Membayangkan Polisi Menembak Kaki Kelas Menengah Atas di Indonesia

Mawa Kresna
12 menit
Kekerasan Polisi
Ilustrasi kekerasan polisi. (Project M/Iqbal Lubis)

“Sulit sekali membayangkan bahwa aksi seperti penembakan kaki atau memukuli tersangka akan dilakukan terhadap kelas menengah atas di Indonesia.”

Sepenggal kalimat itu meluncur dari Ian Wilson, pengajar jurusan ilmu politik dan keamanan di Murdoch University, Australia, ketika berbincang tentang kekerasan oleh polisi-polisi Indonesia. 

Ia bilang kekerasan oleh polisi itu bias kelas. Dalam banyak kasus, penjahat kelas teri menjadi korban kekerasan, mulai dari pemukulan hingga penembakan. Meski sebenarnya, permasalahan kejahatan kecil itu menurut Wilson adalah masalah kemiskinan struktural yang bukan bagian dari tugas polisi untuk menyelesaikannya.

“Kejahatan kecil, contohnya, adalah cerminan dari kemiskinan, kesenjangan yang makin mendalam, kurangnya akses terhadap peluang dalam hidup.”

“Saya kira sebenarnya bukan tanggung jawab polisi untuk menangani isu-isu tersebut, tapi mengenali ini sebagai masalah bisa mengantarkan kita pada cara-cara berbeda untuk menangani masalah tersebut yang tidak melibatkan kekerasan dan hukuman, yang tidak efektif untuk menangani isu-isu tersebut,” terang Wilson.

Alih-alih menghapuskan atau meminimalisasi kekerasan oleh aparat polisi, kekerasan itu justru dinormalisasi lewat berbagai tayangan di YouTube ataupun siaran televisi. Disiarkan berulang-ulang sehingga masyarakat merasa lumrah dan memaklumi apa yang dilakukan polisi.

Dalam riset yang dilakukan oleh Project Multatuli terhadap 230 video YouTube dari tiga akun, yakni Trans 7 OFFICIAL, 86 & Custom Protection NET, serta Jacklyn Choppers menunjukkan kekerasan itu dipertonton dengan gamblang, meskipun berpotensi melanggar aturan polisi dan KUHAP.

Di sisi lain, lewat tayangan itu polisi sedang menunjukkan kuasa sekaligus seolah memberi ketegasan dan penegakan keadilan. Meski faktanya, mereka yang menjadi korban kekerasan itu belum diputuskan bersalah melalui proses peradilan yang sah. 

“Saya pikir ide soal keadilan dan pamer kekuasaan kadang terjalin jadi satu,” kata Wilson.

Kekerasan yang dilakukan oleh polisi ini mendapat catatan menarik dari Ian Wilson. Simak wawancaranya dengan Ahsan Ridhoi, kontributor Project Multatuli, melalui telepon pada 11 Agustus 2021. 

Kampanye polisi di media seolah menormalisasi kekerasan. Contohnya, konten polisi di YouTube dan platform lain yang seringkali menunjukkan perilaku kekerasan seperti menangkap penjahat, terutama kriminal kelas teri. Menurut Anda, apa dampak dari kampanye yaang mempertontonkan kekerasan itu bagi masyarakat? 

Saya memikirkan topik ini sebelum Anda menelepon, dan beberapa hal muncul di pikiran saya. Salah satunya tekanan dalam menjaga keamanan (policing) di Indonesia. Maksud saya, dengan policing bukan hanya lembaga polisi saja, tapi policing secara umum di antara ide penegakan hukum dan ide soal keadilan. Kadang apa yang kita sebut vigilantisme muncul ketika ada persepsi bahwa hukum tidak mampu menegakkan keadilan.

Jadi, ketika kita melihat perilaku polisi dan cara mereka menunjukkan keadilan, ada hal-hal seperti tadi Anda bilang. Tersangka kriminal pidana ditunjukkan ke publik, orang-orang disuruh berdiri di depan media. Mereka tersangka, mereka belum terbukti secara hukum melakukan kejahatan, tapi mereka diperlakukan seakan mereka sudah terbukti melakukannya. Dan perlakuan ini tampak mulai dari kasus razia preman sampai kasus korupsi.

Maka dari itu saya pikir tekanan dalam policing berada di antara persepsi keadilan, dan terkadang, persepsi masyarakat [bahwa] keadilan itu tidak berhubungan dekat dengan hukum. Jadi ide bahwa kekerasan atau ketegasan adalah bagian yang dibutuhkan dalam menegakkan keadilan itu merupakan sesuatu yang mau ditunjukkan polisi ke publik. Khususnya ketika ada persepsi bahwa sistem hukum kriminal dan sistem legal yang ada tidak bisa menegakkan keadilan. 

Ada semacam ketegangan bahkan kontradiksi di antara pasukan polisi yang masih berjuang untuk menjadi profesional dan meninggalkan sejarah sebagai bagian dari aparat politik dan bekerja secara profesional dengan menegakkan hukum dan menyediakan layanan masyarakat yang sangat penting. Di sisi lain, ada semacam elemen vigilantisme dalam polisi dan kegiatannya yang telah lama menjadi tradisi di Indonesia. Ketegangan inilah yang sekarang Anda bisa saksikan di YouTube dan platform lain-lain itu.

Tapi, di sisi lain, kita juga melihat contoh-contoh lain seperti pada April 2021, ada kasus surat telegram dari Kapolri yang mengatakan tidak mau kekerasan polisi disiarkan. 

Anda bisa melihat perubahan permainan dalam masyarakat Indonesia: ada yang menganggap bahwa menunjukkan tersangka, yang mungkin juga dipukul atau ditembak, adalah tanda penegakan keamanan yang baik dan bisa mewujudkan keadilan.

Tapi, tentu saja, dalam hal supremasi hukum, memperlakukan orang seperti itu sangat problematik.

Memang ada sedikit perubahan belakangan ini dalam menampilkan kekerasan. Jadi apakah ada cara lain untuk menegakkan keadilan selain menunjukkan kekerasan?

Secara konvensional, tentu saja setiap negara memiliki sejarah sendiri tentang bagaimana pasukan polisi dan penegakan keamanan dilembagakan. Dan itu cerita panjang sekali tentang sejarah polisi, di Indonesia khususnya. Tapi, singkatnya, muncul situasi di mana anggota masyarakat memiliki peran tidak formal tapi diakui dalam hal penegakan hukum atau “ketertiban umum.”

Ketertiban umum tentu adalah konsep yang agak abu-abu. Ketertiban umum berarti ada semacam tatanan yang berlaku. Ini adalah konsep sangat normatif. Perkembangan pasukan polisi formal di Indonesia telah melalui berbagai kelompok formal dan semi formal di masyarakat, seperti ormas atau kelompok lain yang juga berperan serta dalam menegakkan ide ketertiban umum itu.

Dan saya pikir, ide menjaga ketertiban (order) dan menegakkan hukum adalah dua hal berbeda. Anda bisa lihat konsep mengenai keadilan atau vigilante alias main hakim sendiri menjadi bebas beredar, meskipun dalam hukum Indonesia sebenarnya tidak diperbolehkan.

Saya pikir, masih ada masalah dalam penerimaan secara luas terhadap proses hukum secara formal dalam sistem keadilan kriminal yang sah dan bisa mewujudkan keadilan dan kejujuran. Saya pikir mungkin banyak orang tidak percaya hal ini. Mereka menganggap sistem hukum sebagai sesuatu yang korup, karena juga dirusak oleh korupsi dan ‘tebang pilih’ secara politik. Ini semua menumbuhkan persepsi bahwa polisi yang menegakkan hukum itu tidak sama dengan keadilan, bahwa sebenarnya ini sering dimanipulasi oleh uang atau kepentingan politik.

Dan ini berujung pada kemunculan vigilantisme dan kelompok seperti Front Pembela Islam dan lain-lain yang mengklaim mereka menegakkan ketertiban moral. Ini tidak dicerminkan secara formal, tapi pada saat bersamaan, polisi bekerja sama dengan kelompok seperti ini untuk menjaga ketertiban, mungkin bukan secara hukum, tapi secara politik.

Kolaborasi antara polisi dan ormas untuk mengusik masyarakat atau mengusik orang-orang yang disebut “separatis” seperti mahasiswa dan lain-lain, sekali lagi, menurut saya adalah masalah antara pasukan polisi yang seharusnya menegakkan hukum tapi juga terlibat sebagai alat politik di Indonesia. Dan ketegangan antara penegakan hukum dan vigilantisme ini, di sisi lain, menghasilkan tekanan dan kontradiksi yang belum diselesaikan di Indonesia.

Kekerasan Polisi
Ilustrasi kekerasan polisi terhadap jurnalis. (Project M/Iqbal Lubis)

Jadi apakah Anda pikir kekerasan yang ditunjukkan di media itu lebih politis daripada bertujuan untuk menegakkan keadilan itu sendiri?

Kalau Anda melihat kembali dalam sejarah Indonesia, seperti Petrus/penembakan misterius [tahun 1980-an] sebagai contoh (orang dieksekusi oleh negara dan mayat mereka ditinggalkan di jalan begitu saja) ini adalah pesan sangat jelas dari masa sebelum internet bahwa negara tidak mentoleransi perilaku tertentu. Ini merupakan extrajudicial, pembunuhan di luar kerangka hukum formal. Tentu saja secara definisi, negara selalu memiliki kekuasaan untuk melakukannya, meskipun ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia, mereka punya kapasitas untuk itu.

Tapi, tentu saja di zaman sekarang ini, kita tidak punya Petrus lagi. Ini hal baik karena itu merupakan kekerasan negara yang sangat mengerikan.

Meski begitu, ada elemen pertunjukan kekerasan dan menampilkan cara-cara lain yang tersampaikan ke masyarakat Indonesia yang menghubungkannya dengan konsep keadilan, selain tentu pamer kekuatan juga. Untuk menunjukkan merasa paling jago bahwa mereka bisa melakukan kekerasan, dan itu bagian dari kuasa dan otoritasnya, bukan melakukan pendekatan secara hukum untuk menegakkan keamanan dan sebagainya.

Apakah memakai kekerasan ini bisa merusak keadilan itu sendiri? 

Saya pikir ide soal keadilan dan pamer kekuasaan kadang terjalin jadi satu. Ketika ada demonstrasi, seperti halnya protes terhadap Omnibus Law dan serangan terhadap KPK, kekerasan oleh polisi sangat berlebihan. Dari sudut pandang saya adalah kekerasan politis. Itu sudah di luar batas penggunaan pasukan polisi yang semestinya.

Kita tahu polisi punya hak untuk menggunakan kekuatan untuk menegakkan hukum dan menjaga ketertiban umum. Tapi, ketika kekerasan ini digunakan secara ekstrem, ini termasuk pertunjukan politik, bermaksud mengintimidasi serta sebagai alat penindasan. 

Semua pasukan polisi melakukan ini dalam waktu berbeda hampir di semua belahan dunia. Di Indonesia, ini menjadi masalah karena polisi dianggap alat kekuasaan ketimbang institusi yang bisa mewujudkan keadilan imparsial [tanpa memihak]. Di sini, konsepnya kelompok tertentu akan diperlakukan secara berbeda dan mengalami kekerasan, sementara orang lain tidak.

Kalau lihat lebih dalam lagi, ini mencerminkan tugas menjaga tatanan politik dan sosial adalah melakukan kekerasan terhadap orang miskin dipandang secara diam-diam lebih masuk akal ketimbang kekerasan terhadap kelas atas dan menengah–yang jarang Anda lihat. Sulit sekali membayangkan aksi seperti penembakan kaki atau memukuli tersangka akan dilakukan terhadap kelas menengah atas di Indonesia.

Dan jika kita membaca ini secara simbolis, aksi ini menunjukkan sebuah konsep penjagaan tatanan sosial di Indonesia.

Jadi secara simbolik polisi merasa perlu menjaga ketertiban sehingga menggunakan kekerasan?

Saya kira begitu. Ini membantu menjelaskan mengapa kita sering melihat kekerasan berlebihan terhadap kaum paria. Saya membaca banyak selama beberapa tahun ini tentang preman dan premanisme, yang sering diasosiasikan kaum miskin kota. Dan penggunaan kekerasan pada level tersebut oleh polisi seringkali ekstrem.

Dan banyak orang menganggap ini hal biasa; ini cara normal untuk menangani permasalahan sosial di level tersebut. Saya sering berpikir kejahatan kecil biasanya refleksi dari permasalahan sosial yang lebih mendalam, tapi polisi sering menggunakan kekerasan sebagai hukuman terhadap kelompok ini. Bahkan dalam hal lain seperti penggusuran, pendekatan itu adalah kekerasan ekstrem terhadap orang miskin.

Penggunaan kekerasan ini mencerminkan cara-cara mendalam tentang bagaimana kelas sosial yang berbeda “ditertibkan.” Dan kekerasan yang diarahkan kepada orang miskin dan kaum marjinal bisa juga politis.

Anda bisa melihat penggunaan kekerasan terhadap kelompok terpinggirkan seperti orang Papua, atau orang lain yang diidentifikasi sebagai separatis atau mengganggu ketertiban, dianggap absah daripada menggunakan jenis-jenis pendekatan lain untuk memitigasi konflik atau ketegangan seperti mediasi dan konsultasi. Masih jauh sekali untuk sampai ke level ini.

Kekerasan Polisi
Ilustrasi kekerasan polisi. (Project M/Iqbal Lubis)

Lebih baik menggunakan mediasi atau konsultasi daripada menggunakan kekerasan?

Ada beberapa cara untuk melihat ini. Pertama, kepolisian seharusnya menciptakan lingkungan kondusif untuk semua sektor masyarakat, dan untuk itulah penggunaan kekerasan berlebihan harus dihindari.

Tentu saja, ada saat polisi harus menggunakan kekerasan dalam situasi tertentu. Tapi ketika membicarakan seluruh kelompok yang berbeda dalam masyarakat, dalam pandangan saya pribadi, jenis-jenis mediasi bisa menjadi pendekatan lebih baik dalam jangka panjang.

Juga soal menangani permasalahan struktural. Kejahatan kecil, contohnya, adalah cerminan dari kemiskinan, kesenjangan yang makin mendalam, kurangnya akses terhadap peluang dalam hidup. Saya kira sebenarnya bukan tanggung jawab polisi untuk menangani isu-isu tersebut, tapi mengenalinya sebagai masalah bisa mengantarkan kita pada cara-cara berbeda untuk menangani masalah tersebut yang tidak melibatkan kekerasan dan hukuman, yang tidak efektif untuk menangani isu-isu tersebut.

Lihat saja premanisme. Ini isu sudah bertahan selama bertahun-tahun di Indonesia. Dan setiap Kapolri baru, setiap mereka menjabat, Anda pasti akan melihat mereka mengadakan razia preman besar-besaran. Mungkin kiranya ini bisa menghapus masalah. Tapi, tentu saja, masalah ini tidak bisa dihapuskan dengan menahan orang, memukuli atau menembak pelaku kejahatan kecil, karena ini semua adalah permasalahan struktural yang lebih dalam.

Jadi, kepolisian yang baik harus memahami realitas ini, meskipun ini semua bukan tanggung jawab langsung mereka, tapi menganggapnya sebagai usaha mengakui hak semua warga secara setara. Dan ini sesuatu yang saya pikir sudah banyak dilupakan oleh polisi di berbagai belahan dunia.

Kalau kita lihat beberapa tahun terakhir, polisi Indonesia lebih politis daripada militer. Apakah itu menunjukkan kebijakannya mempertontonkan kekerasan melalui media telah secara efektif mengubah persepsi masyarakat bahwa polisi lebih baik dari militer dan karenanya pantas memiliki status politik lebih tinggi?

Masalahnya adalah keduanya adalah lembaga negara. Dalam sejarah, di Indonesia, ada kesulitan besar menentukan tujuan kedua lembaga tersebut.

Militer telah lama terlibat dalam politik, dari proses pembentukan Indonesia sampai saat ini. Perpisahan polisi dari militer adalah bagian dari protes di Indonesia untuk perubahan setelah Soeharto lengser.

Ide yang mendasarinya adalah Indonesia butuh pasukan polisi independen yang fokus terhadap penegakan hukum, menangani kejahatan, dan menertibkan masyarakat seperti yang seharusnya dilakukan polisi. Ini melibatkan apa yang dulu dikenal sebagai ABRI.

Saya kira kita cuma mengganti satu dengan yang lain, di mana pengaruh politik militer berkurang sementara polisi bertambah. Ini tidak akan menyelesaikan masalah sama sekali. Malah, ini bisa berakibat pada skenario terburuk dalam bentuk police state: polisi sebagai kekuatan politik membentuk pemerintah dan masyarakat.

Tantangan untuk polisi Indonesia adalah bukan berperan secara politis, melainkan fokus pada profesionalisme. Saya pikir masih ada masalah di Indonesia karena banyak orang, untuk alasan yang bagus, tidak melihat polisi sebagai lembaga netral maupun lembaga yang efektif dan profesional.

Bagi polisi, sebuah lembaga yang sangat krusial menegakkan hukum dan menjaga ketertiban masyarakat, memainkan peran politik itu sangat berbahaya. Akan sulit bagi masyarakat Indonesia bahwa lembaga publik utama di negara ini ikut permainan politik untuk mendapatkan kekuasaan. Ini akan berujung pada hasil tidak demokratis. Peran polisi seharusnya fungsional, bukan politis.

Seberapa jauh penggunaan kekerasan oleh polisi itu dapat mengancam demokrasi di Indonesia? 

Pada umumnya, tidak baik bagi lembaga negara menampilkan kekerasan berlebihan atau bahkan di luar hukum, dan terlebih lagi menormalisasinya.

Saya kira ada masalah yang bukan cuma di Indonesia, tapi juga di negara lain dalam perwujudan berbeda. Kekerasan di luar hukum oleh lembaga negara menjadi biasa dan dibebaskan, dan saya pikir ini bukan hal yang baik. Ini menumbuhkan kekerasan lebih luas di masyarakat, baik melalui copycats (peniruan) seperti yang kita lihat di Indonesia dengan banyak ormas. Mereka dengan seragamnya meniru aparat dan bertindak seolah-olah mereka aparat.

Saya pikir ketika negara tidak patuh pada aturannya sendiri dan merasionalisasi kekerasan ekstrem dan menunjukkannya di depan umum, itu akan menggerogoti supremasi hukum dan konsep lembaga keadilan. Saya kira ini sangat berbahaya bagi demokrasi di manapun di dunia, khususnya Indonesia.

Tentu saja ketika polisi menggunakan kekerasan, publik berhak tahu untuk kepentingan publik sendiri. Di sini peran media melaporkan ketika polisi menggunakan kekerasan berlebihan, harapannya demi menuntut pertanggungjawaban.*


*Wawancara dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan oleh Devina Yo.

Wawancara ini adalah bagian dari serial reportase #PolisiBukanPreman yang didukung oleh Yayasan Kurawal.

 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Mawa Kresna
12 menit