Si Tua Major Massie yang Menyimpan Sejarah Kampung Tongkol

Fahri Salam
10 menit
Kampung
Seorang anak menerobos jendela gudang tua peninggalan Belanda di Kampung Tongkol, Jakarta Utara. (Project M/Tubagus Rachmat)

UNTUK MENUJU Kampung Tongkol, jika kita mengikuti rute yang ditunjukkan Google Maps, kita diarahkan masuk dari Jl Pakin, lalu memutar sambil menyisiri pinggiran Ciliwung dari Kampung Kerapu. Pada 2017, saat saya ke sana, ada bekas pondasi rumah yang dibongkar warga sendiri di beberapa bagian jalan pinggiran kali Ciliwung itu.

Warga Kampung Tongkol dan kampung-kampung di pinggir Ciliwung seperti Kerapu dan Lodan memang tengah menghadapi ancaman penggusuran sejak 2015 lantaran posisinya di pinggir kali dianggap pemerintah Jakarta menyalahi aturan. Warga kemudian bersiasat dengan memotong rumah selebar lima meter dari pinggir kali.

Sementara, jika kita mengabaikan petunjuk Google Maps, ada rute lain yang lebih mudah menuju Kampung Tongkol, yakni  melalui jalan belakang. Ketimbang memutar lewat Kampung Kerapu, kita bisa melalui lahan lapang yang jadi tempat parkir truk di depan asrama Direktorat Peralatan Angkatan Darat, Tentara Nasional Indonesia, Bengkel Lapangan A043 01.

Selain memotong jalan, keuntungan lain, kita dapat menemukan bangunan tua bersejarah yang tersembunyi di belakang Kampung Tongkol.

Warga Kampung Tongkol begitu akrab dengan bangunan tua itu, yang posisinya saling memunggungi rumah mereka. Meskipun begitu, keterangan soal gudang tua dari warga cukup membingungkan.

“Itu dulu buat gudang peluru Belanda,” kata Endang, 53 tahun.

“Bangunan itu dulunya buat menyimpan biji-bijian dan rempah-rempah,” kata Gugun, 34 tahun.

“Itu dulu dipakai buat menyimpan barang-barang berbahan keramik dari Tiongkok,” timpal yang lain.

Jadi keterangan mana yang benar?

Sejauh yang bisa ditelusuri, semua keterangan mungkin sama benarnya. Bangunan tua itu telah difungsikan sebagai gudang sejak 1652–era Kompeni. Berbagai pihak secara bergantian telah menjadikan gudang tua tersebut tempat menyimpan berbagai komoditas. Peluru, biji-bijian, dan barang-barang berbahan keramik mungkin segelintir dari berbagai komoditas lain yang pernah disinggahi di gudang tua tersebut.

Kini gudang tua yang tembok depannya bertuliskan “Major Massie” itu hanya terduduk masygul di hadapan puluhan truk yang parkir di sekitarnya.

“Sudah lama disewakan ke perusahaan Remicon oleh pihak asrama,” kata Gugun.

Pihak yang dikenal warga sebagai Remicon adalah perusahaan material bangunan beton siap pakai. Sedang pihak asrama maksudnya pihak Angkatan Darat. Kondisi bangunan itu termakan usia. Beberapa bagiannya mulai rontok tak terpelihara.

Kampung
Rongsokan kendaraan milik TNI AD terparkir di sisi gudang tua peninggalan Belanda di Kampung Tongkol, Jakarta Utara. Status pengelolaan gudang itu masih di bawah Direktorat Peralatan Angkatan Darat. (Project M/Tubagus Rachmat)

Si Tua Papa Major Massie

Hingga 1995, si tua Major Massie bukan satu-satunya gudang peninggalan Belanda yang masih berdiri di bilangan Tongkol.

Adolf Heuken, paderi Katolik kelahiran Jerman yang banyak merekam arsitektur tua Jakarta, mencatat kompleks gudang peninggalan Belanda itu dengan cukup detail dalam Pusat Dokumentasi Arsitektur:

“Beberapa pintu dikunci dengan induk kuncinya yang amat berat dan balok-balok kayu yang panjang serta kokoh di dalamnya … Sampai pertengahan tahun 1995 semuanya masih dapat dilihat untuk membayangkan bentuk kota pada abad ke-17 sampai ke-19.”

Seluruhnya ada empat bangunan dalam kompleks pergudangan tua di Tongkol. Dua gudang digusur lantaran pembangunan jalan tol pelabuhan pada 1995. Satu gudang ambruk sendiri sepuluh tahun kemudian. Tersisa satu gudang.

Setelah penggusuran, material gudang seperti tiang gudang dan batu bata diangkut untuk dijadikan bahan mengeraskan jalan di sekitar Kampung Bandan dan Ancol.

Pemerintah bukan hanya abai, tapi dalam sejarahnya pernah secara sengaja merusak kompleks gudang tua. Di tangan militer, satu-satunya gedung tua yang masih tersisa juga terbengkalai.

“Pihak militer hanya menyewakan saja, belum pernah ada bentuk pemeliharaan apa-apa,” kata Dedi, warga Tongkol berumur 55 tahun yang pernah menjabat Ketua RT.

Warga Tongkol yang bermukim di sekitar gudang tua juga tak bisa melakukan apa-apa. Menurut Dedi, pemeliharaan membutuhkan dana dan pengetahuan, karena itu hanya dapat dilakukan pemerintah.

“Banyak warga sekitar sini nggak tahu nilai sejarah gudang ini. Mungkin hanya 20 persen saja yang tahu,” tutur Dedi.

Meskipun begitu, warga tetap segan pada si tua Major Massie. Barangkali bukan nilai sejarah, melainkan karena aura angker.

Dengan kebanggaan tersendiri, beberapa warga menyebut gudang tua itu pernah dijadikan tempat uji nyali oleh beberapa acara reality show.

“Tidak pernah ada satu pun yang berhasil!” kata Syafrudin, Ketua RT Tongkol berusia 61 tahun, dengan rona bangga.

Kampung
Seorang anak berjalan di jembatan yang menghubungkan Kampung Tongkol dengan Kampung Lodan yang terpisah oleh Kali Ciliwung. (Project M/Felix Jody Kinarwan)
Kampung
Anak-anak Kampung Tongkol bermain di bantaran Kali Ciliwung. (Project M/Felix Jody Kinarwan)

Si Penunggu Major Massie

Dari berbagai cerita warga maupun pengunjung, penunggu gudang tua menampilkan diri dengan berbagai rupa. Salah satu paling ikonik adalah ‘Noni Belanda’ yang kerap ikutan nongol ketika ada pengunjung swafoto di dekat gudang tua. Ada juga pocong yang melintas di atas sisa tembok tua di belakang gudang pada dini hari.

Ketika ditanya soal kisah-kisah gaib itu, banyak warga bilang sudah terbiasa. “Di Jakarta yang penting bisa merem,” kata seorang warga yang bilik rumahnya menghadap langsung ke sisa tembok tua.

Seorang warga lain justru menganggap penunggu gaib gudang tua turut menjaga keamanan Kampung Tongkol.

“Kita parkir motor depan rumah, alhamdulillah sampai sekarang aman-aman saja. Mungkin malingnya udah ngeri duluan sama hantu gudang tua,” tuturnya terkekeh.

Aura angker gudang tua dipercaya mendatangkan bala bagi orang yang hendak berulah di Kampung Tongkol. Hal ini seolah terbukti ketika seorang sopir truk nahas ditemukan tewas saat buang air besar dalam gudang tua pada 2015.

“Mungkin dia itu mabuk-mabukan terus kelewatan sampai akhirnya begitu,” kata Maedah, 78 tahun, yang tinggal di belakang gudang tua. Meskipun demikian, Maedah tak begitu percaya pada cerita-cerita hantu dan selalu mencoba berpikir rasional.

Kampung
Warga Kampung Tongkol memilih baju dagangan di bantaran Kali Ciliwung. (Project M/Felix Jody Kinarwan)
Kampung
Sebuah mural tergambar di dinding Kampung Tongkol. (Project M/Felix Jody Kinarwan)

Si Saksi Sejarah Kampung Tongkol

Hubungan gudang tua dan Kampung Tongkol jauh lebih nyata dari hantu-hantu yang tidak dipercaya oleh Maedah.

Saodah, perempuan tua yang ramah dan selalu bicara pelan dan handal di dapur, adalah saksi hidup dari kelindan sejarah Kampung Tongkol dan gudang tua.

Pada mulanya adalah kakek Saodah yang merantau ke ibu kota Republik yang dulu turut ia perjuangkan dalam revolusi fisik.

“Tapi kakek saya tidak lantas punya nama besar. Tetap jadi rakyat kecil,” tutur Saodah.

Luntang-lantung dari Kuningan ke Jakarta, kakek Saodah akhirnya bermukim di pinggiran Ciliwung yang kini jadi Kampung Tongkol. Ia bangunkan lahan tidur di belakang kompleks gudang tua dengan berkebun. Kakek Saodah menanami lahan di tepi kali dengan jagung dan pisang.

“Orang zaman dulu, kan, nggak bisa diam, nggak bisa lihat tanah nganggur,” kata Saodah.

Kegiatan bertani urban ala kakek Saodah itu baru berhenti ketika pada 1969 Dawid dan Juju meminta lahan jagung dan pisang untuk dipatok. Dawid dan Juju dulunya penjaga gudang yang sudah dikelola oleh militer.

“Waktu zaman Soeharto, kan, rakyat takut sama baju loreng,” kata Saodah.

Pada 1968 hingga 1969, Saodah pulang ke Kuningan, Jawa Barat, untuk mengenyam pendidikan di kampungnya. Sepulang dari Kuningan, ia menemukan kebun pisang dan jagung kakeknya sudah beralih menjadi rumah-rumah.

“Banyak penduduk baru itu kemungkinan membeli tanah yang dipatok Pak Dawid dan Pak Juju. Mereka itu tuan tanah Kampung Tongkol. Sekarang udah meninggal.”

Selain membeli dari Dawid dan Juju, ada pula warga yang datang karena punya hubungan kerja dengan pihak Angkatan Darat yang mengelola gudang tua.

“Dulu ayah saya sempat ditawarkan tinggal dalam asrama dalam kompleks gudang, tapi memilih tetap di Kampung Bandan,” tutur Syafrudin, Ketua RT Tongkol.

Saat terjadi penggusuran di Kampung Bandan, akhirnya ayah Syafrudin membangun rumah di tepi Ciliwung, belakang gudang tua. “Kayu untuk membangun rumah diberi oleh komandannya.”

Ketika terjadi pembangunan jalan tol pelabuhan, bukan hanya dua gudang tua yang tergusur, melainkan juga asrama dan musala Direktorat Peralatan Angkatan Darat.

“Asrama yang sekarang itu dibangun setelah tergusur oleh jalan tol,” terang Asnah, 45 tahun.

Penggusuran demi jalan tol menyisakan dua gudang tua, tapi yang satu sudah dalam kondisi sangat bobrok, yang akhirnya ambruk pada 2005.

Kala itu warga turut mengambil puing-puing gudang tua yang ambruk. Salah satu yang banyak diambil warga adalah batu bata, lantaran batu bata dari gudang tua yang ambruk lebih kuat dari batu bata biasa.

Sebelum penggusuran untuk jalan tol, warga Kampung Tongkol tidak berani mendekat atau memunguti apa pun dari kompleks gudang tua. “Dulu ada pagarnya. Pernah satu gudang dijadikan pabrik tahu, saya biasa beli tahu lewat pagar,” kata Saodah. Setelah penggusuran, dua gudang yang tersisa tidak lagi dipagari.

Ketika penyewa swasta mulai meninggalkan gudang tua yang semakin bobrok, warga kecipratan berkah.

“Piring-piring keramik merk Sango diobral murah. Perkakas masak juga diobral,” kata Saodah.

“Saya beli penggorengan bagus, cuma sepuluh ribu aja,” timpal Asnah.

Terinspirasi obral keramik cuci gudang tua itulah beberapa warga kampung kemudian mengusulkan gudang tua terakhir yang tersisa, si tua Major Massie, dijadikan museum piring.

“Lebih bagus kalau dijadikan cagar budaya,” kata Asnah.

Banyak warga lain juga bersepakat pada gagasan pemugaran gudang tua untuk dijadikan cagar budaya.

“Nanti kita bisa hias kampung, bisa bikin usaha,” kata Maedah.

Kampung
Dua perempuan Kampung Tongkol sedang menghabiskan waktu di depan rumah. (Project M/Tubagus Rachmat)
Kampung
Mural Kampung Tongkol tampak pada sebuah dinding. Pada 2015, warga membongkar rumahnya sendiri dan mundur 5 meter dari bibir Kali Ciliwung. (Project M/Felix Jody Kinarwan)

Rencana Memugar Si yang Tersisa

Pemugaran gudang tua Major Massie sudah diwacanakan bertahun-tahun, tapi belum ada kerja nyata dari pemerintah.

Status pengelolaannya yang masih dibawah Direktorat Peralatan Angkatan Darat menjadi salah satu penghalang. Hingga 2017, saat saya mengunjungi kampung ini, gudang tua dan lahan sekitarnya masih disewakan Angkatan Darat kepada perusahaan Remicon.

Timbunan batu split menggunung, membentuk bukit kecil yang nyaris menempel dengan tembok gudang tua. Beberapa mesin produksi yang sudah rongsok dibiarkan berkarat tak jauh dari gudang tua. Melihat kondisi terakhir ini, pemugaran tampaknya akan jadi tugas yang berat.

Terakhir kali wacana pemugaran muncul kembali pada masa kampanye pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Saat menemani Anies Baswedan berkampanye di Kampung Tongkol, perencana urban dan dewan pakar, Marco Kusumawijaya menjanjikan gudang tua ”nantinya bisa dibuat semacam heritage landscape, yang tentunya berkesinambungan dengan kehidupan warga Kampung Tongkol.”

Artinya, gudang tua dipugar dan warga Kampung Tongkol yang selama ini dicap ilegal tetap tinggal untuk ikut menjaga gudang tua sebagai cagar budaya.

Gagasan cagar budaya yang berkesinambungan dengan kehidupan warga sudah mulai dirintis bahkan sebelum kampanye Gubernur DKI. Seperti dicatat berbagai media, para warga yang sadar akan nilai sejarah gudang tua mengusulkan prospek-prospek cagar budaya, salah satunya usulan menjadikan gudang tua sebagai museum piring sebagaimana tercatat dalam Pusat Dokumentasi Arsitektur.

Bagi banyak warga, prospek gudang tua sebagai cagar budaya yang berkesinambungan dengan kehidupan warga merupakan prospek yang paling ideal. Harapannya, dengan begitu Kampung Tongkol akan selamat dari penggusuran.

“Kita bangun kampung ini, kan, dengan modal dan tenaga sendiri. Biarpun di pinggir kali, masih lebih baik ketimbang terlantar. Toh, kalau terlantar, pemerintah sendiri yang malu,” ujar Saodah.

*  *  *

Reporter: Siti Maymunah dan Sabrina Burhanudin

Catatan Editor: Tulisan ini terbit pada 2018 di situs Kampung Kota Merekam (yang sudah tutup) dan merupakan hasil liputan sejak 2017. 


Tulisan ini bagian dari serial #SejarahKampungKota yang ditulis dalam kurun waktu 2017-2019 oleh para relawan di Kampung Kota Merekam (KKM), upaya mengedepankan kisah kampung kota di Jakarta yang sedapat mungkin datang dari perspektif warga kampung kota sendiri, demi menandingi narasi-narasi lain yang kerap bias kelas. Mengenai apa itu KKM dan latar belakang dari upaya ini, bisa dibaca di Ide dan Esai. Pembaca bisa mengunduh buku Kampung Kota Merekam di sini

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Fahri Salam
10 menit