan perizinan, bukan sekedar masalah apakah bupati Sorong berwenang melakukan pencabutan, atau bagaimana prosedur izin ini dicabut. Hakim harus melihat bahwa ada kepentingan keberlanjutan lingkungan hidup yang lebih luas.

“Hakim juga jangan sampai melupakan masyarakat hukum adat sebagai pemilik tanah ulayat. Karena proses persidangan ini hanya melibatkan pihak perusahaan dan pihak bupati. Tapi bagaimana posisi masyarakat adat dalam perkara ini? Kita mengingatkan hakim supaya juga melihat bahwa ada kepentingan masyarakat adat sebagai pemilik dari hak ulayat.”

Hasil persidangan berbuah manis. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura menolak gugatan perusahaan sawit PT. Papua Lestari Abadi dan PT. Sorong Agro Sawitindo terhadap Bupati Kabupaten Sorong. 

Putusan atas gugatan dengan nomor perkara berturut-turut 31/G/2021/PTUN.JPR dan 32/G/2021/PTUN.JPR itu keluar pada Selasa 7 Desember 2021. 

Dengan demikian Surat Keputusan Bupati Kabupaten Sorong tentang pencabutan Izin Lokasi, Izin Lingkungan, dan Izin Usaha Perkebunan (IUP) kedua perusahaan ini pada 27 April 2021 lalu sah. Total luas konsesi dua perusahaan ini mencapai 55.631 hektar. 

Johny Kamuru, Bupati Sorong merasa bersyukur atas kemenangan bersama ini

“Gugatan atas pencabutan izin ini merupakan pelajaran bagi kita semua dan kemenangan ini menjadi jalan pintu masuk bagi pengelolaan hutan berkelanjutan di Tanah Papua,” ucapnya pada siaran pers di Jayapura Selasa 7 Desember 2021.

Sementara itu perkara gugatan PT. PLA terhadap Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) dan Bupati Sorong dengan nomor perkara 29/G/2021/PTUN.JPR dan 30/2021/PTUN akan memasuki tahap kesimpulan pada 17 Desember 2021 mendatang. Putusan terhadap dua perkara ini diperkirakan keluar pada awal Januari 2022 mendatang.

Korupsi Struktural dalam Perijinan Sawit di Tanah Papua

Arie Rompas, Juru Kampanye Hutan Greenpeace menyatakan, perlu tahapan lebih lanjut dari evaluasi izin-izin ini. Sebab evaluasi yang dilakukan ini baru sebatas pada legal atau tidak legalnya dokumen izin perusahaan sawit. 

Temuan Greenpeace, salah satu modus korupsi perizinan sawit di Papua adalah ada dalam mekanisme pemberian izin. Korporasi sawit menggunakan kekuatan ekonomi-politik mereka yang besar untuk mengarahkan dan mengintervensi kebijakan pemerintah tingkat pusat dan daerah untuk memuluskan perizinan. Karenanya meski perizinan mereka tampak legal, tapi proses-proses untuk mendapat izin itu melalui cara-cara yang tidak sah. 

“Dalam konteks izin-izin yang dicabut Bupati Sorong itu dari konteks legalnya sudah kelihatan (pelanggarannya) apalagi kalau kita lihat ada aktor-aktor atau permainan-permainan di balik itu. Itu kan terintegrasi,” ucapnya saat dihubungi pada Senin 11 Oktober 2021. 

Meski perusahaan sudah memiliki dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) belum tentu dokumen itu benar-benar dikonsultasikan dengan masyarakat adat. Meski mereka memiliki izin, tapi prosesnya tidak mengikuti tahapan yang ditetapkan dalam aturan. 

Pada 2020, Greenpeace Indonesia menerbitkan laporan berjudul Ekspansi Kebun Sawit, Korupsi Struktural, dan Penghancuran Ruang Hidup di Papua. Dalam laporan ini disebutkan empat modus korupsi izin sawit di Papua. 

Selain modus yang ada dalam proses penerbitan izin, modus kedua adalah manipulasi dalam hal representasi masyarakat adat pemilik ulayat. Undang-undang mewajibkan perusahan memperoleh tanah dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan masyarakat adat. Namun konsultasi sering hanya dilakukan sepihak, mengambil segelintir orang atau hanya meminta persetujuan dengan tetua adat atau kepala kampung.

Konsultasi yang tidak berjalan baik ini juga acap kali menimbulkan konflik, baik konflik antar masyarakat maupun masyarakat dengan perusahaan. Tak jarang lahan masyarakat yang tidak terlibat pelepasan juga ikut dikuasai perusahaan.

Modus ketiga adalah tekanan yang berujung pada tindakan kekerasan. Perusahaan menggunakan aparat keamanan TNI maupun Polri tidak saja untuk keperluan pengamanan, tetapi juga dalam rangka mencapai tujuan baik sejak mengurus penerbitan izin hingga saat pengembangan produksi.

Modus ke empat, obral janji palsu. Pemilik ulayat menyerahkan tanah kepada perusahaan karena janji-janji misalkan uang,  jabatan di perusahaan, pekerjaan, hingga jalan-jalan. Ada juga bahwa janji bahwa tanah tidak dikuasai selamanya oleh perusahaan dan masyarakat masih bisa mengelola. Janji-janji itu sering tidak dipenuhi atau bahkan diingkari. 

Prinsip memberi atas dasar informasi awal tanpa paksaan atau Free, Prior, and Informed Consent (FPIC)  banyak dilanggar perusahaan.

“Banyak sekali yang dimanipulasi kalau di Papua. Karena informasinya tidak jelas. Informasi soal ijin itu kan masyarakat adat pada tidak tau, tiba-tiba sudah ada di kampung. Jadi sebelum proses pemberian izin sebenarnya sudah dikonsultasikan apakah mereka mau atau tidak. Sekarang izin sudah diberikan baru mereka datang ke masyarakat untuk tawarkan kompensasi-kompensasi.”

Pentingnya Pengakuan Hukum atas Wilayah Adat

Berbagai pihak menilai pengakuan wilayah adat yang ada dalam aturan negara saat ini memiliki banyak syarat dan melalui tahapan administrasi yang rumit. Namun saat ini itu pilihan yang tersedia secara hukum. 

Jika ingin wilayah adatnya aman dari berbagai penerbitan izin, masyarakat adat harus mendaftarkan wilayahnya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pendaftaran melalui berbagai tahapan. Pertama adanya peraturan daerah tentang pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat dan aturan turunnya dalam bentuk Peraturan Bupati. 

Selanjutnya adalah pemetaan wilayah adat secara partisipatif. Selain untuk memastikan batas dan kepemilikannya, pemetaan wilayah adat juga ini bertujuan mendokumentasikan keberadaan masyarakat adat dan wilayah adatnya. Hasilnya berbentuk peta dan narasi yang akan menjadi dasar terbitnya pengakuan hukum atas wilayah adat. Surat Keputusan Pengakuan diterbitkan Bupati. SK pengakuan ini yang dipakai untuk mendaftarkan tanah ke BPN.

Belum banyak kabupaten dan kota di tanah Papua yang menerbitkan Perda Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat. Untuk itu, kabupaten Sorong menjadi kabupaten contoh. Pemda kabupaten Sorong sudah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 10/2017 tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Moi di Kabupaten Sorong. 

Sawit Papua
Perahu milik warga di pinggir kali Segun, Kampung Segun, Distrik Segun, Kabupaten Sorong. (Project M/Asrida Elisabeth)

Dibantu berbagai organisasi masyarakat sipil dan lembaga adat, marga-marga di Kabupaten Sorong sudah melakukan pemetaan wilayah adat masing-masing. Beberapa di antaranya sudah mendapat SK pengakuan dari Bupati. Terbaru pada 15 Oktober 2021 SK pengakuan hak ulayat seluas 3.247 hektar kepada marga Gelek Malak Kalawilis.

Namun, tak cukup pengakuan. Pemerintah juga didesak untuk merencanakan bersama bersama masyarakat adat model pembangunan yang mereka harapkan di wilayah adatnya.

“Proses-proses pembangunan di wilayah Sorong seperti yang bupati janjikan itu harus menjadi bagian penting dari pengakuan hak masyarakat adat. Model pembangunan yang tidak ekstraktif tidak merusak tetapi sejalan dengan kearifan masyarakat,” lanjut Arie Rompas.

Bupati Johny Kamuru mengatakan saat ini fokus pada masalah gugatan di PTUN Jayapura. Jika sidang gugatan itu selesai dan ditolak, maka tahap lanjutan seperti pemetaan wilayah adat segera dilakukan. Pemerintah daerah sudah berkoordinasi dengan lembaga masyarakat adat (LMA) dan organisasi masyarakat sipil di Kabupaten Sorong terkait rencana-rencana ini.

Diakuinya, sebagai Bupati dirinya kewenangan terbatas dalam upaya melindungi hak-hak masyarakat adat di Kabupaten Sorong. Sebab meski Papua memiliki Undang-undang Otonomi Khusus, kebijakan sektoral dari Kementerian terkait status dan pemanfaatan tanah di Papua masih bertentangan dengan amanat perlindungan hak masyarakat adat. Ini menjadi dilema bagi kepala Daerah dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan perlindungan. 

Dengan kewenangan yang dimiliki saat ini, Bupati Kamuru sudah mendorong terbitnya beberapa peraturan di antaranya  Peraturan Daerah nomor 10 tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong dan aturan turunannya Perbup nomor 6 Tahun 2020 tentang pedoman pengakuan dan penetapan keberadaan dan hak masyarakat hukum adat Moi atas tanah dan hutan ada di kabupaten Sorong. 

Adapun kegiatan pemetaan wilayah adat selama ini belum menjadi program pemerintah. Pemetaan wilayah adat dilakukan secara mandiri masyarakat adat didukung oleh organisasi masyarakat sipil. Belajar dari kasus gugatan perusahaan sawit ini, Bupati Kamuru mengatakan ini menjadi kerja penting yang harus menjadi perhatian pemerintah daerah ke depan dalam rangka melindungi hak masyarakat adat.  

“Yang jelas kita pastikan proses yang pertama ini selesai, nanti hak masyarakat yang sudah dikembalikan ya  proses. Ada beberapa tahap. Intinyakan akan dikembalikan ke masyarakat. Setelah itu kita pikirkan lagi program-program apa kiranya yang bermanfaat untuk masyarakat.”


Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #MasyarakatAdat.

 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
19 menit