‘Kami Bukan Kriminal’: Para Pengguna Napza Berjuang untuk Pulih

Adrian Mulya & Fahri Salam
6 menit

Masalah adiksi napza adalah masalah kesehatan, bukan masalah hukum dan moral. “Tolong kampanyekan kami bukan kriminal.”


 

Nara, bukan nama sebenarnya, 27 tahun, telaten menyetel peralatan musiknya di ruangan seluas 3×4 m² di rumahnya. Ada groove box, sequencer, semi-modular, stompbox, dan modulasi. Ada juga gitar dan keyboard. Ia tampak antusias menggeluti salah satu hobinya itu. Di luar musik, ia gemar melukis.

Nara (27) sedang memainkan groove box, sequencer, semi-modular, stompbox, dan modulasi yang merupakan bagian dari hobinya dalam bermusik.

Ia mulai menggunakan napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain) sejak 2012. Pengaruh lingkungan dan pergaulan membawanya semakin masuk dalam ketergantungan obat-obatan yang tak berkesudahan itu. 

Keterpurukan akibat pengaruh napza pula yang memupus impian dan harapannya saat ia hendak melanjutkan studi di salah satu kampus seni di Indonesia. Ia gagal ujian masuk. 

Nara telah berkeluarga dan memiliki seorang anak. Sang anak memiliki kegemaran serupa pada seni rupa dan seni musik, berkat bimbingan sang ayah.

Nara (27) telah berkeluarga dan memiliki seorang anak. Sang anak memiliki kegemaran serupa pada seni rupa dan seni musik. Nara menularkan kecintaannya akan seni kepada sang anak.

Perasaan takut, khawatir, dan gelisah berkecamuk mengusik kehidupannya sehari-hari sebagai pengguna napza. Cap buruk atau stigma terhadap pencandu napza membatasinya dapat memanfaatkan berbagai layanan kesehatan yang tersedia. Ia khawatir jika menggunakan layanan rehabilitasi bisa berurusan hukum.

“Yang paling saya takut itu perihal data saya,” kata Nara. “Pikiran buruknya malah nanti saya dijadikan target penangkapan, atau takut nanti berpengaruh ke saya sewaktu pembuatan SKCK (surat keterangan catatan kepolisian) karena ada riwayat pengguna napza.” 

Ranu, bukan nama sebenarnya, usia 29 tahun, mengisahkan pengalaman traumatik direpresi polisi. 

Saat Ranu berkumpul untuk bersenda gurau bersama teman-teman pengguna napza lain di warung makanan tempat usahanya, tiba-tiba datang segerombolan polisi menggerebek dan mengacak-ngacak dagangannya. 

Ranu pasang badan dan meminta surat penggerebekan. Ia teliti membaca surat yang diberikan polisi dan menemukan tidak ada tanda tangan Kepala Unit Reserse Narkoba tertera pada surat tersebut. Ranu akhirnya menolak penggeledahan yang dianggapnya sewenang-wenang. Buntutnya, polisi memukulnya hingga ia terjerembab.

Ranu dituduh sebagai pengedar narkotika, lalu dipukul polisi. Badannya luka-luka lebam dan berdarah.

Menjadi seorang pengguna napza membatasi aktivitas sehari-hari Nara. Hidupnya di bawah bayang ketakutan akan stigma oleh masyarakat dan kriminalisasi oleh polisi.

“Saya sampai sekarang sakit hati,” kata Ranu. “Polisi itu bilang: Matiin lu mah halal.”

Setelah babak-belur, Ranu dibawa ke satu kantor polisi dekat Kota Bandung. “Saya diintimidasi, dibedakan ruang penyelidikan. Ada polisi yang mengeluarkan pistol. Kaki saya disundut ujung pistol panas,” ceritanya.

Perlakuan diskriminatif juga dialami Dani, bukan nama sebenarnya, usia 24 tahun. Satu hari ia dan teman-temannya ditangkap polisi, setelahnya ia dibawa ke tempat rehabilitasi rujukan polisi.

Sampai di sana, “saya ditempatkan di satu ruangan petak sempit, diisi 30-40 orang.” 

Situasinya saat itu pandemi COVID-19. Dani berada di tempat rehabilitasi itu hanya seminggu, tapi perasaan takut dan trauma masih terbawa sekarang. 

“Jadi istilahnya aku kayak dibawa ke kebon binatangnya manusia, dikandangin. Dan enggak dikasih program apa-apa,” katanya.

Pengguna napza mengakses layanan rehabilitasi yang layak sambil terus dihantui perasaan takut, stigma, dan ancaman kriminal sewaktu-waktu.

Berhak Pulih

Nara terus berjuang melawan napza yang menjeratnya. Bersama beberapa teman sesama pengguna napza, ia mencoba bangkit. Saat ini mereka membuka usaha kolektif toko distro dan jasa pencucian sepatu kecil-kecilan. 

Mereka membuat usaha secara independen untuk menghidupi diri dan keluarga demi kehidupan yang lebih baik.

“Saya dan teman-teman lagi coba mempraktikan usaha ekonomi mandiri, yang semanusiawi banget,” kata Nara. “Karena kami awalnya muak kerja di tempat lain karena upah kurang layak dan jam kerja yang kadang-kadang over, makanya kepikiran pengin coba bikin usaha yang semua mekanisme kerjanya berdasarkan hasil kesepakatan bersama.”

Nara kesulitan bekerja formal dengan latar belakangnya sebagai pengguna napza. Ia mencari nafkah dengan membangun usaha toko sepatu bersama teman-teman penyintas.

Proses yang dijalani Nara dan teman-temannya sampai di tahap sekarang tidaklah mudah. Nara mengakses layanan rehabilitasi yang layak sambil terus dihantui perasaan takut, stigma, dan ancaman kriminal sewaktu-waktu. Banyak polisi masih pakai pendekatan hukuman, mengabaikan pendekatan kesehatan, saat menghadapi pencandu napza. 

Di tempat rehabilitas itu Nara berjuang pulih bersama para penyintas lain. Proses rehabilitasi ini membuka matanya betapa pentingnya kesehatan untuk diri sendiri dan orang-orang yang ia sayangi. 

Sampaguita Syafrezani, konselor dari Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat, mengatakan masalah adiksi atau penggunaan napza merupakan masalah kesehatan, bukan masalah hukum atau moral. Pengguna napza acap kali dipandang melanggar hukum dan moral lalu dicap kriminal.

“Jadi sebenarnya adiksi itu masalah kesehatan, maka dia butuh layanan kesehatan, butuh ditangani adiksinya,” ujar Sampaguita pada kegiatan rehabilitasi BNN di Communal Cafe Dago, Bandung.

Perhimpunan Bantuan Hukum dan Pembela HAM (PBHI) Jawa Barat adalah lembaga yang berfokus pada bantuan hukum dan hak asasi manusia yang melindungi serta mengadvokasi pengguna napza yang terkena jerat represi dan kriminalisasi aparat keamanan Indonesia.

Nara dan sesama penyintas saat ini mendapatkan dukungan advokasi dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Pembela HAM (PBHI) Jawa Barat dalam upaya pemulihannya. PBHI Jawa Barat menegaskan pengguna dan korban penyalahgunaan napza harus dilindungi negara sesuai undang-undang yang berlaku

“Pendekatannya bukan lagi efek jera dengan cara penahanan atau pemenjaraan. Tapi, untuk pencandu atau korban penyalahgunaan napza harus pakai  pendekatan-pendekatan dengan pengetahuan, misal pendekatan secara psikologis atau sosial. Misalnya, bagaimana latar belakang sosialnya, latar belakang ekonominya, bagaimana si orang bisa menggunakan napza? Apakah ada faktor traumatik atau ada faktor lingkungan sosial?” papar Deti, advokat PBHI Jabar.

Pasal 128 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika menyatakan pencandu napza dalam masa rehabilitasi wajib tidak dituntut pidana. Di sisi lain, dalam rezim pendisiplinan pidana yang disponsori negara, ada puluhan ribu pengguna napza menghuni puluhan penjara khusus narkotika di Indonesia. Banyak penjara ini sudah kelebihan kapasitas.

Para pencandu napza atau korban penyalahgunaan napza berhak memperoleh pemulihan, bukan kriminalisasi. Perlu pendekatan kesehatan, dekriminalisasi, dan revisi Undang-Undang Narkotika yang bermasalah adalah salah satu upaya tercapainya keadilan restoratif. 

“Tolong beri kami akses rehabilitasi yang baik karena masyarakat itu masih awam bahwa para pengguna dan pencandu itu korban. Kami sebenarnya korban. Tolong kampanyekan bahwa kami bukan kriminal,” ujar Ranu.

Poster “Mari Memanusiakan …” Poster ini bertujuan mengadvokasi publik bahwa para penyintas napza bukanlah kriminal. Mereka berhak diperlakukan selayaknya manusia.

Esai foto karya Dini Putri Rahmayanti terpilih sebagai salah satu peserta lokakarya fotografi Suara Orang Muda: Demokrasi Hari ini, program kolaborasi Photo-Demos, PannaFoto, Kurawal Foundation, Pamflet Generasi, Arkademy Project, dan Melihat Bersama.  Karya Dini Putri dipamerkan pada Jakarta International Photo Festival (JIPFest) 2023 di kawasan Blok M Jakarta, 8-24 September 2023.

Mentor: Edy Purnomo

Baca liputan lain kami yang lain: Nasib Pengguna Narkotika Lepas dari Polisi, Diperas Panti Rehab

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Adrian Mulya & Fahri Salam
6 menit