MEI 1998. Daerah Glodok sampai Kota Tua, jalanan penuh oleh iring-iringan manusia kalap. Api dan penjarahan terjadi di mana-mana. Dari salah satu sudut, Suhadi menyaksikan para penjarah mengangkut TV dan kulkas. Kota benar-benar kacau.
Hari itu Suhadi bersama warga kampung Kunir lainnya, Buyung Hendra (alm), Imam Suyono (alm), dan Samiran siaga menjaga kampung meski dalam hatinya ada rasa takut. Warga kampung Kunir di belakang ruko Pinangsia berjaga-jaga di tiga titik. Mereka khawatir, kerusuhan bakal merembet ke kampung mereka dan kawasan ruko di Pinangsia, yang terletak di belakang kampung dan kebetulan banyak ditinggali warga keturunan Tionghoa.
Satu tekad warga bersama: jangan sampai ada yang menjarah ruko.
“Kita semua sudah standby. Tapi entah kenapa untungnya tidak ada yang nyolek sini. Yang penting wilayah sini aman,” kata Suhadi.
Bagi Suhadi, ini bukan sekadar perkara solidaritas terhadap tetangga keturunan Tionghoa, tetapi juga karena tanggung jawab sejarah. Kampung Kunir dikenal sebagai adalah kampung penjaga wilayah Jl. Pancoran di Glodok, Museum Sejarah dan Taman Fatahillah, Jl. Kunir, dan Jl. Cengkeh di Jakarta Barat. Tanggung jawab itu melekat pada warga kampung Kunir. Mereka menjaga wilayah itu tanpa perlu diminta.
Mei 2015. Lima ratus petugas Satpol PP merangsek ke kampung Kunir. Dua backhoe sudah siap menggaruk rumah-rumah yang dihuni sekitar 100 keluarga, persis di depan kompleks ruko Pinangsia yang 17 tahun silam dijaga warga dari penjarahan.
Hari itu kampung Kunir akan digusur oleh pemerintah dengan alasan kampung itu berada di pinggir anak kali Ciliwung yang seharusnya bebas dari pemukiman.
Sebelum backhoe datang, warga sudah berkali bernegosiasi dengan pemerintah, namun hasilnya nihil. Di tengah keputusasaan, warga memutuskan mendatangi rumah Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Gubernur DKI Jakarta saat itu, pada malam hari sebelum backhoe benar-benar menghancurkan rumah mereka.
Mereka bersama warga kampung sekitar yang bersolidaritas berangkat ke rumah Ahok di perumahan Pantai Mutiara yang dijaga berlapis dan terletak hanya beberapa kilometer dari Kunir. Namun niat mereka dihentikan satpam komplek yang segera menghubungi polisi. Kedatangan warga itu berakhir pada pengusiran dan isu liar bahwa warga akan menyerang Ahok di rumahnya. Isu itu beredar dari sejumlah pemberitaan media.
“Kami mau ketemu baik-baik, tapi bahasa wartawan jelek. Ini warga, pingin ketemu pimpinannya, minta kebijaksanaan,” kata Suhadi. Saat itu jalan sudah hampir buntu bagi warga, tak ada cara lagi selain mendatangi Ahok. “Backhoe sudah parkir di sana, sementara kami tidak mau ke rumah susun,” katanya lagi.
Rumah susun yang ditawarkan pemerintah untuk relokasi berada di Marunda, yang lokasinya bukan hanya di kota madya lain, Jakarta Utara, tetapi juga sangat jauh dari Kunir.
Warga masih berharap penggusuran hari itu dibatalkan sehingga banyak dari antara mereka tidak berkemas. Apalagi sehari sebelumnya mereka menemui wakil gubernur, Djarot Saiful Hidayat, yang berjanji akan mendiskusikan permintaan warga dan meminta waktu tiga hari untuk memutuskan.
Tapi janji tiga hari itu tidak pernah ditepati. Hanya sehari setelah pertemuan itu, Satpol PP dan backhoe merangsek. Mereka tidak tahu dan peduli tentang janji Djarot. Wilastri Nilasari (41) salah seorangg warga yang belum berkemas memohon waktu dua jam untuk mengumpulkan hartanya. Tapi Satpol PP tidak menggubris. Hari itu petugas mengeluarkan barang milik Wilastri dengan kasar sehingga beberapa barang rusak.
Dalam hitungan jam, kampung para penjaga wilayah ini pun hancur lebur.
Sebelum penggusuran, Kampung Kunir di pinggir anak kali Ciliwung, adalah kampung hijau yang membikin bangga warganya. Kampung ini memenangi lomba “Jakarta Green and Clean” pada tahun 2010. Sertifikat penghargaan upaya ratusan warga menjaga kampung hijau dan bersih ini diberikan oleh pemerintah DKI Jakarta, yang kemudian meluluhlantakkan kampung hijau ini.
Tak ada lagi pohon jambu, pohon mangga, pohon kelapa yang dirawat di sana. Tak terlihat lagi warga ngobrol sambil membuat rujak. Tak ada lagi pot-pot tanaman obat keluarga. Tak ada lagi kerja bakti warga. Keasrian telah digantikan oleh beton jalan inspeksi yang buntu terhadang rel dekat Stasiun Kota. Yang memanfaatkan jalan baru ini sekarang adalah truk-truk sampah yang parkir di belakang kantor Kecamatan Taman Sari.
Penggusuran itu juga menghancurkan banyak hal yang dibangun warga sendiri: musholla, taman kanak-kanak dan fasilitas pendidikan anak usia dini, pos RW, dan koperasi wanita Anggrek yang sudah berdiri tujuh tahun lamanya.
Sejarah Kunir sebagai Penjaga Wilayah
Sebermula adalah tiga penjaga keamanan Kota Tua membabat alang-alang tinggi untuk membangun rumah di tahun 1979 di masa ketika wilayah itu menakutkan. “Dulu syiarnya di sini daerah hitam,” kata Suhadi.
Satu orang Minang, satu Batak, dan satu Jawa. Buyung, Aritonang, dan Suhadi.
Ketiganya bekerja di bawah kepemimpinan Hartono, seorang pensiunan tentara, ketua RW, dan penjaga wilayah mulai dari Jl. Pancoran di Glodok sampai Jl. Cengkeh termasuk menjaga proyek ruko milik PT Harmoni Mas di Jl. Kunir, Pinangsia.
Untuk mempermudah pekerjaan pengamanan dan supaya kompak ketika sewaktu-waktu perlu mengejar perampok, Buyung dan Aritonang meminta izin pada Hartono untuk membangun rumah sederhana di pinggir kali di sebelah proyek ruko yang juga menjadi tanggung jawab penjagaan mereka.
“Orang Jawa ikut aja. Padang [Minang] dan Medan [Batak] ini berani memang, kalau ngomong, ‘wong, wong, wong, wong’,” kata Suhadi.
Buyung adalah mantan preman. Ia bolak-balik ditangkap Pak Hartono. “Dulu belum ada UU HAM, Buyung habis digebukin,” kata Suhadi.
Akhirnya Buyung memutuskan berhenti jadi preman dan malah bekerja untuk menjaga keamanan. “Jadi nurut, berkembang, dan jadi manusia seutuhnya,” demikian penggambaran Suhadi atas transformasi temannya. Salah satu ujian bagi Buyung adalah menangkapi preman yang juga teman sendiri, sampai-sampai hampir dibunuh teman. “Sudah ditodong pisau kiri kanan,” kata Suhadi.
Beruntung Buyung selamat. Karena berhasil membersihkan preman, ia lantas tokoh andalan aparat kelurahan. Ketika Hartono meninggal tahun 1990an, Buyung, bekas preman itu diminta menjadi ketua RW setelah sederetan ketua RW lain tidak tahan lama.
Aritonang yang pertama meninggalkan kampung, sementara Buyung dan Suhadi terus tinggal di Kunir, menjadi saksi dan pelaku pengembangan kampung dari deretan gubuk ditutup kardus hingga berangsur-angsur menjadi kampung tempat membangun keluarga yang tertata rapi, asri, dan bersih.
Buyung meninggal tahun 2006 di kampung Kunir dan tinggal Suhadi lah yang kemudian menyaksikan kehancurannya di tahun 2015 ketika sekitar 100 keluarga digusur.
“Kalau dia tahu digusur, pasti marah sekali Pak Buyung,” kata Suhadi.
Selama Suhadi dan teman-temannya membabat alang-alang sampai mendirikan rumah di sana, tidak ada yang menghalangi atau mempertanyakan kepemilikan tanah. Masing-masing hansip, mendapat jatah tanah seluas 4×5 meter persegi untuk mendirikan rumah. Totalnya ada sekitar 30 gubuk yang didirikan untuk tempat tinggal para hansip, pengurus RW, dan keluarga mereka.
Tak butuh waktu lama untuk membabat alang-alang lalu mendirikan rumah di sana. Karena tanah di pinggir sungai itu sudah keras, mereka tidak perlu bersusah payah menguruk lagi. Mereka juga membuat sumur di sana, airnya pun jernih.
“Daripada kontrak atau kos. Waktu itu ada yang sudah berkeluarga ada yang belum” kata Suhadi.
Warga Menata Kampung
Sejak rumah-rumah berdiri pada tahun 1980-an, warga perlahan-lahan menata sendiri kampungnya. Sesekali datang bantuan dari kelurahan dan pemilik ruko di belakang kampung berupa bibit-bibit pohon untuk ditanam di Kunir.
Rumah-rumah kampung Kunir menghadap ke kali, karena sejak awal tidak boleh menghadap ruko. Ini yang membuat kampung Kunir berbeda kampung di pinggir sungai lainnya di Jakarta yang pada saat itu membelakangi sungai. Pada tahun 1990an ada beberapa kampung pinggir kali di Jakarta berinisiatif membalik rumah-rumah mereka ke kali sebagai wujud komitmen untuk menjaga kali yang ada di hadapan mereka.
Proses menata kampung ini tidak mendadak membuat kampung Kunir menjadi kampung hijau dan bersih. Awalnya, gubuk di sana hanya ditutupi kardus, lalu perlahan ditata menjadi kayu dan triplek berbentuk rumah panggung. Baru pada 1990-an mulai ada perubahan bentuk rumah, bukan panggung lagi dan menjadi rumah semi permanen dengan tembok dan bata, berlantai keramik.
Dulu mereka mandi dan buang air langsung di sungai, baru belakangan warga membangun kamar mandi dan WC yang lebih layak. Tetapi mereka memang tidak membangun septic tank, jadi limbah langsung ke sungai.
Setelah bangunan tertata, barulah masuk listrik dan air PAM di rumah warga. Beberapa kampung mendapat bantuan Mohammad Husni Thamrin atau Kampung Improvement Project pada tahun itu, sayangnya Kunir tidak termasuk kampung mendapat bantuan. Meski demikian warga tetap mengupayakan sendiri untuk membuat kampung mereka menjadi lebih bersih dan rapi.
“Mungkin banyak kampung lain yang lebih membutuhkan,” kata Suhadi.
Warga bergotong royong membangun tempat belajar pendidikan anak usia dini (PAUD), musholla, ruang taman penghijauan, dan pos RW. Dana pembangunan didapatkan dari sumbangan warga di sekitaran ruko.
Warga kampung Kunir juga aktif mendukung program pemerintah. Mereka adalah andalan kelurahan di saat ada perlombaan tingkat kota atau provinsi. Segala macam lomba telah mereka ikuti, mulai dari lomba kampung sampai gerak jalan.
Warga sempat menyelamatkan piala-piala mereka saat backhoe menggaruk rumah-rumah mereka jadi debu. Lalu piala-piala penghargaan dari pemerintah itu mereka tata di sebuah meja di antara reruntuhan. Lama kelamaan piala-piala ini hilang satu per satu.
“Warga lama-lama kesal melihatnya, karena tak ada artinya, jadi ya begitulah, akhirnya satu-satu hilang,” ujar Marsa, salah satu tokoh kampung Kunir.
Rasa Memiliki dan Kebersamaan
Warga tidak terima jika Kunir dibilang kumuh. Dibanding kampung lain, warga Kunir termasuk kampung yang hijau, asri, dan bersih. Karena itu, mereka tidak menyangka akan digusur oleh pemerintah, apalagi selama ini mereka selalu memposisikan diri sebagai mitra kelurahan.
“Kayak keluarga dengan kelurahan,” kata Suhadi. “Kami semua ikut arahan dari kelurahan semua, mulai dari pengadaan listrik, pajak bumi bangunan, dan air PAM.”
Kampung mereka juga tidak pernah ada masalah premanisme dan narkoba. Mereka hanya kena banjir saat hampir seluruh Jakarta tergenang air. “Kalau sampai di sini banjir artinya di istana sudah duluan kena,” kata Suhadi. “Semua tenang di sini.”
Wilastri Nilasari adalah salah satu pegiat tanaman obat keluarga (toga) juga juru pemantauan jentik (jumantik) yang dilatih kelurahan juga tak menyangka bakal digusur pemerintah. Wilastri dan suaminya Suswantoro, membeli rumah di Kampung Kunir tahun 2006 dan menurut Wilastri saat itu sudah banyak pepohonan. “Ada sirsak, ada pepaya,” katanya.
Ketika kelurahan membuat program gerakan menanam tanaman obat, ia termasuk yang paling giat karena Wilastri senang merawat tumbuhan. Bahkan selepas penggusuran, Wilastri masih melakukan aktivitas itu, ia menanam di pot dan di tanah di depan bedeng sederhana yang didirikan di bekas lahan rumah-rumah mereka di depan ruko.
Suaminya, Suswantoro saat menjabat sebagai sekretaris RT juga punya kepedulian khusus soal sampah. Ia tak ingin kampung menjadi kumuh karena sampah. Karena itu ia membuat peringatan di kertas yang ditempelkan pada setiap rumah warga: “Jangan buang sampah sembarangan karena kita bukan orang sembarangan”.
Peringatan itu berdampak baik dan menumbuhkan kesadaran warga. Tiap kali ada warga yang ketahuan hendak membuang sampah di kali, langsung disoraki warga bersama-sama sehingga merasa malu dan tidak mengulangi lagi membuat sampah ke sungai.
Setelah digusur, Suswantoro masih menyimpan kertas itu dan sekarang ditempel di bedeng sederhana mereka.
Setelah penggusuran, warga Kunir tersebar ke beberapa tempat. Sebagian ada yang mengambil tawaran rusun dari pemerintah Provinsi DKI, ada juga yang memilih menyewa rumah di sekitar Kampung Kunir, dan ada tujuh keluarga yang bertahan di lokasi bekas rumah mereka, termasuk keluarga Suhadi dan Wilastri.
Warga Kunir memanfaatkan momentum politik elektoral tahun 2017 untuk melakukan kontrak politik dengan gubernur terpilih Anies Baswedan. Saat ini warga aktif melakukan perencanaan kampung masa depan mereka dibantu oleh Arsitek Tanpa Batas juga aktif berorganisasi bersama Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) untuk memastikan gubernur terpilih tidak ingkar janji.
Keinginan mereka adalah membangun di lokasi yang sama karena banyak di antara mereka adalah pedagang yang bergantung pada wisata Kota Tua. Lokasi mereka hanya sekitar 5 menit berjalan kaki dari Taman Fatahillah.
Salah satu warga yang berdagang, Aris (41) saat ini menyewa rumah di Pademangan, Jakarta Utara, sekitar 2 kilometer dari Fatahillah. Aris, yang berjualan jam tangan, berharap Kampung Kunir bisa dibangun lagi sehingga mudah baginya untuk mencapai tempat usahanya. Demikian juga istri Suhadi, Sukimiyati, yang berdagang ketoprak di daerah Kota Tua.
Suswantoro, dulu sopir pribadi, dan Wilastri, dulu guru PAUD, sekarang mengandalkan nafkah dari warung kecil yang mereka bangun di bekas reruntuhan kampung mereka. Suswantoro berkata kampung Kunir memiliki hubungan erat dengan Kota Tua dan industri wisatanya. Tetapi bagi warga, bukan hanya urusan ekonomi yang membuat mereka bertahan, tetapi juga hubungan antar manusia.
“Kami ingin ini dibangun lagi seperti semula, kumpul lagi, dan ada rasa kebersamaan seperti dulu,” kata Suswantoro.
Catatan Editor: Tulisan ini terbit pada 2018 di situs Kampung Kota Merekam (yang sudah tutup) dan merupakan hasil liputan sejak 2017.
Tulisan ini adalah satu dari serial #SejarahKampungKota yang ditulis dalam kurun waktu 2017-2019 oleh para relawan di Kampung Kota Merekam (KKM), upaya mengedepankan kisah kampung kota di Jakarta yang sedapat mungkin datang dari perspektif warga kampung kota sendiri, demi menandingi narasi-narasi lain yang kerap bias kelas. Mengenai apa itu KKM dan latar belakang dari upaya ini, bisa dibaca di Ide dan Esai. Pembaca bisa mengunduh buku Kampung Kota Merekam di sini.