Bias kepolisian Indonesia terhadap wong cilik bisa tergambar ke mana tembakan gas air mata mereka diarahkan.
SEORANG suster muda menghampiri Bintang dan Teti yang duduk di lorong ruang rawat inap RSUD Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Suster itu bilang ke mereka, “Tunggu sebentar, ya. Sedikit lagi sampai.”
Bintang dan Teti akan kedatangan perwakilan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Suster meminta Bintang masuk kembali ke kamar. Bintang menuju tempat tidur dengan langkah tertatih-tatih. “Pakai bajumu, ya,” perintah suster.
“Panas, Bu,” kata pemuda berusia 18 tahun itu.
“Ya sudah, nggak apa-apa.”
Tak berapa lama kemudian, dua orang perwakilan Kementerian berada satu ruangan dengan Bintang. Mereka menawarkan pelayanan pemulihan psikologis gratis kepada Bintang.
Selama pertemuan itu, Bintang hanya memakai celana pendek dan membiarkan tubuh bagian atasnya terbuka. Luka besot mendominasi bagian kedua tangan, pundak, punggung, dan kaki. Sebagian luka menghitam dan menjadi koreng, sebagian lain mengikis kulit luar dan memutih.
Luka-luka itu ia alami dalam tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022. Setidaknya 132 orang meninggal karena kehabisan napas, terinjak-injak di pintu keluar karena lari dari gas air mata yang ditembakkan polisi.
“Untung teman saya nemuin saya di got, kalau gak ditemuin, mati aku,” ujar Bintang. “Kalau istilahnya sekarang, mereka itu bestie saya.”
* * *
Bintang dan empat temannya rela menempuh perjalanan 38 kilometer dari rumahnya di Karangploso ke Stadion Kanjuruhan demi menyaksikan tim kesayangan. Hari itu Arema FC menjamu Persebaya. Buat Aremania, laga ini laga pertaruhan gengsi derby Jawa Timur.
Stadion Kanjuruhan tampak meriah, penuh dengan Aremania. Dalam pertandingan kali ini, atas alasan keamanan, hanya suporter tuan rumah yang boleh datang ke tribun. Sementara Bonek, suporter Persebaya, dilarang hadir.
Bintang sebenarnya bukan tipikal Aremania yang rutin menonton pertandingan di stadion. Ia lebih sering menyaksikan dari televisi. Ia bukan tak suka datang ke stadion, tapi karena alasan ekonomi, baginya menonton langsung itu tergolong mahal. Ia datang ke stadion kali ini setelah teman-temannya membujuk dan kadung membelikannya tiket seharga Rp50 ribu.
Baginya, yang menggantungkan hidup dari berjualan burung dan ikan, uang Rp50 ribu adalah jumlah besar. “Bisa buat beli cilok, satu keluarga, kan, kenyang.”
Tiket yang dibeli Bintang adalah tiket tribun ekonomi (tribun selatan, utara, dan timur). Aremania menyebut tribun ekonomi sebagai tribun rakyat, tempat mereka bebas berkreasi: bernyanyi, membuat koreografi, dan mengibarkan bendera. Ada 14 pintu yang berurutan secara numerik di tribun ekonomi ini.
Kalau punya uang pun Bintang tidak berpikir memprioritaskan menonton pertandingan Arema di stadion. “Umpamanya (menonton laga tandang) ke Bali bisa habis Rp1 juta atau Rp750 ribu. Itu kita buat modal usaha, kan, bisa,” ucapnya. “Sejak ditinggal ibu, saya mikir, uang Rp500 itu dapatnya sulit.”
Bintang sudah menjadi Aremania sejak era Franco Hita pada 2005-2006. Ia terkagum-kagum dengan permainan Franco Hita, Noh Alam Shah, dan Christian Gonzales; ketiganya sudah tidak lagi bermain untuk Arema FC.
“Franco itu striker tajam. Noh Alam Shah tendangan bebasnya bagus. Gonzales staminanya bagus. Idola saya terakhir Kurnia Meiga,” ujarnya. “Setelah Kurnia Meiga cacat matanya, saya nggak berpaling ke sepakbola Indonesia yang banyak permainan. Tarkam saja banyak permainan.”
Para pemain itu pernah turut menjaga rekor tak terkalahkan dalam laga kandang derby melawan Persebaya selama 23 tahun. Sayangnya, hari itu rekor itu runtuh. Persebaya berhasil mengalahkan Arema FC dengan skor 2-3.
Kekalahan itu membuat beberapa Aremania memasuki lapangan usai wasit meniup peluit panjang. Mereka ingin menyampaikan apresiasi sekaligus motivasi untuk para pemain dan ofisial, ritual yang Aremania sebut “hal biasa”.
Namun, aparat keamanan, terdiri dari kepolisian dan militer, mengartikannya sebagai ancaman keselamatan bagi pemain dan ofisial.
Aparat keamanan memaksa mundur suporter dengan menggunakan regu K9 (polisi yang membawa anjing), memukul, dan menendang.
Sementara sejumlah suporter turun ke lapangan, Bintang dan teman-temannya tetap berdiam di tribun selatan. Ia berdiri menyaksikan keributan di lapangan, sampai akhirnya polisi menembakkan gas air mata ke tribun tempatnya berdiri.
Bintang dan teman-temannya panik. Empat teman Bintang berlari ke arah atas tribun. Bintang berusaha mengejar langkah mereka tapi terhalang banyak suporter lain.
“Aku mencar sendirian karena takut. Gas air mata, kan, pedas.”
Bintang berlari ke arah pintu keluar yang ia tak ingat nomor berapa. Dalam waktu bersamaan, suporter lain menuju pintu yang sama. Mereka panik. Berusaha menyelamatkan diri.
“Gerbang kok ditutup. Karena desak-desakan, saya kalah dan jadinya diinjak-injak. Habis itu, aku nggak pernah ingat lagi. Semaput. Aku ingatnya pas di RSUD Kanjuruhan. Kok, aku dijejerin wong?”
Teti, kakak perempuan Bintang, berkata empat teman Bintang berhasil keluar stadion dengan selamat. Mereka segera mencari Bintang dan menemukannya sudah tersungkur di dalam selokan di luar stadion. Keempat teman itu mengevakuasi Bintang ke truk menuju rumah sakit.
“Dia ditumpuk bareng mayat. Untung ada teman-temannya yang ikut menemani,” kata Teti.
Berdasarkan dokumen Laporan Harian Khusus Polres Malang pada 1 Oktober 2022, tembakan gas air mata polisi menyasar ke arah lapangan, lalu ke tribun selatan (pintu 11, 12, 13), dan tribun timur (pintu 6). Sementara Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebut terjadi 11 kali tembakan gas air mata: tujuh tembakan ke tribun selatan, satu tembakan ke tribun utara, dan tiga tembakan ke lapangan. Klaim 11 tembakan gas air mata ini berbeda dari laporan investigasi The Washington Post yang menyebut polisi menembakkan setidaknya 40 munisi, utamanya gas air mata, dalam waktu 10 menit.
Dalam aturan Stadium Safety and Security Regulations oleh FIFA, pihak kepolisian dilarang menggunakan senjata api dan gas air mata untuk melindungi pemain dan ofisial serta untuk menjaga ketertiban umum (Pasal 19 poin b). Namun, Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta menyebut penembakan gas air mata sudah sesuai prosedur. (Irjen Nico Afinta telah dimutasi pada 10 Oktober 2022 imbas dari tragedi ini.)
Berdasarkan temuan awal Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil, penggunaan gas air mata oleh polisi tidak sesuai Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan; polisi mestinya melakukan tahapan demi tahapan sebelum menggunakan gas air mata untuk mengendalikan massa.
“Tidak ada upaya dari aparat untuk menggunakan kekuatan lain seperti kekuatan yang memiliki dampak pencegahan, perintah lisan atau suara peringatan hingga kendali tangan kosong lunak,” kata anggota koalisi sekaligus Kepala Divisi Hukum KontraS, Andi Muhammad Rezaldi, dalam siaran pers pada 9 Oktober 2022.
“Do, Bangun. Saya Ibu.”
Lianah terkesiap saat seorang remaja menghubunginya jam 3 dini hari. Remaja itu, dikenalnya teman anaknya, memberitahu terjadi “kerusuhan” di Stadion Kanjuruhan. Edo menghilang.
“Saya bingung. Ayahnya lagi kerja, belum pulang,” ujar Lianah. “Pikir saya, informasi [keberadaan dia] yang mungkin antara rumah sakit dan kepolisian.”
Lianah memutuskan langsung ke RSUD Kanjuruhan, rumah sakit paling dekat dengan stadion berjarak 1 kilometer.
Nama Edo dan alamat tinggalnya tercatat di bagian pendaftaran rumah sakit. Melihat itu, Lianah langsung menuju ke bagian unit gawat darurat. Ada banyak orang berbaring di sana. Lianah memeriksa satu per satu tapi tak menemukan paras Edo.
Kemudian, ia berdiri lama di depan sosok remaja kurus tinggi yang berbaring dengan kaki membengkak dan wajah membengkak-menghitam. “Hati nurani mengatakan itu anak saya.”
“Saya panggil, ‘Do, Edo, bangun, saya ibu’.”
Edo berusaha membuka matanya yang masih bengkak. Dalam pandangan meremang, ia melihat wajah wanita yang dikenalnya. Edo pun lega. “HP aku hilang, mau ngabari ibu nggak bisa. Aku panik di situ,” kata Edo, Aremania berusia 16 tahun ini.
Saat polisi memukul mundur beberapa Aremania yang masuk ke lapangan, Edo sudah mengajak temannya keluar dari tribun selatan. Ia ketakutan dan tak punya pengalaman berada dalam situasi panik macam itu. Belum sempat keluar, gas air mata yang ditembakkan polisi mendarat di tribun tempatnya menonton, pintu 10.
“Saya mau keluar itu dorong-dorongan, kejepit banyak orang. Penonton ditembaki gas air mata, mau keluar pintunya dikunci semua,” kata Edo. “Sampai situ saya sudah nggak sadar. Sadar-sadar sudah di luar, ditolong orang langsung ke ambulans.”
Kecintaan Edo atas Arema FC telah terpupuk sejak masih taman kanak-kanak. Paman Edo adalah Aremania yang bangga memakai kostum tim berjuluk Singo Edan itu di rumah dan menyaksikan pertandingan di stadion bersama teman-temannya. Edo kagum melihat pamannya.
“Kayaknya kok keren sepakbola. Terus pamanku belikan aku kaos Arema, aku jadi suka. Semakin besar semakin suka. Kayaknya mustahil arek Malang nggak suka Arema.”
Meski menggilai Arema FC, pengalaman Edo menonton langsung di stadion baru dua kali. Ia tak punya cukup uang untuk membeli tiket tribun ekonomi.
“Untuk beli tiket aku kumpulin dari uang saku. Uang sakuku Rp20 ribu sehari. Kadang kurang, ditambah ibu.”
Lianah bekerja sebagai pekerja bersih-bersih di sebuah perumahan di Kabupaten Malang dengan penghasilan setara UMK setempat Rp3,1 juta per bulan. Sementara ayah Edo bekerja sebagai buruh swasta di Sidoarjo dengan penghasilan setara UMK setempat Rp4,3 juta per bulan.
Ketika Arema FC melawan Persebaya, Edo memang berniat ke stadion, tapi ia tak punya uang. Lianah membelikannya tiket. “Dua hari sebelumnya, Edo sudah pamit dan minta, ‘Bu, tolong cucikan kaosku. Saya mau lihat Arema’.”
“Kayak wajib datang. Kalau nggak datang itu rugi. Kalau bukan (melawan) Persebaya, ah sudah biasa,” timpal Edo.
Dari tragedi Kanjuruhan, Edo mengalami luka memar di kaki, memar di dada bagian kanan, dan bengkak di wajah. Saat kami bertemu, kedua bola matanya masih menghitam penuh. Bibir bagian atasnya membengkak.
Lianah berkata anaknya masih harus menjalani rawat jalan dan perkiraan matanya bisa normal kembali butuh tiga minggu. “Tinggal menunggu efek bahan kimia yang disemprot itu, kemarin mata Edo sudah dicuci. Tinggal nunggu hasilnya,” ujarnya.
Tak Ada Tembakan ke Tribun VIP/VVIP
Surya adalah seorang Aremania. Sama seperti Bintang dan Edo, saat laga Arema FC vs Persebaya, ia menyaksikan langsung di stadion. Ketika terjadi ribut-ribut di lapangan, ia tidak terlibat, sama seperti Bintang dan Edo. Satu-satunya perbedaan antara Bintang dan Edo adalah Surya menyaksikan dari tribun VIP, sementara Bintang dan Edo di tribun ekonomi.
Meski hanya soal perbedaan tribun, tapi itu benar-benar membuat perbedaan nasib yang signifikan dalam tragedi Kanjuruhan.
Tribun VIP dan VVIP berada di sisi barat stadion dengan kapasitas 2.500 orang. Selain suporter yang membayar harga tiket Rp150 ribu untuk VIP dan Rp250 ribu untuk VVIP, tribun ini diisi pers dan tamu kehormatan.
Tribun VIP/VVIP memiliki akses suporter lebih baik ketimbang tribun ekonomi. Di tribun VIP/VVIP, jarak pintu masuk-keluar dengan tribun cukup jauh. Suporter mesti naik dua lantai, menyusuri lorong panjang terhubung ruang ganti pemain. Sementara di tribun ekonomi, jarak pintu ke tribun tak lebih dari sembilan meter dengan posisi menanjak.
Saat menonton pertandingan itu, Surya duduk tepat di belakang bangku klub tamu. “Posisiku cukup dekat untuk teriak-teriak ke bench lawan,” kata Surya. Dari tempat duduknya, ia melihat Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat di tribun yang sama. (AKBP Ferli Hidayat dimutasi pada 3 Oktober 2022 buntut dari tragedi ini.)
Walau tribun tersebut VIP, euforia suporter tetap kentara. Surya ingat, ketika Persebaya mencetak gol ketiga, “ada lemparan-lemparan dikit.”
“Terus ramai lagi waktu Persebaya mau masuk lorong menuju ruang ganti,” ujar pria 28 tahun ini.
Para pemain dan ofisial Persebaya memasuki ruang ganti lebih dulu usai pertandingan. Di lapangan tersisa pemain tuan rumah beserta ofisial. Saat itu pula Surya melihat dua sampai empat suporter dari tribun timur memasuki lapangan. Aparat keamanan segera melindungi pemain.
“Entah cara melindunginya kurang pas, dengan cara dorong, mengakibatkan beberapa suporter lain turun (ke lapangan) dan nggak terima,” kata Surya.
Tak berapa lama, eskalasi bertambah. Polisi mulai menembakkan gas air mata ke lapangan dan tribun. Satu-satunya tribun yang tidak menjadi sasaran tembakan gas air mata ialah tribun VIP/VVIP.
“Nggak kena gas air mata secara langsung tapi ikut merasakan gas air mata terbawa angin, perih di mata sampai hidung. Beberapa suporter pingsan. Ada juga yang langsung muntah,” kata Surya.
Ruang tribun VIP yang memiliki lorong, sedikit membantu para suporter menyelamatkan diri dari tembakan gas air mata polisi, meskipun kondisi lorong terasa pengap.
“Sempat tertahan lama di lorong itu karena di luar situasi masih chaos dan padat.”
Saat tertahan di lorong, Surya melihat beberapa suporter meninggal tergeletak di sebelah ruang ganti pemain. Namun, Surya tak tahu mereka berasal dari tribun VIP atau ekonomi. “Yang paling disayangkan dari kejadian itu, minimnya pertolongan bagi mereka yang pingsan dan sesak napas,” ujarnya.
Perbedaan polisi dalam memperlakukan penonton di tribun ekonomi dan VIP/VVIP hari itu jelas berbeda, bahkan sekalipun sebagian besar penonton di tribun ekonomi tidak menyerbu lapangan, hanya diam dan menonton.
Lantas, mengapa polisi melepaskan gas air mata ke tribun ekonomi?
Secara umum, polisi di Indonesia memiliki kecenderungan menggunakan kekerasan ketika berhadapan dengan wong cilik. Dalam laporan Project Multatuli tentang kekerasan polisi dalam konten YouTube, polisi cenderung menyasar dan menggunakan kekerasan terhadap wong cilik meski belum terbukti bersalah.
Polisi terlihat lebih mudah menembak kaki tersangka pencurian atau menerjang dan menghukum warga biasa meski tidak terbukti bersalah. Ian Wilson, dalam wawancara dengan Project Multatuli, berkata, “Sulit sekali membayangkan aksi seperti penembakan kaki atau memukuli tersangka akan dilakukan terhadap kelas menengah atas di Indonesia.”
Dalam tragedi Kanjuruhan, polisi menunjukkan perilaku serupa.
Mereka menggunakan kekerasan, menembakkan gas air mata ke tribun ekonomi seolah-olah penonton di sana adalah sumber kericuhan. Prasangka buruk atas kelompok penonton yang hanya sanggup menebus tiket seharga Rp50 ribu seperti Bintang dan Edo ini melekat, sehingga saat terjadi apa yang dianggap oleh polisi “mengganggu ketertiban umum”, polisi-polisi ini seolah punya lisensi untuk mengerahkan kekuatan berlebihan, termasuk menembakkan gas air mata, apalagi peristiwa ini terjadi di stadion, bukan di tempat terbuka. Perilaku bias polisi ini berujung kematian massal.
Berdasarkan data korban yang dirilis kepolisian per 8 Oktober 2022 pukul 09.00, brutalitas ini telah menyebabkan 506 orang mengalami luka ringan, 45 orang luka sedang, 23 orang luka berat. Ada sedikitnya 132 jiwa meninggal, termasuk lebih dari 30 anak-anak, juga dua polisi yang meninggal karena dipicu tembakan gas air mata.
Saat ini Tim Investigasi Polri telah menetapkan 6 tersangka. Mereka adalah Direktur PT LIB Akhmad Hadian Lukita, Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris, Security Officer Arema Suko Sutrisno, Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmad, Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, dan Komandan Kompi 3 Brimob Polda Jatim AKP Hasda Darmawan.
Mereka dijerat Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP terkait kesalahan yang menyebabkan kematian. Kemudian, mereka dijerat Pasal 103 dan Pasal 52 UU RI Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan.
Pintu itu Sempat Terbuka, Sebelum Ditutup
Donny, Aremania berusia 38 tahun, memutuskan keluar meninggalkan tribun selatan usai wasit meniup peluit panjang pertandingan. Ia keluar bersama beberapa Aremania dari Trenggalek melalui Pintu 10.
“Ngapain di sini. Kalah, kok. Yang dinikmati apa?” ujar Donny.
Ia bersama teman-teman berdiam di parkiran dekat Pintu 12 dan Pintu 13. Sekitar 15-20 menit, ia terkesiap mendengar keributan dari dalam stadion. Asap putih yang ternyata gas air mata menyembul. Setelah dicermati, sumbernya dari Pintu 13.
Donny kaget melihat pintu tertutup. “Pintu 13 itu sebelumnya kebuka. Soalnya saya begitu keluar stadion sempat beli kopi dekat VIP. Jadi melewati Pintu 12, 13, 14,” ujarnya.
Seharusnya 15 menit sebelum peluit panjang, seluruh pintu terbuka. Sejak SMP menjadi Aremania, Donny baru mengalami kejadian seperti ini. “Gemboknya digetok-getok nggak rusak-rusak. Akhirnya jebol tembok.”
Suporter di luar stadion dibantu TNI menjebol tembok. Satu per satu suporter yang terjebak di Pintu 13 dievakuasi melalui lubang tersebut. “Semua digeletakin di samping stadion, dibawa mobil tentara di depan VIP. Suporter saling bantu semua.”
Sementara Dwi, Aremania berusia 21 tahun, berkata sempat keluar dari Pintu 13 bersama pacarnya dan dua temannya. Mereka keluar stadion saat skor laga masih 2-2. “Sebelum terjadinya kalah, pintu belum ditutup,” ujar Dwi.
Dwi juga terkejut saat mendengar suara ribut dari stadion. Lalu ia melihat banyak suporter terjebak di dalam. Dwi dan seorang teman berbagi tugas menanyakan soal pintu yang mendadak tertutup.
Dwi bertanya kepada panitia. “Kenapa ditutup? Panitia itu menjawab, ‘Saya dari sananya suruh tutup’.”
Sementara teman Dwi bertanya ke polisi di luar stadion. “Teman saya mau jemput pacarnya di dalam. Polisinya tidak membolehkan. Ditanya, polisi langsung melawan.”
Kondisi itu turut menyulut emosi suporter di luar stadion. Menurut Dwi, pintu tertutup mulai dari Pintu 10, 11, 12, 13, 14. “Pokoknya yang ditembak gas air mata itu pintunya ditutup semua. Tribun lain saya nggak tahu.”
* * *
Peristiwa mematikan ini benar-benar membekas dalam diri Bintang dan Edo.
“Aku akan masih bela Arema, tapi nggak akan ke stadion. Aku khawatir terjadi kayak gitu lagi,” ujar Edo.
Bintang berkata menonton ke stadion sekarang sebagai kegiatan “membahayakan nyawa sendiri” sehingga tidak akan melakukannya lagi. Semata ia trauma, bukan tak sayang lagi pada Arema FC.
“Polisi nggak mau tanggung jawab, tiba-tiba merecoscos (menirukan bunyi gas air mata). Padahal nggak ada keributan di tribun. Gas air mata itu, kan pedas,” ujarnya. “Sudahlah, saya lihat Arema dari tivi saja.”
Artikel ini bagian dari serial #PolisiBukanPreman