Pohon Aren di Kampung Adat Dukuh Garut: Ditebang Kekuasaan, Ditinggal Tuntutan Zaman

Ronna Nirmala
10 menit
Mutaqin (53) melakukan nyadap kawung atau penyadapan air nira yang berasal dari pohon Aren. Ia menggunakan tangga khusus dari sebatang bambu untuk memanjat pohon aren setinggi 10-15 meter. (Project M/Dicki Lukmana)

Pohon aren adalah simbol kehidupan masyarakat adat di Garut. Namun, seiring produksinya yang meningkat, masyarakat Kampung Adat Dukuh justru semakin kehilangan hak ulayat atas pohon arennya. 

POHON AREN Mutaqin (53) sebentar lagi panen. Umurnya belum genap tiga tahun tetapi langari atau bunga aren penanda pohon siap panen sudah muncul. 

“Assalamualaikum, Nyai. Ieu akang sumping deui… [Nyai, saya datang lagi],” ucap Mutaqin saat menyapa dan meminta izin sebelum memanen pohon yang ia hormati itu. 

Pohon aren Mutaqin tumbuh di hutan dekat Kampung Dukuh, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Lokasinya diapit tiga gunung: Gunung Batu Cupak, Gunung Dukuh, dan Gunung Batu. 

Mutaqin memulai proses panen dengan membersihkan pohon sambil merapalkan pengharapan. 

“Nyai, hidep teh geus manjing dewasa, akang bogoh ka hidep, sing iklas sing rido, hiji mangsa akang nitah nyuluran omat hidep ulah pundungan. Sing jadi bekel hasil ti hidep kahirupan dunya jeung ahirat.”

[Nyai, kamu sudah masuk usia dewasa, saya (penyadap) sayang sama kamu, kamu harus ikhlas dan ridho, jika suatu hari saya minta orang untuk menyadap kamu, kamu jangan marah. Semoga apa yang dihasilkan dari niramu dapat bermanfaat dunia akhirat.]

Mutaqin lalu mengiris tangkai bunga. Tak lama sarinya, air nira, menetes dengan lancar. Tabung bambu kosong dipasang untuk menampung sari aren. Mutaqin biasanya akan kembali lagi keesokan pagi untuk mengambil tabung bambu yang sudah penuh dengan air nira. 

Nyadap kawung atau penyadapan air nira dilakukan dua kali sehari. Sambil menunggu hasil penyadapan, istri Mutaqin, Masitoh (45), akan menyiapkan kebutuhan untuk pengolahan air nira menjadi gula. Seluruh proses pengolahan dilakukan di dapurnya.

“Agar rasanya tidak berubah menjadi asam, air nira tidak boleh didiamkan lebih dari 3 jam,” kata Masitoh.

Kendati demikian, air nira yang tidak bisa dijadikan gula tetap masih bisa dikonsumsi menjadi lahang atau minuman. Lahang diyakini warga dapat mengembalikan stamina karena ia memberikan nutrisi bagi tubuh yang kelelahan.

“Air nira dari satu pohon aren itu bisa sekitar 5-10 liter. Air nira yang bagus bisa menghasilkan 2 lonjor gula aren atau sekitar 8 gandu,” kata Masitoh.

Proses memasak air nira bisa memakan waktu 4-5 jam. Kuali besar yang dipanaskan dengan kayu bakar akan terisi penuh dengan air nira dan ketika telah mencapai tingkat kekentalan tertentu maka selanjutnya akan dimasukan kemiri atau kelapa untuk mempercepat proses pemadatan.

Cairan nira yang telah mendidih siap dicetak dan dimasukkan ke dalam cetakan dari bambu lalu disimpan di atas tempat penyimpanan di atas tungku api tradisional (paraseuneu) hingga padat dan menjadi gula.

Masitoh (45), istri Mutaqin (53), mengolah air nira hingga menjadi gula sekaligus memasarkannya. Pasangan ini masih bertahan memanfaatkan pohon aren sebagai sumber penghidupan di Kampung Adat Dukuh. (Project M/Dicki Lukmana)

Setelah menjadi gula, maka Masitoh akan menjualnya di sekitar kampung. Ia mengemas gula aren ke dalam pelepah pohon aren. Satu kemasan berisi 4 gandu (bulatan) dengan berat berkisar 9 ons sampai 1 kilogram, bergantung kepadatan gula yang dihasilkan. 

Harga jual bervariasi, Rp30 ribu hingga Rp40 ribu per 8 gandu. Terkadang ada beberapa pengepul yang mengambil ke rumahnya dan membawanya untuk dijual ke pasar-pasar di kota. Untuk para pengepul, Masitoh akan memberikan harga yang lebih murah. 

Bila sedang musim panen, Masitoh bisa meraup Rp3 juta – Rp4 juta per bulan dari menjual aren. Seringnya, pendapatan itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dapur dan anak-anaknya. 

Klaim Sepihak Hak Ulayat

Sudah lebih dari 20 tahun, Mutaqin menyadap pohon aren. Jalan hidupnya itu turun-temurun, dari kakek buyutnya, juga di hutan yang sama. 

Bapak dari 11 anak itu begitu cekatan memanjat pohon aren setinggi 10-15 meter dengan menggunakan tangga khusus dari sebatang bambu, bahkan tidak sampai satu menit dia sudah berdiri tegak di atas pohon.

“Dulu banyak pohon aren yang tumbuh di sini, sekarang sudah mulai langka,” ucap Mutaqin sore itu, sambil berjalan menyusuri Hutan Larangan untuk menuju ke ladangnya. Masyarakat Kampung Adat Dukuh percaya Hutan Larangan adalah area keramat yang tidak boleh diganggu bukan hanya penduduk setempat tetapi juga orang luar.

Pohon aren menjadi simbol penting dalam lahirnya Kampung Adat Dukuh. Pohon aren bukan sekadar tanaman biasa yang tumbuh di hutan atau ladang. Pohon aren telah menjadi legenda yang kisahnya terus dituturkan melalui tradisi lisan para leluhur Kampung Adat Dukuh. 

Mutaqin tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya ketika pohon aren di hutan Kampung Adat Dukuh semakin berkurang.  

Catatan turun-temurun kuncen Kampung Adat Dukuh menyebut masyarakat adat awalnya memiliki hak ulayat atas lahan hingga ribuan hektare. Ulah pendudukan Belanda yang dilanjutkan ambisi pembangunan pemerintah Indonesia beserta korporasi swasta, membuat hak ulayat habis dibabat. 

Dari ribuan hektare itu, saat ini hak ulayat hanya tercatat kurang dari 10 hektare. Sisa area itu terbagi menjadi tiga bagian yaitu hutan keramat (larangan), hutan leluhur (awisan), dan permukiman.

Sementara, sisa lahan lainnya telah dikelola badan usaha milik negara, Perum Perhutani, dengan penanaman jati dan rimba lainnya. 

Pasca-tumbangnya rezim Orde Baru, masyarakat Kampung Adat Dukuh berupaya merebut kembali tanah mereka. Lahan jati Perhutani itu kemudian dipetak-petakkan masyarakat menjadi ladang. 

Nandang Herdiana, Wakil Administratur Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Nandang Herdiana mengatakan kawasan hutan Kampung Adat Garut berada dalam Kelompok Hutan Gunung Goong yang mencapai 912,53 hektare. 

Nandang merujuk pada SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 4755/2014. Dalam SK disebutkan wilayah Kampung Adat Dukuh masuk ke dalam Resor Pengelolaan Hutan (RPH) Cikelet, Bagian Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH), KPH Garut. Pada SK yang sama juga disebutkan, secara partisipatif, kawasan hutan dibagi dalam dua wilayah, Hutan Pangkuan Desa (HPD) yang masuk wilayah administratif Desa Cijambe dan lainnya masuk wilayah administratif Desa Ciroyom, Kecamatan Cikelet.

Nandang mengakui bahwa pembagian wilayah itu belum disepakati dengan masyarakat adat.

“Adapun wilayah pengelolaan berdasarkan adat belum dibuat kesepakatan, baik dengan Perum Perhutani maupun Perum Perhutani dan pemerintahan desa dengan masyarakat hukum adat,” kata Nandang.

Bagi masyarakat adat, tidak adanya kesepakatan berarti pengabaian atas hak mereka. Pasalnya, sejak Perhutani mengelola kawasan itu, banyak masyarakat adat yang tidak bisa lagi menyadap pohon aren.

Mama Uluk, sesepuh dan juru kunci Kampung Adat Dukuh (Project M/Dicki Lukmana)

Mama Uluk, kuncen Kampung Adat Dukuh, mengatakan perwakilan masyarakat adat pernah meminta kepada pemerintah untuk segera membuat kesepakatan tetapi tak kunjung membuahkan hasil. 

“Pernah saya sampaikan dengan orang kehutanan (Perhutani). Kalau bicara hutan, sebenarnya orang kehutanan kudu babarengan [harus berbarengan] dengan orang adat. Jadi, urusan adat ini harus jelas tujuannya ke mana dan arahnya juga ke mana,” kata Mama Uluk.

Iip Sarip Hidayana, budayawan asal Garut dan staf pengajar Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, mengatakan dalam tradisi tutur masyarakat Kampung Adat Dukuh disebutkan bahwa wilayah adat ditandai dengan aliran Sungai Cimangke dan Sungai Cipasarangan. 

Namun, secara pemetaan geografis yang dibuat pemerintah, hak ulayat tersebut menjadi cakupan wilayah hutan yang masuk dalam bagian area pengelolaan Perhutani.

“Jika pemerintah bijaksana dan mau mencari solusi seharusnya dicari jalan terbaik dengan membuat Perda yang mengatur tanah ulayat masyarakat adat kampung Dukuh,” kata Iip.

Henriana Hartra (50), anggota Dewan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Nasional menambahkan, masyarakat adat di Jawa Barat terbiasa menyelesaikan konflik dengan mengedepankan negosiasi. 

“Ketika menghadapi ancaman dari luar, warga akan menutup pintu rumah, kampung adat, serapat-rapatnya untuk melindungi diri dan bertahan, tetapi ada satu pintu di belakang yang dibuka. Itu lah pintu negosiasi,” ungkap Kang Noci, sapaan Henriana.

Pada Desember 2023, tokoh masyarakat Kampung Dukuh Adat bersama AMAN melakukan pemetaan kembali wilayah ulayat. Dari pemetaan itu, mereka mencatat luas wilayah ulayat terbagi di tiga desa yakni Cijambe, Ciroyom, dan Karangsari. Total luasnya mencapai 5.427 hektare, termasuk lahan-lahan yang dikelola oleh Perhutani. 

Alih Profesi

Gula aren menjadi komoditas non-unggulan yang mulai digemari pasar. Popularitasnya meningkat berkat warung-warung kopi kekinian yang menawarkan alternatif dari gula kristal putih. Gula aren memiliki kandungan yang lebih rendah kalori, kolesterol, dan lemak.

Data Kementerian Pertanian tahun 2020 menunjukkan, Jawa Barat adalah sentra aren tertinggi di Indonesia dengan luas lahan mencapai 15 ribu hektare dan total produksi 62.940 ton. Data yang sama juga menunjukkan status pengusahaan di Jawa Barat adalah 100 persen perkebunan rakyat (PR).

Produksi gula aren di Jawa Barat sepanjang 2013-2022. Sumber: Open Data Jabar (Project M/Zulfikar Arief)

Produksi gula aren di Jawa Barat meningkat dalam sepuluh tahun terakhir. Open Data Jabar menunjukkan, total produksi aren di provinsi ini selama periode 2013-2022 mencapai 440 ribu ton.

Kabupaten Garut menjadi wilayah penghasil gula aren terbanyak ketiga di Jawa Barat, setelah Kabupaten Cianjur dan Tasikmalaya. Total luas lahan pertanian aren di Kabupaten Garut pada tahun 2022 mencapai 2.863,7 hektare atau sekitar 19 persen dari total lahan aren di Jawa Barat. 

Lima kabupaten penghasil gula aren di Jawa Barat. Sumber: Open Data Jabar (Project M/Zulfikar Arief)

Selama periode 2017-2021, Kabupaten Garut memproduksi gula aren mencapai 16.168 ton per tahun. Angka itu menurun pada tahun 2022, dengan produksi gula aren sebanyak 15.826 ton.

Seiring meningkatnya popularitas gula aren, persoalan hak ulayat masyarakat Kampung Adat Dukuh masih jauh dari kesepakatan. Persoalan lahan itu turut menggiring ancaman lain pada kelestarian pohon aren. 

Mutaqin merasakan dalam lima tahun terakhir, bukan hanya pohon aren yang semakin jarang di kampungnya tetapi juga para petani yang lambat laut beralih profesi. 

Ia, istri, dan anaknya merupakan keluarga satu-satunya yang masih bertahan sampai hari ini sebagai petani aren. Saat ini, Kampung Adat Dukuh dihuni oleh 110 kepala keluarga yang terbagi 70 KK di Kampung Dukuh Luar dan sisanya di Kampung Dukuh Dalam. 

Warga lain yang sebelumnya bertani aren beralih profesi menjadi buruh harian lepas atau merantau ke kota besar. 

Luas lahan perkebunan aren di Kabupaten Garut, 2013-2022. Sumber: Open Data Jabar (Project M/Zulfikar Arief)

Iip Sarip menjelaskan, relasi antara pohon aren dan pertanian di tanah ulayat Kampung Adat Dukuh adalah markah bagi tata cara ekonomi, budaya, juga kelestarian lingkungan masyarakat setempat. 

Menyusutnya area garapan lambat laun mengikis harapan atas penghidupan yang layak. Sementara, pesatnya modernisasi di luar wilayah kampung seolah menjanjikan solusi bagi masa depan yang lebih baik. 

“Generasi pragmatis melihat bekerja di kota, bekerja di luar kampung itu seolah-olah menjanjikan,” kata Iip Sarip.

Mama Uluk, kuncen juga ketua Kampung Adat Dukuh berharap pemerintah dan generasi penerus melihat keberadaan dan keberlangsungan hutan adat menjadi solusi kehidupan manusia yang lebih baik. 

Ia mengatakan, Hutan Larangan yang ada, meski dalam jumlah sangat terbatas, justru memberikan kontribusi terhadap upaya pencegahan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. 

“Warisan tradisi masyarakat Kampung Dukuh yang sangat kaya sejatinya bisa menjadi benteng terakhir penjaga budaya, sebagai upaya pelestarian lingkungan,” kata Mama Uluk.

Seperti halnya pohon aren, lanjut Mama Uluk. Pohon dengan akar kuat yang umumnya tumbuh di sekitar tebing dan lembah ini sejatinya berguna mencegah terjadinya longsor. Selain itu, pohon aren juga memiliki kemampuan menyimpan air dengan sangat baik. Maka tak heran jika wilayah yang ada di sekitar Kampung Adat Dukuh dapat menjadi sumber air bagi masyarakat setempat.

“Seperti tangkal kawung [pohon aren] yang hidupnya di sirah-sirah cai [mata air] itu dapat menunjang kehidupan.”

Yayan Hermawan (60), salah satu warga Kampung Adat Dukuh, mengatakan ia dan masyarakat yang tersisa akan terus memperjuangkan hak dan wilayah adatnya agar bisa dilestarikan sesuai fungsinya. Selain juga mengupayakan dan mendorong Undang-Undang Masyarakat Adat agar segera disahkan. 

“Kalau hutan kita rusak, kita juga pasti ikut rusak. Karena itu sumber kehidupan,” kata Yayan, yang tergabung di AMAN.

“Kami bukan mau menguasai, tapi membenahi. Mana yang disebut wilayah adat, kembalikan ke adat.”

Mutaqin (53) sedang membawa taraje menyerupai tangga terbuat dari bambu untuk memanjat pohon aren dengan ketinggian 10-15 meter guna mengambil air nira. (Project M/Dicki Lukmana)

Sementara bagi Mutaqin dan keluarga, mereka berikhtiar akan terus menyadap pohon aren. Mutaqin enggan meninggalkan pohon aren begitu saja. Ia hanya berharap agar di tengah prahara yang terjadi, pohon aren akan tetap ikhlas memberikan hasil terbaiknya untuk Kampung Adat Dukuh. 

“Sekarang datang musim penyakit, saya juga heran kawung yang sudah mau diambil airnya kadang-kadang kering sendiri,” tukas Mutaqin.


*Liputan yang menjadi bagian dari serial #MasyarakatAdat ini merupakan hasil dari pelatihan jurnalistik bertajuk, “Suara Perubahan Iklim dari Pinggiran” yang digelar Project Multatuli pada Oktober 2023.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Ronna Nirmala
10 menit