Perjuangan Sekolah Adat Bowonglangit: Dulu Mereka Panggil Kami Budak, Kini Kami Berdaya

Mawa Kresna
15 menit
Pattallassang
Seorang perempuan belajar di sekolah adat Bowonglangit di dusun Pattallassang, Desa Pao, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. (Project M/Andi Hajramurni)

Mau pattang, mau bosi (Walau gelap malam, walau hujan)

Mange’tonja assikola (Kami tetap pergi sekolah)

Mangetonja assikola (Kami tetap pergi sekolah)

E….. Aule

Rombele appa minang jago… (Rombongan belajar empat memang jago) 

Yel-yel itu selalu digelorakan peserta sekolah adat Bowonglangit, Pattallassang, Gowa, Sulawesi Selatan, saat proses belajar mengajar dimulai. 

Dan sebagai penutup, mereka lantunkan yel-yel lain:

Punna abbokomo lampaku (Jika saya telah pergi)

Ellaki rampea kodi (Jangan mengenang keburukan saya)

Rampea golla, nakuranpeki kaluku (Kenanglah saya laksana gula, dan kukenang engkau seperti kelapa)

Yel-yel itu, bukan sekadar lantunan pengantar belajar, tapi memang demikianlah faktanya. Mereka akan tetap datang untuk belajar, meski sekolah itu dibuka malam hari dan kampung Pattalassang diguyur hujan. 

Seperti malam itu, puluhan warga rukun kampung (RK) Borong Parring, dusun Pattallassang, Desa Pao, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, telah berkumpul di rumah Dussing, 56 tahun, salah satu tetua adat Pattallassang. Rumahnya dijadikan sarana belajar sekolah adat Bowonglangit. 

Warga mulai berdatangan selepas shalat Isya. Padahal, malam itu, kampung Pattallassang diguyur hujan. Mereka berjalan kaki sejauh satu kilometer, menenteng payung atau daun pisang sebagai pelindung dari guyuran hujan. Lampu senter dari telepon seluler, menjadi andalan mereka untuk menghindari jalan yang rusak, berlubang, dan berlumpur. Maklum, di kampung itu belum ada lampu penerangan jalan. 

Seperti tidak ada kata lelah bagi mereka. Padahal sepanjang pagi hingga sore, mereka, terutama laki-laki, bekerja di sawah dan kebun. Untuk mencapai lokasi yang jadi sumber mata pencaharian, mereka harus mendaki dengan jalan kaki sejauh dua kilometer hingga tujuh kilometer. Namun saat jadwal belajar tiba, mereka pun merelakan waktu yang bisa digunakan untuk istirahat dengan datang ke rumah Dussing. 

“Dari sekolah adat Bowonglangit-lah, warga dusun Pattallassang bisa memperbaiki kehidupannya, karena sekolah ini mencerdaskan masyarakat,” kata Muhammad Saleh, 43 tahun, yang juga tetua adat warga kampung Pattallassang. 

Sekolah adat Bowonglangit disebut Saleh, sebagai pembawa perubahan dan kebangkitan masyarakat adat Pattallassang dari ketertinggalan dan keterpurukan, baik ekonomi maupun pendidikan, sekaligus melepaskan diri dari stigmatisasi yang telah puluhan tahun mengungkung mereka. 

Menurutnya, banyak ilmu pengetahuan yang diperoleh dari sekolah itu, selain mengenal huruf dan angka, hingga tahu membaca dan menulis, di sekolah itu, juga diperoleh pengetahuan tentang cara menggarap sawah dan kebun dengan baik, sehingga hasil panen meningkat.

“Banyak perubahan yang diperoleh dari sekolah adat ini. Kami diajarkan cara berjuang untuk hidup, cara bertani yang baik. Saya sangat bersyukur,” ujar Saleh yang digelari tuan guru. 

Karena itulah, mereka selalu bersemangat dan tak kenal lelah, atau minder datang ke sekolah adat Bowonglangit, meski kerap ditertawai lantaran salah membaca atau menulis. 

Stigmatisasi Orang Gunung

Yang menjadi pemantik semangat warga Pattallassang untuk belajar, adalah mengubah stigma yang telah dilabelkan kepada mereka, puluhan tahun lalu. Mereka dilabeli masyarakat terpinggirkan, miskin, tertinggal hingga buta huruf, bahkan sebut primitif. Mereka juga dikucilkan oleh warga kampung lain. 

“Dulu, kami disebut orang gunung, bahkan distigmatisasi ata atau budak. Kami selalu dibilangi pa’kanre raung kacang didi,” tutur Muriati, 46 tahun, salah seorang inisiator Sekolah Adat Bowonglangit. 

Arti pa’kanre raung kacang didi adalah pemakan daun kacang yang telah menguning atau tidak layak lagi dikonsumsi. Warga Pattallassang diidentikkan sebagai orang miskin, marginal, dan tertinggal. 

Pattallassang
Warga Pattallassang hidup dari bertani dan berkebun. (Project M/Andi Hajramurni)

Selain distigmatisasi, kata Muriati, mereka juga dikucilkan. “Sangat terasa saat kami ke pasar dan sekolah. Mereka mengatakan, itu orang hutan datang. Kami dianggap dari strata sosial paling rendah,” katanya.

Stigma itu, kata Saleh sangat terasa pada tahun 1970an dan 1980an. Pada tahun 1990an mulai ada perubahan, meski demikian stigma itu masih menyisakan bekas yang mendalam bagi warga Pattallassang. Mereka kehilangan rasa percaya diri, jadi minder, dan merasa tidak setara dengan warga kampung lain. 

Kondisi itu membuat warga Pattallassang, sulit bangkit dari ketertinggalan, baik sektor ekonomi maupun pendidikan. Alih-alih membuka diri untuk belajar, mereka justru mengisolasi diri.

Keterpurukan warga Pattallassang dengan stigmatisasi yang merendahkan mereka, menyentil nurani Muhlis Praja, 37 tahun, warga dusun Lembang, desa Pao, kecamatan Tombolo Pao, kabupaten Gowa. Dusun Lembang bertetangga dengan Pattallassang, dipisahkan dengan sungai. 

Muhlis menyaksikan sendiri perlakuan tidak adil warga dari dusun lain terhadap warga Pattallassang. “Mereka dipandang rendah, dianggap dari hutan, terpinggirkan, kaum marginal. Jika, datang ke pasar atau kampung lain, orang-orang memandangnya sinis, dan menjauhinya. Sementara, warga Pattallassang, jadi minder dan tidak berani menanggapi, apalagi melawan. Karena sering menyaksikan, saya merasa terpanggil. Hati kecil saya tidak terima,” tuturnya.

Panggilan nurani itulah, yang menuntun kaki Muhlis masuk ke kampung Pattallassang, sekitar Agustus 2009 lalu. Ia ingin mendobrak stigmatisasi yang selama ini membelenggu masyarakat Pattallassang. Membangkitkan rasa percaya diri mereka, memperbaiki kesejahteraan, serta meningkatkan harkat dan martabat mereka. 

Muhlis yang saat ini menjabat ketua pengurus daerah aliansi masyarakat adat nusantara (AMAN) Gowa, Sulawesi Selatan, menyimpulkan, untuk melepaskan warga Pattallassang dari stigmatisasi, maka pendidikan mereka harus ditingkatkan. Muhlis lantas menginisiasi pendirian sekolah adat Bowonglangit. Ia mengajak Muriati, yang merupakan sarjana pertama di kampung Pattallassang, untuk bersama-sama mendirikan sekolah adat, sekaligus jadi guru pertama. 

Di sekolah adat yang didirikan awal 2010 itulah, warga Pattallassang memulai kebangkitannya. “Untuk keluar dari sebuah stigma sebagai masyarakat marjinal dan terpinggirkan, maka kami harus tingkatkan pendidikan. Dan sekolah adat inilah yang mengajari kami,” kata Dussing, tetua adat yang juga sanro atau dukun di Pattallassang. Dussing merelakan rumahnya dijadikan ruang belajar sekolah adat Bowonglangit. 

Pattallassang
Muriati, sarjana strata satu pertama dari dusun Pattallassang sekaligus salah satu inisiator sekolah adat Bowonglangit. (Project M/Andi Hajramurni)

Materi awal yang dipelajari adalah bidang ekonomi, pertanian dan peternakan. “Yang pertama diajarkan bukan pengenalan huruf dan angka atau aksara, tapi kami pilih ekonomi, pertanian dan peternakan, yakni cara pengelolaan keuangan, cara penggarapan sawah dan kebun secara alami,” terang Muhlis. 

Peningkatan produksi otomatis meningkatkan pula kesejahteraan dan kelayakan hidup, yang tentu saja mengangkat harkat dan martabat mereka. 

Sementara, pengenalan aksara secara intens dimulai 2019 lalu. Mereka diajarkan membaca dan menulis huruf latin dan lontara serta diajar menghitung. Selain mereka juga diajari tata cara shalat dan membaca Al-Quran atau mengaji. 

Sejak awal juga, mereka telah diajari menggunakan bahasa Indonesia. Sebab, rata-rata yang jadi murid sekolah adat Bowonglangit, tidak bisa berbahasa Indonesia. Sehari-hari mereka hanya berkomunikasi menggunakan bahasa lokal, yakni bahasa Konjo. Nyaris dari semua warga di sana tidak sekolah. Kalaupun sekolah, tidak tamat sekolah dasar. 

Awal Mula Pendirian Sekolah

Awalnya, sekolah adat Bowonglangit dinamakan sekolah rakyat Bowonglangit. Pendirian sekolah itu butuh waktu dan proses cukup panjang dan alot. 

“Butuh waktu lebih tiga bulan, untuk mendekatkan diri dan meyakinkan mereka. Mereka sangat tertutup terhadap orang luar. Rasa minder dan terpinggirkan, membuat mereka mengisolir diri,” kata Muhlis lalu menarik nafas panjang, mengenang perjuangannya. 

Muhlis mendekati masyarakat Pattallassang, sejak Agustus 2009. Mula-mulai ia mendekati kelompok pemuda, kenalan satu per satu, mengajak mereka ngobrol, hingga izin numpang minum, makan, dan menginap. Setiap hari, Muhlis jalan kaki dari kampungnya ke Pattallassang, yang jaraknya lebih tiga kilometer. Perjalanan panjang itu tidak pernah membuat mengeluh karena lelah. 

“Antara November-Desember 2009, baru mereka mau menerima saya. Kami mulai kumpul-kumpul dan berdialog, apa yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kehidupan mereka dan mengubah pandangan orang luar. Awalnya dengan pemuda, lalu tokoh adat dan tokoh masyarakat,” tutur Muhlis. 

Dari dialog panjang itu, akhirnya mereka sepakat mendirikan sekolah rakyat Bowonglangit. Muhlis dan Muriati yang memang sarjana pendidikan agama, jadi pengajar pertama. 

“Kami bertekad mengubah stigma yang merendahkan kami, meski tidak mudah, tapi saya tidak pernah menyerah,” ucap Muriati, alumni Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Makassar (sekarang Universitas Islam Negeri Alauddin). 

Saat-saat awal sekolah itu dibuka, Muriati, nekat mendatangi rumah warga satu per satu pada malam hari, dengan jalan kaki dan mendaki seorang diri, hanya untuk mengajak mereka datang belajar. 

Awalnya, sekolah rakyat itu, dibangun di rukun kampung (RK) Jahi-jahiya. Gedung sekolahnya yang terbuat dari kayu, dibangun atas swadaya masyarakat Pattallassang. Barulah pada Maret 2010 sekolah itu diresmikan.

Saat peresmian, hadir ketua pengurus wilayah AMAN Sulawesi Selatan, yang saat itu dijabat Sardi Razak. Sekolah Rakyat itu, rupanya menyita perhatian AMAN, sehingga 2011, AMAN menggandeng masyarakat Pattallassang untuk bergabung sebagai komunitas adat di bawah naungan AMAN. 

Setelah bergabung dengan AMAN, Sekolah Rakyat Bowonglangit pun berganti nama jadi Sekolah Adat Bowonglangit. Tetapi, meski berubah nama, materi dan sistem pembelajaran tetap sama. Selain tempat belajar, sekolah adat itu, juga dijadikan tempat musyawarah.

Dari tahun ke tahun, sekolah itu terus berkembang, seiring dengan penambahan jumlah penduduk dan perluasan wilayah pemukiman. Karena jarak antar rumah cukup jauh, mereka lalu membangun kelompok atau rumpun keluarga. 

Saat ini, sekolah adat Bowonglangit tidak hanya di RK Jahi-Jahiya, tapi juga di Borong Parring dan Bentengia. Karena jumlah muridnya bertambah, mereka pun dibagi 10 kelompok atau rombongan belajar (rombel). Yang dijadikan tempat belajar adalah rumah warga. Pesertanya adalah masyarakat usia di atas 20 tahun, laki-laki dan perempuan. Mereka selalu antusias belajar. 

Pattallassang
Sekolah adat Bowonglangit dihadiri perempuan maupun laki-laki; dewasa maupun anak-anak. (Project M/Andi Hajramurni)

Antusiasme masyarakat atau para orang tua, juga menggugah semangat anak muda di kampung itu untuk sekolah hingga ke perguruan tinggi. Setelah sekolahnya selesai, mereka pun pulang ke kampungnya, Pattallassang, untuk mengajar. Saat ini, tercatat 20 orang yang mengajar di sekolah adat Bowonglangit.

“Saya melanjutkan sekolah hingga perguruan tinggi di Makassar, karena saya ingin meningkatkan pendidikan di Pattallassang. Mengubah image negatif yang pernah dicapkan ke kami,” kata Nuryanti, 33 tahun, alumni salah satu perguruan tinggi swasta di Makassar. 

Nuryanti yang meraih gelar sarjana, 2014 lalu, langsung pulang ke Pattallassang dan mengimplementasikan ilmunya. Ia menjadi salah seorang pengajar di madrasah ibtidaiyah Pattallassang dan sekolah adat Bowonglangit.

Melanjutkan pendidikan hingga meraih gelar sarjana, kata Nuryanti, bukan hal mudah. Sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama, ia harus jalan kaki sejauh empat kilometer dan menyeberangi sungai, karena jalanan di Pattallassang, belum bisa dilalui kendaraan dan belum ada yang memiliki kendaraan. Satu-satunya sekolah dasar negeri hanya ada di Pao dan Tombolo. 

Sebenarnya, di Pattallassang sudah ada sekolah Madrasah Ibtidaiyah sejak 1968. Namun karena itu adalah sekolah swasta, warga harus membayar, padahal penghasilan warga sangat sedikit, untuk memenuhi kebutuhan pokok saja, tidak cukup.

Itu penyebab warga Pattallassang banyak yang tidak sekolah hingga tahun 1980an, kalaupun ada yang sekolah, jarang bisa tamat sekolah dasar. Mereka lebih memilih membantu orang tuanya di sawah atau kebun. 

Muhammad Arif, salah seorang warga di sana yang berhasil menyelesaikan perguruan tinggi juga memilih pulang kampung. Kini ia juga menjadi salah seorang pengajar sekolah adat Bowonglangit. Pilihan itu ia buat lantaran masih kekurangan pengajar. 

“Tenaga pengajar masih sangat kurang di sini. Makanya saya berpikir, lebih baik saya yang pulang kampung mengajar, daripada orang luar yang didatangkan. Dan itu bisa mempengaruhi orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya, karena ada kami, keluarganya, yang mengajar,” ujar Arif yang kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. 

Selain mengajar di sekolah adat, Nuryanti dan Arif juga mengajar di madrasah ibtidaiyah Pattallassang. Di sana mereka mengajar pagi hingga siang, lalu pada sore hingga malam, dilanjutkan mengajar di sekolah adat Bowonglangit. Selain mereka berdua ada beberapa tenaga pengajar lainnya di sana, rata-rata anak muda yang telah menyelesaikan sekolah menengah atas atau madrasah aliyah hingga sarjana strata satu.

Menguatkan Hutan sebagai Sumber Hidup

Kawasan yang dijadikan kampung Pattallassang dulunya adalah hutan yang masuk dalam wilayah kerajaan Pao. Menurut tuan guru Saleh, hutan itu dibuka, sekitar tahun 1880an. Orang yang pertama membuka hutan untuk dijadikan tempat tinggal adalah Kamase, pengawal barang dagangan kerajaan Pao. Kamase dua bersaudara, sama-sama bertugas di kerajaan, tapi saudaranya adalah prajurit istana. 

“Konon, Kamase minta tempat untuk berkebun kepada raja Pao. Ia ingin hidup dari hasil berkebun. Lalu, raja menunjukkan hutan itu,” cerita Saleh. 

Sejak itulah, Kamase tinggal di hutan itu dan berkebun. Kebun itu, jadi sumber penghasilannya. Lambat laun, jumlah penduduk di hutan itu bertambah. Mereka adalah suku Makassar dan Bugis, tapi mereka menggunakan bahasa Konjo, sebagai bahasa sehari-hari. Kala itu, mereka penganut animisme. 

Karena hutan itu telah diubah menjadi lahan perkebunan untuk sumber kehidupan, akhirnya disebut kampung Pattallassang. “Pattallassang artinya sumber kehidupan,” kata Saleh.

Sejarah panjang itu kini diwariskan kepada masyarakat. Hingga saat ini, sumber penghasilan warga Pattallassang adalah hasil dari sawah dan kebun. Untuk menggarap sawah dan kebun, mereka harus jalan kaki sejauh dua kilometer hingga tujuh kilometer dan mendaki, karena kampung itu berada di lereng pegunungan dengan kemiringan sekitar 50 derajat. Hasil panen pun, dibawa pulang dengan memikulnya sambil jalan kaki. 

Pattallassang
Seorang pria berjalan memikul sekarung hasil kebun di pundaknya. (Project M/Andi Hajramurni)

Saleh menuturkan, dulu nasi bukan menjadi makanan utama masyarakat Pattallassang, karena produksi kurang dan panen hanya sekali setahun. Apalagi, ada tradisi turun-temurun penggarapan sawah di kampung itu. Setiap lahan sawah jadi milik bersama satu keluarga. Sawah itu, digilir setiap tahun atau setiap musim tanam. 

“Kami memiliki tradisi penggarapan sawah. Jika misalnya, satu rumpun keluarga ada lima kepala keluarga, maka mereka hanya bisa menggarap sawah itu, sekali dalam lima tahun. Makanya, saat panen, padi harus dihemat, agar cukup memenuhi kebutuhan keluarga,” jalan Saleh. 

Selain dikonsumsi sendiri, mereka juga harus jual beras untuk membeli kebutuhan pokok lainnya. Karena kondisi itu, banyak warga yang akhirnya mengonsumsi jagung, ubi dan buah karopi sebagai makanan utama menggantikan nasi. 

Banyak di antara warga juga akhirnya bekerja sebagai buruh tani atau penggarap sawah. Hasilnya dibagi dua dengan pemilik sawah. 

Karena kondisi yang serba susah, ada juga warga yang terpaksa menggadaikan sawahnya. Anak-anak muda kampung juga terpaksa keluar dari kampung, merantau mencari pekerjaan di ibukota Gowa hingga Makassar. Rata-rata mereka kerja serabutan, jadi buruh bangunan, tukang becak, dan asisten rumah tangga. 

Kondisi yang serba menyulitkan itu perlahan mulai diperbaiki. Setelah memperoleh banyak pengetahuan selama belajar di sekolah adat Bowonglangit, kini mereka bisa meningkatkan produksi pertanian. Bukan lagi hanya padi, jagung dan ubi yang mereka tanam, tapi beragam jenis hortikultura. Mereka juga memperluas lahan perkebunan dengan memanfaatkan lahan kosong, dan zona luar hutan adat maupun hutan lindung. Tanaman hortikultura, seperti sayur-sayuran sudah jadi sumber penghasilan mereka. 

Kini mereka mulai kembangkan perikanan. “Saat ini, kami mulai budidayakan ikan. Beberapa warga sudah bikin kolam dan pelihara ikan. Mudah-mudahan bisa dikembangkan dan memenuhi kebutuhan kami,” ujar Saleh. 

Mereka juga beternak sapi. Setiap rumah memelihara dua ekor sapi, sesuai kesepakatan mereka di awal belajar di sekolah adat Bowonglangit. Mereka diizinkan menjualnya, jika sudah berkembang biak, dan harus tetap menyisakan dua ekor. 

Sekolah adat juga menguatkan sikap gotong-royong di semua lini untuk meningkatkan taraf hidup. Salah satu yang menjadi perhatian mereka adalah rumah tidak layak huni. Mereka membangun rumah menggunakan kayu yang diambil dari hutan adat. 

“Kala itu, banyak rumah tidak layak huni, nyaris roboh. Kami sepakat bergotong-royong memperbaiki atau membangunkan rumah. Bahannya kami kumpulkan bersama,” tutur Muhlis. 

Berdaya Meski Jauh dari Fasilitas Umum

Secara geografis Kampung adat Pattallassang berada di lereng pengunungan Bowonglangit dan Bulu’ Barani, Gowa dengan ketinggian 650 – 1.800 meter dari permukaan laut (MDPL). Di malam hari, suhu mencapai kisaran 14 derajat celcius. 

Ia berada di daerah perbatasan kabupaten Gowa dengan kabupaten Sinjai dan Bone, sekitar 110 kilometer arah Selatan Makassar, atau sekitar 30 kilometer dari Kota Malino, Gowa. 

Lokasi ini tidak begitu menguntungkan, sebab segala akses fasilitas umum, seperti sekolah dan rumah sakit menjadi jauh. Jika ada masyarakat yang sakit atau akan melahirkan, mereka terpaksa dibawa keluar. Saat musim hujan, mereka harus jalan kaki sejauh tiga kilometer, lantaran jalur transportasi tidak dapat diakses, sehingga ada warga yang terpaksa melahirkan di jalan. Karena akses yang jauh itu, mereka akhirnya mengandalkan pengobatan tradisional bila ada yang sakit. 

“Warga yang butuh penanganan medis, harus ditandu keluar dengan jalan kaki. Karena, puskesmas hanya ada di Tombolo. Beberapa waktu lalu, ada warga yang melahirkan di jalan,” kata Muhlis. 

Untuk ke pasar yang hanya ada di Tombolo dan digelar dua kali seminggu, yakni Senin dan Jumat, warga juga harus berjalan kaki. 

Akses jalan yang menghubungkan Pattallassang dengan kampung lainnya, dibuka sendiri oleh masyarakat, pada 2001 lalu. Sebelumnya, mereka hanya menggunakan jalan setapak melintasi hutan dan menyeberangi sungai. 

Saleh mengatakan, warga bergotong royong membuka akses jalan, karena mereka membuka lahan perkebunan. Mereka butuh jalanan yang bisa dilalui untuk membawa hasil panen sawah dan kebunnya. Pada 2013, dilakukan pelebaran badan jalan, untuk memudahkan akses.

Dua tahun setelah pelebaran jalan atau 2015, seorang warga Pattallassang membeli sepeda motor. Kendaraan roda dua itulah menjadi alat transportasi pertama yang masuk di Pattallassang. Pada 2017 pemerintah daerah setempat memperbaiki jalanan dengan melakukan cor beton, tapi tidak keseluruhan badan jalan dicor, hanya untuk dilintasi ban mobil. 

Sayangnya, kualitas cor betonnya tidak kuat dan tidak bertahan lama. Cor beton itu kini sudah rusak parah. Jalanan kembali berlubang dan berlumpur, saat diguyur hujan, sehingga tidak bisa lagi dilalui mobil, sedang untuk sepeda motor tidak semua semua bisa melintasi jalan rusak itu. Warga akhirnya terpaksa mengangkut hasil panennya dengan jalan kaki, sekitar  tiga kilometer. 

Pattallassang
Akses keluar dan masuk Pattallassang terbatas karena jalan susah dilalui alat transportasi yang juga masih minim. (Project M/Andi Hajramurni)

Sambungan listrik baru ke kampung itu pada 2017 lalu, itu pun hanya untuk rumah penduduk dan fasilitas umum, seperti masjid. Sayangnya, masuknya listrik itu tidak disertai pemasangan lampu penerangan jalan, sehingga jalan-jalan di kampung itu, gelap gulita di malam hari. 

Masuknya aliran listrik ke kampung itu, setelah diperjuangkan cukup lama, bahkan Muhlis harus berurusan dengan aparat penegak hukum. Penyebabnya, pasokan aliran listrik sempat terkatung-katung, padahal biaya pemasangan telah dilunasi. “Nyaris saya dipenjara, karena dianggap menyalahgunakan biaya pemasangan listrik,” katanya. 

Sebelum aliran listrik dari PT PLN masuk, masyarakat Pattallassang membangun pembangkit listrik tenaga hidro mikro. Awalnya, sebanyak dua unit, lalu dikembangkan jadi 10 unit. Daya yang dihasilkan memang sangat terbatas, tapi bisa menjangkau sejumlah rumah. 

Perubahan yang dihadirkan sekolah adat Bowonglangit, semakin menguat, seiring berkembangnya teknologi, hingga masuk ke kampung itu. Warga di sana sudah mulai melek teknologi, khususnya telepon seluler. Rata-rata yang sudah kenal aksara dan berkecukupan, sudah memiliki telepon seluler. 

Muhlis menambahkan, semakin tinggi ilmu pengetahuan masyarakat Pattallassang, akan semakin berkembang pula perekonomian kampung itu. Tetapi, tentu saja, mereka tetap butuh dukungan dari luar. 

Sampai sekarang, warga Pattallassang masih membuka tangan untuk menerima bantuan, tanpa menilai jumlah dan bentuknya. Bahkan, pakaian bekas pun mereka terima dengan senang hati. “Mereka masih butuh bantuan, karena masih banyak yang rendah penghasilannya,” tandas Muhlis. 


Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #MasyarakatAdat 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
15 menit