Mengakhiri Teror Energi Kotor Batubara 

Fahri Salam
9 menit
Batu Bara
Ilustrasi tambang batu bara. (Project M/Felix Jody Kinarwan)

Salah satu argumen tak terbantahkan mengenai penyebab penyebaran virus dari hewan ke manusia, termasuk virus corona yang kita hadapi sekarang, adalah perusakan lingkungan secara besar-besaran. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan kemunculan virus mematikan disebabkan oleh “perubahan lingkungan dan sosial ekonomi skala besar, termasuk perubahan penggunaan lahan, penggundulan hutan, perluasan dan intensifikasi pertanian, perdagangan satwa liar, dan perluasan permukiman manusia.”

Maka, guna mencegah pandemi yang sama atau bahkan lebih buruk di masa depan, para pemimpin harus membuat kebijakan yang mampu memastikan upaya pemulihan ekonomi sejalan perlindungan lingkungan. Sejumlah negara bahkan memaksimalkan anggaran pemulihan ekonomi akibat Covid-19 untuk memuluskan proyek-proyek berkelanjutan, di dalamnya termasuk sektor paling strategis, yakni bidang energi, dengan mempercepat pengembangan energi terbarukan.

Negara-negara itu di antaranya Korea Selatan yang meluncurkan Korean New Deal untuk investasi teknologi hijau. Malaysia meluncurkan fase keempat program energi surya skala besar. Kedua negara ini menganggarkan masing-masing 3% dan 4% dari total GDP, sebaliknya Indonesia belum sama sekali, merujuk laporan Ernst and Young (September 2020).

Sekjen PBB Antonio Guterres, saat peringatan Hari Bumi 2020, mengusulkan enam tindakan terkait iklim, termasuk menggunakan dana publik dan kas negara untuk investasi berkelanjutan dan menghentikan subsidi bahan bakar fosil.

“Dampak virus corona langsung dan mengerikan. Tapi, ada keadaan darurat lain yang juga serius: krisis lingkungan di planet ini. Keanekaragaman hayati menurun tajam, bencana iklim mendekati situasi yang tidak bisa dikembalikan,” kata Guterres.

Lalu bagaimana kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Indonesia? Apakah rencana pemulihan kita sudah sejalan dengan visi membangun Indonesia melalui pendekatan hijau dan berkelanjutan? Apakah pemerintahan Joko Widodo memanfaatkan krisis ini sebagai kesempatan membentuk masa depan yang lebih baik?

Jebakan Energi Kotor

Ketika negara-negara berkembang lain seperti VietnamCosta Rica, dan Filipina membenahi sektor energinya agar tak lagi bergantung energi fosil, pemerintahan Joko Widodo masih adem ayem. Alih-alih mengurangi ketergantungan sumber energi usang dan kotor, Indonesia malah berusaha memperpanjang upaya memprioritaskan batubara dengan sejumlah cara seperti mendorong co-firing batubara dengan biomassa maupun gasifikasi batubara menjadi dimethyl ether (DME).

Walaupun co-firing biomassa dengan rasio rendah sudah lama digunakan di negara-negara lain, tapi pada umumnya teknologi ini tidak banyak menyebar. Problemnya terletak pada kelayakan ekonomi dan stabilitas pasokan bahan baku biomassa, menurut laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA).

Dalam kelayakan ekonomi, pemerintah perlu belajar dari negara-negara lain yang harus menggelontorkan investasi besar-besaran untuk merealisasikan co-firing

Inggris, misalnya, membutuhkan dukungan dana publik lebih dari 700 juta poundsterling pada 2019 untuk membangun pembangkit biomassa terbesarnya. Amerika Serikat dan China sampai sekarang belum berhasil mengembangkan operasi co-firing yang mumpuni meski kedua negara ini punya potensi biomassa melimpah, armada PLTU besar, dan teknologi listrik yang kuat.

Penyebabnya, perhitungan keekonomian teknologi co-firing sangat bergantung pada ketersediaan biomassa. Ia membutuhkan pasokan biomassa dalam jumlah besar, murah, dan terjangkau, sesuatu yang akan sulit dipastikan mengingat kondisi geografi Indonesia yang sangat beragam. Begitupula harga pelet kayu maupun tandan kosong kelapa sawit yang masih mahal di atas harga referensi batubara nasional. 

Kendati ada kemungkinan menggunakan serbuk kayu atau bahan bakar turunan buangan pabrik lain atau Refuse-Derived Fuel (RDF) yang mungkin lebih murah dari batubara, IEEFA mengingatkan serbuk kayu umumnya sulit ditransportasikan dengan aman. Di sisi lain, menjaga ketersediaan suplai maupun standar nilai kalor dalam RDF akan sangat sulit. Catatan lain, penerimaan rasio pencampuran biomassa berpotensi lebih rendah mengingat kebanyakan PLTU di Indonesia menggunakan boiler pulverized coal yang rentang toleransi karakteristik bahan bakarnya relatif kecil.

Batu Bara
Ilustrasi PLTU. (Project M/Rafael Miku Beding)

Temuan serupa dalam studi IEEFA yang lain mengenai rencana biaya pembangunan pabrik DME di Indonesia sebesar 2 miliar dolar AS, negara bakal mengeluarkan biaya tak terduga sebesar 301 juta dolar AS per tahun dan bakal membengkak menjadi 377 juta dolar AS per tahun bila keseluruhan pendanaannya bergantung pada pinjaman. Meski pabrik ini berpotensi mengurangi biaya impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) sebesar 358 juta dolar AS per tahun, kerugian total biaya operasi dan pembayaran bunga akan tetap lebih besar sekitar 19 juta dolar AS per tahun.

Analisis IEEFA menyebut harga total produksi satu ton DME dari pabrik yang direncanakan sekitar 470 dolar AS per ton, hampir dua kali lebih besar dari yang dibayar konsumen LPG Indonesia saat ini.

DME jarang digunakan dalam skala besar di negara-negara lain karena perbandingan karakteristik nilai kalor DME dengan LPG menunjukkan nilai kalor DME 7,749 kcal/kg jauh lebih kecil dari nilai kalor LPG 12,076 kcal/kg. 

Artinya, untuk menggantikan permintaan LPG saat ini sebesar 1,1 juta ton/tahun akan membutuhkan jauh lebih banyak DME, yaitu sekitar 1,4 juta ton/tahun. Itulah yang membuat rencana DME dinilai merugikan karena hanya akan menyediakan lebih sedikit energi untuk harga jauh lebih mahal.

Saat upaya melanggengkan penggunaan batubara semakin masif, sebaliknya pemerintah juga membiarkan atau terlibat menyebarkan berbagai mitos yang menyudutkan energi terbarukan. Di antaranya teknologi energi terbarukan mahal; tidak bisa diandalkan saat malam maupun berangin; tidak bisa 100 persen menerangi; butuh waktu lama dan usaha keras agar mencapai efisiensi energi; solar panel terlalu mahal untuk sebagian besar orang; dan mitos terbaru yang membingungkan publik bahwa pembangkit listrik tenaga surya atap akan merugikan negara dan PLN.

Energi Terbarukan Lebih Menguntungkan

Mitos yang dianggap jadi kebenaran adalah harga energi terbarukan yang mahal, serta investasi masa depan yang tidak menguntungkan jika Indonesia beralih dari energi fosil ke energi terbarukan.

Untuk menjawabnya, Indonesia perlu belajar pada negara berkembang seperti Vietnam, yang menjadi pemimpin dalam membangun pembangkit listrik tenaga surya di ASEAN dengan total daya 16.656 megawatt. 

Vietnam sebelumnya sangat bergantung batubara, tapi kini telah menginstal lebih dari 101 ribu panel surya atap di rumah, kantor, dan pabrik, yang membuat pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) naik 25 kali lipat dibandingkan tahun 2019 (World Economic Forum).

Sebaliknya, Indonesia memberikan subsidi jauh lebih besar pada batubara ketimbang energi terbarukan, merujuk penelitian Global Subsidies Initiative (GSI) pada 2017. 

Indonesia telah mensubsidi sektor batubara lebih dari 946,1 juta dolar AS pada 2014 dan 644,8 juta dolar AS pada 2015. Angka ini jauh lebih besar ketimbang total subsidi ke energi terbarukan pada 2015 (132,8 juta dolar AS). Click To Tweet

Biaya itu menjadi jauh lebih tinggi bila kita memasukkan ongkos dampak lingkungan dari polusi udara dan emisi CO2 yang disebabkan industri batubara.

Ke depan, mengutip laporan GSI, biaya pokok produksi (levelized cost of electricity/LCOE) energi terbarukan sudah sangat bersaing dan akan terus turun sementara LCOE batubara akan terus meningkat. Inilah yang membuat GSI menyarankan pemerintah Indonesia lebih serius mendorong transisi energi. Ia bisa meningkatkan daya saing dan produktivitas sembari menekan biaya polusi dan eksternalitas lainnya.

Tren penurunan LCOE energi terbarukan juga dipaparkan dalam berbagai laporan. 

IEEFA melakukan simulasi potensi pengurangan biaya pokok produksi bila PLN mendorong transisi energi menggunakan tenaga surya. Kesimpulannya, energi terbarukan adalah cara termurah untuk mencapai 100% elektrifikasi di Indonesia.

Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam analisisnya pada 2019 menyebut kisaran biaya pokok produksi berbagai opsi energi terbarukan di Indonesia sudah sebanding dengan batubara. Harga kebanyakan pembangkit listrik batubara Indonesia sekitar 6-8,2 sen dolar AS per kWh, sementara harga tenaga surya sekitar 6-10 sen per kWh. Komponen utama biaya tenaga surya berasal dari biaya investasi, yang diperkirakan terus berkurang seiring tren LCOE global. Ini berbanding terbalik dengan komponen biaya variabel batubara yang diperkirakan terus meningkat seiring berkurangnya ketersediaan batubara.

Sementara data Outlook 2021 United States Energy Information Administration (US EIA) menyebut harga tenaga surya akan jadi lebih murah dibandingkan pembangkit listrik dari batubara (PLTU). Perhitungan mengenai tren LCOE pada 2026 menunjukkan harga tenaga surya sekitar 32,78-47,67 dolar AS per MWh, sementara harga batubara ultra-supercritical (USC) terus meningkat sekitar 72,78 dolar AS per MWh. Di masa mendatang juga ada potensi risiko biaya lebih besar dari batubara bila harganya terus tinggi seperti sekarang.

Paket stimulus terkait lingkungan, hijau vs kotor. (Project M/ Arief Zulfikar)

Langkah Pemulihan Hijau 

Pelbagai data dan analisis di atas, sepatutnya menjadikan alarm bagi pemerintah Indonesia untuk sesegera mungkin melakukan transisi energi, menempatkan pengembangan energi terbarukan sebagai prioritas termasuk dengan memanfaatkan paket stimulus Covid-19.

Mengutip laman Kementerian Keuangan, Indonesia telah menghabiskan Rp575,8 triliun untuk program PEN 2020. Per Agustus 2021, realisasi program PEN mencapai Rp326,74 triliun atau 43 persen dari pagu Rp 744,77 triliun.

Berdasarkan laporan Vivid Economics (Februari 2021), anggaran PEN yang dibelanjakan Indonesia masih dialokasikan untuk aktivitas yang berpotensi merusak lingkungan tanpa memberikan syarat hijau kepada penerima stimulus. 

Secara global, dari paket stimulus 14,9 triliun dolar AS di 30 negara, 4,6 triliun dolar AS masih disalurkan ke sektor-sektor tinggi karbon, dibandingkan 1,8 triliun dolar AS untuk sektor energi hijau. 

Indonesia hanya mengalokasikan 0,9 persen untuk transisi energi dari total anggaran PEN tahun 2020. Bappenas merekomendasikan agar Indonesia melakukan “Build Forward Better”, menilai pentingnya pengembangan energi terbarukan karena mendatangkan keuntungan ekonomi, penciptaan lapangan kerja yang lebih baik, dalam jangka pendek dan panjang. Namun, rekomendasi ini belum diwujudkan dalam stimulus fiskal.

Di sisi lain, berbagai laporan telah membuktikan praktik ekonomi hijau bukan hanya dapat dilakukan, tetapi menguntungkan bagi perekonomian dalam jangka panjang. 

Laporan International Finance Corporation (IFC) menunjukkan membangun kembali dengan cara-cara hijau sangat menguntungkan bagi sebuah negara. Dari penelitian di China, Indonesia, Filipina, dan Vietnam, dijelaskan bahwa pemulihan ekonomi hijau untuk dekade 2020-2030 berpotensi menghasilkan 5,1 triliun dolar AS dalam investasi langsung, 98,8 juta pekerjaan baru, dan mengurangi emisi gas rumah kaca lebih dari 2 ribu juta ton.

Pemerintahan Joko Widodo harus menjadikan krisis pandemi Covid-19 sebagai kesempatan untuk segera bertransisi ke energi terbarukan. Ini langkah mendesak, dan langkah ini bagian dari keterlibatan Indonesia untuk membangun masa depan iklim yang lebih baik, sebagaimana seringkali digembar-gemborkan dalam berbagai pertemuan internasional, termasuk dalam Konferensi Perubahan Iklim (COP) ke-26 di Glasgow saat ini.

Dengan memprioritaskan energi terbarukan dalam program pemulihan ekonomi nasional, dua-tiga target bisa terlampaui: perlindungan lingkungan, pertumbuhan ekonomi, dan penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih banyak.

 


Mahawira Dillon & R Dewi Kandi adalah pegiat di Yayasan Indonesia Cerah, organisasi yang fokus mendorong transisi energi fosil ke energi terbarukan.

Baca seri liputan Project Multatuli tentang #EnergiKotor:

Ambisis Jokowi Bikin PLN Lapar Batubara, Energi Kotor pun Jadi ‘Terbarukan’

Hidup dan Mati di Lumbung Batubara Muara Enim

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Fahri Salam
9 menit