‘Saya Ingin Hidup Bahagia di Rumah Sendiri’: Perempuan-Perempuan Ahmadiyah di Transito

Budi Setiyono
14 menit
Ahmadiyah
Anak-anak pengungsi Ahmadiyah hendak menerbangkan layang-layang di Asrama Transito di Mataram, Lombok. (Project M/Panca Nugraha)

PAGI itu, asrama Transito cukup ramai. Di samping warung kecil berdinding tripleks, tak jauh dari pintu masuk asrama, lima anak sedang asyik bermain. Di dekatnya pedagang “batagor telur” memarkirkan motor, berharap anak-anak membeli dagangannya. Sementara penghuni asrama larut dalam aktivitas masing-masing. Ada yang memasak, memberi makan ayam, menyiram tanaman bunga, menyiapkan dagangan, berjualan aneka cemilan, dan ada pula yang mengobrol dengan tetangga.

Nuraini duduk di sudut ruangan. Ia baru selesai menyapu. Sesekali ia melangkah ke belakang menuju dapur yang terpisah. Ia sedang memasak sayur asem. Mengerjakan lebih dari satu pekerjaan rumah dalam satu waktu sudah menjadi rutinitasnya. 

“Saya sudah mengungsi di Transito sejak 2006 hingga sekarang,” ujar Nuraini, berusia 41 tahun. 

Nuraini tinggal di bilik sempit yang disekat tripleks. Kondisinya sekarang sudah lebih baik karena tak lagi disekat kain, kardus atau bahkan spanduk kampanye partai politik. Namun bangunan Asrama Transito juga kian lapuk. Temboknya lusuh. Catnya memudar. Debu tebal terlihat di kaca jendela. 

Asrama Transito berlokasi di Kelurahan Majeluk, Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Semula ia adalah tempat penampungan transmigran. Pada 2006, bangunan seluas setengah hektare ini difungsikan sebagai penampungan sementara bagi sekitar 600 jemaat Ahmadiyah. 

Tiap ruangan disulap layaknya kos-kosan yang berderet-deret. Bilik-bilik ini rata-rata berukuran 3×3 meter persegi. Seiring waktu, beberapa pengungsi tidak betah. Dibantu keluarga, mereka pindah ke tempat lebih layak. “Banyak juga jemaat yang pindah ke luar kota seperti Kalimantan, Kendari, Jawa dan lain-lain,” ujar Nuraini. 

Saat ini hanya ada 35 kepala keluarga, terdiri dari 51 perempuan dan puluhan anak-anak, yang masih bertahan di Transito, termasuk Nuraini dan suami dan keempat anaknya.

Kerasnya kehidupan di pengungsian tak menggoyahkan keyakinan Nuraini. Ia tetap tegar menjalani kehidupannya sebagai Ahmadi. “Keyakinan kami tidak bisa dikalahkan dengan apapun, bagaimanapun sulitnya kehidupan di sini,” katanya. 

Diusir Dua Kali, Kembali ke Transito

Nuraini lahir di Selong, ibukota Kabupaten Lombok Timur. Setelah menikah dengan lelaki yang juga penganut Ahmadiyah, ia ikut suami dan tinggal di rumah mertuanya di Kampung Jawa, Kelurahan Sandubaya. Di kampung itu cukup banyak pengikut Ahmadiyah. Nuraini rajin ikut pengajian.

Bertahun-tahun hidup di sana, kedamaian mereka mulai terusik. Terdengar ceramah-ceramah dari kelompok intoleran tentang “aliran sesat.” Bahkan seruan provokatif untuk menyerang dan mengusir mereka, hingga terjadi peristiwa kelam pada 2002. 

Siang itu Nuraini sedang menyusui anaknya. Datanglah seorang perempuan paruh baya yang juga tetangganya, “Ada penyerangan. Segera berkemas. Kita diminta mengosongkan rumah. Ayo mengungsi ke Polres Lombok Timur.” 

Nuraini kaget. Ia segera mengambil barang dan pakaian seperlunya. Bersama jemaat Ahmadiyah lainnya, ia mengungsi ke Polres Lombok Timur. Mereka tinggal di sana sekira sebulan. Mereka takut pulang ke rumah karena keselamatan terancam. Setelah itu mereka dibawa menuju “penampungan sementara” di asrama Transito.

Ahmadiyah
Pemandangan setelah penyerangan, perusakan rumah penduduk dan pengusiran terhadap 7 Kepala Keluarga, 24 orang penduduk Dusun Grepek Tanak Eat, Desa Greneng, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat oleh sekelompok massa pada Bulan Ramadhan tahun 2018 lalu. (Dokumentasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia)

Tiga bulan mengungsi di Transito, mereka pindah ke rumah kontrakan. Hal ini merupakan kebijakan pemerintah daerah. Sementara rumah mereka di Lombok Timur yang telah rusak, berkat advokasi pengurus Ahmadiyah yang difasilitasi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat, dijual. Hasil penjualan dibagi rata ke semua jemaat. 

“Kami disewakan kontrakan. Gratis untuk tahun pertama. Menyebar ke beberapa tempat seperti Sriwijaya, Karang Seraya, dan lain-lain di sekitar Kota Mataram. Saya dan keluarga dapat di Karang Seraya, dekat lapangan umum Kota Mataram,” ujar Nuraini.

Dua tahun mengontrak rumah, Nuraini tak sanggup lagi membayar biaya sewa. Penghasilan suami hanya cukup untuk makan. Bapak mertuanya juga sudah tua dan mengalami depresi berat. Maka, mereka memutuskan pindah ke rumah milik kerabat di sebuah kompleks perumahan di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Lombok Barat. 

Di Ketapang tinggal pula beberapa jemaat Ahmadiyah yang melakukan eksodus dari Lombok Timur akibat penyerangan. Secara kolektif, jemaat Ahmadiyah mengumpulkan uang untuk membeli sebuah kompleks perumahan yang dijual dengan harga murah.

Kehidupan berjalan normal kembali. Jemaat Ahmadiyah hidup rukun dan damai. Mereka membantu warga sekitar ketika ada kegiatan gotong royong atau hajatan. Kondisi ekonomi keluarga Nuraini berangsur membaik. Ia bisa membeli tanah, menggarap sawah, menanam sayur dan buah, lalu hasil panen dijual ke pasar. 

Pencapaian jemaat Ahmadiyah di Ketapang membuat warga sekitar tidak nyaman. Banyak desas-desus beredar. 

“Mungkin karena kami cepat bangkit dari keterpurukan. Banyak yang iri dengan kami. Mereka bilang kami bisa seperti sekarang karena dapat bantuan dana dari luar negeri,” kata Nuraini.

“Padahal pencapaian tersebut atas buah dari kerja keras. Pantang menyerah pada keadaan. Apapun yang bisa tetap kami kerjakan. Makanya tidak ada dari kami yang menganggur, pasti bekerja.” 

Sayup-sayup terdengar suara dari sebuah masjid di Kampung Gegerung, sekitar 350 meter dari rumah Nuraini. Seorang ustaz berceramah seputar kelompok “aliran sesat” dan berseru usir Ahmadiyah dari Gegerung. “Kalau masyarakat di sini tidak mampu, saya akan datangkan massa dari luar kampung. Ingat, darah orang Ahmadiyah itu halal.”

Tak lama seorang laki-laki datang tergopoh-gopoh. Nuraini yang sedang memasak makanan berbuka puasa keluar menemui mereka. “Mereka mau menyerang kita. Ingin menghancurkan semua rumah. Paling buruknya dibakar. Lebih baik mengungsi, daripada tidak selamat,” katanya.

Perempuan, anak-anak, dan lansia segera dikumpulkan di dalam sebuah rumah. Sementara laki-laki menghadang di tengah jalan. 

Sekelompok orang datang dengan berjalan kaki. Ada yang membawa batu, kayu, bahan bakar. Massa menyerang dengan membabi buta. Suara teriakan kesakitan, tangisan, dan gemuruh takbir bersahutan. 

Dua puluh menit kemudian tibalah polisi. “Tahan. Jika ada yang melawan, tembakan kami lepaskan! Yang bukan warga kompleks mundur ke luar pagar!” 

Semua menurut dan mulai mundur. Semakin jelas siapa warga jemaat yang terluka. Darah segar mengucur di pelipis, sudut bibir, pipi; bekas lemparan batu dan dipukul.

Komandan pasukan berbicara, “Naik ke kendaraan yang telah kami sediakan. Mengungsi dulu untuk sementara. Demi keamanan dan keselamatan bersama.” 

“Mengungsi bagaimana? Rumah kami di sini,” kata seorang jemaat Ahmadiyah.

“Ini demi keamanan Anda semua. Mau mati di sini atau pergi?” 

“Kami tak mau pergi, juga tidak mau mati,” seorang lain berteriak.

“Kalau memilih tetap di sini, kami tidak bisa jamin keselamatan. Mau mati?” 

Tangisan perempuan dan anak-anak mulai bersahutan. Tiba-tiba terdengar suara lirih, “Saya tidak mau mati.” 

Nenek Odah yang baru saja datang dari kampung lain kemudian pingsan. Anak lelakinya memeluk Nenek Odah. Dibantu dua pemuda Ahmadiyah, Nenek Odah dilarikan ke rumah sakit. 

“Kita pasti akan kembali ke sini saat para pelaku penyerangan dihukum. Kita akan hidup tenang di Ketapang. Kepada siapa lagi kepercayaan ini diberikan jika bukan pada polisi?” 

Melihat isak tangis istri, anak-anak, dan ibu mereka, laki-laki Ahmadiyah yang awalnya menolak pergi dengan langkah tertatih mengikuti rombongan polisi. Mereka mengendarai motor masing-masing. Bukan setuju, hanya memastikan kaum perempuan dan anak yang dicintai aman.

Dalam diam, mereka terus berpikir. Mengungsi mungkin dua hari saja. Setelah itu, para provokator akan dihukum. Lalu mereka bisa kembali ke rumah. 

Nuraini menaiki truk mengikuti aba-aba polisi. Peristiwa itu terjadi malam hari pada bulan Ramadan pada 4 Februari 2006. Pergerakannya sedikit lambat karena sedang mengandung anak kedua. Pinggang sebelah kirinya ngilu karena menggendong Risha, anak pertamanya yang saat itu berusia 5,5 tahun. 

Setelah jemaat Ahmadiyah pergi bersama polisi, para penyerang menjarah, membakar rumah, dan menuliskan “Ahmadiyah Sesat” di tembok rumah.

Ahmadiyah
Asrama Transito di Kelurahan Majeluk, Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Semula tempat penampungan transmigran, bangunan seluas setengah hektare ini kemudian difungsikan sebagai penampungan sementara bagi jemaat Ahmadiyah sejak 2006. (Project M/Panca Nugraha)

Sesampai di asrama Transito, truk berhenti, jemaat Ahmadiyah diminta masuk ruangan. Semua menurut, terutama perempuan yang punya balita. Mereka sudah lelah. Mereka juga belum sempat berbuka puasa. 

Para perempuan duduk menyandar di tembok. Diam melamun atau berusaha memejamkan mata. Beberapa laki-laki tua juga demikian. Mereka duduk di atas lantai semen dan menyandar di tembok. Tak ada karpet maupun tikar.

Nuraini begitu kepayahan. Asrama Transito tentu tidak asing lagi baginya. Ia pernah tinggal beberapa bulan. Tak menyangka bakal kembali. “Kondisi asrama Transito tak banyak berubah, masih sama saat saya mengungsi tahun 2002, kumuh dan tidak terawat,” ujarnya.

Penyerangan itu memaksa Nuraini mengungsi dan tinggal di penampungan Transito sampai hari ini. 

Saat Generasi Penenun Songke Semakin Tua, Karya Intelektual Perempuan Adat Manggarai ini Kian Suram

Gelombang Persekusi sejak 1998

Nuraini memeluk Ahmadiyah karena kedua orangtuanya. Mereka adalah jemaat tulen. “Sejak kecil, saya hanya tahu bahwa saya lahir sebagai anak Ahmadi,” katanya.

Ia pernah membandingkan Ahmadiyah dari aliran Islam pada umumnya. Ternyata tak jauh berbeda. “Syahadat, salat, puasa, zakat, dan naik haji bagi yang mampu. Kami tetap Islam. Perbedaannya hanya sedikit pada gerakan pembaharuan.”

Ahmadiyah adalah gerakan pembaruan Islam dari India, dirintis oleh Mirza Ghulam Ahmad. Gerakan Ahmadiyah kemudian pecah menjadi dua. Ahmadiyah Qadian percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah mujadid (pembaharu) serta seorang nabi yang tidak membawa syariat baru. Ahmadiyah Lahore tidak percaya Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi melainkan mujadid dari ajaran Islam.

Ahmadiyah kemudian masuk ke Indonesia. Awalnya yang datang adalah Ahmadiyah Lahore pada 1927, yang kemudian dinaungi Gerakan Ahmadiyah Indonesia, berpusat di Yogyakarta. Setelah itu muncul Ahmadiyah Qadian dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang berpusat di Bogor.

Ahmadiyah masuk ke Lombok lewat syiar dalam kelompok kecil di rumah-rumah anggota, seiring waktu jemaatnya terus bertambah.

Nurhikmah dalam tesisnya di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tahun 2013 berjudul “Satu Dekade Jadi Rumpun Terasing: Narasi Identitas dalam Kekerasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok” menyebut Ahmadiyah sudah ada di Lombok sejak 1957. Ajaran ini dibawa oleh Jafar Ahmad, seorang asli Sasak yang memperoleh pengetahuan tentang Ahmadiyah dari Surabaya. Ajaran Ahmadiyah menyebar di Mataram, kemudian berkembang di Lombok Timur, Lombok Barat, dan Lombok Tengah.

Jemaat Ahmadiyah berbaur dengan masyarakat sejak awal perkembangannya. Mereka berinteraksi dan mengikuti kegiatan keagamaan sebagaimana masyarakat lain. Pertentangan yang muncul masih didominasi perdebatan intelektual. Namun, keyakinan mereka mulai diganggu dan dianggap “ajaran sesat” karena meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi penerus. 

Ahmadiyah
Massa yang mengatasnamakan Forum Umat Islam menuntut pembubaran Ahmadiyah. (Project M/Alex Sastro)

Di Lombok Timur, Kepala Kejaksaan Negeri Selong mengeluarkan surat keputusan tahun 1983 tentang pelarangan terhadap kegiatan Jemaat Ahmadiyah Cabang Pancor Lombok Timur. Pelarangan ini dipertegas oleh surat edaran bupati tahun 2002. 

Di Lombok Barat, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan rekomendasi tahun 2001 yang menyebut Jemaat Ahmadiyah keluar dari Islam dan meminta pemerintah melarang kegiatan kelompok Ahmadiyah. Rekomendasi ini kemudian diikuti surat keputusan bupati yang melarang Ahmadiyah.

Persekusi terhadap jemaah Ahmadiyah mulai marak. Kekerasan terjadi pada Oktober 1998 di Dusun Keranji, Desa Pemongkong, Kecamatan Keruak, Lombok Timur. Pada tahun yang sama masjid Ahmadiyah di Bayan, Lombok Barat, dibakar massa. Pada 2001, giliran di Dusun Sambi Elen, Desa Loloan. 

Komunitas Ahmadiyah di Pancor mengalami dua kali penyerangan pada 2002 dan 2003. Kemudian Ketapang (2006) dan Desa Gereneng (2018).

“Jika pemerintah segera hadir maka akan selesai. Tapi penyerangan berlarut bahkan terus berulang,” tegas Saleh Ahmadi, juru bicara Ahmadiyah NTB.

Akibat ketidaktegasan pemerintah, jemaat Ahmadiyah mengungsi di negeri sendiri. Penyelesaian nasib para pengungsi Ahmadiyah di asrama Transito pun masih belum menemukan titik temu. 

“Mungkin pemerintah menunggu waktu yang tepat untuk memberikan hak-hak warga minoritas Ahmadiyah. Semoga saja,” ujar Saleh.

Ketidakjelasan sikap pemerintah membuat Nuraini tertahan di pengungsian. Sesekali ia pulang kampung di Selong untuk menghadiri acara keluarga seperti pernikahan, syukuran, atau menjenguk bila ada yang sakit. Yang membuat ia bertahan sejauh ini, keluarga dekat tak pernah mencibir atau mengajaknya beralih keyakinan. 

“Mereka mengerti apa yang saya pilih,” ujarnya.

‘Saya Jadi Nggak Percaya Diri Banget’: Dikeluarkan dari Sekolah, Perundungan terhadap Remaja Hamil Tak Diinginkan

Perempuan Mengalami Kekerasan Berlapis

Ketika terjadi tindakan intoleransi atas nama agama, perempuan menghadapi tantangan lebih berat ketimbang laki-laki. Sejumlah penelitian menggambarkan perempuan rentan mengalami diskriminasi hingga kekerasan berbasis gender yang meliputi kekerasan fisik, mental, dan seksual. Beban berat masih mereka tanggung jika terusir dari tempat tinggalnya dan hidup di pengungsian. 

“Saya masih menyusui saat tragedi penyerangan. Kadang ASI mampet. Mungkin karena banyak pikiran,” ujar Nuraini. Kala penyerangan tahun 2020 itu, anak pertamanya, Risha, masih berusia 1,5 tahun. 

“Saat awal pindah ke sini. Jika ingin membeli makanan dan sembako, kami tidak bisa belanja di warung kecil atau toko kelontong. Dibilang sesat. Mereka menolak uang kami. Sesekali ada juga yang mau melayani berbelanja, tapi pasti sambil bisik-bisik dan komat-kamit dulu. Tempat aman bagi kami belanja hanya di toko swalayan dan pasar,” cerita Nuraini.

Pengungsi Ahmadiyah kesulitan memperoleh identitas kependudukan dan akses layanan publik. Nuraini melahirkan tiga anak di pengungsian. Persalinan dilakukan di Puskesmas dekat asrama. 

“Bidan yang datang ke sini. Saat itu belum ada program BPJS,” ujarnya. Kini, ketiga anaknya sudah kelas 3 SMP, kelas 6 SD, dan paling kecil berusia 4 tahun.

Munawarah, 49 tahun, juga melahirkan ketiga anaknya di pengungsian atas jasa baik seorang bidan. “Ibu bidan menolong saya bersalin secara gratis.” 

Zohra,  49 tahun, memang tidak pernah melahirkan di pengungsian. Tapi, sehari-hari ia berjualan sayur mayur di pasar untuk membantu perekonomian keluarga. Suaminya bekerja sebagai petani penggarap sawah orang. “Dulu sempat punya sawah di kampung. Saat terpaksa mengungsi, lahannya kami jual,” katanya.  

Perempuan Ahmadiyah memiliki beban ganda. Sebagai ibu rumah tangga juga bekerja seperti menjual kue, sayur, dan aneka makanan di pasar atau membantu suaminya menjadi petani. Sejumlah LSM melakukan pendampingan seperti pelatihan mendaur ulang sampah, menjahit, membuat kerajinan hingga aneka kue untuk dijual kembali. 

“Pengajarnya sampai tinggal dengan kami beberapa bulan,” ujar Nuraini.

Berkat advokasi dari LSM pula, para pengungsi mulai mendapatkan akses pelayanan publik, antara lain http://projectmultatuli.org/wp-content/uploads/2021/06/5668A357-39CA-4B12-902A-DAE1F707FCD7-1.jpegistrasi kependudukan, BPJS Kesehatan, Program Keluarga Harapan, Beasiswa Bidik Misi, dan lain-lain.

Nuraini juga akhirnya bisa mendapatkan Kartu Keluarga Sejahtera untuk Program Keluarga Harapan pada 2018. Kartu ini ia miliki setelah penantian panjang melalui pendataan yang dilakukan oleh staf Presiden Jokowi. 

“Beliau berkunjung ke Transito. Melihat dan mendengar apa yang kami rasakan,” ujarnya. 

Selain perempuan dewasa, anak-anak menanggung beban dan dampak psikologis. Nuraini mengatakan anak-anak mengalami trauma dan kerap di-bully oleh teman-temannya di sekolah. 

Risha, putri pertama Nuraini, pernah tak mau sekolah karena di-bully teman-temannya. 

Ahmadiyah
Risha (kanan) berbicara dengan temannya, Iba (kiri), di bilik yang ditinggali keluarga Iba. Kedua remaja yang besar di Asrama Transito itu bercita-cita keluar dari pengungsian dan memiliki rumah sendiri. (Project M/ Susi Gustiana)

“Anak saya Risha sampai sekarang masih tertutup dan pendiam,” ujar Nuraini.

“Ketika anak saya Risha meminta izin untuk kuliah kami sempat gusar. Karena biayanya cukup besar. Sementara pendapatan hanya bisa untuk makan.”

Berada di pengungsian membuat Nuraini tidak bisa bekerja seperti perempuan lain pada umumnya. Ia berusaha menjadi ibu rumah tangga yang baik. Sedangkan sang suami bekerja sebagai pengemudi ojek online dan pekerja pangkas rambut di sesela waktu luang. 

“Adiknya juga masih kecil-kecil. Namun Risha terus berusaha mengikuti seleksi beasiswa. Alhamdulillah, lulus beasiswa Bidikmisi dan bisa kuliah gratis di Universitas Mataram.” 

‘Saya Ingin Hidup Bahagia di Rumah Sendiri’

Risha, kini berusia 20 tahun, duduk di kursi kayu. Ia berusaha menahan tangis sementara matanya menerawang. Biliknya, yang disekat tripleks, makin sesak. Barang dan perkakas terus bertambah. Nyaris sepanjang hidupnya ia menempati bilik sempit ini di Asrama Transito. Sementara pengungsi lain sudah banyak yang pergi. 

Risha memimpikan kehidupan lebih baik. Baginya, kuliah adalah jalan terbaik untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Setelah itu, ia bisa mengumpulkan uang dan membeli rumah. 

“Saya ingin membeli rumah untuk ibu dan bapak, agar keluarga kami bisa keluar dari asrama. Lalu hidup bahagia di rumah sendiri,” ujar Risha.

Aroma harum menguar dari dapur yang hanya dipisahkan dinding gedek di belakang tempat duduk kami. Sungguh miris, dapur itu sebenarnya tak layak disebut dapur. Iba, teman Risha di pengungsian, datang menyajikan tiga cangkir teh. 

Ketika terjadi penyerangan di Lombok Timur, Iba masih berusia 3 tahun. Lalu ayah dan ibunya menjual rumah dan pindah ke Gegerung, Lombok Barat. Kemudian terjadi lagi insiden penyerangan dan rumahnya dibakar. Iba pun pindah ke asrama Transito. 

“Bapak dan ibu saya bilang harus kuliah, meski kondisi ekonomi serba terbatas. Mengenai biaya akan dicarikan bersama,” ujar Iba terisak.

Iba tidak mendapatkan beasiswa seperti Risha. Tapi di Universitas Mataram Iba mendapat Grade A, sehingga biaya SPP cukup terjangkau, yakni Rp500 ribu. Sebentar lagi ia wisuda.

Saat pandemi Covid-19 dan ada kebijakan belajar dari rumah, Iba dan Risha menjadi relawan literasi dan numerasi bagi anak-anak di Transito. 

“Kami memotivasi adik-adik untuk rajin belajar. Karena jalan keluar dari pengungsian hanya dengan sekolah, kuliah, kerja dan punya uang untuk membeli rumah,” ujar Iba. 

Ahmadiyah
Anak-anak pengungsi Ahmadiyah belajar bersama di teras Asrama Transito di Mataram, Lombok. (Project M/Panca Nugraha)

Memiliki hunian layak menjadi impian jemaat Ahmadiyah di Transito. Mereka membutuhkan perlindungan dan rasa aman. Namun, 15 tahun berlalu dan mereka masih tinggal di pengungsian. 

Penyelesaian masalah pengungsi Ahmadiyah sudah dibahas Kantor Staf Presiden, Pemprov NTB, Pemkab Lombok Timur, dan Pemkot Mataram sejak 2018. Ada tiga opsi yang muncul: relokasi dengan pembangunan rumah tapak secara menyebar; transmigrasi; dan membangun rumah susun sederhana sewa. Namun, belum ada realisasi hingga sekarang.

Keinginan untuk keluar dari Transito juga pernah dilontarkan jemaat Ahmadiyah saat kunjungan Gubernur NTB Zulkieflimansyah pada 2020. 

“Sudah terlalu lama kami bersabar. Terus bertahan untuk tetap punya harapan. Sampai kapan kami menunggu? Kami ingin punya rumah sendiri,” ujar Nuraini.

“Karena anak-anak sudah besar juga. Mental mereka juga harus kita jaga.”


Susi Gustiana adalah satu dari 75 peserta kelas menulis kebebasan beragama dan berkeyakinan yang diadakan oleh Yayasan Pantau pada April-Agustus 2021. Feature ini ide cerita yang dia kembangkan selama dan setelah pelatihan menulis tersebut, yang diampu oleh Budi Setiyono, Chik Rini, Evi Mariani, Fahri Salam, dan Wan Ulfa Nur Zuhra. Laporan ini bagian dari serial #HakMinoritas.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Budi Setiyono
14 menit