Sebulan pasca gempa bumi berkekuatan magnitudo 5,6 mengguncang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat pada Senin, 21 November 2022. Warga Kecamatan Pacet dan Kecamatan Cipanas, keduanya di Kabupaten Cianjur, mendengar kabar tentang rencana pemerintah akan mengeksploitasi potensi panas bumi di Gunung Gede Pangrango.
Semenjak saat itu ketenangan warga buyar. Mereka khawatir proyek panas bumi akan merusak lingkungan dan menghilangkan mata pencaharian mereka.
Lalu, warga bahu-membahu membentuk simpul perjuangan, membuka jejaring, dan saling memberdayakan diri.
Bagi mereka tak ada jalan tengah.
Secara tegas, mereka menyatakan sikap: TOLAK GEOTHERMAL!
Bagian I
Kehidupan Tidak Bisa Diwakilkan
Noneng Ida terkesiap ketika perwakilan kantor Desa Sukatani mendatangi rumahnya, Selasa, 5 September 2023. Orang-orang itu memberikan sepucuk surat undangan kepada Noneng. Perempuan 37 tahun itu menerimanya sembari terheran-heran, tidak biasanya surat undangan diantar pihak desa ke rumah dan dalam format fisik pula. Biasanya selalu dikirim via WhatsApp dalam format fail pdf.
Setelah Noneng membaca isi surat ternyata bukan dari pihak desa, melainkan dari Camat Pacet Dony Herdyana yang meminta Noneng untuk datang ke aula kantor Desa Cipendawa keesokan hari. Pihak kecamatan bersama PT. Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) akan mengadakan sosialisasi survei pendahuluan dan eksplorasi panas bumi. Noneng kian heran.
“Saya bertanya-tanya, kenapa sosialisasi geothermalnya tidak di Sukatani tapi kok di Desa Cipendawa. Tapi, saya coba datang saja dulu. Pengen tahu sosialisasinya bahas apa sih,” ujar Noneng kepada Project Multatuli.
Noneng lahir dan besar di Desa Sukatani, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur. Ia aktif dalam banyak organisasi kemasyarakatan dan kegiatan sosial. Salah satunya Aliansi Masyarakat Gede Pangrango (AMGP), sebuah forum gabungan warga Desa Sukatani, Desa Cipendawa, dan Desa Sindangjaya untuk menentang rencana pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Panas Bumi (PLTP) di Gunung Gede Pangrango.
Namun Noneng diundang bukan untuk mewakili AMGP melainkan organisasinya yang lain.
Keesokan harinya Noneng datang telat satu jam dari waktu yang ditetapkan. Sampai di sana ia tidak melihat kerumunan warga. Ternyata pihak kecamatan hanya mengundang 20 orang saja dan itu pun belum semua hadir. Hanya ada Camat Pacet Dony Herdyana, perwakilan DMGP, dan beberapa undangan saja.
Belum sempat acara sosialisasi dimulai, ratusan warga Desa Sukatani datang. Satpol PP yang sedari tadi berjaga di lokasi mencoba menghadang mereka. Situasi sempat menjadi tegang.
“Akhirnya sosialisasinya nggak jadi, batal karena warga nggeruduk,” ujar Noneng. “Tapi saya sempat ngobrol dengan humas Sinarmas, dia bilang ‘kami kapan saja akan tetap buka untuk sosialisasi meski beberapa orang, tapi tidak tau kapan’. Artinya mereka mau lanjut terus proyek ini.”
Warga geram dan menganggap pihak kecamatan akan melakukan sosialisasi secara diam-diam. Sedangkan dampak proyek panas bumi tidak hanya akan dirasakan oleh sebagian warga saja.
“Saya marah dengan pak Camat, kenapa sosialisasinya di Cipendawa kalau untuk warga Sukatani. Padahal aula di Sukatani juga cukup,” ujar Muhtar. Ia merupakan anggota AMGP sekaligus tokoh masyarakat Desa Sukatani.
“Lagi pula, kami tidak pernah mewakilkan hidup kami kepada 20 orang itu. Ini Gunung Gede kalau terjadi bencana, apa bisa diwakilkan 20 orang itu? Kan tidak, saya juga pasti kena kebagian.”
Desa Sukatani, Desa Cipendawa, dan Desa Sindangjaya merupakan desa yang bakal terdampak langsung proyek tambang panas bumi. Rencananya pihak DMGP akan membangun wellpad atau tapak pengeboran di wilayah Sindangjaya, sementara Cipendawa akan menjadi akses muat alat-alat operasional.
Camat Pacet Dony Herdyana membantah melakukan sosialisasi secara senyap. Ia berdalih sudah menjadwalkan sosialisasi bertahap untuk seluruh warga Desa Sukatani termasuk AMGP.
“Mempertimbangkan keamanan. Karena pernah pihak kabupaten mau sosialisasi dihadang [warga]. Jadi, [sosialisasi] Sukatani bertahap dulu, unsur dan elemen apa dulu,” kata Dony kepada Project Multatuli.
Dony juga menyarankan warga untuk tidak menolak proyek panas bumi begitu saja, sebelum mereka memperoleh pemahaman yang komprehensif.
“Cari sendiri ke ahlinya, ahli geologi kek, seperti apa geothermal. Kalau merasa penjelasan perusahaan kurang netral. Itu lebih fair,” ujar Dony. “Intinya, silakan AMGP menolak, itu hak mereka. Tapi haknya DMGP untuk sosialisasi ke pihak lain. Jangan dihalang-halangi.”
Kemarahan warga saat itu merupakan akumulasi dari rentetan peristiwa sebelumnya. Mereka tidak pernah mendapatkan informasi resmi dan utuh dari pihak terkait mengenai rencana tambang panas bumi. Kabar panas bumi seolah rumor dari mulut ke mulut warga saja.
“Tiba-tiba saja ramai di media sosial. Saya juga taunya dari medsos,” ujar Cece Jaelani. Cece petani berusia 30 tahun dan anggota AMGP.
Warga baru mengetahui keseriusan pemerintah membangun PLTP sekitar awal November 2022 atau beberapa hari sebelum terjadi gempa besar Cianjur. Jauh sebelum itu, Kementerian ESDM, Pemerintah Kabupaten Cianjur, dan DMGP sudah melakukan serangkaian acara sosialisasi, antara lain:
- Pada 12 Agustus 2022. Terjadi pertemuan yang melibatkan Kementerian ESDM, DMGP, Pemkab Cianjur beserta jajaran di Cianjur. Pertemuan itu membahas sinergitas lintas sektor untuk menyukseskan pemanfaatan panas bumi di Gunung Gede Pangrango.
- Antara 4-10 Oktober 2022. Terbentuk Komunitas Pentahelix Geothermal Cianjur yang berisi unsur Pemkab Cianjur, DMGP, akademisi, media, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi masyarakat. Pentahelix bertugas untuk membujuk warga agar menerima proyek panas bumi.
- Pada 21 Oktober 2022. Pentahelix mengadakan giat sosialisasi melibatkan Kementerian ESDM, DMGP, dan sebagian perwakilan masyarakat di Aula Berlian Resort Cipanas.
“Rapat [di Berlian] itu sebelum gempa, ada orang PT, warga, dan tokoh-tokoh masyarakat. Cuma saya sebagai kelompok tani nggak diundang sama sekali. Saya malah taunya dari anak saya,” ujar Muhtar.
“Suara masyarakat diklaim Pentahelix, karena di dalamnya ada unsur masyarakat. Dan masyarakat dianggap sudah mengizinkan proyek ini,” ujar Aher Rojuddin selaku Koordinator AMGP.
Meski partisipasi warga masih nihil, DMGP dan pemerintah setempat sudah mulai beroperasi. Mereka melakukan peninjauan lokasi untuk akses alat-alat pengeboran, survei lapangan untuk wellpad atau tapak pengeboran, hingga pemasangan patok.
Dalam laporan bulanan aktivitas eksplorasi per Maret-Juli 2023, DMGP sudah melakukan survei geologi dan geokimia sebanyak 324 titik dan survei geofisika sebanyak 60 titik Magnetotelurik (MT), 70 titik gravity, dan 103 titik Ambient Noise Tomography (ANT).
Barulah pada Selasa, 21 Maret 2023, Kementerian ESDM dan DMGP mengadakan sosialisasi untuk warga Desa Sukatani. Meski sudah ada sosialisasi warga tetap kontra, lantaran pihak Kementerian ESDM dan DMGP tidak memberikan penjelasan utuh terkait tambang panas bumi; hanya membahas dampak positif, serta mengiming-imingi mereka dengan dana Corporate Social Responsibility (CSR).
Warga juga sempat audiensi dengan DMGP dan pemerintah kabupaten di DPRD Cianjur. Namun lagi-lagi warga tak mendapatkan informasi lengkap. Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Cianjur, Cecep Alamysah malah meminta warga untuk tidak menolak pertambangan panas bumi karena proyek tersebut ia klaim “lebih besar manfaat ketimbang mudaratnya.”
“Tiap pertemuan selalu deadlock. Kami belum menemukan yang sebenar-benarnya hakim, untuk memutuskan geothermal ini berdampak positif atau negatif,” ujar Aher Rojuddin.
Bagian II
Panggilan Alam
Populasi Desa Sukatani berjumlah 12.627 jiwa. Sejak puluhan tahun mereka menggantungkan hidup pada sumber daya alam Gunung Gede Pangrango. Mereka mencari makan, minum, bertani, berkebun, berwiraswasta kebanyakan berkat kekayaan alam yang melimpah.
Ketika pemerintah dan perusahaan akan membangun PLTP dan melakukan pengeboran. Tentu saja warga cemas dan gusar. Tak pernah terpikirkan oleh mereka bahwa suatu saat mereka harus berhadapan dengan negara demi mempertahankan hidup mereka.
“Saya takut diusir dan nggak bisa menanam lagi di sini. Mau kemana lagi nanti saya? Usaha? Jualan saya nggak bisa. Cuma bisanya tani,” ujar Herman kepada Project Multatuli. Herman merupakan petani asal Desa Sindangjaya sekaligus anggota AMGP. “Saya sudah nyaman di sini.”
Herman sudah bertani sejak tahun 1992. Ia menanam wortel, sawi, bawang, dan sayur-mayur lainnya di area Perhutani. Ketika terjadi perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dari 15.196 ha menjadi 22.851 ha, ladang Herman dan beberapa petani lainnya otomatis masuk dalam zona pemanfaatan. Kewenangan area pun beralih ke Balai Besar TNGGP.
Rencananya zona pemanfaatan tersebut yang akan menjadi titik wellpad untuk tahap eksplorasi panas bumi.
Menurut Kepala Balai Besar TNGGP, Sapto Aji Prabowo para warga tidak memiliki hak garapan di zona pemanfaatan. Namun, lantaran warga sudah sejak lama membuka pertanian di sana maka dibiarkan oleh Balai Besar TNGGP. Sembari mereka mengupayakan mencari sumber penghasilan pengganti untuk para petani.
“Makanya kita buat alternatif pendapatan; sebagian [petani] sudah keluar karena [bekerja] menjadi ekowisata pendakian dan buka warung. Sebagian belum,” ujar Sapto kepada Project Multatuli.
Namun Sapto mengklaim proyek tambang panas bumi tidak akan menggusur warga begitu saja. Ia akan menggunakan cara yang “masih memanusiakan manusia”. Ia akan mengomunikasikan masalah ini kepada DMGP.
“Kami akan minta petani penggarap terdampak mendapatkan kompensasi atau mungkin dilibatkan dalam pekerjaan, sehingga mereka bisa meninggalkan lahan yang ilegal itu dengan tegak,” ujar Sapto.
Selain mengkhawatirkan mata pencaharian, warga Desa Sukatani juga mencemaskan sumber air mereka rusak bahkan hilang oleh aktivitas tambang panas bumi. Terlebih lagi lokasi wellpad nanti berada di antara tiga mata air yang menjadi sumber kebutuhan warga.
“Walaupun saya nggak bertani dan punya basecamp. Saya nggak mau tanah kelahiran saya dibor geothermal. Yang kami pikirkan soal air. Sekarang saja belum ada geothermal, air susah karena kemarau panjang. Apalagi nanti. Saya lebih baik menangis sekarang daripada nanti,” ujar Noneng.
“[Seandai panas bumi beroperasi] Mungkin juga airnya bisa tercemar kena limbah, akhirnya nggak layak minum,” ujar Muhtar.
Berkenaan dengan hal tersebut Sapto Aji Prabowo meminta warga untuk tidak mengkhawatirkan pasokan air. Ia mengklaim proyek panas bumi tidak akan menggunakan air dari dalam kawasan taman nasional.
“Selama ada Undang-Undang Sumber Daya Air maka dilarang pemanfaatan air dari kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan taman nasional. Dilarang untuk kepentingan komersial termasuk untuk geothermal. Pilihannya mereka mengambil air dari luar kawasan,” ujar Sapto.
“Katakanlah undang-undangnya direvisi, mereka [perusahaan] harus memastikan keperluan air masyarakat tercukupi.”
Merujuk jurnal penelitian Rigsis Energi Indonesia, perusahaan yang bergerak dibidang konsultasi panas bumi, pengeboran eksplorasi panas bumi memiliki tiga tipe lubang dengan kedalaman berbeda: lubang kecil berkisar antara 1200-2330 meter, lubang standar dan besar antara 1500-3000 meter. Pengeboran lubang besar dan standar membutuhkan pasokan sekitar 60-95 liter per detik, sedangkan lubang kecil hanya 5-30 liter per detik.
“Pengeboran lubang besar atau lubang standar membutuhkan jumlah pasokan air yang lebih tinggi untuk operasi pengeboran dibandingkan dengan sumur-sumur lentur, sehingga berpotensi menciptakan masalah lain dengan penduduk setempat karena mengganggu sumber air mereka,” dikutip dari jurnal Rigsis Energi Indonesia bertajuk Manajemen Risiko dalam Pengeboran Eksplorasi Panas Bumi di Indonesia.
Selain itu, tipe lubang pengeboran juga menentukan kapasitas peralatan dan lahan wellpad. Pengeboran lubang kecil memakai alat berkapasitas 550 horsepower (HP) dengan kebutuhan lahan sekitar 2.500 m2. Sedangkan lubang besar dan standar memakai alat berkapasitas antara 550-200 HP dan membutuhkan lahan seluas 7.500-15.000 m2.
“Untuk merancang bantalan sumur, akses jalan, dan fasilitas permukaan perlu dipertimbangkan faktor topografi. Lereng yang curam membutuhkan leveling dan berpotensi menimbulkan masalah tanah,” dikutip dari jurnal yang sama.
“Beberapa daerah di lingkungan gunung berapi memiliki tanah lapisan atas yang sangat tebal yang tidak cocok untuk konstruksi.”
Sedangkan dalam jurnal yang ditulis Wahyu Mei Trianto dan Sulistyono dari Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Minyak dan Gas Bumi (PPSDM Migas) Kementerian ESDM menyatakan bahwa, pemanfaatan panas bumi berpotensi menghasilkan limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) yang akan merusak ekologi.
“Limbah yang dihasilkan industri PLTP berupa geothermal brine dan sludge, jika limbah tersebut, baik berupa limbah padat, cair maupun gas ada yang dibuang ke lingkungan akan mengakibatkan masalah pencemaran lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya,” dikutip dari jurnal berjudul Sumber Limbah dan Potensi Pencemaran Penggunaan Sumber Daya Alam Panas Bumi (Geothermal) pada Industri Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
Limbah cair dan gas panas bumi mengandung hidrogen disulfide (H2S), amoniak (NH3), air raksa (Hg), arsen (As), silika (SiO2), kalium (K), Kalsium (Ca), magnesium (Mg), dioksidas (Co2), karbon monoksida (CO), dan minyak. Berpotensi membahayakan kesehatan manusia.
“Tahapan eksplorasi dan produksi berpotensi menghasilkan limbah lumpur bor dan limbah serbuk bor yang umumnya berbahan dasar oil base dan atau synthetic oil,” dikutip dari jurnal yang sama.
Menurut mereka persoalan limbah industri PLTP harus dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Limbah lumpur bisa dimanfaatkan untuk campuran semen dan pembuatan batako. Sedangkan limbah cair yang mengandung silica, kalium, dan magnesium bisa menjadi pupuk.
Warga juga mengkhawatirkan operasional tambang panas bumi akan memicu gempa bumi. Mereka masih trauma dengan gempa dahsyat akhir 2022 lalu.
Dalam peta kebencanaan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi, wilayah Kabupaten Cianjur dikategorikan sebagai Kawasan Rawan Bencana (KRB) gempa bumi tektonik dengan skala menengah-tinggi dan Zona Kerentanan Gerakan Tanah (ZKGT) dengan skala menengah hingga tinggi. Bahkan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, gempa bumi menjadi bencana alam terbanyak di Kabupaten Cianjur.
“Apalagi anak-anak, kalau ada getaran dikit aja langsung ketakutan,” ujar Cece Jaelani.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) sangsi proyek panas bumi akan aman bagi ekologi setempat, mengingat pengoperasian PLTP di Indonesia beberapa kali menyebabkan persoalan yang memakan korban jiwa. Terutama soal gempa picuan, seperti yang terjadi di beberapa proyek PLTP dunia, di Amerika Serikat, Jerman, Swiss, dan Filipina.
“Belum lama ini, tanpa geothermal, gempa dan longsor sering terjadi di Cianjur. Ini bahaya sekali daerah yang rawan bencana kemudian ditambah beban lingkungannya dengan tambang geothermal,” ujar Kepala Riset JATAM, Imam Shofwan kepada Project Multatuli.
Saat ini Badan Geologi, sebagai lembaga penyedia data dan informasi, tidak memiliki catatan kegempaan yang disebabkan oleh operasional PLTP.
“Karena gempa-gempa yang disekitar itu [PLTP] dimonitoring oleh perusahaan sendiri. Kita tidak melakukan penelitian itu,” ujar Penyelidik Bumi Madya dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi, Dr. Supartoyo kepada Project Multatuli.
“Kalaupun ada reaksi dari pori bebatuan, sangat kecil. Di Indonesia mungkin belum pernah terjadi. Kalau di Amerika Serikat ada kasusnya, tapi gempanya sangat kecil dan tidak dirasakan masyarakat.”
Menurut Supartoyo pengeboran panas bumi relatif masih aman dilakukan di Gunung Gede Pangrango, meskipun Kabupaten Cianjur memiliki sesar aktif Cugenang dan berada di selatan sesar aktif Cimandiri, Sukabumi. Itu dikarenakan kedalaman pengeboran hanya 2-3 km sedangkan “sumber gempa bumi umumnya 10 km berdasarkan tebal suatu kerak”.
“Untuk pengeboran panas bumi, mau dijalur patahan atau tidak saya kira tidak begitu berpengaruh pada potensi kegempaan. Karena gempa bumi ini energi tektonik yang rilis tiba-tiba. Sementara pengeboran itu kan hanya satu lubang saja,” ujar Supartoyo.
Lantaran pemerintah dan perusahaan tidak pernah membicarakan dampak negatif pertambangan panas bumi kepada warga, mereka memberdayakan diri sendiri: membentuk Aliansi Masyarakat Gede Pangrango (AMGP); berjejaring dengan para warga korban geothermal dari berbagai wilayah, seperti Dieng, Ciremai, dan Padarincang, hingga ke aktivis lingkungan dan advokat.
Mereka rutin menyelenggarakan forum diskusi terbuka ke kampung-kampung setiap akhir pekan, sembari membuka layar tancap, memutar film dokumenter mengenai dampak kerusakan ekologi akibat PLTP.
Bahkan mereka melakukan studi banding ke warga Desa Banjarnegara di sekitar PLTP Dieng, salah satu proyek yang menimbulkan banyak persoalan ekologi: pencemaran sumber mata air, limbah cair, dan kebocoran gas beracun. Semua dilakukan secara mandiri dengan pendanaan hasil urunan sukarela sesama warga.
“Kita hidup di atas alam dan berkat alam. Ketika alam sekarang disakiti, alam seolah memberikan energi pada warga. Seolah alam mempersatukan kita. Ini yang membuat semua warga tersadarkan,” ujar Aher, pria berusia 37 tahun yang lahir dan besar di Desa Sukatani. “Alam menunggu kita. Wajar saja, kalau kita menjaganya.”
Bagian III
Ambisi Mengeksploitasi Panas Bumi
Rencana pemerintah untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi panas bumi Gunung Gede Pangrango sebenarnya sempat mencuat pada 2010. Ketika itu Pemerintah Provinsi Jawa Barat hendak melelang tiga Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) panas bumi di Jawa Barat, antara lain Gunung Ciremai, Gunung Papandayan, dan Gunung Gede Pangrango.
Rencana tersebut terhalang UU 27/2003 tentang Panas Bumi, yang masih mengategorikan panas bumi sebagai kegiatan pertambangan. Akibatnya eksplorasi dan eksploitasi panas bumi tidak boleh dilakukan di kawasan hutan konservasi karena berbenturan dengan UU 41/1999 tentang Kehutanan dan UU 5/1990 tentang Konservasi dan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Sedangkan sejak 1980, Gunung Gede Pangrango sudah berstatus sebagai Taman Nasional, yang memiliki fungsi pelestarian dan perlindungan sumber daya alam; dan sudah menjadi zona inti Cagar Biosfer yang ditetapkan UNESCO pada 1977.
Untuk mengoptimalkan potensi panas bumi yang kebanyakan berada di kawasan hutan, pemerintah lantas merevisi UU 27/2003. Mengeluarkan panas bumi dari kategori kegiatan pertambangan lalu diubah menjadi pemanfaatan jasa lingkungan. Pada 17 September 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan UU 21/2014 tentang Panas Bumi.
Namun, tiga bulan sebelum UU Panas Bumi baru disahkan presiden, Jero Wacik selaku Menteri ESDM kala itu, lebih dulu menetapkan Gunung Gede Pangrango sebagai Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi melalui SK Menteri ESDM Nomor 2778/ K/30/MEM/2014 pada 3 Juni 2014. Area kerjanya seluas 92.790 ha yang meliputi Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Cianjur. Tambahan pula, penetapan tersebut menimbang hasil survei pendahuluan yang sudah dilakukan PT Pertamina (Persero).
Memasuki rezim Presiden Joko Widodo pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) termasuk panas bumi terus digenjot. Merujuk data Kementerian ESDM tahun 2021, Indonesia memiliki potensi panas bumi sebesar 23.700 megawatt (MW) namun yang baru termanfaatkan sekitar 2.185,7 MW atau hanya 9,2%. Sementara pemerintah memiliki target pemanfaatan panas bumi sebesar 7.200 MW pada 2025.
Untuk mencapai target kemanfaatan panas bumi, pemerintah memberikan sejumlah kemudahan bagi pelaku usaha untuk berinvestasi di sektor EBT, dengan cara:
- Memberikan fasilitas fiskal melalui PP 7/2017 tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung, berupa: bea masuk atas impor barang dan pajak penghasilan.
- Memangkas perizinan pemanfaatan panas bumi melalui regulasi yang kontroversial, UU 11/2020 tentang Cipta Kerja: Izin pemanfaatan panas bumi secara langsung yang sebelumnya terdapat dalam UU 21/2014 dan memerlukan izin pemerintah telah dihapus, diganti dengan perizinan berusaha. Pemanfaatan panas bumi di laut dan pantai tidak memerlukan lagi rekomendasi kementerian terkait.
- Memberikan dukungan kepada perusahaan melalui Perpres 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, berupa: insentif fiskal, kemudahan perizinan di kawasan hutan, keringanan biaya, dan jaminan ketersediaan lahan. Perpres ini tidak terkecuali untuk pemanfaatan EBT lainnya.
Ambisi pemerintah menggenjot potensi EBT didasari pada dua hal: cadangan energi fosil (minyak, gas, batu bara) yang semakin menipis dan klaim komitmen mereka untuk menanggulangi krisis iklim global. Bahkan, pemerintah berencana menutup Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) secara bertahap mulai 2025 hingga 2050, demi mengejar pemenuhan net zero emission (NZE) pada 2060, yang sempat disinggung Presiden Jokowi dalam forum G20 di Bali pada November 2022.
Hal tersebut yang membuat Kementerian ESDM dan PT PLN (Persero) mengebut pengoptimalan potensi panas bumi dengan membuka WKP baru dan mengembangkan WKP yang sudah ada. Salah satunya dengan mempercepat tahapan eksplorasi di Gunung Gede Pangrango.
Pada 28 Januari 2022, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM mengadakan penawaran terbuka untuk perusahaan swasta melaksanakan Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (PSPE) di Daerah Cipanas. PSPE adalah tahap awal, sebelumnya nantinya perusahaan terpilih akan mengantongi Izin Panas Bumi (IPB) untuk melakukan eksploitasi dan pemanfaatan.
Ditjen EBTKE menawarkan Wilayah PSPE Cipanas seluas 3.180 ha dengan potensi cadangan 85 MWe dan diperkirakan memiliki temperatur reservoir sebesar >225°C. Pemerintah mengklaim potensi panas bumi tersebut nantinya dapat dikonversi menjadi listrik untuk kebutuhan pasokan Pulau Jawa dan Bali.
Pemilihan perusahaan pelaksana PSPE akan ditentukan melalui mekanisme kontes, dengan mempertimbangkan:
- Aspek teknis: perusahaan wajib memiliki kemampuan teknis operasional, tenaga ahli, dan pengalaman di bidang panas bumi.
- Aspek finansial: perusahaan wajib memiliki laporan keuangan tahunan yang sehat dalam tiga tahun terakhir dan sanggup menyediakan dana 10 juta dolar Amerika Serikat sebagai komitmen eksplorasi.
Pada 14 April 2022, proses penawaran telah selesai, hasilnya: Menteri ESDM Arifin Tasrif menunjuk PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) sebagai pelaksana PSPE. Untuk durasi pelaksanaan tiga tahun dan bisa diperpanjang sebanyak dua kali masing-masing setahun.
Bagian IV
Bertaruh Nasib di Tangan Anak Baru
PT PLN (Persero) merencanakan pembangunan pembangkit listrik sebesar 40.575 megawatt untuk mencukupi kebutuhan listrik sepuluh tahun ke depan. Hal tersebut tercatat dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030. Mereka mengejar kebutuhan listrik daerah yang diproyeksikan akan meningkat seiring program pembangun pemerintah, seperti Ibu Kota Negara (IKN), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Kawasan Industri (KI), Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT), dan jaringan listrik Pos Lindas Batas Negara (PLBN).
Provinsi Jawa Barat memiliki satu-satunya KEK seluas 1040 ha di Lido, Kabupaten Bogor, yang mana letaknya berada dalam Wilayah Kerja Panas Bumi Gunung Gede Pangrango.
Penguasaan KEK Lido dipegang PT MNC Land Lido Tbk milik taipan Hary Tanoesoedibjo. Di sana akan dibangun sarana pariwisata dan industri kreatif berkelas elite, seperti Movieland, Lido Music & Arts Center, MNC World Theme Park, Lido World Garden, Lido Adventure Park, hotel, dan lapangan golf. Sehingga KEK Lido membutuhkan pasokan listrik sebesar 156 Mega Volt Ampere (MVA) atau lebih besar dari daya yang tersambung untuk penerangan jalan umum se-Jawa Barat (142,06 MVA). Sementara saat ini daya tersambung baru 1.758,8 Kilo Volt Ampere (KVA). PLN Unit Induk Distribusi Jawa Barat berjanji akan memenuhi kebutuhan listrik KEK Lido secara bertahap sampai 2027.
Guna mencapai target 40.575 megawatt, PT PLN (Persero) akan mengandalkan sumber pembangkit tenaga listrik energi baru terbarukan 51,6% dan pembangkit tenaga listrik energi fosil 48,4%.
Hal tersebut yang kemudian mendorong Sinarmas untuk ekspansi bisnis di sektor penyediaan listrik, khususnya energi baru terbarukan. Kemudian mereka mendirikan perusahaan panas bumi, PT Daya Mas Geopatra Energi (DMGE) dan PT Daya Mas Gede Pangrango (DMGP) pada 18 Februari 2022.
“Mengapa panas bumi? Karena potensi ke depan untuk pengembangan panas bumi sesuai dengan RUPTL ke depan itu hampir kurang lebih 3,5 GW yang tersebar di seluruh Indonesia. Kami melihat salah satu potensi yang baik untuk dikembangkan ada di daerah Jawa Barat,” dikutip dari Laporan Tahunan 2022 milik PT Dian Swastatika Sentosa (DSSA), selaku induk DMGE dan DMGP.
Kehadiran DMGE dan DMGP menambah panjang daftar bisnis Sinarmas di sektor penyediaan tenaga listrik. Saat ini, mereka telah mengoperasikan empat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Serang, Karawang-1, Karawang-2, dan Tangerang dengan total kapasitas 300 MW.
Semua produksi listrik dari ketiga PLTU tersebut mereka salurkan seluruhnya “sebagai pasokan listrik kepada pabrik kertas entitas anak usaha” mereka, yakni PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk dan PT Pindo Deli Pulp & Paper.
Mereka juga berinvestasi saham sebesar 25% di tiga Independent Power Producer (IPP) PLTU, antara lain di Kalteng-1, Sumsel-5, dan Kendari-3. Semuanya sudah beroperasi secara komersial.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) lantas mempertanyakan urgensi pembangunan PLTP Gunung Gede Pangrango, mengingat saat ini pemerintah sedang mengalami masalah kelebihan pasokan listrik (oversupply) dan berupaya menaikan konsumsi listrik dengan mendorong pemakaian kendaraan listrik hingga membagi-bagikan 500 ribu unit mesin penanak nasi.
“Kalau kebutuhannya bukan untuk warga, lalu untuk siapa? Industri? Karena kalau kita tau oversupply energi sudah terjadi, kenapa memaksakan diri ekspansi ke energi ini?,” ujar Kepala Riset JATAM, Imam Shofwan.
Kementerian ESDM mengklaim sumber daya panas bumi Gunung Gede Pangrango untuk memenuhi kebutuhan listrik 61 ribu kepala keluarga, dengan asumsi satu rumah terpasang listrik 900 watt.
JATAM juga menyangsikan penunjukan DMGP sebagai pelaksana PSPE, lantaran DMGP merupakan perusahaan baru dan tidak memiliki portofolio pengusahaan panas bumi. Sementara tahap eksplorasi akan melakukan pengeboran yang berpotensi menimbulkan dampak bagi ekologi.
“Risiko gas beracun geothermal ini tinggi. Perusahaan yang mengklaim berpengalaman dan punya teknologi terbaru saja di Sorik Merapi menimbulkan korban. Apalagi perusahaan yang tidak punya pengalaman,” ujar Imam Shofwan. “Kita belajar dari Lapindo, itu subkontraktornya tidak punya pengalaman drilling. Lalu terjadi bencana besar.”
Bagian V
Air
Muhtar meminta saya untuk lekas mencicipi air yang ia suguhkan dalam teko. Permintaan tersebut bukan semata-mata adab tuan rumah kepada tamu, melainkan untuk menunjukkan satu karunia alam yang bersumber langsung dari Gunung Gede Pangrango.
“Ini air asli dari [mata air] Cipendawa,” katanya, penuh kebanggaan. “Kalau geothermal ada di sini, kita bakal beli air itu.”
“Gimana? Ada manis-manisnya, kan?” Cece menceletuk.
Mata air Cipendawa merupakan salah satu dari tiga mata air lainnya: mata air Bobojong dan mata air Legok Ipot. Letak ketiga mata air tersebut berada segaris horizontal dan berada di ketinggian antara 1300-1800 meter di atas permukaan laut (MDPL). Ketiganya memiliki karakteristik dan peruntukan berbeda untuk kebutuhan warga.
Mata air Bobojong terletak paling utara dan terbagi dalam dua jalur. Jalur pertama berasal dari resapan akar pepohonan. Jalur kedua berasal dari kawah Gunung Gede Pangrango, mengandung belerang, sehingga meninggalkan bercak kuning muda di sepanjang saluran. Warga biasanya memanfaatkannya untuk kebutuhan pertanian dan perkebunan, bukan untuk konsumsi.
“Air ini yang paling bagus untuk pertanian. Untuk merangsang pertumbuhan tanaman,” ujar Cece.
Sementara mata air Cipendawa, seperti namanya terletak di Desa Cipendawa atau paling selatan dari dua mata air lainnya. Debit airnya besar. Warga memanfaatkannya untuk konsumsi dan kebutuhan di ladang.
Di antara kedua mata air tersebut terletak mata air Legok Ipod. Menurut cerita Cece, air dari Cipendawa dan air dari Bobojong yang menghasilkan debit air Legok Ipot. Debit airnya tak terlalu deras namun cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi warga dan ladang.
“Rencana titik pengeboran ada di tengah-tengah tiga mata air ini. Makanya kalau ngomongin gunung itu harga mati. Kalau geothermal jadi, kita akan mati,” kata Cece.
Dari ketiga mata air tersebut, warga di tiga desa dan sekitarnya menikmati suplai air tanpa henti. Melalui mekanisme bak penampungan dan paralon, air terdistribusi merata ke tiap rumah warga, sekolah, masjid, dan kantor desa. Mesin bor air tanah tidak laku di sana.
Rata-rata warga yang mengelola pendistribusian air tersebut. Cece misalnya, ia membayar Rp1 juta untuk mendapatkan akses ke bak penampungan atau dalam istilahnya “beli lubang”. Lalu ia membeli paralon dengan modal sendiri. Setiap bulannya Cece mengeluarkan uang Rp5 ribu untuk biaya perawatan.
“Uangnya juga ke warga juga. Buat jasa dia betulin pipa dari gunung kalau ada yang mampet atau copot,” ujar Cece.
Ada juga pendistribusian air yang dikelola pemerintah desa melalui program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) milik Kementerian PUPR. Noneng salah satu yang berlangganan. Biaya awalnya sebesar Rp800 ribu sampai Rp1 juta, harga ditentukan panjang paralon dari bak penampungan ke rumah warga. Setiap bulan Noneng membayar iuran sesuai pemakaian, tarifnya Rp1.500 per meter kubik. Kalau ada kerusakan pada saluran akan dibebankan kepada pihak penyedia.
“Sebelumnya saya nggak pakai PAMSIMAS. Modal sendiri juga paralonnya. Tiap kemarau suka jarang air. Kalau musim hujan, pipa kebawa arus. Tiap ganti pipa habis sejuta,” ujar Noneng.
Sudah empat bulan terakhir warga menderita kemarau dan menyebabkan debit air mengecil, sehingga warga harus saling berbagi antara kebutuhan domestik dan pertanian. Warga membuat persediaan air malam hari. Petani mengairi ladang siang hari. Tapi tak jarang kemarau memaksa petani bekerja lebih lama bahkan sampai menginap di ladang.
Dudung, petani berusia 32 tahun, memiliki ladang di ketinggian 1.500 MDPL, terletak di zona pemanfaatan TNGGP. Karakteristik tanah di sana tandus, berbeda dengan ladang di area bawah yang lembap. Dalam kondisi seperti ini, potensi gagal panen sangat mungkin terjadi. Untuk menjaga ladangnya tetap lembap, Dudung memasang alat penyiram (sprinkler) atau yang ia sebut “kincir”.
“Petani di sini kalau kemarau jarang pulang. Bisa semalaman mindah-mindahin kincir. Soalnya lahan di sini kayak pasir, butuh diairin yang banyak,” ujar Dudung kepada Project Multatuli. “Semalaman dikincirin, sehari juga kering lagi. Kalau di bawah semalaman dikincirin, seminggu basah terus.”
Air dan hutan adalah komponen paling krusial bagi warga. Sampai kapan pun mereka akan mempertahankannya. Warga tak ingin kekeringan akibat musim kemarau ini menjadi siklus yang tak pernah berakhir akibat operasional PLTP nanti.
“Sekarang kita mah cuma bisa ikhtiar: aksi dan berdoa. Tinggal gimana yang di atas. Mudah-mudahan pejabat dan perusahaan terbuka hatinya. Kata mereka mah investasi. Investasi mah buat siapa? Buat rakyat bukan?,” Noneng memungkasi.
Bagian VI
Alas Penghidupan
Salah satu narasi yang dibangun PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) dan pemerintah ialah, bahwa proyek pengusahaan panas bumi mampu mendongkrak perekonomian warga setempat. Kerap kali mereka mempercontohkan Kamojang, Jawa Barat, kawasan PLTP yang memiliki sektor pariwisata. Namun warga tak bergeming. Mereka tidak membutuhkan semua itu. Mereka sudah hidup berkecukupan dari hasil bertani dan berkebun.
“Terserah mau lihat Kamojang gimana. Tetap saja nanti orang asing yang mengelola, pendapatan mah sementara. Warga di sini mah hidupnya kebanyakan dari pertanian. Dan yang jelas saya mau menjaga kelestarian alam ini,” ujar Noneng.
“Kami hidup dari hasil bumi yang halal dari keringat sendiri. Bukan dari dagang apalagi jadi calo. Makanya tanah ini benar-benar harus diapikkan, yang kurang subur ditanamin yang bisa menyuburkan alam,” timpal Abah Iim Ibrahim, sesepuh Desa Sukatani, kepada Project Multatuli.
Usia Abah Iim Ibrahim sekitar 75 tahun. Ia kelahiran Desa Sukatani. Sejak muda hingga sekarang, ia tetap menjadi petani. Abah Iim merupakan saksi hidup bagaimana masyarakat sejahtera dari hasil bekerja di ladang; menanam sayur-mayur dan menjualnya ke beberapa pasar induk di DKI Jakarta. Sebuah aktivitas yang berlangsung sejak puluhan tahun silam hingga sekarang.
“Warga di sini bisa pasang genteng rumah, ya dari hasil bumi. Nyambung hidup dari hasil panen, bisa untuk makan tiga bulan,” ujar Abah dengan suara tegas. “Kalau bumi dikeluarkan, dijual. Lihat [daerah] Gadog. Awalnya orangnya kaya, bisa beli mobil. Sekarang pada nunggu vila.”
Namun alasan Abah Iim menentang pertambangan panas bumi bukan hanya perkara mata pencaharian. Ada faktor sentimental di dalamnya. Antara dia dan hutan Gunung Gede Pangrango. Abah bercerita, pernah suatu waktu terjadi bencana angin puting beliung dan merobohkan banyak pepohonan di area hutan. Kemudian ia bersama warga dan Perhutani bekerjasama untuk menanam pohon-pohon baru.
“Itu tahun 84. Anginnya besar sekali,” ujar Abah. “Sekarang, mau menjadi seperti ini. Mau ada geothermal. Abah kesal.”
“Sementara geothermal ini katanya butuh lahan 6 hektare. Mau berapa banyak pohon dibantai? Gimana jasa tetua kampung sini?” Cece menimpali.
Sampai sekarang kesadaran warga melakukan penghijauan hutan masih timbul. Mereka paham harus memberikan manfaat bagi alam, setelah alam memberikan banyak manfaat pada mereka. Beberapa pohon seperti rasamala, suren, alpukat, dan kepayang merupakan jenis yang sering warga tanam di sekitar ladang mereka.
“Masyarakat semua yang urus. Setiap ada [pohon] yang mati, ditanam kembali,” ujar Herman. “Makanya saya ikut berjuang dengan rekan-rekan di sini. Saya berjanji, saya akan melindungi hutan ini sampai mati. Saya siap.”
Sumber daya alam Gunung Gede Pangrango tidak hanya mampu membiayai kehidupan warga, tetapi juga menyelamatkan para petani ketika mengalami masalah kelangkaan pupuk. Saat pemerintah mencabut pupuk bersubsidi dan barang langka di pasaran, sementara ladang harus terus disemai. Warga tak putus imajinasi; mereka menjelajah hutan, mengumpulkan dedaunan, dan mengolahnya menjadi pupuk organik.
“Saya pernah bikin POC (pupuk organik cair) dari daun-daun yang keluarnya nitrogen. [Daun] suren dan pakis bisa jadi nitrogen untuk bikin pupuk kompos. Urea itu kan nitrogen, bahannya ada di alam kita. Daun suren bisa menjadi 46 persen kebutuhan tanaman,” ujar Cece.
Sejak rencana pertambangan panas bumi menyeruak ke kuping warga, mereka mulai bersiaga menjaga kampung dari operasional perusahaan. Hal ini membuat para petani memiliki pekerjaan ganda: mereka harus memastikan sayur-mayurnya subur sekaligus memantau kehadiran orang asing di sekitar ladang. Sebab pernah, selang beberapa hari dari gempa Cianjur, sekitar sepuluh orang mendaki di zona pemanfaatan TNGGP. Beruntung Herman, yang waktu itu sedang menyemai benih, memergoki rombongan orang asing tersebut.
“Saya tanya, mau cari apa. Mereka bilang mau cari titik gempa. Tapi sempat pasang patok. Saya buang saja,” ujar Herman.
Memasuki 2023, semakin banyak warga kedatangan orang asing. Minimal mereka berjumlah dua orang. Ada yang mengukur jalan, mengukur ladang, menerbangi kamera drone; terakhir warga memergoki dua pekerja mencoba kembali memasang patok di antara tanah desa dan kehutanan. Salah seorang petani memotret dua pekerja itu dan mengirimkannya ke grup WhatsApp warga. Sekejap puluhan warga tiba di lokasi dan langsung menginterogasi dua pekerja tersebut. Namun mereka berdalih hanya memasang patok batas wilayah saja. Warga tak percaya.
“Dia bohongin kita. Begitu warga minta [patok] dibongkar, ada kuningannya [pelat proyek DMGP]. Saya tanya langsung mereka jawab dari Geopatra,” ujar Muhtar.
Beberapa warga meradang dan nyaris naik pitam, beberapa lainnya mencoba menenangkan dan memastikan dua pekerja tersebut segera meninggalkan lokasi dengan aman. Kemarahan warga sudah di ujung ubun-ubun. Mereka merasa dikhianati perusahaan dan pemerintah yang tak menghormati hasil audiensi di DPRD Cianjur pada 19 Mei 2023.
“Berdasarkan kesepakatan [warga dan perusahaan] di dewan; sebelum ada kesepakatan yang sama maka jangan ada aktivitas dulu dari proyek ini,” ujar Aher.
Warga berharap pemerintah menghentikan proyek tambang panas bumi di Gunung Gede Pangrango, karena bukan itu yang warga butuhkan. Sebaliknya, warga meminta pemerintah untuk menyelesaikan berbagai masalah di sektor pertanian saja, lebih konkret bagi mereka.
“Kami butuhnya binaan dari pemerintah untuk kehidupan. Semua departemen menyentuh ke rakyat. Utamanya pupuk sampai ke rakyat. Karena saya hidup dari hasil bumi bukan dari panas bumi,” ujar Abah Iim Ibrahim.
“Kita sudah tenang bertani. Kenapa sekarang diusik? Lebih baik geothermal nggak ada. Biar kita tenang lagi,” Muhtar memungkasi.
Dalam laporan ini Project Multatuli berusaha mewawancarai Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, Yudo Dwinanda Priaadi. Awalnya ia menyanggupi permintaan wawancara kami, namun setelah daftar pertanyaan kami kirim atas permintaan yang bersangkutan, ia tidak merespons lagi.
Kami juga berusaha menghubungi Sekretaris Perusahaan DSSA, Susan Chandra melalui surat elektronik, namun tak direspons. Kami juga sudah menghubungi pihak Sinarmas selaku induk perusahaan, hanya saja mereka mendaku tak kompeten menjawab karena sektor panas bumi kewenangan DSSA.