Lika-Liku Buruh Panggung di Industri Musik

Ricky Yudhistira, Ronna Nirmala
5 menit

Lampu-lampu panggung hiburan kembali gemerlap. Festival musik mulai meriah dipenuhi antusiasme para penggemar yang dalam dua tahun terakhir, terpaksa menikmatinya dari depan layar gawai.


Bagi para musisi, kru, pekerja panggung, penyelenggara acara, keramaian ini adalah hujan di musim kering. Pembatasan mobilitas akibat pagebluk berdampak signifikan bagi penghasilan mereka yang dihitung dari setiap penyelenggaraan acara.

Beberapa orang memilih untuk pulang ke kampung halaman dan mencari pekerjaan lain. Beberapa memilih bertahan sebisanya, para musisi dan juga event organizer melakukan ibadah konser.

Syahid, kru panggung asal Kudus, Jawa Tengah, salah satunya. Sejak 2016, ia sudah bekerja di balik layar membantu sebuah band folk – menggabungkan musik rakyat dan rock – asal Jogja.

“Aku pernah jadi tukang las, tukang kayu, pas pandemi, demi bisa hidup,” kata Syahid, yang kini bergabung bersama tim produksi band asal Yogyakarta, Letto, sebagai pengawas teknis.


Syahid. (Project M/Gevi Noviyanti – CC BY-NC-ND 4.0)
Syahid mengecek kabel dari master controler FOH (Front of House) panggung. (Project M/Gevi Noviyanti – CC BY-NC-ND 4.0)
Seorang kru membawa peralatan musik ke atas panggung. (Project M/Gevi Noviyanti – CC BY-NC-ND 4.0)

Adnan, personil band indie asal Yogyakarta, Rubah Di Selatan, juga mengalami guncangan finansial akibat pandemi. Usaha persewaan sound system yang dimilikinya seketika kehilangan penyewa. Sekalipun ada, acara tersebut dibubarkan oleh Satgas Covid-19. Bukan hanya itu, ia juga harus memikirkan para kru panggungnya yang juga kehilangan penghasilan.

“Pandemi mengajarkanku untuk lebih dewasa dan menjadi bahan evaluasi untuk band-ku juga. Oh, ternyata manajemen untuk mengatur urusan kru penting, ya, karena selama ini kan, kita cuma kepikiran manggung sana sini,” kata Adnan.

Adnan memutar otaknya mengikuti adaptasi pasar dengan mempelajari dengan cepat teknis produksi siaran musik langsung secara daring. Ia juga membuka studio rekaman sederhana kecil di rumah kontraknya untuk para musisi pemula atau sekadar membantu tugas kuliah mahasiswa jurusan seni.


Adnan di studionya. (Project M/Gevi Noviyanti – CC BY-NC-ND 4.0)
Adnan menandatangani set list lagu untuk penggemar. (Project M/Gevi Noviyanti – CC BY-NC-ND 4.0)
Sebuah aplikasi audio controller tampak di layar gawai seorang sound engineer. (Project M/Gevi Noviyanti – CC BY-NC-ND 4.0)

Rey dari MasPam Company, yang menaungi musisi Pamungkas, bercerita rekan-rekan sejawatnya bahkan ada yang terjerat utang demi bisa tetap melanjutkan kehidupan.

“Posisi manager kaya gw nih banyak yang beralih fungsi, ada yang jualan telor keliling, ada orang vendor yang sampe stress karena ditagih sama debt collector karena nggak bisa bayar cicilan sound system yang baru diambil tahun 2019, dan itu nilainya miliaran,” kata Rey.

Berupaya membantu para kru, saat pandemi, tim MasPam Company nekat melakukan tur mandiri ke beberapa kota agar mereka tetap berpenghasilan. Tur yang digelar tetap mengikuti aturan pembatasan kerumunan: wajib vaksin, batas jumlah pengunjung, hingga menggunakan masker. Namun, mereka kerap tetap jadi incaran polisi karena tuduhan melanggar aturan batasan kerumunan.

“Gw cuma bilang waktu itu, bapak-bapak yang pake baju coklat ini di tahun pandemi nggak ada sedikitpun yang dipotong gajinya, apa kabar industri saya?”

Syahid, Adnan, dan Rey percaya bahwa di balik sosok musisi yang hebat ada orang-orang di balik layar yang bekerja keras.

“Kita tuh kaya rantai makanan, saling membutuhkan satu sama lain, saling bersimbiosis, lah. Kalo misal kerja krunya nggak beres, ya, musisinya juga yang repot, tapi kalo musisinya sendiri nggak punya materi lagu atau attitude yang ok. Kita sebagai kru panggung mau bekerja sekeras apapun juga nggak bakal ngangkat musisi itu,” kata Adnan.


Syahid berkomunikasi dengan gitaris terkait kendala pada gitar. (Project M/Gevi Noviyanti – CC BY-NC-ND 4.0)
Sebelum pementasan, kru dan artis berdoa bersama. (Project M/Gevi Noviyanti – CC BY-NC-ND 4.0)
Tata panggung band Rubah Di Selatan pada Artjog 2022. (Project M/Gevi Noviyanti – CC BY-NC-ND 4.0)

Pekerjaan sebagai kru musik masih terdengar minor di telinga masyarakat awam. Seolah sebagai pekerja serabutan yang tak memiliki keahlian.

“Kalau aku pulang kampung tuh tetangga-tetangga suka nanya ke ibuku, masnya tuh kerja apa, sih? Seolah ngeremehin gitu, lah. Aku sih nggak masalah ada orang yang mandang kaya gitu, tapi masalahnya kan jadi pikiran orangtuaku,” kata Syahid.

Padahal sebagai kru musik, kecekatan dan keterampilan atas pemahaman bermusik sangat dibutuhkan dan ilmu itu tidak serta merta berasal dari proses yang sebentar, melainkan hasil turun ke lapangan dan belajar dari orang yang sudah memiliki pengalaman.

Bahkan untuk hal yang sangat dasar seperti proses menggulung kabel membutuhkan teknik tersendiri, apalagi sampai pada proses menyusun instrumen musik yang siap dimainkan, tak sembarang orang bisa melakukannya.

“Sampai akhirnya aku mutusin nabung untuk beli mobil, terus mobilnya aku suruh adikku bawa pulang ke kampung biar tetangga-tetangga lihat aku kerja ada penghasilannya,” tukas Syahid.


Kru selalu bersiap di tiap sisi panggung memastikan kelancaran pentas. (Project M/Gevi Noviyanti – CC BY-NC-ND 4.0)

Cerita foto ini merupakan bagian dari serial #Perburuhan dan menggunakan lisensi CC BY-NC-ND 4.0.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Ricky Yudhistira, Ronna Nirmala
5 menit