Hak dasar atas pendidikan bagi setiap warga negara masih menjadi mimpi di negara yang konon telah merdeka selama 77 tahun ini. Mimpi pendidikan yang entah kapan jadi kenyataan ini telah mencerabut imajinasi anak-anak tentang masa depannya.
Dunia anak-anak dipenuhi mimpi. Dalam ruang imajinasi yang tak terbatas itu, mereka mengidentifikasi diri sebagai siapa pun, membayangkan diri menjadi apa pun, berlabuh di mana pun, bebas dari keterbatasan yang saat ini dimiliki. Konon, jalan untuk mewujudkan mimpi mereka adalah melalui pendidikan.
Pendidikan adalah hak setiap warga negara, seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 31 ayat 1.
Namun, jalan menuju pendidikan belum merata bagi semua kalangan. Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menunjukkan pada tahun ajaran 2020/2021, sebanyak 83,7 ribu anak putus sekolah. Jumlah tertingginya ada di tingkat sekolah dasar dengan 44.516 anak, disusul SMK, SMA, dan SMP.
Padahal, pemerintah wajib mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan dasar bagi semua anak tanpa terkecuali sesuai mandat UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dari puluhan ribu anak tersebut, angka putus sekolah tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Barat. Pada tahun yang sama, jumlah anak-anak usia SD yang putus sekolah mencapai 6.873 orang.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan ada sejumlah faktor yang menyebabkan anak putus sekolah pada masa pandemi COVID-19. Pertama, persoalan ekonomi yang menyebabkan sebagian anak-anak memilih untuk bekerja atau menikah, kedua, kecanduan gim daring, dan ketiga, sakit atau meninggal dunia.
Bukbis Candra memotret dan merekam mimpi anak-anak marjinal di kota-kota Jawa Barat di tengah ketimpangan pendidikan yang tidak berpihak pada mereka.
Yusuf (7) Dianggap Bodoh Untuk Bersekolah
Yusuf tinggal bersama kedua orangtuanya di sebuah rumah petak di kawasan padat penduduk di Kota Bandung. Di usianya, Yusuf seharusnya sudah duduk di bangku kelas 1 SD.
Yusuf belum pernah mengenyam pendidikan sama sekali. Bocah yang bercita-cita menjadi pemadam kebakaran ini menghabiskan waktu dengan mengamen di perempatan yang tidak jauh dari rumahnya.
Menurut Budi dari rumah singgah Fresh Kids Care, sekolah untuk anak marjinal, Yusuf tidak mengenyam pendidikan karena kedua orangtuanya merasa sekolah tidak penting untuknya.
“Yusuf ini sama bapaknya sering dikatain bodoh. ‘Ngapain sekolah, kamu itu bodoh.’ Namun setelah beberapa kali ikut sekolah di kami, akhirnya Yusuf punya keinginan untuk terus sekolah,” ungkap Budi.
Belakangan Yusuf jarang mengikuti kelas di rumah singgah karena kedua orangtuanya sakit. Ayahnya lumpuh akibat strok, sementara ibunya mengidap obesitas sehingga tidak bisa beraktivitas. Yusuf pun terus mengamen untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Arsifah (9) yang Belum Pernah Bersekolah
Arsifah, anak penyandang disabilitas rungu wicara, sama sekali belum pernah merasakan bangku pendidikan. Ia hanya mendapatkan pendidikan nonformal dari kedua orangtuanya saja.
Sebetulnya sudah ada yang membantu Arsifah untuk bersekolah. Ia sudah didaftarkan bersekolah di SLB Negeri 1 Cileunyi. Jarak sekolah yang jauh, sulitnya akses kendaraan umum, serta keterbatasan biaya, membuat orangtuanya menunda menyekolahkan Arsifah.
“Ada seragam yang harus dibeli. Terus mesti antar-jemput sekolah. Kami tidak ada uang,” ujar ibunya yang bekerja sebagai pemilah sampah.
Arsifah anak kelima dari tujuh bersaudara dari pasangan Nengsih Rukmini dan Ujang Solihin. Ia satu-satunya penyandang disabilitas di keluarga dan tidak mendapatkan pendidikan. Hal ini yang kemudian Arsifah iri terhadap saudara-saudaranya.
Suatu hari, kakak laki-lakinya memenangkan lomba azan, Arsifah menangis iri terhadap kakaknya yang berprestasi dan mendapatkan hadiah.
“Waktu kakaknya juara lomba azan, dia nangis, sampai foto keluarganya dicoret-coret olehnya. Foto kakaknya diberi tanda ceklis, foto dia diberi tanda silang. Mungkin maksudnya kakaknya bagus sedangkan dia tidak,” ungkap Nengsih.
Kondisi Arsifah sebagai penyandang tunarungu dan tunawicara membatasi komunikasi dengan keluarganya. Apalagi Arsifah belum pernah mempelajari bahasa isyarat untuk berkomunikasi.
Itu membuat Nengsih cukup kesulitan berkomunikasi dengan Arsifah. Ketika ditanya tentang impian Arsifah, ia tidak bisa mengungkapkan impian anaknya. Setahu Nengsih, Arsifah suka foto-foto karena galeri gawainya penuh dengan foto selfie Arsifah.
“Saya gak tahu Arsifah punya impian apa. Yang saya tahu dia cuman suka foto-foto pake handphone. Jangankan bertanya impian, kadang kalau saya nyuruh ambilkan sesuatu, yang dia bawa malah yang lain,” jawabnya.
Baru-baru ini, Arsifah akhirnya merasakan proses belajar-mengajar. Ia tak datang ke sekolah, melainkan sekolah yang menghampirinya. Salah satu program di SLBN 1 Cileunyi memungkinkan tenaga pengajar untuk menjemput bola pelajar dengan keterbatasan.
Arsifah sekolah setiap hari Rabu, di sebuah saung terapi Anak Dengan Kedisabilitasan (ADK) dekat rumahnya, bersama dengan para penyandang disabilitas lainnya.
Selain bersekolah, Nengsih untuk mendidik Arsifah melakukan tugas-tugas rumah tangga, berkomunikasi, dan sebisa mungkin mengajaknya pergi keluar rumah agar bisa bersosialisasi.
Asep (13) Tergiur Menjadi Pekerja Anak
Setelah lulus dari SD tahun lalu, Asep, bukan nama sebenarnya, memilih tidak melanjutkan pendidikan. Ia mengisi kesehariannya dengan menjadi buruh lepas harian di sebuah industri rumahan di Kabupaten Bandung.
Asep tinggal di lingkungan dengan banyak anak-anak yang bekerja. Tak sedikit teman seusianya sudah mengantongi upah Rp120 ribu per pekan dengan hanya mengangkut kain dari pukul 18.00 hingga 20.00. Di usianya yang masih belia, ia sudah mendapat penghasilan hingga Rp500 ribu per bulan. Ia tidak lagi bergantung uang jajan pada orangtuanya.
Sejak menekuni kerja sebagai buruh lepas harian, Asep mengaku semakin menikmati pekerjaannya dan melupakan bangku pendidikan. Apalagi Asep menilai impiannya menjadi seorang supir truk besar bisa ia capai tanpa harus mengenyam pendidikan.
“Nggak ada niat untuk melanjutkan sekolah, sih. Sekarang mah, ya, fokus kerja aja,” tukasnya.
Orangtuanya mengaku kesulitan membujuknya untuk kembali ke sekolah, setidaknya menimba ilmu hingga jenjang SMA.
“Udah dibujuk agar tetep sekolah, tapi dianya tetap enggak mau. Gak tau apa alasannya. Mungkin faktor lingkungan karena di sini banyak yang tidak melanjutkan sekolah langsung pada kerja,” ujar ibunya.
Dinda (14) Berhenti Sekolah Setelah Perundungan
Dengan mata berkaca-kaca, Dinda memilih tidak menceritakan lebih jauh perundungan yang ia alami saat duduk di kelas 4 SD. Tak ada seorang pun yang membela dirinya. Trauma peristiwa tiga tahun lalu, membekas di gadis belia yang bercita-cita menjadi pemain bola ini.
“Ya begitulah, diejekin aja pokoknya sama temen di sekolah. Pas kenaikan kelas 5 gak mau lanjutin lagi sekolah,” ujarnya.
Dinda kemudian mengamen dan juga mengemis di tempat pemakaman umum tak jauh dari rumahnya. Ayahnya bekerja serabutan dengan penghasilan yang tidak menutupi kebutuhan harian.
Suatu waktu, Dinda bertemu dengan Budi dari Fresh Kids Care, rumah singgah untuk anak marjinal. Budi berencana menyekolahkan kembali Dinda untuk mengejar paket A dan melanjutkan ke paket B.
Di rumah singgah, Dinda membentuk klub futsal. Menurut Budi, salah satu strategi menarik minat anak-anak jalanan agar mau bersekolah lagi adalah dengan penyaluran minat dan bujukan perlahan untuk melanjutkan sekolah.
“Asalkan Dinda mau dan serius kami akan mengusahakan agar Dinda bisa melanjutkan sekolahnya. Semoga saja cita-citanya untuk menjadi pemain bola bisa tercapai,” harapnya.
Septi (15) Putus Sekolah Setelah Rumah Digusur
Keluarga Septi merupakan korban penggusuran di bantaran Sungai Cibodas, Antapani Kidul, Kota Bandung. Lokasi bekas rumah Septi kini menjadi taman bermain mobil remote control. Penggusuran tersebut berdampak besar terhadap akses pendidikan Septi.
Jarak tempuh sekolah dengan tempat tinggal menjadi sangat jauh. Septi harus berjalan ke sekolahnya sejauh 9 kilometer karena tidak punya ongkos transportasi. Ia pun mulai jarang masuk sekolah.
Tak cukup dengan penggusuran, Septi dan keluarganya dihadapkan lagi dengan pengusiran dari hunian sementara di Rusun Rancacili. Berkali-kali keluarga Septi diminta mengosongkan hunian di rusunawa milik Pemerintah Kota Bandung tersebut.
Anak ketiga dari lima bersaudara ini kemudian memutuskan tidak melanjutkan sekolah. Ia memilih bekerja di tempat cuci pakaian untuk membantu ekonomi keluarganya.
“Kasihan lihat mamah. Setelah diusir dari rusun kan ngontrak. Sedangkan kondisi mamah sedang sakit. Meskipun berat, tapi, ya, mau gimana lagi? Jadi mending kerja buat bantu bayar kontrakan dan untuk kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Saat ini, Septi seharusnya duduk di bangku kelas 1 SMA. Kondisi yang beruntun dialami membuyarkan cita-cita menjadi perancang busana yang ia impikan sejak duduk di bangku SD.
“Gambar-gambar baju yang Septi pernah buat udah dibakar semua. Dah males, ah. Jangankan mikirin itu. Mikirin untuk kehidupan sehari-hari aja pusing,” ujarnya.
***
Editor: Ricky Yudhistira & Ronna Nirmala
Cerita foto ini adalah bagian dari serial liputan Project Multatuli mendokumentasikan lika-liku #DuniaPendidikan.
Liputan ini dilakukan dengan panduan Pedoman Peliputan dan Pemberitaan Anak.