BABAH AIK kaget saat mandor kepercayaannya, bin Jamin, tiba-tiba menggebrak meja kantor dengan mata melotot sambil membawa golok.
“Kalau Babah tak mau ngasih itu tanah, saya bakar gudang ini,” kata bin Jamin.
Tanah yang dimaksud bin Jamin adalah sebujur lahan panjang selebar dua meter yang kelak menjadi gang penghubung Kampung Lodan dengan jalan besar, dengan nama yang sama di Jakarta Utara.
Pada 1970-an, bengkel kayu ukir milik Babah Aik tengah kejang-kejang karena tak lagi mendapat pesanan besar untuk mengisi perabotan Istana Bogor. Kekerasan politik 1965 memutus koneksi Babah Aik dengan penguasa bubar, sehingga si babah miskin orderan.
Setelah sempat bertahan selama sepuluh tahun, Babah Aik menyerah. Ia menjual gudangnya kepada pengusaha lain setelah memecat semua karyawan yang tinggal di belakang gudang, persis di samping Sungai Ciliwung.
Saat itulah bin Jamin datang marah-marah. Si mandor khawatir pemilik baru akan menutup gang yang jadi akses terdekat Kampung Lodan ke jalan besar. Ia memaksa Babah Aik mengeluarkan lahan gang itu dalam akta jual beli.
Pada Mulanya adalah Judi
Di Kampung Lodan, tidak ada yang berani melawan bin Jamin yang konon, dari cerita mulut ke mulut sehingga kita sulit mengukur keabsahannya, punya 80 guru dari Banten sampai Tanah Abang.
Salah satu saksi hidup kesaktian bin Jamin adalah Nila, cucu keluarga Naya yang kini mengurus hidup janda renta itu. Pernah satu sore saat pulang kerja dari pabrik, Nila kesurupan bak orang gila.
“Kata orang-orang sih kesambet,” kata Nila. Hanya dengan minum air bercampur ludah bertuah bin Jamin, perempuan itu kembali sehat.
Tapi, bin Jamin bukan jawara Betawi tipikal seperti Pitung, si Muslim taat rajin salat. Ia penjudi payah yang selalu ketagihan tuak. Setiap Sabtu, semua keping rupiah dari hasil kerja seminggu mengepul kayu dihabiskan di meja ceki.
“Suka takut saya, tong, kalau Abah baru pulang maen dan mabuk,” kata Naya. “Pasti marah-marah dia, tapi Abah kagak pernah mukul.”
* * *
NAMA LENGKAPNYA Nedi bin Jaminan. Asal-usul maupun kapan ia lahir tidak pernah jelas. Informasi tentang jawara pemabuk itu hanya didapatkan dari ingatan samar-samar istrinya, Naya, dan keterangan beberapa warga Lodan yang mengenalnya sejak lama.
Pada masa muda terkenal sebagai bin Jamin, tapi tuanya dipanggil Abah Nedi. Ia meninggal karena usia tua pada 2011.
Kalau diusut-usut, entah kenapa orang ini selalu bau-bau judi. Dari ketemu jodoh sampai tanah hingga nasib anak; semuanya dipertaruhkan dalam spekulasi yang kadang sulit masuk akal.
Soal jodoh, misalnya. Bin Jamin pertama bertemu Naya saat main koprok—permainan tebak angka dua dadu yang dikocok menggunakan tempurung kelapa. Pertemuan itu di sebuah pasar Bogor pada awal 1950-an.
Naya, gadis belasan tahun yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Mangga Besar, baru saja tiba di Bogor untuk mengunjungi sepupunya.
“Ada orang Jakarta, ada orang Jakarta!” teriak bin Jamin begitu matanya menangkap Naya.
Naya ketakutan, terbirit lari pulang ke rumah sepupu. Tapi, si preman pasar mengejar, menggedor-gedor pintu minta kenalan. Entah bagaimana ceritanya, Naya terbujuk dan mau menikah dengan sang pemuda urakan itu.
“Pokoknya waktu itu baju masih tujuh rupiah, tong,” kata Naya, yang sepanjang hidupnya tidak pernah mengenal huruf kecuali angka-angka pada lembaran uang saat mengingat tahun berapa ia menikah.
Soal jodoh itu adalah bau judi pertama yang bisa dilacak dari hidup bin Jamin.
Yang kedua: Setelah menikah, bin Jamin tidak tanggung-tanggung mempertaruhkan hidupnya saat meminta Naya berhenti bekerja untuk majikannya. Ia nekat membawa istrinya tinggal di gudang mebel kayu milik Babah Aik.
Di ruang besar terbuka itu mereka bercinta beralas papan. Sementara sungai di belakang menjadi kakus, tempat mencuci, sikat gigi, sekaligus air memasak.
Pilihan untuk tinggal di gudang adalah perjudian yang membawa kemenangan sekaligus kekalahan paling telak sepanjang hidup bin Jamin.
Judi sebenarnya bukan kata yang tepat karena ia mengindikasikan sang pemain punya pilihan untuk bertaruh atau meninggalkan meja. Naya dan bin Jamin tidak punya kemewahan itu.
Tahun-tahun awal mereka menikah bertepatan dengan periode kalabendu ekonomi Indonesia. Dua kali pemerintah menyunat harta keluarga bin Jamin dalam “kebijakan gunting” Syafruddin tahun 1950 dan devaluasi rupiah hingga 50 persen pada 1959.
Kebijakan itu untuk menekan inflasi. Uang saat itu tidak berharga dan lebih layak dibuang untuk seru-seruan main dadu koprok. Dalam situasi itu tidak mungkin bin Jamin membelikan istrinya rumah kecil yang layak sekalipun. Kontrakan murah belum ada.
Mungkin karena kasihan melihat nasib buruhnya, Babah Aik mengizinkan bin Jamin mendirikan rumah di belakang gudang, saat itu masih rawa-rawa dengan kayu sisa milik perusahaan.
Beberapa buruh gudang bernasib sama juga mengikuti jejak si mandor Jamin. Inilah cikal bakal Kampung Lodan yang saat ini sudah berusia delapan windu.
* * *
KAMPUNG yang didirikan bin Jamin dan istrinya ternyata membawa bencana.
Tahun 1960, satu-satunya anak pasangan itu mati kena muntaber, penyakit yang mungkin disebabkan bakteri dari makanan yang dimasak dengan air bercampur kencing dan tahi Kali Ciliwung.
Kesaktian bin Jamin, yang katanya bisa menyembuhkan segala macam penyakit hanya dari mantra yang diludahkan ke segelas air putih, tidak mempan terhadap anaknya sendiri.
“Waktu itu ngggak ada dokter, tong,” ujar Naya yang tidak punya keturunan lagi setelah anak pertamanya bertemu ajal.
Lalu datanglah kekerasan politik 1965 yang mengubah tak cuma politik dan ekonomi Indonesia tapi juga nasib jutaan manusia Indonesia.
Harga sembako naik enam kali lipat. Ada penculikan para jenderal. Ada pembunuhan massal. Naya yang mengaku tidak tahu sama sekali peristiwa ini ikut menanggung akibatnya. Gudang tempat suaminya bekerja terancam bangkrut miskin pesanan.
Naya sempat berjualan nasi uduk di pinggir jalan untuk membantu suaminya mencari uang tambahan. Tapi, usaha ini tidak bertahan lama karena perangai bin Jamin yang cemburuan saat Naya melayani pelanggan.
“Ngobrol aja lu!” bentak bin Jam di depan pembeli pria.
Keadaan semakin bertambah buruk setelah beberapa karyawan gudang di Lodan mulai membongkar rumah bedeng satu per satu. Mereka keluar kampung mencari penghidupan lain. Hanya bin Jamin dengan sedikit warga pendatang buruh pabrik lain di Jakarta Utara yang bertahan di Lodan.
Puncaknya saat bin Jamin mendengar kabar Babah Aik akan menjual gudang yang terus-menerus rugi itu.
Tanah yang ditinggali warga saat itu diasumsikan masih menjadi bagian dari harta perusahaan, sehingga pemilik baru bisa setiap saat mengusir mereka.
Pada titik inilah bin Jamin mendatangi kantor Babah Aik, meminta agar tanah kampung di belakang gudang dan gang di tengahnya tidak ikut dijual.
Si bos menyetujui tuntutan mandornya dan secara khusus menyerahkan lahan kampung kepada bin Jamin dan satu orang kepercayaan lain.
“Saya menyaksikan sendiri penyerahan tanah kampung ini dari pemilik gudang ke Abah Nedi (panggilan bin Jamin tua),” kata Juwitno yang tinggal di Lodan sejak 1970-an.
TENTU SAJA sampai sekarang tanah itu tak bersertifikat. Sebabnya banyak.
Pertama, bin Jamin dan istrinya sama-sama buta huruf. Kedua, tidak ada satupun badan negara yang menanyakan keabsahan kepemilikan tanah itu sampai ramai-ramai penggusuran pada 2015.
Ketiga, para pendatang baru yang menempati tanah warisan gudang di Lodan pada 1970-80-an lebih sibuk menyelesaikan perkara keseharian seperti bagaimana mendapat listrik dan air bersih. Pendeknya, mengurus sertifikat adalah kemewahan yang tidak pernah mereka tahu.
Orde Pembangunan
Zaman berubah. Soeharto, si presiden baru, lebih suka mengurus orang asing yang membawa dolar ketimbang warganya sendiri. Hanya beberapa bulan setelah berkuasa, Soeharto mengesahkan undang-undang yang membuat Indonesia jadi surga investor: alamnya yang kaya diperjualbelikan demi keuntungan segelintir orang.
Tentu saja bin Jamin tidak tahu perkembangan ini. Di radio gudang, ia hanya mendengar kata “pembangunan” dan “tinggal landas” yang terus-menerus diulang tanpa bisa dimengerti maknanya oleh orang sudah beranjak tua itu.
Bin Jamin dan Naya baru mengetahui makna kata pembangunan itu setelah menengok tidak jauh ke utara, di sekitar pesisir Ancol, hanya berjarak 3-4 kilometer dari Lodan.
Di sana banyak berdiri bangunan-bangunan megah yang menurut orang-orang adalah pabrik. Dari penghasil baja, kaca, susu, sampai mie instan. Pelabuhan Sunda Kelapa, hanya beberapa ratus meter dari Lodan, kembali ramai seperti masa kolonial.
Keluarga bin Jamin semakin mengerti makna pembangunan setelah bekas gudang Babah Aik berada di tangan pemilik baru.
Gudang itu tidak menyimpan lagi mebel untuk istana, tapi kayu gelondongan. Bin Jamin mendapat pekerjaan sebagai sopir di sana. Setiap hari ia mengantar kayu-kayu itu ke area pusat kota, seperti Sudirman dan Kuningan, untuk dijadikan gedung-gedung tinggi.
Pada 1970-80-an, banyak orang mulai berdatangan dan mendirikan bedeng-bedeng di Lodan untuk mencari remah-remah sisa Orde Pembangunan Soeharto. Para pendatang baru itu umumnya remaja-remaja putus sekolah dari daerah ngapak seperti Bumiayu, Cilacap, dan Tegal.
Bin Jamin memberikan tanah warisan Babah Aik begitu saja kepada mereka dengan sedikit ganti uang rokok.
Demikianlah. Lodan, dengan rumah-rumah kayu yang awalnya hitungan jari berjejer 10 meter dari bibir Ciliwung, menjadi kawasan padat. Bedeng-bedeng terus beranak pinak mendesak ke tengah kali dalam bentuk rumah panggung.
Di kawasan ibu kota yang hanya beberapa kilometer dari Istana Merdeka itu, warga Lodan bertahan tanpa listrik. Mereka harus menggunakan lampu kecil dari minyak tanah jika ingin ada cahaya sewaktu malam. Beberapa orang mencuri listrik dari gudang untuk menyalakan televisi hitam-putih. Ramai-ramai satu kampung menonton kabar dunia dalam berita setiap malam, atau si Unyil saat hari libur.
Sementara air sungai sudah tidak bisa lagi digunakan untuk minum karena tercemar sampah industri dan rumah tangga dari hulu.
Orang-orang Lodan terpaksa menghabiskan Rp200-400 setiap hari, atau setara harga setengah kilogram beras saat itu, untuk membeli satu jeriken air bersih dari penjual yang berkeliling kampung dengan gerobak.
Golok dan mantra bin Jamin tidak berdaya mengatasi perkara baru orang modern seperti listrik, air, dan penggusuran.
Soal yang terakhir ini muncul pada 1992 saat Gubernur Wiyogo Atmodarminto, hanya beberapa bulan setelah PDI menang pemilu di sana, memaksa warga Lodan menghancurkan rumah-rumah panggung sendiri yang menduduki kali. Setidaknya saat itu warga yang tergusur diberi tanah ganti di Tangerang.
Bin Jamin pensiun sebagai jawara. Tapi, beberapa warga Lodan menjadi murid setianya yang mewarisi kengototan mempertahankan tanah sekaligus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Salah satu murid bin Jamin itu adalah Salijan. Pria ini mungkin sudah berumur 50-an tahun. Ia datang ke Lodan dari desa di Bumiayu tak lama setelah putus sekolah pada 1984. Sama seperti bin Jamin, Salijan bekerja di gudang kayu belakang kampung sebagai buruh angkut sebelum dipercaya menjadi sopir setelah cukup umur.
Setelah gudang itu hampir bangkrut untuk kedua kali pada 2000-an, Salijan mencari uang dengan menjadi sopir seorang majikan China di Glodok. Mayoritas warga Lodan sekarang pun bernasib sama dengan Salijan, sebagai pengemudi mobil bak gudang yang beralih kerja jadi sopir pribadi.
Murid-Murid Ideologis bin Jamin
Tidak ada kerumunan nyamuk yang haus darah pada malam senyap pertengahan Agustus 2015. Hampir tidak ada rumah yang berani menyalakan televisi.
Hari itu semua orang takut. Penyebabnya: berita teror tentang kampung pinggir Ciliwung di selatan yang rata tanah dilumat hujan. Bulan kemerdekaan yang seharusnya meriah mendadak senyap.
Malam itu para jawara dari kampung-kampung di Jakarta Utara berkumpul dengan raut muka tegang. Beberapa murid bin Jamin seperti Salijan dan Dedi juga datang. Sudah lama mereka mendengar desas-desus tentang penggusuran “kawasan kumuh” pinggir kali Ciliwung sejak pak lurah meminta data penduduk setahun lalu.
Tapi, baru kali ini mereka melihat sendiri bagaimana tentara, pentungan, dan alat-alat berat dengan mudah mengalahkan barikade perlawanan para pendekar Kampung Pulo yang katanya punya azimat dari ngalap berkah di makam keramat Habib Alaydrus.
Murid-murid bin Jamin pun sadar bila bedeng di pinggir kali tidak cukup disebut rumah. Puluhan tahun mereka tinggal di sana tanpa listrik, air, sanitasi, ruang terbuka bersama, dan kebutuhan dasar pemukiman lain.
Tidak ada yang ingat kapan dan bagaimana listrik mengaliri rumah-rumah di Lodan. Kata beberapa orang: yang jelas setelah penggusuran tahun 1992 meski mereka sudah membayar pajak bumi dan bangunan sejak satu dekade sebelumnya.
Namun, Salijan masih ingat kekecewaan warga pada 1990-an saat permintaan air bersih di Lodan ditolak oleh PDAM. Perusahaan daerah itu memberi syarat: warga harus membayar Rp20 juta, saat ini setara Rp200 juta jika dihitung inflasi harga beras, untuk membangun pipa.
Tentu saja warga tidak mampu dan terpaksa bertahan dengan air jeriken yang harganya terus-menerus naik. Barulah sepuluh tahun kemudian warga berhasil mendapatkan akses air murah saat pemerintah memaksa PDAM dengan menetapkan target pipanisasi besar.
Murid-murid bin Jamin juga mengusahakan sendiri ruang terbuka seadanya bagi anak-anak, jauh sebelum Gubernur Joko Widodo mencanangkan program “satu taman satu kelurahan” yang dipuji banyak orang itu. Mereka memaksa pemilik gudang belakang kampung untuk membiarkan para remaja bermain sepakbola di halaman perusahaan.
Lalu, datanglah kabar penggusuran itu. Sebuah kampung yang menyimpan memori kolektif soal pergumulan mengubah rawa-rawa menjadi kampung yang punya listrik dan air sendiri, akan diganti ruang sewa seluas empat kali enam meter persegi.
Mereka menolak. Bagi warga, pemerintah bertingkah seperti bandar judi yang hanya mau menerima uang listrik dan pajak bangunan, tanpa mau membayar dengan penataan jika kebetulan petaruh menang.
Murid-murid bin Jamin sadar ancaman kali ini tidak bisa selesai dengan azimat ilmu kebal dan golok seperti yang dilakukan gurunya. Salijan, Dedi, dan para pendekar itu memutuskan membentuk organisasi sebagai metode melawan penggusuran.
Para jawara Lodan pun tidak sendirian. Mereka menemui para jawara dari kampung-kampung sekitar pinggir kali dan akhirnya membentuk perkumpulan bernama Komunitas Anak Kali Ciliwung pada 2014.
“Setelah melalui banyak rapat, kami memutuskan banyak langkah radikal untuk mempertahankan kampung,” kata Salijan yang jadi sekretaris jenderal Komunitas Anak Kali Ciliwung.
Langkah radikal itu menjadi perjudian terbesar di Lodan sejak bin Jamin mempertaruhkan keluarganya saat meminta Naya tinggal di gudang Babah Aik.
* * *
BEBERAPA JAWARA perwakilan warga pinggir Ciliwung memutuskan berunding dengan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok soal penataan kampung. Mereka mengaku siap membongkar ulang rumah yang berada lima meter dari pinggir kali dengan dana mandiri untuk memenuhi keinginan gubernur membikin jalan inspeksi.
Di sini, warga menghadap ke pemerintah untuk menghancurkan pemukiman yang mereka bangun pelan-pelan selama puluhan tahun untuk mendapatkan hak mereka. Sepertinya dunia memang begitu jalannya: wargalah yang melayani keinginan penguasa, bukan sebaliknya.
“Kalian ini gila,” kata Ahok menjawab rencana itu tanpa memberi kepastian apakah ia akan menggusur Lodan selebar 5-15 meter dari pinggir kali.
Meski tanpa kepastian, orang-orang Lodan nekat meneruskan rencana mempertaruhkan kampung dengan membongkar rumah. Tegel bekas lantai masih terlihat hingga saat ini, sementara rumah-rumah berjejer lurus semakin tinggi untuk menyiasati kebutuhan ruang.
Tidak hanya rumah dirombak. Komunitas Anak Kali Ciliwung juga meminta bantuan para cendekia dari Universitas Indonesia dan beberapa institusi lain untuk mengajari bagaimana mengelola sampah secara mandiri, menggarap sayuran, dan memastikan sanitasi. Semuanya untuk meyakinkan tuan gubernur bahwa sang rakyat bukan biang masalah; bahwa negara tidak perlu keluar biaya besar untuk mengerahkan pasukan kuning bersih-bersih kali.
Sekarang, sudah tiga gubernur berganti sejak zaman Jokowi, pun sebentar lagi akan ada yang keempat. Tapi tidak ada yang tahu pasti apakah perjudian-perjudian besar para jawara Lodan akan berakhir dengan penggusuran atau penataan.
Satu hal yang jelas dalam arena judi: Bandar tidak pernah kalah karena mereka yang bikin aturan.
Reporter: Rages Ryandi Putra, relawan pemuda Kampung Lodan
Catatan Editor: Tulisan ini terbit pada 2018 di situs Kampung Kota Merekam (yang sudah tutup) dan merupakan hasil liputan sejak 2017. Kampung Lodan termasuk yang akan direvitalisasi oleh Gubernur Anies Baswedan.
Tulisan ini adalah satu dari serial #SejarahKampungKota yang ditulis dalam kurun waktu 2017-2019 oleh para relawan di Kampung Kota Merekam (KKM), upaya mengedepankan kisah kampung kota di Jakarta yang sedapat mungkin datang dari perspektif warga kampung kota sendiri, demi menandingi narasi-narasi lain yang kerap bias kelas. Mengenai apa itu KKM dan latar belakang dari upaya ini, bisa dibaca di Ide dan Esai. Pembaca bisa mengunduh buku Kampung Kota Merekam di sini.