Menggusur Adalah Taktik Elite, Bukan Jawaban: Berbagi Solusi Banjir Dengan Warga Kota

Ronna Nirmala
5 menit
Mural deretan rumah di bantaran Kali Ciliwung tergambar pada dinding di Kampung Tongkol, Pademangan, Jakarta Utara. (Project M/Felix Jody Kinarwan)

“Sebenarnya, sebaik-baiknya program dari pemerintah bukan hanya dari atas turun ke bawah tetapi justru dari bawah ke atas … Pemerintah itu harusnya mengajak masyarakat atau perwakilan yang ada di lingkungan itu untuk bisa ambil keputusan.”

KALIMAT itu disampaikan Deri (30), warga partisipan wawancara dari Kampung Lodan di Jakarta Utara. Ia dan banyak warga kampung kota prihatin, meski pada akhirnya terpaksa menerima, dengan proses penyusunan hingga pengambilan keputusan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak tetapi tanpa melibatkan berbagai pihak.

Termasuk yang berkaitan dengan banjir. Penanganan banjir sejak masa Belanda sekitar hingga saat ini, melalui pendekatan top-down atau dari level otoritas (top) ke lapisan masyarakat (down). Jarang sekali sebaliknya.

Warisan top-down itu juga masih terjaga hingga kini. Pemerintah administrasi Jakarta melakukan berbagai upaya mengatasi salah satu urusan paling problematik di ibu kota itu. Salah satu penanganan paling khas adalah penggusuran permukiman atas nama normalisasi daerah aliran sungai.

Bagi warga kampung kota seperti Deri, penggusuran tidak selalu menjadi jawaban. Pada banyak persoalan, penggusuran justru mengancam dan merenggut hak hidup warga.

Menantang pendekatan mitigasi banjir ala elite, warga dari Kampung Tongkol, Kampung Lodan, dan Kampung Kerapu secara kolektif melakukan beberapa terobosan penanganan banjir.

Warga dari tiga kampung yang diorganisir Komunitas Anak Kali Ciliwung (KAKC) ini hendak membuktikan bahwa mereka adalah bagian dari solusi, dan bukan masalah yang harus diselesaikan.

Setidaknya ada dua upaya penataan ulang kampung untuk memitigasi banjir yang telah dilakukan warga kampung kota. Pertama, memotong rumah sepanjang lima meter.

Pemerintah sebenarnya telah mengatur jarak minimal permukiman dengan tepian sungai sepanjang 15 meter dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 28/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai. Namun, aturan memotong 15 meter untuk membuat clear area itu artinya sama saja memangkas habis rumah warga.

Maka dari itu, KAKC beserta warga bersepakat untuk memundurkan tempat tinggal mereka sepanjang lima meter ketimbang harus kehilangan semuanya. Hal ini mereka lakukan semata-mata juga untuk membuktikan bahwa mereka mampu berpartisipasi secara aktif dan kooperatif dalam penanganan banjir. Bahkan, warga rela mengeluarkan ongkos dan menggadaikan aset mereka untuk perubahan ini.

Kedua, pengelolaan sampah dan membangun tanggung jawab bersama dalam pembersihan sungai. Warga juga membangun ‘Rumah Contoh’ sebagai gambaran hunian bantaran sungai yang ideal dan mungkin diciptakan.

Rumah Contoh itu digambarkan dengan adanya jarak antara sungai dengan permukiman, ketersediaan sistem drainase dan sanitasi, kanopi, serta area hijau yang ditujukan juga untuk ruang warga beraktivitas dan berkegiatan bersama. Pembangunan Rumah Contoh ini merupakan hasil kerja sama antara KAKC dengan Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID), dengan bantuan dana dari SELAVIP. Seluruh proses melibatkan peran dari warga setiap kampung.

Gugun Muhammad, koordinator Urban Poor Consortium, berharap rumah-rumah di kampung kota dapat direnovasi mengikuti standar yang dibangun di Rumah Contoh. Sambil juga ia bersama warga membenahi potensi sungai. Harapannya warga bisa memanfaatkan potensi sungai secara komersial dan pariwisata sehingga menghasilkan profit baik bagi komunitas.

Anak-anak bermain di jalan depan deretan rumah warga Kampung Tongkol. Pada 2015, warga berinisiatif memotong rumah sepanjang 5 meter dari pinggir Kali Ciliwung secara swadaya disusul sejumlah usaha menangani banjir. (Project M/Felix Jody Kinarwan)

Penggusuran Versus Sumber Penghidupan Warga

Hal lain yang kerap luput disorot ketika membicarakan penggusuran adalah terenggutnya sumber penghidupan warga. Situasi ini tidak serta merta hanya dilihat dari mata pencaharian saja tetapi juga bagaimana manusia menggunakan aset-aset yang ada untuk bertahan dan menjalani kehidupannya.

Salah satu ilustrasi bagaimana penanganan banjir berdampak pada penghidupan warga tiga kampung ini adalah sejak pemotongan rumah, kualitas kesehatan warga semakin membaik. Karena adanya jarak antara sungai dan rumah, serta paparan matahari yang lebih baik, warga tidak pernah terjangkit penyakit demam berdarah, diare, dan malaria lagi karena mereka hampir tidak menemukan hewan seperti kecoa, tikus, dan nyamuk.

Upaya warga untuk membenahi kampung juga berhasil menarik perhatian Pemda DKI Jakarta untuk terlibat dalam pembenahan jalan, penyediaan tempat sampah, hingga pembangunan jembatan yang menghubungkan ketiga kampung. Dengan adanya jembatan, akses baik itu orang, informasi, hingga barang jadi lebih mudah; memberikan peluang pembangunan kampung yang lebih baik.

Dari sisi kehidupan sosial, hubungan ketiga kampung juga semakin terjalin erat. Keberadaan jembatan itu juga menyambungkan tujuan bersama mereka: mempertahankan habitat mereka.

Anak-anak bermain di jembatan yang menghubungkan Kampung Tongkol dan Kampung Kerapu dengan Kampung Lodan yang terpisah oleh Kali Ciliwung di Jakarta Utara. (Project M/Felix Jody Kinarwan)

Pada akhirnya, apa  yang dilakukan rekan-rekan KAKC dengan tiga kampung ini menggambarkan penanganan banjir yang berbeda dengan pendekatan elite yang kental akan pembangunan infrastruktur besar seperti pembuatan kanal, sheet pile, dan proyek normalisasi sungai.

Ketiga kampung ini membuktikan bahwa praktik penanganan banjir yang dilakukan dengan pendekatan mereka berdampak positif dengan tidak adanya banjir lagi di daerah tersebut sejak 2017. Hal ini tentu menempatkan komunitas ini di posisi yang kuat terhadap pembangunan.

Terlepas dari keberhasilan sejauh ini, mereka sadar masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang perlu mereka selesaikan. Mereka juga masih berjuang untuk mendapatkan legalitas bagi lahan yang mereka singgahi.

Sebab, keberadaan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) saja tidak selalu menjamin tidak adanya kasus penggusuran lahan. Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan pada rezim Joko “Jokowi” Widodo, angka penggusuran melampaui jumlah dari rezim sebelumnya, yakni 2.291 (2015-2020) berbanding 1.770 (2004-2014).

Oleh karenanya, warga bakal terus memperjuangkan hak hidup sekaligus merebut ruang partisipasi dalam proses pembangunan secara aktif.


Dessyta Octavera Santi adalah mahasiswi S2 International Development Studies, Universitas Utrecht.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Ronna Nirmala
5 menit