Putar Video

Perampasan Lahan di Sirkuit Mandalika

Balapan Moto GP di Mandalika, Lombok, sebentar lagi akan digelar. 13-15 Oktober 2023. Ingar bingarnya sudah terasa dari sekarang.

Wilayah yang dahulunya adalah hutan dan pertanian, ruang hidup Suku Sasak, kini berganti area arena balap dengan segala kemegahannya.

Namun, bagi warga seperti Amak Saleh yang telah hidup lama di sekitar area sirkuit, ingar bingar Moto GP itu tak membawa imbas positif. Warungnya tetap sepi, wisatawan tak datang ke Pantai Seger karena aksesnya ditutup panitia sirkuit.

“Penghasilan tak ada. Mau keluar rumah juga jadi sulit karena dibatasi.”

Amak Saleh adalah rantai terlemah di tengah ambisi besar pembangunan pariwisata di Lombok Tengah. Tanahnya seluas 3.600 m² itu ditawar Rp1 juta per are (100 m²), di bawah harga pasaran. Tak ada nego, hanya dua pilihan yang diberikan: terima atau digusur paksa.

“Mau tidak mau saya terima. Di situ ada pemaksaan.”

Ambisi itu telah lahir sejak 2010, destinasi wisata prioritas kelas dunia, ingin menyaingi Bali. Mandalika melahap lahan 1.175 ha, termasuk 4 desa di dalamnya.

Biaya pembangunan sebesar Rp9,25 triliun. Sumber dananya dari penyertaan modal negara dan utang 248,4 juta USD atau setara Rp3,8 triliun, salah satunya dari Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB).

Di antara kemegahan itu, bagaimana dengan warga setempat? Amak Sai, misalnya. Ia hanya bisa berharap agar hasil panen dan lautnya cukup untuk menghidupi keluarga.

“Pembangunan zaman sekarang itu sudah kayak di Jalur Gaza. Tapi saya tetap akan mempertahankan dan menuntut hak.”

Proyek KEK Mandalika menebar janji kesejahteraan bagi warga lokal: kehidupan lebih baik dan lapangan pekerjaan bagi warga lokal. Namun, warga tak paham kesejahteraan apa yang dimaksud. Hanya ada kumpulan aparat di Dusun Ebunut ketika bapalan berlangsung.

Sementara, kehidupan warga yang direlokasi juga tak jauh berbeda. Fadilah, tak ada lahan yang bisa digarap, warung kecilnya tak mencukupi kebutuhan sehari-hari, tak ada bantuan apa-apa.

“Saya tak mau mati di sini. Di sini semua sulit. Saya hanya berharap bisa segera dipindah.”


Laporan yang didukung Pulitzer Center on Crisis Reporting ini dapat dibaca selengkapnya di tautan berikut.

 

Produser: Adi Renaldi

Narator: Joan Aurelia