Perempuan Pesisir Selat Madura: Menjadi Polisi Keluarga, Membangun Koperasi Untuk Mendukung Ekonomi Warga

Adrian Mulya, Ronna Nirmala
8 menit

Di Kampung Nelayan Nambangan, para perempuan nelayan berserikat untuk mendukung kebutuhan rumah tangga juga menjaga ruang hidup bersama. 


AROMA IKAN GORENG tercium kencang dari sebuah posko di Kampung Nelayan Nambangan, Kecamatan Bulak, Surabaya. Di pagi terik itu, kesibukan para perempuan nelayan tidak seperti hari-hari biasanya.

Mereka melewatkan rutinitas memproses hasil tangkapan ikan yang biasa dilakukan sedari siang hingga tengah malam. Mereka mengganti peralatan dengan alat tulis dan menyiapkan beragam jenis lauk untuk dikonsumsi bersama.

Hari itu, para perempuan nelayan yang tergabung dalam Kelompok Ibu Mandiri (KIM) hendak menggelar pertemuan rutin Koperasi 64 (Nam-Pat) Bahari, perserikatan yang menyediakan unit usaha simpan-pinjam hingga toko serba ada untuk para nelayan setempat. Nama Nam-Pat diambil merujuk pada wilayah mereka, Nambangan dan Bulak Cumpat.

Pengurus koperasi dengan mahasiswa jurusan kelautan sedang berdiskusi mengenai proses pembuatan produk olahan dan persoalan yang dihadapi nelayan Nambangan. (Project M/Muni Moon – CC BY-NC-ND 4.0)

Koperasi 64 Bahari dibentuk atas inisiatif para perempuan anggota KIM pada tahun 2017, sebut Jihan Nafisa (29), sekretaris pengurus koperasi. Ia bilang, koperasi berdiri untuk merespons cuaca ekstrem berkepanjangan yang menyebabkan para nelayan tidak bisa melaut dan tidak berpenghasilan.

Bukan hanya itu, kerusakan pesisir akibat aktivitas penambangan pasir laut yang sekitar satu dekade silam, juga membuat mereka merasa perlu untuk menyiapkan jaring pengaman lain agar para nelayan tetap berdaya.

Pasalnya, sejak kerusakan yang terjadi, hasil tangkapan nelayan menurun sehingga para istri kerap mencari uang pinjaman, termasuk ke rentenir.

Pada 2012, ratusan warga nelayan dari Desa Nambangan dan Cumpat mengusir kapal milik PT Gora Gahana, rekanan PT Pelindo III (Persero), yang tengah menambang pasir di Selat Madura.

Pengusiran itu menjadi bagian dari penolakan warga atas aktivitas yang merusak wilayah pesisir itu. Sebelumnya, warga juga menggelar aksi unjuk rasa di Gedung DPRD Jawa Timur menuntut pencabutan izin penambangan pasir PT Gora Gahana.

Selesai dengan penambangan pasir, warga nelayan juga masih harus menghadapi ancaman dari rencana reklamasi di kawasan Pantai Kenjeran Surabaya.

Dua ambisi pembangunan itu menyebabkan para nelayan harus melaut lebih jauh untuk bisa mendapatkan ikan. Keresahan itu yang mendorong warga untuk bersatu.

“Kalau kita melawan dengan hanya satu orang tidak akan kuat, tapi jika kita bersatu pasti kita akan kuat,” kata Hilmatul Baidlo (38), salah satu pengurus Koperasi 64 Bahari.

Kelompok Koperasi 64 Bahari, melakukan rapat anggota pada tahun 2022. (Project M/Muni Moon – CC BY-NC-ND 4.0)
Buku tabungan Koperasi 64 Bahari yang dikelola para perempuan nelayan di Kampung Nelayan Nambangan, Kenjeran, Surabaya. (Project M/Muni Moon – CC BY-NC-ND 4.0)

Sepanjang perjalanan perjuangan warga, para perempuan nelayan yang tergabung dalam KIM terekam menjadi yang paling solid dan tegas dengan berbagai upaya-upaya represif. KIM lantas menjadi embrio Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) ranting Surabaya yang berada di bawah naungan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI).

Munir, Pengurus Dewan Pimpinan Daerah KNTI, bercerita bahwa ketika para lelaki melaut untuk mengusir kapal asing, perempuan-perempuan KIM berkumpul di masjid melakukan salat istighosah meminta perlindungan bagi keselamatan anggota keluarga dan agar ruang hidup mereka tidak dirampas.

Bahkan para perempuan anggota KIM lainnya juga berani ikut dalam aksi pengusiran kapal tersebut.

Peran KIM serupa polisi keluarga. Semisalnya bila salah satu dari suami ketahuan menerima suap dari PT Gora Gohana, maka para istri tidak akan segan menegur mereka. Suap itu konon agar warga tidak ikut terlibat dalam aksi menolak penambangan pasir di Selat Madura.

***

Mengatur Hasil Tangkapan dan Uang Pinjaman

Awal berdiri, Koperasi 64 Bahari memiliki dua unit usaha simpan pinjam dan toko serba ada yang menjual peralatan dan kebutuhan nelayan lainnya.

Memasuki tahun keduanya, setelah mendapatkan pelatihan mengolah produk hasil laut dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan instansi pemerintah, tercetus ide untuk menambah unit usaha dengan menjual produksi hasil olahan.

Ikan bulu ayam hasil laut utama nelayan Nambangan Kenjeran dan kerajinan kerang.(Project M/Muni Moon – CC BY-NC-ND 4.0)

Ide menjual produksi hasil olahan ini juga muncul karena problem simpan-pinjam. Jihan mengatakan, beberapa warga yang meminjam sulit untuk mengembalikan atau bahkan tidak mau mengembalikan.

“Makanya kita fokus beberapa tahun ini menyetop peminjaman dan kita putar terus toserba dan hasil olahan ikan laut,” kata Jihan.

“Meskipun ada beberapa kendala tapi, sejak ada koperasi, rentenir sudah tidak ada di kampung kami”, Hikmatul Baidlo, anggota koperasi lainnya menambahkan.

Menurut Jihan, para perempuan menyadari potensi besar dari hasil perikanan di wilayahnya adalah jenis-jenis ikan kecil seperti teri dan rebon.

Namun, menjual dua jenis ikan ini tidak mudah. Bila dijual dalam bentuk basah ke tengkulak, maka harga jualnya akan rendah. Sehingga mereka perlu mengolahnya terlebih dahulu untuk menaikkan harga jual.

Saat ini, produk olahan yang dikembangkan Koperasi 64 Bahari seperti balado ebi dan ikan krispi.

“Kendalanya saat ini di kemasan dan pemasaran. Kalau untuk komoditinya selalu ada, kita selalu produksi dan sejauh ini hanya melalui pesanan dan pembeli harus menunggu kurang lebih tiga hari,” jelas Jihan, sambil mencatat keluar masuk uang koperasi.

Mayoritas warga Nambangan adalah nelayan menangkap ikan dengan perahu kecil maupun kapal jaring.(Project M/Muni Moon – CC BY-NC-ND 4.0)
Komoditi terbesar adalah ikan, di antaranya seperti ikan teri dan ikan rebon. Supaya harga jualnya naik, maka ikan harus diolah terlebih dahulu. (Project M/Muni Moon – CC BY-NC-ND 4.0)
Produk olahan hasil laut ikan krispi dijual dengan kisaran harga Rp20.000 – Rp200.000.  Keuntungan dari penjualannya berkisar 10 persen dan akan disimpan untuk kas koperasi. (Project M/Muni Moon – CC BY-NC-ND 4.0)

Keuntungan dari produksi olahan ikan tidak sampai 10 persen dan hanya cukup untuk bagi hasil dengan para anggota yang ikut produksi. Bila sedang untung banyak, hasilnya bisa untuk tambahan membeli berbagai kebutuhan rumah tangga.

Koperasi 64 Bahari saat ini memiliki anggota aktif berjumlah 142 orang. Meski tidak digaji tetap ataupun diberi tunjangan seperti untuk hari raya, para anggota mengaku mereka mengurus koperasi dengan sukarela.

“Mengurus koperasi itu sukarela tidak ada imbalan apapun. Untuk membesarkan koperasi, ya, siap diomelin orang, dilabrak orang, ditegur orang dan itu juga kita lakukan dengan senang hati karena itu kita lakukan niatnya untuk masyarakat,” kata Jihan.

Jihan mengatakan alasannya terlibat dalam Koperasi 64 Bahari juga gerakan perempuan pesisir karena sejak kecil, ia sudah merasakan perjuangan orang-orang di sekelilingnya dalam bertahan hidup.

“Saya lihat, saya dengar, akhirnya saya berpikir, oh, saya juga tidak bisa menjadi orang yang cuek dan tidak peduli ketika ada sesuatu yang tidak sesuai hati nurani saya. Ketika ada masalah di kampung, seperti pengerukan pasir, paving yang tidak sesuai, gorong-gorong yang macet atau koperasi juga melihat ibu-ibunya kesulitan akhirnya saya terdorong ikut bergabung,” kata Jihan.

Jihan Nafisa, Himatul Baidlo dan Afifah para pengurus Koperasi 64 Bahari. (Project M/Muni Moon – CC BY-NC-ND 4.0)

Senada dengan Jihan, Afifah juga tergerak untuk bergabung Koperasi 64 Bahari karena rasa solidaritas dengan semangat juang warga kampung. Di sisi lain, ia juga melihat dan merasakan bagaimana kehadiran Koperasi 64 Bahari banyak memberikan kemudahan bagi keluarganya.

Afifah berasal dari keluarga nelayan. Ia ingat bahwa setiap kali ayahnya ada keperluan membeli alat tangkap harus berangkat ke Pasar Pabean yang berjarak 9 km dari kampung. Dengan kehadiran Toserba Koperasi 64 Bahari, maka ayahnya bisa berhemat ongkos untuk membeli kebutuhan alat tangkap seperti jaring, umpan dari gabus, dan berbagai jenis tali lengkap.

Afifah juga mengingat sebelum ada koperasi, ibunya kerap menjadi sasaran para tetangga untuk meminjam uang. Piutang ibunya itu jarang kembali lagi dalam bentuk uang. Para tetangga biasanya membayar dengan menjual barang-barang rumah seperti piring, sendok, garpu, hingga sarung.

Ibunya tidak pernah menolak. “Gak popo sakno wong iku gawe bayar anak’e sekolah,” (tidak apa-apa, mereka perlu untuk bayar anaknya sekolah) begitu ibunya kerap menjawab.

Jawaban ibunya itu yang membuatnya terketuk. Ia berpikir bagaimana kalau suatu hari nanti situasi itu berbalik kepadanya. Siapakah yang akan menolongnya?

“Nah, kata-kata ibu saya itu menjadi cambukan buat saya, suatu saat mungkin kita akan ditolong orang karena kebaikan kita di masa lalu,” kata Afifah yang kini berprofesi sebagai guru PAUD di Desa Cumpat.

Selain membantu Koperasi 64 Bahari, Afifah juga tergabung dalam Kelompok Bojone Nelayan (KIM KABONE). Kelompok yang memiliki sepuluh orang anggota ini biasanya melakukan kegiatan mengelola sisa hasil tangkapan yang tidak terpilih untuk dijual.

Ikan-ikan tersebut akan diolah dengan adonan tepung kemudian digoreng sehingga menjadi kerupuk dan cemilan ringan. Produknya terpampang di etalase Toserba Koperasi 64 Bahari.

Keuntungan dari penjualan tak banyak, tetapi lumayan untuk menambal kebutuhan sehari-hari.

“Ibaratnya masyarakat kita di sini bukan tetangga tetapi keluarga kita. Kalau kita lihat saudara kita kesakitan, masa kita diam saja. Hati nurani kita yang terketuk. Kita tidak ada gaji, kita berangkat dari hati nurani,” tukas Afifah.

Daun jendela dari Posko Nelayan tempat koperasi 64 bahari berada. Menghadap ke laut jadi tempat keluar masuknya angin ke dalam Posko. (Project M/Muni Moon – CC BY-NC-ND 4.0)

Cerita foto ini menggunakan lisensi CC BY-NC-ND 4.0.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Adrian Mulya, Ronna Nirmala
8 menit