Anak muda Bali berada di ujung antara lapangan pariwisata yang menjanjikan dan realitas penuh ketidakpastian: upah rendah, kerja kontrak yang rapuh, serta kemampuan berdaya ekonomi yang lemah.
Setiap pagi, Gung De memulai harinya dengan daftar nama toko dan angka-angka. Hari ini ia pergi ke Uluwatu, besok mungkin Tabanan, lalu Gianyar, atau bahkan ke Lombok. Laki-laki 24 tahun itu bekerja sebagai auditor di sebuah perusahaan retail di Bali.
Tugasnya sederhana tapi membuat banyak pegawai toko menghindari tatap mata: memeriksa stok, mengecek uang kas, menelusuri selisih, dan menyiapkan laporan. “Kalau ada barang hilang, uang tidak cocok, pasti ada potong gaji. Makanya muka mereka udah jelek duluan tiap saya datang. Untungnya, hari ini aman. Jadi saya bisa cepat pulang,” katanya saat saya temui pada satu malam di awal Juni 2025.
Tapi dari ceritanya, saya tahu: dunia kerja yang dijalani laki-laki kelahiran Tabanan itu tidak sesederhana rak-rak rapi dan struk panjang dari kasir. Gung De sedang menapaki wilayah rentan dunia kerja.
Gung De mengaku tidak pilih-pilih dalam bekerja. Pekerjaan sebagai auditor ini setidaknya adalah pekerjaan kelima yang pernah ia ambil sejak kuliah. Bahkan di waktu sekarang ini, bekerja sebagai auditor bukanlah satu-satunya pekerjaan yang ia geluti. Untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari, setidaknya ada dua pekerjaan lain yang harus bisa ia atur waktunya secara bersamaan.
Sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, Gung De merasa dirinya kini hidup sebagai generasi sandwich. Ia terpaksa harus menanggung beban finansial orang tua sekaligus kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sementara sang kakak, memilih untuk Nyentana (menikah lalu tinggal bersama keluarga perempuan).
Gung De mengingat-ingat, saat masa akhir kuliahnya di jurusan komputer akuntansi ia bekerja paruh waktu sebagai host akun jualan online yang menjual peralatan rumah tangga. Saat itu ia bekerja tiga jam per harinya, dengan upah Rp60 ribu.
“Kalau kuliah pagi, aku ambil siang. Kalau kuliah siang, aku live pagi. Intinya, sehari hanya tiga jam saja. Pendapatan kecil, tapi cukup untuk makan harian,” kata Gung De.
Selepas jadi host, Gung De menjajal peruntungannya dengan menjadi seorang penagih utang.
Setiap hari, ia membawa daftar: 25 orang, satu per satu harus didatangi. Sisa utang bisa belasan hingga puluhan juta. Ia harus mengejar target: Rp2 miliar per bulan. Kalau berhasil, ia bisa bawa pulang Rp14 juta, di luar gaji pokok, jika tidak, hanya Rp2 juta gaji pokok yang didapatkan.
“Bekerja sebagai penagih utang itu sangat berisiko, pernah aku nagih ke rumah orang. Udah aku kasih waktu dari tanggal 12, dia bilang gajian akhir bulan. Aku datang lagi, eh, dia panggil teman-temannya. Bawa besi. Bawa kayu. Hampir nahas nasibku. Untungnya ada ibu-ibu datang dan memisahkan,” cerita Gung De, matanya sedikit menyipit.
Ia melaporkan peristiwa itu ke atasannya dan mendapat jawaban yang membuat ia bergidik, bukan karena takut, tapi karena kecewa.
“Ya udah, kalau kamu dipukul, visum saja ke polisi. Nanti kamu bisa klaim uang,” kata Gung De, menirukan atasannya.

Itu titik baliknya. “Aku enggak bisa setega itu. Aku tahu rasanya orang punya utang. Orang tuaku juga punya utang. Aku enggak mau orang tuaku kayak gini. Makanya jalan satu-satunya ya aku keluar. Aku nyari kerjaan yang lebih baik, sekarang aku bantuin orang tuaku,” ujarnya lirih. Rasa empati dan kesadaran bekerja tanpa jaminan hidup yang jelas, membuatnya berhenti setelah enam bulan bekerja sebagai penagih utang.
Selain bekerja sebagai host dan debt collector, saat itu Gung De juga sesekali bekerja di Event Organizer (EO) milik kawannya. Di sana, ia hanya bekerja jika ada panggilan, dan menjadi runner acara. Tugasnya macam-mam, dari mengambil botol air, memindahkan sound system, hingga memperbaiki spanduk. “Runner itu ibarat pelayan. Kita harus sigap untuk apa yang dibutuhin. Semua harus beres,” katanya.
Kini, Gung De tak lagi bekerja sebagai host dan debt collector, fokus pekerjaan utamanya adalah sebagai auditor yang sudah ia jalani hampir satu tahun terakhir.
“Aku ada keinginan buat meneruskan usaha bapak. Bengkel motor. Tapi, di bisnis itu kalau enggak ada modal, enggak bisa. Aku harus nyari modal yang benar-benar modal dingin. Kalau modal masih buat kebutuhan keluarga, jangankan jalan, buat usahanya berpikir dua kali. Kalau enggak, aku nyari batu loncatan tuh langsung ke PNS.”
Bekerja sebagai auditor tidaklah cukup untuk menutup kebutuhan orang tua dan pribadinya. Dengan gaji sebesar UMK Kota Denpasar, Gung De harus memutar otak. Saat ini, ia tetap sesekali mengambil ajakan pekerjaan sebagai runner di EO milik kawannya. Namun, pekerjaan di EO hanya datang di waktu tak tentu. Saat ini, jika di hari kerja ia menjadi seorang auditor, di akhir pekan, Gung De juga menjadi pembuat umpan pancing (metal jig).
Upaya Mandiri
Di lain waktu, Gung De mengajak saya bertemu seorang kawannya semasa kuliah. Ia adalah orang yang mengajaknya bekerja untuk membuat umpan pancing.
Di ruangan berukuran 3×4 meter, Gus Cahya (24) sedang menata bahan-bahan umpan pancing yang akan dibuatnya. Kayu, kawat, timah, alat-alat cat, dan semua perkakas kerja ada di ruang seukuran kamar tidur itu. Beberapa barang berserakan, tapi dari tempat inilah ia menghadapi kesenjangan antara harapan, kualifikasi, dan realita kerja.
Saat anak-anak muda di Bali masih mencoba peruntungan di sektor pariwisata, Gus Cahya memilih jalan pedangnya sendiri. Berawal dari hobi memancingnya sejak masa sekolah, ia justru terpikir untuk membuat umpan pancingnya sendiri.
“Awalnya coba-coba dulu, dipakai sendiri hasilnya. Semua saya pelajari otodidak, sih. Sama lihat-lihat referensi di YouTube biasanya. Ini juga banyak kok gagalnya,” ujar laki-laki kelahiran Tampaksiring itu.
Semasa kuliah, Gus Cahya pernah mencoba magang kerja di salah satu kantor dinas pemerintahan di Bali. Tiga bulan setelah proses magang selesai, ia memilih berhenti, sadar tak cocok bekerja di sektor formal.
Industri pariwisata pun tak membuatnya tergiur. “Kerja di pariwisata kan gampang sebenarnya, tapi saya enggak suka dalam tekanan. Terkadang pemikiran kita sama pemikiran orang lain, tuh, kebentur. Itu yang kadang-kadang sering banget terjadi. Sekarang, tamu-tamu juga banyak yang enggak berkualitas. Sering bikin rusuh, beda kayak dulu.”

Upah murah yang tak sebanding dengan tekanan kerja membuat Gus Cahya berpaling dari industri pariwisata. Selama satu tahun lebih ia justru bereksperimen membuat umpan pancing. Ia juga nekat mengambil modal dari pinjaman online. “Satu tahun dan semuanya sendiri,” kenang Gus Cahya.
Beruntung, saudaranya yang memiliki toko peralatan pancing bersedia membantu memasarkan produk milik Gus Cahya. Setelah semakin mantap, ia mencoba memasarkannya secara daring. Nasib mujur, warganet asal Australia dan Singapura melihat kontennya. Kini, metal jig asal Tampaksiring milik Gus Cahya, berhasil tembus pasar luar negeri. “Target audiens di TikTok semua saya targetkan ke luar negeri, sih. Dari hashtag-hashtag, tuh.”
Tiga tahun sudah usaha kerajinan ini dilakukan Gus Cahya. Dengan kebutuhan pasar lokal dan pelanggannya di luar negeri, setidaknya ia harus membuat 500 unit umpan pancing setiap tiga bulan. Harga yang dipasang untuk setiap umpan pancing jenis kayu atau timah, berkisar dari Rp40 ribu hingga Rp600 ribu.
“Kalau usaha ini lumayan menguntungkan, sih. Hampir lebih dari 50% untungnya dari harga pokok. Apalagi kalau ke luar negeri itu, 100% untungnya kalau kirim ke luar negeri.”
Tapi, meski keuntungannya tampak menggiurkan, Gus Cahya menemui masalah lain. Ia justru kesulitan mencari pekerja. Padahal, ia sudah mencoba mengajak teman-teman seusianya di sekitar rumah untuk mengejar target produksi.
“Terkadang, Gen Z itu kayak gimana, ya? Faktor kerja kotor juga jadinya enggak mau dia. Lebih baik memilih di hotel. Misal ditanya sama orang, ‘kerja di mana? Di hotel.’ Ada yang lebih mementingkan validasi, sih. Padahal aku juga udah kasih bayaran di atas UMP.”
Beruntung, ia kembali bertemu dengan Gung De di Desember 2024, dan sejak saat itu ikut membantunya untuk memenuhi kebutuhan target. “Setelah ada Gung De di sini lumayan terbantu. Walaupun dia cuma bisa di akhir pekan, ya. Saya masih butuh bantuan lagi.”
Gus Cahya berpendapat, kondisi pariwisata Bali tidak lagi stabil. Meski peluang kerja untuk anak muda masih ada, tapi pemenuhan kebutuhan pokok yang semakin tinggi membuat generasi muda saat ini serba kesulitan. Di sisi lain, anak muda juga tak bisa sepenuhnya mengandalkan kesempatan adanya lapangan pekerjaan dari pemerintah.
“Harapannya, sih, dua tahun ini bisa lancar dulu. Habis itu buka usaha baru lagi. Kayaknya 10 tahun ke depan udah susah juga deh usaha ini. Saya mau punya toko sembako. Saya juga tidak tahu kalo pemerintah ada program bantuan buat UMKM atau tidak.”
Redup-redam Pariwisata
Penelitian Ni Made Ary Widiastini dkk. dari Universitas Pendidikan Ganesha berjudul “Survival Strategies of Informal Sector Workers in Bali’s Tourism Industry” menunjukkan bahwa, sektor informal pariwisata Bali sangat rentan namun juga adaptif.
Pada masa pandemi lalu misalnya, pendapatan di sektor informal, yang meliputi penjual suvenir, pemandu wisata lokal, penjual makanan, bisnis penyewaan sepeda, dan operator skala kecil lainnya, mengalami penurunan pendapatan secara drastis hingga 80%. Masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada industri pariwisata terpaksa mencari metode penghidupan alternatif.
Penelitian yang dilakukan di sembilan kabupaten/kota di Bali itu juga menyebutkan, strategi bertahan hidup seperti: pengelolaan keuangan untuk kebutuhan sehari-hari, keterampilan komunikasi, jejaring sosial, dan pengetahuan kebijakan pemerintah sangat penting untuk ketahanan di sektor pariwisata.
Strategi ini menegaskan bahwa pentingnya adaptasi masyarakat Bali dalam menghadapi potensi penurunan jumlah wisatawan dan perubahan pasar. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan, perlunya intervensi nyata dari pemerintah dan dunia akademik untuk menunjang keberlangsungan hidup masyarakat Bali pasca pariwisata.
Putri (19) baru saja pulang dari kampusnya saat saya temui. Ia adalah mahasiswa semester dua di salah satu kampus pariwisata di Bali. Di sela-sela kesibukan kuliahnya, Putri memilih untuk aktif mengambil kerja paruh waktu (Daily Worker/DW) di hotel-hotel ternama di Bali.
Bekerja sebagai DW diambil Putri hanya di setiap akhir pekan, atau saat waktu libur kuliah. Sistem kerja DW bersifat fleksibel dan mengikuti kebutuhan hotel, karenanya, kebutuhan pekerja harian juga tidak menentu. “Setelah masukkan CV ke hotel. Kami ada grup kumpulan DW. Jadi masing-masing hotel tuh punya semacam grup-grup buzzer gitu. Kita bisa minta sama teman buat dimasukin ke grup itu. Biasanya dikasih tahu tanggal kebutuhannya, lalu dibuatin daftar yang mau DW. Terus nanti dipilih oleh pihak hotel,” kata Putri.
Peluang yang dibuka biasanya hanya untuk posisi runner dan banquet. Posisi itu dibutuhkan ketika ada acara khusus atau saat hotel kekurangan staf. Mereka yang terpilih, nantinya akan bertugas selama persiapan acara, melayani makanan dan minuman kepada tamu, hingga penataan dan pembersihan ruangan setelah acara selesai.
Dengan jumlah waktu terbatas serta persaingan yang ketat itu, Putri mendapatkan upah Rp100–150 ribu per harinya, itupun jika ia terpilih bekerja. Meski dihadapkan pada tantangan mentalitas, upah rendah, kontrak kerja harian yang rapuh, dan ketimpangan peluang di industri pariwisata, Putri mengaku keputusan itu bukan semata-mata untuk uang. Tetapi, demi pengalaman, pengembangan keterampilan, dan membangun relasi di industri pariwisata.
“Aku lebih ke mikirin pengalaman aja, sih. Jadi, ketika kita berusaha untuk terjun di sana, kita bisa kenal orang-orangnya. Secara enggak langsung kita ada celah untuk ingin di posisi apa gitu,” tambah Putri.
Pada kesempatan lain, di sebuah kantor koperasi di daerah Ungasan, Kuta Selatan, saya menemui Deva (23). Ia sedang duduk di balik meja, memeriksa invoice, mengisi voucher, dan sambil sesekali memelototi rumus Excel. “Dulu aku modeling, ikut duta wisata, syuting-syuting juga. Sekarang jadi akuntan,” kenang Deva.

Deva mulai meniti karir di dunia hiburan sejak SMA hingga akhir masa kuliah. Semasa kuliah, upah dari agensi dan manajemen artis tempat ia bergabung tak main-main, “Pernah dapat sampai sembilan juta sebulan, itu sudah termasuk bonus kalo videonya FYP di TikTok. Bonusnya tergantung dari FYP: Berapa viewers yang kita dapat, berapa likes yang kita dapat. Terus di sana itu ada keranjang kuning berapa produk yang kita jual,” jelas Deva.
Lulus dari jurusan komputer akuntansi di tahun 2023, dunia hiburan digital mulai lesu. Deva memutuskan banting setir ke dunia angka–pilihan yang lebih stabil, menurutnya.
Ayah Deva adalah pemandu wisata, sementara ibunya bekerja membuat produk garmen rumahan, meski kedua orang tuanya bekerja di industri pariwisata, Deva mengaku belum tertarik. Ia bercerita, beberapa temannya juga menolak jadi DW di hotel hanya karena tidak cocok dengan lingkungannya. “Padahal itu pengalaman juga, tapi ya mungkin ada yang gengsi karena lulusan sarjana, jadi maunya kerja yang sesuai sama jurusan.”
Deva menimbang-nimbang untung rugi bekerja di industri pariwisata. Selain itu, ia punya pandangan tegas soal kerja layak. “Kerja layak itu yang sistemnya jelas. Jam kerja jelas, lembur dibayar. Jangan yang telat dipotong tapi lembur enggak dihitung.”
Dengan upah Rp2,5 juta per bulan sebagai akuntan di sebuah koperasi, Deva berpikir masih berada di zona nyaman. Namun, ia juga sadar kenyamanan itu tidaklah abadi, “Aku nggak bisa di sini-sini terus. Aku pengin punya usaha sendiri, bareng Ibu. Entah warung makan, atau toko baju.”
Oka (21) kini masih aktif menjadi mahasiswa di salah satu kampus negeri di Bali. Orang muda kelahiran Jembrana ini bercerita, saat duduk di bangku SMK ia memulai pengalaman kerjanya di antara tumpukan kerat minuman di sebuah gudang dan toko grosir. Di sana tubuh dan pikirannya digembleng. Bukan hanya oleh beban fisik, tapi oleh kenyataan keras bahwa dunia kerja tak seindah brosur promosi lowongan.
“Saya disuruh angkat enam kerat minuman, isinya berat semua. Pernah juga dimarahi bos di depan umum. Itu enggak enak banget, tapi saya anggap itu titik belajarnya,” kenang Oka.
Pengalamannya bekerja selama enam bulan itu mengajarkannya menerima tekanan tanpa hancur, dan bagaimana tetap menghargai diri meski upah hanya Rp200 ribu per bulan.

Bagi Oka, pariwisata Bali telah bergeser dari akar spiritualitas dan kesederhanaan, menuju industrialisasi massal yang membuat masyarakat lokal terpinggirkan, termasuk di kampungnya sendiri. Ia menyebut banyak warga lokal di kawasan wisata justru tidak terserap dalam lapangan kerja karena dianggap tidak cukup skill.
“Kita, kan, pariwisata internasional jatuhnya, ya. Berarti harganya pun internasional. Harga karyawannya harusnya juga internasional. Kenapa sekarang malah nggak dihargai?”
Kini, Oka sedang fokus menyelesaikan studinya di jurusan manajemen bisnis. Ia juga sedang merancang rencana ekspor briket kelapa dari desanya sendiri. Baginya, masa depan bukan soal pergi sejauh mungkin, tapi membangun dari tempat yang paling dekat: desa.
Meski berasal dari keluarga petani, Oka juga tidak menyimpan romantisme terhadap pertanian. Ia merasa generasinya menjauh dari ladang bukan karena malas, tapi karena rasional.
“Capeknya lebih banyak daripada uang yang didapat. Ongkos metik, pupuk mahal, hasil panen turun. Rugi,” ujar Oka. Ia menambahkan, pertanian masih dianggap warisan “kerja kotor,” sementara pariwisata menjanjikan seragam rapi dan bahasa asing, pilihan pun jelas bagi sebagian besar teman seangkatannya.
Bali Pascapariwisata
Pandemi Covid-19 memberikan dampak besar pada industri pariwisata Bali. Penelitian Made Antara dan Made Sri Sumarniasih dari Universitas Udayana yang berjudul “Impact of the Covid-19 Pandemic on Unemployment in Province of Bali, Indonesia” mencatat, Bali di masa pandemi mengalami lonjakan drastis jumlah pengangguran hingga mencapai 321,8%. Dari 32.990 orang sebelum pandemi (September 2019-Februari 2020) menjadi 139.140 orang pada puncak pandemi (Maret 2020-Februari 2021).
Tiga daerah pusat pariwisata seperti Badung, Gianyar, dan Denpasar menjadi daerah penyumbang jumlah angka pengangguran tertinggi. Lonjakan angka pengangguran itu banyak disebabkan karena kurangnya jumlah wisatawan dan PHK massal akibat penutupan hotel, restoran, dan layanan wisata.
Meskipun pemulihan mulai terlihat sejak 2022, angka pengangguran tercatat masih tinggi jika dibandingkan sebelum masa pandemi. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali menunjukkan jumlah pengangguran di Bali terus menurun sejak 2020. Dalam catatan BPS Provinsi Bali, tahun 2020 jumlah pengangguran ada sebanyak 144.500 orang, berangsur menurun di tahun setelahnya: 138.669 orang (2021), 131.469 orang (2022), 72.421 orang (2023), dan 48.676 orang (2024). Sebagai perbandingan, BPS provinsi Bali mencatat, ada 39.288 orang pengangguran pada tahun 2019.
Namun, catatan tersebut bukan hanya sekedar angka statistik yang menjadikan Bali terlihat baik-baik saja di peta pariwisata dunia. Gede Kamajaya, Sosiolog Universitas Udayana memberikan pandangan lain, “Angka pengangguran menurun, iya. Tapi pertanyaannya, apakah ada lapangan kerja baru?”

Menurut Kamajaya, lapangan kerja di Bali memang tersedia, khususnya di sektor jasa dan pariwisata, tapi sifatnya cenderung eksploitatif. Banyak lowongan yang membutuhkan keahlian teknis, tapi juga menetapkan syarat berdasarkan penampilan. Gaji pun seringkali tak layak.
“Banyak syarat kerja yang tak relevan, yang cantik dan ganteng dapat privilese. Itu bentuk eksploitasi terhadap tubuh. Seringkali tidak ada korelasinya dengan skill yang dibutuhkan, sehingga itu jadi sandungan cukup serius untuk mereka. UMR yang rendah itu akhirnya diisi oleh tenaga-tenaga kerja yang tidak terampil.”
Krisis pariwisata akibat pandemi seharusnya jadi momen refleksi. Tapi menurut Kamajaya, hingga kini Bali belum punya rencana besar untuk bangkit dengan arah baru, yang dilakukan hanyalah kembali pada pola lama: menjual budaya sebagai atraksi.
“Bali tak punya master plan pascapariwisata. Pura dijadikan objek wisata, ya jangan heran kalau turis manjat pelinggih. Itu konsekuensi dari kita memperlakukan produk budaya sebagai subjek atau sebagai komoditas. Akhirnya, batasan sakral dan profan itu menjadi abu-abu.”
Di antara geliat pariwisata yang mulai hidup kembali, Kamajaya juga menyoroti tentang banyaknya alih fungsi lahan produktif serta penggunaan air tanah untuk kepentingan pariwisata. Selain itu, pertanian di Bali tidak pernah dibangun secara terencana. Tidak ada industri pasca panen. Ketika satu komoditas populer, semua menanam yang sama. Harga jatuh. Rugi massal. Generasi muda meninggalkan pertanian bukan karena malas, karena logika ekonomi yang tak berpihak.
“Pariwisata itu adalah obat segala persoalan. Tapi begitu industri jasa ini dihadapkan pada persoalan-persoalan kerentanan, barulah mereka kebingungan dan bicara soal sektor agraris kita. Tapi begitu pariwisata pulih, sektor agraris ini sudah dilupakan lagi.”
Bagi Kamajaya, masa depan Bali tak bisa digantungkan selamanya pada turis, vila, dan restoran mahal. Ia yakin bahwa generasi muda Bali butuh tempat yang adil untuk tumbuh, bukan hanya lapangan kerja, tapi ruang hidup yang menghargai martabat dan menjaga warisan leluhur.
“Kalau kita bercita-cita membangun Indonesia emas di 2045, saya kira persoalan ini harusnya jadi perhatian utama. Janji-janji tiap lima tahun sekali untuk membuka lapangan kerja sekian puluh ribu dan sebagainya, sampai hari ini kita sulit mengukurnya,” tutup Kamajaya.
Tulisan ini merupakan bagian dari serial #GenerasiCemas