Penjaga Hutan Terakhir Halmahera yang Dicap Pembunuh, Diasingkan, dan Dirampas Ruang Hidupnya

Ronna Nirmala
17 menit
Seorang perempuan Suku Tobelo Dalam atau O’Hongana Manyawa menggendong kayu bakar di pinggir sungai Ake Tayawi, dalam kawasan tempat tinggal mereka yang ditetapkan pemerintah sebagai Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL) bagian Kecamatan Oba, Kota Tidore Kepulauan. (Project M/Rabul Sawal)

Stigma yang melekat pada Suku Tobelo Dalam di Halmahera membuat mereka jadi sasaran kriminalisasi aparat penguasa. Dalam situasi terimpit, mereka juga harus berjuang di tengah menyempitnya ruang hidup karena ekspansi pertambangan dan ketergantungan pangan dari wilayah luar.


BOKUMU semringah. Ia berpakaian necis; setelan kemeja putih berlengan panjang, celana cokelat muda, serta topi yang menutupi helai rambut gondrongnya. Matanya berbinar, memancarkan senyuman yang terhalang masker.

Senin sore itu, 24 Januari 2022, ia melangkah kakinya keluar dari gerbang Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Ternate, Maluku Utara. Bokumu dibebaskan setelah menjalani masa kurungan selama 8 tahun, lebih cepat dari putusan pengadilan 15 tahun.

Ia berjalan menghirup udara kebebasan dengan disambut rekan-rekan yang mendampingi kasus sejak awal.

Mestinya, Bokum melenggang keluar dari penjara bersama Nuhu, saudara sepupunya. Sayangnya, Nuhu meninggal dunia di dalam tahanan pada Maret 2019.

Bokum dan Nuhu adalah bagian dari komunitas Suku Tobelo Dalam atau biasa disebut O’Hongana Manyawa, sebagian menyebut Togutil, yang mendiami wilayah hutan Akejira, bagian dari administrasi Trans SP III, Desa Woejarana, Weda Tengah di Kabupaten Halmahera Tengah.

Keduanya dipenjara karena vonis pembunuhan dua warga Desa Waci, Maba Selatan, Halmahera Timur, Masud Watoa dan anaknya Marlan Matoa. Peristiwa itu terjadi di perbatasan hutan antara Desa Dote dan Desa Waci.

Ketuk palu hakim atas kasus yang menimpa Bokum dan Nuhu mendapat sorotan. Keduanya membantah melakukan pembunuhan. Peristiwa ini menyisakan banyak tanya tentang peristiwa pembunuhan di dalam hutan yang bukan kali pertama terjadi.

Dituduh Pembunuhan

Kasus Bokum dan Nuhu bermula dari 3 Juli 2014.

Hari itu Abu Thalib Bakir bersama enam orang rekannya—termasuk Masud dan anaknya, berada di kawasan hutan Desa Waci. Tujuan mereka mencari kayu gaharu. Lima hari tak kunjung mendapatkan kayu gaharu, keenamnya memutuskan pulang.

Dalam perjalanan pulang, mereka berpapasan dengan enam orang yang diduga kelompok Suku Tobelo Dalam. Keenamnya memiliki ciri-ciri senada, berjanggut dan jambang tebal, rambut terikat lurus tampak kusut, ada yang panjangnya sebahu, ada yang tidak terlalu panjang. Mereka mengenakan cawat — atau sabeba, pakaian adat orang suku — dan memegang anak panah dan parang berukuran panjang.

Keenam warga Desa Waci itu sontak berlari. Marlan, ketika itu berusia tujuh tahun, terjatuh. Dokumen pengadilan yang merujuk pada berkas acara pemeriksaan (BAP) Kepolisian Resor Halmahera Timur tertanggal 6 Agustus 2014, menyebut Marlan dianiaya oleh kelompok yang oleh polisi disebut “suku terasing.”

Masud berbalik untuk menolong anaknya. Ia masih sempat menggendong anaknya, namun, sebuah anak panah melesat pada bagian belakang kaki kanan. Baru tiga langkah berlari, ia tak berdaya dan terjatuh.

Abu Thalib juga terkena anak panah tetapi ia masih sanggup berlari bersama tiga rekannya menyelamatkan diri ke arah tebing. Saat itu pula, jerit Masud dan anaknya terdengar sangat keras dari arah belakang.

Siang itu, mereka lari mencari jalan keluar dari hutan menuju ke arah Desa Waci, meminta pertolongan. Warga di Waci sontak geger. Peristiwa itu kemudian dilaporkan kepada polisi.

Rentetan peristiwa itu dilaporkan Abu Thalib kepada penyidik Polres Halmahera Timur.

Enam bulan berjalan, polisi tak menemukan jejak para pelaku walau sudah menyisir orang suku di hutan tempat peristiwa terjadi. Sementara, keluarga korban dan warga Waci terus mendesak polisi agar dalangnya diringkus. Warga khawatir kejadian berulang.

Saat itu pula, isu tentang peristiwa ini mulai berkembang di media sosial. Foto-foto orang Suku Tobelo Dalam yang pernah diambil para peneliti dan organisasi nirlaba untuk riset dan kegiatan sosial bermunculan. Beberapa di antaranya termasuk foto Bokum dan Nuhu beserta keluarga Suku Tobelo Dalam di wilayah hutan Akejira.

Tiga lembar foto dipakai polisi dalam mencocokkan keterangan Abu Thalib: berkumis, janggutan dan jambang tebal, model rambut terikat, lurus dan tampak kusut – ciri-ciri yang sebetulnya begitu umum bagi komunitas Tobelo Dalam.

“Saya kenal dengan gambar/foto dua dari empat orang suku terasing yang diperlihatkan oleh pemeriksa terhadap saya adalah benar bahwa kedua orang suku terasing tersebut … merupakan tersangka dalam peristiwa pembunuhan tersebut,” jelas Abu Thalib kepada penyidik.

Foto orang Suku Tobelo Dalam penghuni wilayah hutan Akejira, Halmahera Tengah, yang kemudian dipakai polisi untuk identifikasi pelaku pembunuhan di hutan Waci, Halmahera Timur, pada 2014. Tampak Bokum (kiri tengah) dan Nuhu (kanan tengah) dalam foto yang termuat dalam salinan berkas perkara. (Project M/Rabul Sawal)

Kejanggalan Tuduhan

Klaim tersebut membuat aparat keamanan bergerak menangkap Bokum dan Nuhu yang tengah terlelap di rumah seorang warga, Oti Maliong, di Desa Woejarana, pada Maret 2015.

Keduanya tak melawan. Namun, polisi memukul Nuhu dengan popor senapan di pinggangnya. Di kantor polisi, keduanya dipaksa mengaku sebagai pelaku pembunuhan di hutan Waci, Halmahera Timur.

Selama proses persidangan, polisi menghadirkan alat bukti 13 anak panah dan saksi dari korban selamat, dan foto keduanya yang menurut korban adalah pelaku pembunuhan.

Maharani Caroline, kuasa hukum Bokum dan Nuhu, menyebut bukti-bukti dan keterangan saksi janggal. Ia menilai, keterangan beberapa saksi seperti Abu Thalib yang bertemu Suku Tobelo Dalam tetapi hanya menghafal wajah Bokum dan Nuhu saat kejadian adalah keterangan yang penuh rekayasa.

“Kami yakin merupakan rangkaian cerita rekayasa yang mendukung cerita polisi agar supaya mereka tidak lagi didesak dan disudutkan keluarga dan masyarakat Desa Waci untuk menemukan pelaku pembunuhan,” kata Maharani, seperti termuat dalam pledoi yang dibacakan di persidangan pada 4 September 2015.

Dalam perkara ini, tim penasihat hukum mengatakan tidak menemukan fakta dan motif apa yang melatarbelakangi penyerangan dan pembunuhan yang dituduhkan kepada Bokum dan Nuhu. Mereka menyimpulkan bahwa Bokum dan Nuhu bukanlah orang yang patut dipersalahkan dan dikorbankan dalam kejadian pembunuhan di Waci.

Tapi, putusan hakim menyimpulkan hal sebaliknya. Bokum dan Nuhu dinyatakan bersalah dan dihukum penjara 15 tahun. Sekitar lima tahun mendekam di penjara, Nuhu meninggal dunia diduga karena sakit pinggang yang tidak pernah terobati.

Makam Nuhu, pria Suku Tobelo Dalam yang wafat pada 15 Juli 2019. Nuhu bersama Bokum ditangkap polisi dengan tuduhan sebagai pelaku pembunuhan di hutan Waci, Halmahera Timur. (Project M/Rabul Sawal)

Tak Bisa Melintas Tanpa Izin

Ngigoro Dulada duduk berjongkok di depan rumah seorang warga di Desa Saolat, Wasile Selatan, Halmahera Timur, awal September 2022.

Lelaki berusia 57 tahun ini adalah saudara sepupu Bokum dan Nuhu.

Ia keturunan asli Suku Tobelo Dalam meski sejak berusia 7 tahun, ia bermukim di perkampungan di luar hutan Akejira bersama ibunya. Kepindahan itu terjadi setahun setelah ayahnya, Dulada, meninggal pada akhir 1970-an. Ia ingat ibunya mengatakan tidak sanggup membesarkan anak di hutan tanpa seorang tulang punggung keluarga.

Ngigoro adalah nama kecilnya saat masih tinggal di hutan. Pindah ke kampung, namanya diganti dan didaftarkan ke catatan sipil sebagai Gerson. Akan tetapi, orang-orang terdekatnya masih sering memanggilnya Ngigoro.

Ia sudah fasih berbahasa Indonesia. Ia sempat mengenyam pendidikan dasar tetapi tidak sampai tamat. Kini rambutnya sudah beruban, dan sedikit gundul di atas kepala, tapi fisiknya masih kekar. Masih lihai keluar masuk, jelajahi belantara hutan tempat ia lahir dan dibesarkan.

Walau sudah menetap di kampung, ia masih sering mengunjungi keluarga yang hidup di hutan, termasuk di Akejira, tempat Bokum dan Nuhu bersama keluarga menetap.

Sejak dua sepupunya berurusan dengan hukum, Ngigoro rutin mengunjungi keluarga di hutan Akejira. Ia tahu persis bagaimana nasib istri dan anak Bokum dan Nuhu ketika kehilangan tulang punggung berburu di hutan.

“Dia (Bukum) pe anak-bini (terpaksa) harus berburu untuk cari hidup. Cari hidup sandiri, tapi sulit,” kata Ngigoro.

Sementara, saat Nuhu masih dipenjara, anak istrinya terdesak memenuhi kebutuhan pangan di hutan. Istrinya tak sanggup berburu dan meramu seorang diri. Apalagi, anak-anaknya masih kecil. Kabarnya, saat ini keluarga Nuhu sudah keluar dari hutan dan istrinya bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Halmahera Utara.

Ngigoro juga hadir saat Bokum keluar dari lapas. Ia berpesan kepada Bokum, “Bila mana ngana (kamu) sampai di sana (Akejira), ngana tidak bisa percaya orang-orang bagitu. Jangan percaya, jangan sampe dong kase bodoh ngana ulang.”

Ngigoro ikut jadi saksi untuk Bokum dan Nuhu selama masa persidangan. Ia sanksi atas  tuduhan terhadap sepupunya. Ngigoro meyakini sepupunya bukan pelaku. Menurutnya, tak mungkin Bokum dan Nuhu sengaja berjalan melintasi hutan dari Akejira menuju Waci hanya untuk membunuh orang yang tak mereka kenal.

Ia menambahkan, sulit bagi komunitas Suku Tobelo Dalam melintasi batas wilayah berburu tanpa seizin pemilik ulayat. Bila itu terjadi, konsekuensinya akan dibunuh.

Torang punya budaya di hutan itu, torang tara bisa ganggu wilayah (berburu suku) yang lain. Kalau torang ganggu wilayah lain itu torang antar nyawa. Bagitu selama ini dari torang sampe sekarang,” kata Ngigoro.

Orang Tobelo Dalam punya batas antarkelompok yang mereka sebut madedengo. Aturan adat dan batas ini yang membuat kelompok-kelompok masyarakat menjadi jarang berinteraksi.

Kampung Budaya Suku Tobelo Dalam atau orang menyebut Togutil di sisi jalan lintas Subaim-Buli, Halmahera Timur. (Project M/Rabul Sawal)

Di sisi lain, jarak menuju hutan di Waci, tempat peristiwa itu terjadi, membutuhkan waktu berhari-hari. Di daerah itu terdapat kelompok suku Tobelo Dalam Woesopen — salah satu komunitas yang mendiami daerah di wilayah hutan Waci dan sekitarnya.

“Jadi kalu Bokum deng Nuhu dapa tuduh itu tara masuk akal,” tegas Ngigoro. “Saya orang bodoh me rasa tara masuk akal.”

Bilapun orang suku yang menjadi pelaku, Ngigoro meyakini ada peristiwa pemicu sebelumnya. Semisal, warga merusak hutan.

“Jadi kalau orang hutan bunuh orang pante, memang orang pante dong manakal dong pe barang-barang, kaya tembak dong pe binatang, paras dong pe tanaman, bakar dong pe rumah,” jelas Ngigoro.

Tidak ada orang Tobelo Dalam yang membunuh tanpa ada pemicunya, begitu Ngigoro menegaskan.

“Cuma memang torang sekarang ini Bokum so kaluar,” ujar Ngigoro.

Hidup dalam Komunitas

Suku Tobelo Dalam hidup di wilayah kawasan hutan Pulau Halmahera. Syaiful Majid, seorang sosiolog dan peneliti dari Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, mengklasifikasi Suku Tobelo menjadi dua, yakni O’Hoberera Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di pesisir) dan O’Hongana Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di hutan).

Komunitas Suku Tobelo Dalam tersebar setidaknya di empat daerah, yakni satu komunitas di Tidore Kepulauan, lima komunitas di Halmahera Utara, enam komunitas suku di Halmahera Tengah, dan 14 komunitas di Halmahera Timur.

Setiap komunitas atau Hoana, terpisah-pisah ruang hidupnya. Misalnya, di wilayah hutan Halmahera Tengah, tersebar di kawasan hutan Kaurahai, Tubublewen, Sangaji, Ida, Dote, dan Akejira.

Kehidupan O’Hongana Manyawa masih nomaden. Kendati begitu, mereka hanya akan berpindah di kawasan hutan yang mereka kelola.

Syaiful mengatakan tidak tepat menyebut O’Hongana Manyawa dengan sebutan ‘Togutil primitif’ karena kehidupan mereka yang subsisten. Tiap-tiap kearifan lokal dan sendi-sendi adat istiadat yang melekat dalam keseharian mereka memiliki makna sosial yang kuat dan berangkat dari sistem nilai dan kepercayaan.

Maka dari itu, salah satu program pemukiman yang pernah dibuat pemerintah provinsi untuk Suku Tobelo Dalam tak berhasil, karena lambat laun mereka akan kembali lagi ke hutan.

Secara pribadi, Syaiful mengenal Bokum dan Nuhu. Ia pernah tinggal bersama keduanya saat melakukan penelitian orang Tobelo Dalam 1996 di Akejira. Ia punya panggilan khusus di sana, Ahi, yang berarti seseorang yang sudah dianggap saudara sendiri.

Peneliti Syaiful Madjid memperlihatkan foto dirinya bersama pria Suku Tobelo Dalam yang diambil sewaktu meneliti di kawasan hutan ruang hidup Tobelo Dalam pada 1996. (Project M/Rabul Sawal)

Syaiful juga mendampingi kasus Bokum dan Nuhu dan menjadi bagian dari tim penasihat hukum. Ia berkata kecewa atas putusan hakim menetapkan kedua orang Suku Tobelo Dalam ini sebagai pelaku pembunuhan di hutan Waci.

“Itu kalau cerita perjalanan sidang kasus Bokum dan Nuhu, secara naluriah, secara kemanusiaan, saya harus bilang memang tidak manusiawi. Sidang itu tidak mempertimbangkan hal-hal manusiawi.”

Persidangan juga berlangsung dalam bahasa Indonesia. Sementara, Bokum dan Nuhu hanya bisa berbicara dengan bahasa Tobelo Dalam. Sepanjang persidangan, keduanya mengaku tidak mengerti apa yang terjadi dan alasan mengapa dibawa ke ruangan yang asing bagi kehidupan mereka.

Pengadilan memang menyediakan seorang penerjemah. Namun, menurut Syaiful, penerjemah yang dihadirkan tidak memiliki wawasan yang cukup tentang bahasa dan ruang hidup orang Tobelo Dalam.

Munadi Kilkoda, Ketua Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Maluku Utara, menyebut putusan hakim mengabaikan hak kemanusiaan.

Munadi, yang turut mendampingi kasus ini, sepakat pelaku mesti dihukum seberat-beratnya karena yang terjadi di hutan Waci adalah perkara serius. Namun, ia menyayangkan penetapan Bokum dan Nuhu sebagai tersangka pembunuhan yang terjadi bukan di wilayah ruang hidup mereka di Akejira itulah yang janggal.

Tong ini tara tau Waci itu, (kami tidak tahu di daerah Waci)” kata Bokum, seperti disampaikan Munadi, mengingat salah satu percakapan di pengadilan kala itu.

Tim pendamping hukum sempat menghadirkan keterangan empat saksi yang meringankan terdakwa. Salah satu saksi, Oti Maliong, menegaskan Bokum dan Nuhu yang ia kenal tidak lagi memakai sabeba, melainkan kaus biasa dan celana pendek. Ia mengatakan tak pernah melihat Bokum dan Nuhu membawa parang panjang atau nyaolako dan panah, apalagi berteriak manyele. 

Yustus Regang, seorang Babinsa di Weda, juga membenarkan kesaksian Oti. Setahunya, pada 2 Juli 2014, Bokum dan Nuhu datang membantunya dan Oti yang masuk ke hutan Akejira untuk memilah kayu. Tiga hari setelahnya, dua orang Suku Tobelo Dalam itu pamit ke kamp perusahaan tambang PT Weda Bay Nikel (WBN) mengambil jatah berupa beras, ikan, mi instan, dan lainnya.

Kesaksian ini dikuatkan keterangan Ahmad Yani, kontraktor di PT WBN yang menangani logistik atau bantuan kepada orang suku di Akejira. Ia menerangkan, setiap minggu, Bokum dan Nuhu datang mengambil jatah mereka, termasuk pada 6 Juli 2014.

Ahmad sudah bekerja di PT WBN sejak Desember 2010. Ia mengenal dekat Bokum dan Nuhu. Bila mereka datang mengambil sembako sudah siang, mereka akan menginap. Sementara, ia tahu jika keduanya masuk ke kamp perusahaan, alat berupa parang disimpan jauh.

“Jika benar kedua terdakwa adalah pelaku pembunuhan sangatlah tidak masuk akal jika mereka masih berkeliaran di desa-desa, datang ke perusahaan Weda Bay Nikel untuk mengambil jatah sembako,” kata Maharani Caroline, kuasa hukum Bokum dan Nuhu.

Interaksi dengan Orang Tobelo Dalam

Dua minggu sebelum bertemu Ngigoro, saya lebih dulu berjumpa Melkianus Lalatang di Desa Woejarana, Weda Tengah di Halmahera Tengah. Ia salah satu warga yang paling dekat dan tahu persis di mana tempat Bokum dan keluarganya menetap di wilayah hutan Akejira.

Tekad saya waktu itu ingin bertemu Bokum yang baru bebas dari penjara beberapa bulan lalu. Namun, ekspektasi saya terlalu besar.

“Jauh sekali. Dorang di kapala-kapala air (mata air). Perjalanan satu hari tara cukup,” kata Melki, menepis asumsi saya.

“Kecuali hari Sabtu atau Minggu. Dong kalao di gereja. Atau dong butuh sesuatu baru kaluar,” Rina Makawimbang, istri Melki menambahkan.

Jadinya, saya tidak bisa bertemu Bokum dan keluarganya. Ruang hidup mereka terlalu luas, berpuluh-puluh kilometer dari kampung.

Bokum dan Nuhu sudah mereka anggap saudara sendiri. Melki mengenal baik orang suku yang hidup di wilayah hutan Akejira.

Kedekatan Melki dengan Bokum dan Nuhu sudah lama. Interaksi Melki dengan orang suku bermula saat memutuskan hidup di hutan Akejira pada 2007, bersama istri dan anaknya selama nyaris empat tahun.

Sebelum pindah, Melki sering berpapasan dengan mereka saat berburu atau memasang jerat di wilayah hutan Akejira. Namun, tak pernah sekalipun dia diserang atau diganggu. Justru, setelah bertahun-tahun di dalam hutan, orang Tobelo Dalam perlahan berinteraksi dan menganggap Melki sebagai kerabat dekat.

Namun, selama belasan tahun berinteraksi dan hidup di hutan, Melki tidak pernah melihat istri dan anak-anak orang Tobelo Dalam. Ternyata, terdapat tradisi para suami/ayah Suku Tobelo Dalam yang menyembunyikan istri dan anak mereka. Tradisi ini kabarnya untuk melindungi istri dan anak-anak mereka tidak dirampas suku lain.

Tak disangka, tradisi itu terkikis ketika Bokum dan Nuhu yang notabene tulang punggung berburu dan meramu di lingkaran komunitas suku ditangkap. Anak dan istri komunitas suku Tobelo Dalam di hutan terdesak memenuhi pangan dan terpaksa keluar dari hutan. Mereka mengunjungi Melki untuk meminta bantuan makanan.

“Selama Bokum di penjara, torang yang liat dorang. Beras, garam, kase dorang,” kata Melki.

Kendalanya, para perempuan suku ini tidak bisa berbahasa lokal. Mereka hanya mengerti bila menggunakan bahasa Tobelo Dalam. Rina cerita, saat para perempuan ini butuh sesuatu, mereka hanya menggunakan bahasa isyarat. Kalau ada yang mereka perlu, tinggal tunjuk.

Jadi dorang itu so baku kanal deng torang so lama, bukan baru-baru ini. Sampe saya pe kobong di atas itu sama deng dong punya sudah. Dong jaga baambe pisang, kasbi,” kata Rina. (“Mereka sudah baku kenal dengan kami sejak lama. Sampai kebun saya di hutan itu sama dengan kebun mereka sendiri. Mereka sering ambil pisang, ubi.”)

Selama Bokum dan Nuhu dipenjara, Melki dan Rina berusaha semampunya membantu kebutuhan pangan keluarga komunitas Tobelo Dalam di Akejira. Terlebih, stok sembako yang biasa diberikan perusahaan tambang nikel kepada komunitas Tobelo Dalam kala itu putus karena urusan internal perusahaan.

Pada satu titik, Rina akhirnya mengajarkan istri Bokum dan keluarga suku lain menanam singkong, ubi jalar, dan tanaman lain untuk proteksi pangan mereka ke depan. “Saya kase ajar dorang batanam,” ujarnya..

Beberapa hari sebelum saya berbincang dengan keduanya, Rina bilang Bokum dan istrinya meminta bibit singkong. Mereka sudah mulai terbiasa menanam tanaman yang sebelumnya tidak mereka kenal dan kelola di hutan.

Kalu torang mo perubahan dong pe pola hidup (untuk menanam dan menetap), boleh tong buju, bisa dong mau,” kata Melki.

Ruang Hidup Menyempit karena Ekspansi Korporasi Nikel

Dari hasil penelitiannya selama ini, sosiolog Syaiful Majid meyakini tuduhan orang Tobelo Dalam sebagai ‘pembunuh’ adalah stigma yang dinarasikan orang luar.

Sebutan itu memperpanjang stigma-stigma lain yang kadang kala muncul dari aparat keamanan maupun otoritas pemerintah seperti “suku terasing”, “Togutil primitif”, “tidak berbudaya”, atau “bodoh.”

Kasus seperti Bokum dan Nuhu bukan yang pertama dan terakhir. Pada 2019, enam orang dari Suku Tobelo Dalam menghadapi tuduhan kasus serupa di hutan Waci. Peristiwa yang dianggap memiliki motif serupa terjadi di hutan Patani, Halmahera Tengah pada 2021. Ketika itu, tiga warga dimutilasi orang tidak dikenal dengan senjata tradisional. Polisi kemudian mengerucutkan pelakunya adalah ‘Suku Togutil.’

“Stigma bahwa orang Tobelo Dalam pembunuh itu tidak benar,” kata Syaiful.

(Kiri ke kanan) Bokum dan Nuhu didampingi seorang penerjemah pada persidangan tahun 2015. (Dokumentasi AMAN Maluku Utara)

Orang Tobelo Dalam membunuh orang lain kalau sistem sosial kehidupan mereka dilanggar, ujar Syaiful. Selama itu tidak terjadi, mereka tidak berani melakukan pembunuhan. Saat meneliti, Syaiful bahkan melihat bagaimana warga yang mencari gaharu tidak mengalami kekerasan sedikitpun saat berhadapan dengan orang Tobelo Dalam.

Syaiful menduga pembunuhan di hutan Pulau Halmahera dipicu ada perebutan ruang di hutan. Di dalam hutan, tidak selamanya didominasi oleh orang Suku Tobelo Dalam. Warga sekitar kawasan hutan kerap memanfaatkan ruang-ruang itu untuk menjerat hewan buruan dan mengambil hasil alam lain.

“Mungkin saja ada ruang-ruang hidup di hutan yang jadi rebutan,” kata Syaiful.

“Semua rentetan pembunuhan itu saat ada musim pala berbuah. Makanya saya berpikir bahwa pembunuhan ini terjadi karena ada perebutan ruang di hutan.”

Soal perebutan ruang, ia tidak yakin orang Suku Tobelo Dalam terlibat. “Hutan itu rumah mereka, bagaimana mau ganggu rumah sendiri. Kan tidak mungkin.”

Ada kultur ketika perempuan Orang Tobelo Dalam melahirkan, mereka wajib menanam pohon, sesuatu yang tidak ada dalam kehidupan orang modern atau warga yang sudah bermukim menetap.

“Mereka melestarikan hutan itu cukup luar biasa. Karena hutan dianggap sebagai rumah,” tambah Syaiful.

Munadi Kilkoda dari AMAN bersepakat dengan Syaiful. Ia mengatakan perampasan ruang hidup orang Tobelo Dalam semakin masif.

Bukan hanya ruang hidup, stok makanan Tobelo Dalam semakin menipis seiring perluasan konsesi pertambangan beserta kawasan industri di dalam kawasan hutan.

Hal itu bisa terlihat dari rutinitas Bokum dan Nuhu mengambil beras, ikan, hingga mi instan, yang sekaligus menggambarkan bagaimana perusahaan membangun ketergantungan di tengah-tengah masyarakat adat.

Tersingkir dari hutan, sebuah keluarga Suku Tobelo Dalam kini hidup dan membangun rumah bivak di tepi jalan lintas Subaim-Buli, Halmahera Timur. (Project M/Rabul Sawal)

Alih fungsi kawasan hutan menyebabkan orang Suku Tobelo Dalam tersisih dari ruang produksi mereka. Hewan buruan dan pangan lokal nyaris lenyap. Dalam kawasan hutan, ada sejumlah perusahaan raksasa yang terus menerus menerobos wilayah mereka, yakin PT Weda Bay Nickel (WBN), PT Tekindo Energi, dan PT Position. Ketiganya mengelola nikel.

Geoportal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat PT WBN memiliki izin konsesi pertambangan mencapai 45.065 hektare yang mencakup Kabupaten Halmahera Timur dan Halmahera Tengah. PT Tekindo Energi memiliki izin usaha pertambangan mencapai 1.000 hektare di Halmahera Tengah, dan PT Position mengantongi IUP untuk luas wilayah operasi mencapai 4.017 hektare di Halmahera Timur.

“Ini operasi semua. Bukan wilayah kecil, tapi tambang yang cukup besar. Otomatis tidak ada binatang (hewan buruan) yang lewat. Harta dan kebun yang ada disitu semua habis,” kata Munadi.

Ngigoro berkata sekarang ruang hidup mereka makin terancam karena ada perluasan kawasan industri. Kawasan hutan yang dihuni orang Suku Tobelo Dalam dibabat habis.

“Torang so tarada apa-apa sekarang.”


Tulisan ini adalah bagian dari serial #MasyarakatAdat untuk memotret ragam kisah penjaga alam yang terpinggirkan kekuasaan.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Ronna Nirmala
17 menit