Mimpi Buruk Anak Penambang Timah dan Hancurnya Lingkungan Masa Depan di Bangka Belitung

Fahri Salam
23 menit
Jampang, 11 tahun, melimbang di kawasan pertambangan CV Dirgantara Sejahtera, Kabupaten Bangka Tengah, 27 Desember 2022. Setelah pulang sekolah, Jampang mencari sisa bijih timah dari aliran sakan menggunakan ember dan piring. (Indah Suci Safitri)

Tak cuma menghancurkan lingkungan, penambangan timah mengancam masa depan pendidikan dan kesehatan anak-anak Bangka Belitung.


SUBUH ITU ADIT, anak sulung Sumarto berumur 15 tahun, pergi melimbang bersama teman-teman sebayanya. Tujuan mereka ke areal tambang timah PT Putra Tongga Samudra di belakang rumah. Bermodal cangkul dan ember, Adit mencangkul timbunan pasir untuk mencari sisa-sisa bijih timah. Ia tak sadar pasir dan batuan di atasnya longsor. Tubuhnya tertimbun hingga kedalaman lima meter.

Sumarto, yang masih terlelap saat anaknya pergi, terbangun pada pagi hari mendengar suara kencang ketukan pintu. Ia segera membuka pintu rumah. Matanya tertuju jasad tak bernyawa anaknya. Terguncang dan pingsan, bapak 38 tahun itu tak ingat lagi kejadian setelahnya.

“Saya sudah nggak tengok tambang itu sejak kejadian. Trauma,” katanya mengenang peristiwa Juni 2020.

Keluarga Sumarto tinggal di Gudem Utara, Kecamatan Pemali, Kabupaten Bangka. Areal tambang timah itu kawasan terbuka. Siapa pun bebas memasuki areal tambang dan melimbang, kecuali saat ada patroli.

Melimbang adalah sebutan populer warga Kepulauan Bangka Belitung atau Babel untuk kegiatan mencari sisa bijih timah dari limbah maupun timbunan limbah industri (tailing) galian timah. Hasil melimbang itu dikumpulkan ke dalam ember kemudian diserahkan ke pengepul. Jumlah pelimbang akan naik pesat saat harga timah meroket. Sewaktu kejadian menimpa anak sekolah seperti Adit, harga timah mencapai Rp200 ribu/kg.

Nyaris semua warga di sekitar tambang timah, termasuk perempuan dan anak-anak, terserap ke dalam pekerjaan mencukupi kebutuhan harian yang berbahaya ini.

Pada satu sore berhujan, akhir Desember 2022, kegiatan melimbang terlihat di Dusun Kedimpal, Desa Baskara Bakti, sekitar satu jam perjalanan darat dari Pemali. Ada 50-an pelimbang. Ada yang memilih berteduh di pondok, ada juga yang tetap bekerja dengan membungkus badan dengan jas hujan.

Para pelimbang berjongkok di dekat sakan, sebutan warga setempat untuk alat pencucian timah bak menara kolam yang tersusun dari kayu. Menggunakan piring, pengeruk, dan ember, para pelimbang menyerok bijih-bijih timah dari limbah yang hanyut dari sakan, menggoyangkan-goyangkan piring untuk menyaring ampas bijih timah, sementara kaki mereka terendam limbah pasir timah selama berjam-jam. Datang dari berbagai daerah, para pelimbang itu mengumpulkan setidaknya 1-3 kg bijih timah yang saat itu dihargai Rp100 ribu/kg.

Pelimbang berbaris sepanjang aliran sakan di kawasan pertambangan CV Dirgantara Sejahtera, Dusun Kedimpal, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung, 21 Desember 2022. Pelimbang menggunakan peralatan piring, pengeruk setengah lingkaran, dan ember untuk mendapatkan sisa bijih timah dari sakan. (Indah Suci Safitri)

“Jampang!” Seorang ibu berseru dari dekat sakan. Suaranya nyaris teredam deru air sakan.

Dari kejauhan, bocah berumur 11 tahun itu bersama beberapa anak seumuran berlarian di dekat eskavator yang melintas. Ibu Jampang terlihat panik.

Tidak jauh dari sakan, Rian duduk di tumpukkan tailing pasir timah, mengawasi neneknya yang melimbang. Tenaga bocah berumur 11 tahun itu akan dibutuhkan sewaktu-waktu neneknya untuk mengangkat ember-ember hasil limbangan timah. Tumpukkan tailing tempat Rian duduk cukup tinggi, yang bisa longsor kapan saja. Tailing itu harus sesekali dipindah dengan eskavator agar tidak menumpuk di dekat sakan dan menghalangi aliran air.

Hari itu pencucian timah di sakan selesai lebih awal dari biasanya karena hujan.

Rian baru kelas 5 sekolah dasar, tapi setiap hari sepulang pengajian, ia pergi ke areal tambang timah yang hanya berjarak 300 meter dari rumah, membantu neneknya hingga sore atau bahkan malam. Waktu belajarnya hanya tersisa malam hari. Besoknya, Rian harus bangun pukul 5 pagi dan berangkat sekolah sekitar pukul 6. Tak heran saat jam istirahat, Rian sering mengantuk dan ketiduran di kelas.

Kampung Baru Digulung Timah

Sakan yang dikerubungi para pelimbang itu milik CV Dirgantara Sejahtera, salah satu mitra PT Timah, yang beroperasi sejak 17 November 2022. Perseroan mengeruk timah di area eks pertambangan yang sudah direklamasi di pesisir Pantai Kedimpal, beberapa meter dari Kampung Pasir. Perkampungan tersebut dihuni banyak keluarga muda bersama anak-anak mereka yang mayoritas masih usia sekolah dasar, termasuk Rian.

Sebelum ditempati warga pada 2009, Kampung Pasir merupakan hutan akasia yang tumbuh di atas pasir reklamasi bekas penambangan PT Timah. Hingga sekarang, area kampung masih wilayah izin usaha pertambangan PT Timah.

Sekitar tahun 2010, aparatur desa menyediakan tanah di Kampung Pasir untuk keluarga muda yang sudah lama menetap di Dusun Kedimpal dan belum memiliki rumah. Per Januari 2023, sedikitnya ada 54 keluarga bermukim di sana.

Karena status masih areal konsesi pertambangan, warga Kampung Pasir berulang kali mengajukan dokumen kepemilikan tanah atau bangunan. Barulah pada 2022 lewat program Badan Pertanahan Nasional, warga Kampung Pasir bisa mengurus sertifikat hak milik dan melegalkan rumah.

Salah satu rumah semi permanen warga Kampung Pasir, Dusun Kedimpal. (Indah Suci Safitri)

Letak Kampung Pasir berada di pesisir timur Bangka Tengah. Mata pencaharian penduduknya adalah nelayan, yang bekerja tergantung musim. Saat air laut pasang atau angin kencang, misalnya, warga Kampung Pasir beralih profesi menjadi penambang timah.

Mayoritas pria di kampung ini bekerja sebagai penambang timah inkonvensional atau TI, sebutan untuk aktivitas penambangan timah tanpa izin. Area yang ditambang hanya berjarak 160 meter dari pemukiman.

Di Kepulauan Babel, pertambangan timah tidak memerlukan peralatan berat. Bermodalkan bensin 12 liter, pompa penyedot, selang penyemprot air, dan papan untuk mencuci timah, semua warga bisa menambang timah di manapun ada potensial kandungan timahnya.

Dalam buku Tiga Abad Melayani Dunia, yang dirilis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), praktik timah inkonvensional muncul atas kebijakan PT Timah dan PT Koba Tin pada masa Orde Baru. Ia menggunakan peralatan-peralatan sederhana di wilayah pertambangan PT Timah yang dinilai tidak ekonomis. Hasil timah dari TI diserahkan ke mitra atau kontraktor lokal yang diajak PT Timah untuk bekerja sama dan hasilnya pun pada akhirnya diambil PT Timah untuk memenuhi target produksi.

“PT Timah itu pertama kali yang membuat kompromi dalam konteks yang menguntungkan korporasi sebenarnya. Kalau dia nggak mampu menambang di wilayahnya, maka kawasan itu seharusnya dikembalikan kepada pemerintah. Kenapa dia nggak bisa menambang, ya karena sudah tidak ekonomis. Jadi dalam konteks nggak ekonomis, lebih murah kalau menerima dari para penambang rakyat,” kata Siti Maemunah, peneliti pertambangan dan salah satu penulis buku Tiga Abad Melayani Dunia.

Aktivitas tambang timah di dekat Kampung Pasir, Dusun Kedimpal, Desa Baskara Bakti, Kabupaten Bangka Tengah, diambil menggunakan drone pada 5 Februari 2023. Rumah warga Kampung Pasir berada di wilayah pesisir dikelilingi tiga tambang mitra PT Timah, tambang inkonvensional, dan lubang bekas tambang atau kolong. (Indah Suci Safitri)

Pada masa reformasi, aktivitas pertambangan yang tadinya dimonopoli PT Timah dan PT Koba Tin mengalami desentralisasi sehingga jumlah penambangan timah inkonvensional bertambah pesat, tidak terkontrol, dan mereka menambang di luar wilayah pertambangan. PT Timah kemudian menghentikan kebijakannya karena kelebihan stok cadangan timah. Namun, kondisi ini tidak menghentikan para penambang timah tanpa izin mencari alternatif penjualan lain sampai sekarang.

Setidaknya di Kampung Pasir saja, dalam tiga bulan terakhir tahun 2022, sudah ada tiga tambang besar mitra PT Timah yang mulai menambang lubang bekas tambang timah, salah satunya CV Dirgantara Sejahtera.

Di kampung ini juga bukan pemandangan asing setiap pagi barisan pria berjalan kaki membawa mesin pompa penyedot timah—yang disebut robin—dan jeriken bensin 12 liter. Para penambang timah inkonvensional ini bersiap mencari area yang dinilai mengandung cadangan timah. Meski begitu, tak ada jaminan mereka bisa mendapatkan satu kilogram timah saat pulang.

Infografik Kampung Pasir. (Leoni Susanto)

Terpaksa Mandi di Lubang Bekas Tambang 

Dari satu lokasi tambang timah inkonvensional, terlihat lubang bekas tambang yang lama dibiarkan terbuka. Lubang ini menampung air hujan hingga tampak seperti danau. Masyarakat Babel menyebut lubang bekas tambang itu sebagai kolong. Dan warga Kampung Pasir memanfaatkannya sebagai tempat mandi dan mencuci.

Tidak seperti sungai, kolong tidak bisa mengalirkan air. Debitnya mungkin bertambah tergantung curah hujan, tapi tidak cukup menjernihkan air. Sedikit saja volume air area tambang inkonvensional meningkat, kolong mandi itu akan tercemar zat-zat berbahaya penambangan, termasuk logam berat yang mengancam kesehatan. Malangnya, mayoritas rumah di Kampung Pasir bergantung pada air kolong sebagai sanitasi utama.

Per 2018, setidaknya terdapat lebih dari 12 ribu kolong seluas sekitar 15 ribu hektare di seluruh Provinsi Babel. Tidak diketahui persisnya usia kolong yang digunakan warga Kampung Pasir. Namun, biota-biota air sudah tumbuh di kolong, menandakan usia kolong sudah tua.

Menurut Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan provinsi, pada kolong usia tua, kemungkinan besar kandungan logam berat bekas penambangan timah seperti timbal (Pb), arsenik (As), seng (Zn), kromium (Cr), tembaga (Cu), besi (Fe), dan mangan (Mn) sudah berkurang dan keasaman air lebih netral.

Namun, penelitian Andri Kurniawan, dosen akuakultur Universitas Bangka Belitung, menemukan semakin tua umur kolong, belum tentu kandungan logam berat di dalamnya berkurang. Itu tergantung sedimen dasar pembentuk kolong. Logam berat bisa mengendap jika dasar kolong adalah tanah berlumpur. Jika dasar kolong adalah pasir, dan kolongnya berumur tua, sedimen pasir tidak menyerap atau mengendapkan logam dalam air.

“Hal inilah yang menyebabkan logam berat cenderung tetap tinggi di kolong tambang timah meski sudah ditinggalkan atau terbengkalai dalam waktu lama,” kata Andri dalam satu wawancara dengan kami.

Pada satu sore akhir Desember 2022, Citra baru pulang dari melimbang di CV Dirgantara Sejahtera. Ia langsung mandi di kolong tua yang hanya beberapa langkah dari rumahnya. Citra dikenal sebagai warga pertama yang menempati Kampung Pasir. Sejak pindah ke Kampung Pasir, katanya, kolong tua itu sudah ada. Namun, seiring Kampung Pasir mulai ramai dihuni dan ramai pula aktivitas tambang, kualitas air kolong jauh menurun.

“Sekarang air kolong bau. Selesai mandi gatal, rambut macam berlendir, lengket,” kata Citra.

Surya (35) sedang mencuci pakaian, sementara anak Kampung Pasir mandi di kolong, 20 Desember 2022. Anak-anak berenang, menggosok gigi, menangkap ikan di lubang bekas tambang ini. Di sekeliling kolong berserakan sampah plastik, popok bayi, sisa makanan, dan bungkus detergen. (Indah Suci Safitri)

Kami mengadakan survei terhadap 34 dari 54 keluarga di Kampung Pasir terkait sumber air yang mereka gunakan serta gangguan kesehatan yang paling banyak mereka keluhkan. Untuk sumber air, mayoritas keluarga di Kampung Pasir yang disurvei menggunakan air kolong untuk mandi dan mencuci.

Untuk beberapa rumah yang agak jauh dari kolong, mereka menyedot air sumur, baik sumur pribadi maupun sumur gali yang dibangun pemerintah desa. Setidaknya ada tujuh sumur dengan kedalaman beragam yang digunakan warga.

Namun, air sumur gali pun tidak lebih bersih dibandingkan air kolong. Mengingat Kampung Pasir dibangun di atas tanah reklamasi tambang timah, ditambah posisinya sangat dekat dengan pesisir laut, kualitas air sumur cenderung asam, berwarna cokelat, dan berkarat. Itu jadi keluhan mayoritas warga Kampung Pasir.

Seorang warga bernama Irma, umur 31 tahun, kesulitan mendapatkan air bersih sekalipun sudah sebelas tahun tinggal di Kampung Pasir. Awalnya, ia menggunakan air kolong selama tujuh tahun. Kemudian, beralih menggunakan air sumur di belakang rumahnya hasil program pemberdayaan masyarakat mandiri perdesaan. Kedalaman sumur itu kurang lebih 10 meter.

Irma perlu mendiamkan air bak mandi semalaman agar kerak merah karat mengendap di dasar bak dan airnya jadi cukup bening untuk bisa digunakan. Setelah diendapkan pun, air masih berbau.

“Bau menyengat, bau karat. Kalau kita pakai buat sikat gigi, rasanya mual, baunya ndak kuat,” katanya.

Sama seperti kebiasaan Irma, warga Kampung Pasir bernama Ratna, 33 tahun, harus mengendapkan air bak mandi dari sumur semalaman agar karat mengendap di dasar bak. Untuk air mandi anaknya, Ratna perlu merebus air sampai matang. Lantai, dinding, mesin cuci, ember, dan gayung di rumahnya berwarna kuning karat. (Indah Suci Safitri)

Terserang Penyakit Kulit

Irma mengeluhkan gatal-gatal. Giginya menghitam dan keropos. Ia juga sering mengalami keputihan. Pada 2015, dokter mendiagnosisnya mengalami kista ovarium.

Dalam survei kami, banyak warga Kampung Pasir mengeluhkan penyakit gatal-gatal dan gigi keropos, sama seperti Irma. Setidaknya, 20 keluarga mengeluhkan penyakit gatal-gatal.

Ambar, usia 29 tahun, mengeluhkan gatal-gatal. Ambar menduganya karena mandi menggunakan air kolong yang disedot ke rumahnya. Anak bungsunya umur 2 tahun bernama Salsa sering menggaruk bintik-bintik merah di tangan dan kakinya.

Ambar berkata Salsa kemungkinan besar mengalami alergi tanah pasir. Bintik merah terus muncul seiring Salsa mulai bermain di tanah pasir di depan rumahnya. Aroma anyir akibat luka gatal juga tercium dari kepala Salsa. Jika sudah tidak tahan dengan rasa gatalnya, seringkali Salsa menangis.

Ambar memperlihatkan gatal-gatal di kaki Salsa, anaknya berumur 2 tahun, pada 3 Februari 2023. Penyebabnya kemungkinan menggunakan air kolong untuk mandi dan alergi pasir di Kampung Pasir. Gatal-gatal di kulit Salsa terjadi di kaki, tangan, badan, hingga kulit kepala. (Indah Suci Safitri)

Berdasarkan data Puskesmas Namang, yang wilayah kerjanya mencakup Kampung Pasir di Dusun Kedimpal, keluhan penyakit kulit yaitu alergi atau infeksi termasuk sepuluh penyakit terbanyak selama empat tahun terakhir.

“Kebanyakan pasien yang datang ke Puskesmas yang mengeluhkan penyakit kulit, kalau kita gali memang sumbernya dari air kolong,” kata Kepala Puskesmas Namang, Ninda Astari.

Pemerintah setempat pernah membangun dua kali sarana saluran air pada 2017 dan 2021. Mesin PAM dipasang di rumah-rumah warga Kampung Pasir. Tapi, mesin air hanya bertahan sekitar dua minggu, setelahnya rusak kembali. Kepala Dusun Kedimpal, Asmawati, menyebut rusaknya mesin PAM karena kandungan asam dalam air menyebabkan karat dan merusak mesin.

Warga Kampung Pasir pun terpaksa terus bergantung pada air kolong yang mengandung logam berat ataupun sumur yang airnya berkarat.

Dalam jangka panjang, banyak penyakit menjangkiti warga di lingkar tambang dan menggunakan kolong bekas galian tambang. Potensi penyakit semakin meningkat jika warga pergi ke area tambang maupun bekerja di sana.

Berbagai penelitian ilmiah menyebutkan paparan logam berat seperti timbal dan arsenik secara terus menerus dengan intensitas tinggi bisa berpotensi menyerang kesehatan seperti gangguan sistem pencernaan, ekskresi, pernapasan (termasuk kanker paru-paru dan gangguan pernapasan bagian bawah), kelainan kronik neoplasma dan janin, penyakit tulang, gangguan sistem saraf dan otak, hingga Alzheimer.

Catatan: Yang bertanda kuning adalah gangguan kesehatan yang kami temui di Kampung Pasir. Infografik oleh Leoni Susanto.

Pembiaran

Demi mendapatkan gambaran dampak kesehatan dari pertambangan timah terhadap anak-anak di kabupaten lain di Kepulauan Babel, kami mewawancarai Tafwid, Kepala Puskesmas Baturusa, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka.

Tafwid menyebut gatal-gatal dan diare sebagai penyakit yang paling banyak menjangkiti anak-anak pada musim kemarau, yang kemungkinan karena konsumsi air tidak higienis. Ini terjadi di daerah yang masih menggunakan kolong alias lubang bekas tambang sebagai sanitasi utama.

“Tapi, sayangnya, kepedulian masyarakat maupun individu kelompok terhadap kesehatannya sendiri kurang diperhatikan. Karena mungkin mereka beranggapan penyakit kulit ini penyakit yang biasa,” kata Tafwid.

Sedangkan untuk potensi penyakit jangka panjang yang menyerang organ dalam tubuh, Tafwid berkata belum pernah ada penelitian maupun kejadian di wilayahnya yang menunjukkan keterhubungan antara penyakit tertentu dan aktivitas tambang timah.

“Tidak berani. Biayanya besar,” katanya.

Hingga sekarang, dinas kesehatan provinsi belum memiliki program, kajian, maupun survei khusus terkait dampak pertambangan timah bagi kesehatan masyarakat.

Meski begitu, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bangka Belitung, Andri Nurtito, mengakui bahkan sebagian kolong yang digunakan sebagai sumber air baku oleh PDAM memiliki kandungan logam berat yang masih di bawah baku mutu air minum.

Namun, permasalahan kesehatan dari paparan logam berat ini disebutnya belum menjadi perhatian khusus Dinas Kesehatan.

“Selain itu, kami tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk mendorong kajian lebih lanjut. Untuk melakukannya, perlu melibatkan sektor terkait yang menjadi hulu dalam bahasan ini, yaitu Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” ujarnya.

Menghancurkan Lingkungan

Satu sore Februari 2023, Kepala Dusun Kedimpal, Asmawati, duduk di gubug sederhana belakang rumahnya yang baru selesai dibangun. Walaupun masih di Dusun Kedimpal, rumahnya jauh dari kebisingan tambang. Bersama anggota Kelompok Wanita Tani, Asmawati merawat hamparan kebun di sekitar perkampungannya.

Asmawati menjabat kepala dusun sejak Agustus 2022. Prioritasnya ingin “memperjuangkan” Kampung Pasir. Caranya, ia ingin kampung ini lebih menggali potensi pariwisatanya yang berjangka panjang ketimbang tambang dan segala dampak lingkungannya. Apalagi, katanya, Kampung Pasir adalah tempat masa depan anak-anak Dusun Kedimpal.

“Kita menyiapkan Kampung Pasir buat generasi ke depan. Tapi, di satu sisi, kita membiarkan orang mengobrak-abriknya,” ujarnya.

Tak cuma berada di pesisir, Kampung Pasir berbatasan langsung dengan hilir Sungai Benuang. Pada 2016, jembatan di Dusun Kedimpal roboh saat musim hujan akibat naiknya volume aliran sungai. Itu diperparah aktivitas tambang inkonvensional dekat aliran sungai, menyebabkan pendangkalan dan memotong aliran sungai.

Pada 2017, Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat membangun jembatan baru di sejumlah tempat yang terdampak banjir di Bangka Tengah, termasuk jembatan Dusun Kedimpal. Dinas juga membuat jalur aliran sungai baru yang lebih lebar.

Namun, sekitar tahun 2019, aktivitas penambangan kembali bikin dangkal dan mengubah bentuk aliran sungai. Beton jembatan sempat retak kembali sehingga perlu dipasang batang-batang cerucuk di dekat jembatan. Untuk memperbaikinya, cerita Asmawati, masing-masing penambang patungan Rp100 ribu guna menurunkan eskavator mengeruk tailing tambang yang menutup aliran sungai.

 

Pada 2022, laporan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Bangka Belitung menyebut aktivitas “pertambangan yang tidak berkelanjutan” sebagai isu prioritas utama lingkungan hidup di Bangka Belitung, begitu juga dengan masalah kerusakan daerah aliran sungai dan kerusakan pesisir.

Laporan yang sama menyebut aktivitas pertambangan di sekitar aliran sungai meningkatkan konsentrasi pencemaran, khususnya sedimen kandungan logam berat yang mengendap dan terkumpul ke wilayah hilir.

Posisi CV Dirgantara Sejahtera tak hanya menempel pesisir, tapi juga aliran Sungai Benuang. Saat mitra PT Timah ini mulai menambang pada 2022, Asmawati sudah mengimbau agar tailing tambang jangan dibuang di aliran air.

“Kalian boleh bekerja, tapi tolong alur sungai itu jangan sampai tertutup karena kalau sampai tertutup itu banjir,” katanya.

Namun, dalam citra drone Februari 2023, limbah pencucian timah CV Dirgantara Sejahtera jelas mengarah ke aliran sungai. Ia tak cuma menutup aliran sungai tapi juga mendangkalkan sungai.

“Cuma sekarang aliran sungai sudah terkoyak-koyak. Ini alur sungai yang benar jadi nggak tahu lagi,” ujar Asmawati.

Hasil citra drone limbah pencucian timah CV Dirgantara Sejahtera dibuang menuju aliran sungai Benuang, Dusun Kedimpal, pada 5 Februari 2023. Posisi limbah pencucian berdekatan hilir sungai Benuang sehingga limbah mencemari laut. (Indah Suci Safitri)

Sayangnya, Kepala Desa Bahtiar Effendi menyebut limbah tambang di Dusun Kedimpal tidak bermasalah dan operasional aktivitas pertambangan dipantau pemerintahan desa.

Tailing nggak lari ke sungai. Mereka gali tutup lubang. Penambang di sini kami lihat nggak bermasalah limbahnya itu,” klaim Bahtiar.

Selain merusak dan mencemari sungai, penambangan timah di Kampung Pasir menebang pohon-pohon cemara laut atau ruk, yang telah ditanam dan dirawat warga Dusun Kedimpal. Ini diduga dilakukan CV Dirgantara Sejahtera, mitra PT Timah.

Padahal, cemara laut berguna menahan laju abrasi dan ombak serta mampu jadi pelindung tsunami, selain memperbaiki unsur hara di pasir sekitarnya. Tak hanya cemara laut, warga dusun juga menanam mangrove.

Saat CV Dirgantara Sejahtera menentukan lokasi penempatan sakan alias alat pencucian timah, perseroan ini mengajukan dua opsi. Pertama, di wilayah dekat aliran sungai, dan kedua, di kawasan mangrove di sisi selatan dekat Kampung Pasir.

Asmawati dan suaminya menentang rencana tersebut. Alasannya, pipa-pipa penyedot timah bakal merusak cemara laut dan bakau serta menghancurkan pesisir pantai.

“Kalau sampai mereka tambang ruk,” kata Asmawati, “kami berdua yang jadi tameng.”

Laporan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Bangka Belitung tahun 2022 menyebut, dari antara jenis-jenis hutan primer, hutan bakau di Kabupaten Bangka Barat yang paling banyak terdegradasi sepanjang 2015-2021. Lumpur dan endapan dari pertambangan menutupi anak-anak mangrove, sehingga rusak bahkan mati.

Meski baru beroperasi beberapa bulan, pada akhir Maret 2023, kami mendapat kabar dari warga bahwa tiga tambang mitra PT Timah di Kampung Pasir, termasuk CV Dirgantara Sejahtera, menghentikan kegiatannya. Alasannya, mereka tidak menghasilkan bijih timah sesuai target operasional.

Berdasarkan citra drone, posisi penggalian CV Dirgantara Sejahtera dekat cemara laut di Dusun Kedimpal, 5 Februari 2023. CV Dirgantara Sejahtera diduga menebang cemara laut yang berfungsi merehabilitasi lahan. (Indah Suci Safitri)

Asmawati merasa sangsi lingkungan Kampung Pasir bisa pulih cepat setelah rusak digali tambang. Dan, kalaupun warga mendapatkan kompensasi, itu percuma.

“Bisa nggak lingkungan kampung dikembalikan sama persis seperti sebelum perusahaan tambang mengeruk? Nggak bisa, kan. Pasti meninggalkan lubang,” katanya. “Untuk apa misalnya masyarakat diberi (kompensasi) jaring ikan kalau ekosistem laut sudah rusak semua?”

Baik PT Timah, yang bertanggung jawab mengawasi kerja mitranya, maupun Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Babel, yang seharusnya mengawasi lingkungan di daerah pertambangan Kampung Pasir, tidak merespons atas upaya konfirmasi kami sampai laporan ini dirilis.

Timah Menyedot Banyak Anak Putus Sekolah

Betapapun sudah banyak kerusakan yang diakibatkan pertambangan timah di Provinsi Bangka Belitung, tapi belum banyak ada upaya serius dari pemangku kebijakan untuk berkomitmen pada apa yang disebut “pertambangan legal” maupun mengatur “pertambangan tidak berkelanjutan.”

Provinsi Babel adalah penyumbang utama ekspor timah Indonesia, sehingga menjadikan negara ini sebagai eksportir timah terbesar kedua di dunia. Pada 2021, Indonesia memproduksi sedikitnya 34 ribu ton logam timah, dengan perusahaan negara PT Timah memproduksi sedikitnya 26 ribu ton logam timah atau setara 76% dari total produksi logam timah Indonesia di tahun yang sama.

Bak lingkaran setan, warga Babel terus bergantung pada sektor timah dengan bekerja sebagai penambang timah inkonvensional. Sementara, PT Timah terus berupaya mengamankan aset cadangan timah yang ditambang tanpa izin, dengan mendorong para penambang inkonvensional mau bermitra. Di sisi lain, pemerintah daerah sekadar membentuk satuan tugas penanganan tambang timah ilegal.

Melulu menimpakan kesalahan kepada para penambang inkonvensional, pejabat Gubernur Bangka Belitung, Ridwan Djamaluddin, menganjurkan “tambang-tambang ilegal” disetop, seperti tercantum dalam laporan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2022. Ridwan adalah birokrat di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, eks Dirjen Mineral dan Batu Bara.

Menurut Siti Maemunah, peneliti pertambangan, pemerintah sejak dulu memang tidak memprioritaskan tambang rakyat. “Yang dilayani itu tambang skala besar. Bangka Belitung diperlakukan sebagai pulau komoditas dan tambang inkonvensional itu hanya serial dari sekian ekstraksi yang sudah berlangsung lama.”

“Masalahnya, apakah pertambangan legal itu nggak merusak? Pemerintah menyebut tambang inkonvensional sebagai tambang rakyat yang akan dihentikan, padahal toh nanti larinya hasil tambang-tambang inkonvensional ini juga ke perusahaan besar,” tambahnya.

Pipa yang menghubungkan pompa penyedot dengan sakan. (Indah Suci Safitri)

Di perkampungan-perkampungan yang tergulung pertambangan timah, situasinya semakin mengancam masa depan anak-anak.

Defrizal, guru di SMPN 10 Pangkalpinang, pernah meneliti perilaku belajar siswa sekolahnya yang menjadi penambang timah inkonvensional. Ia menemukan siswa mengantuk, bolos sekolah, dan tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Ia meyakini kejadian ini tren serupa di sekolah-sekolah lain di seluruh Bangka Belitung yang lokasinya berdekatan dengan area tambang.

Defrizal, yang sudah 23 tahun menjadi guru di sekolah yang sama, tergerak melakukan penelitian itu setelah dua siswanya tewas tertimbun longsoran pasir tambang timah saat melimbang.

Nurwati, guru di SMPN 2 Namang, Kabupaten Bangka Tengah, pernah menulis artikel tentang relasi tingginya angka putus sekolah di Bangka Belitung dengan harga timah. Di sekolahnya, setidaknya ada 10 siswa putus sekolah pada 2020.

Sri Purwanti, Kepala Sekolah SDN 8 Namang, berkata setidaknya tujuh siswanya putus sekolah pada 2022. Saat tahun awal pandemi Covid-19, Sri Purwanti menerima laporan banyak siswa bolos, bahkan pulang lebih awal tanpa izin, untuk membantu orangtua mereka bekerja di tambang.

Dari obrolan bersama ketiga guru sekolah ini, semuanya menyebut angka putus sekolah di Bangka Belitung memiliki kaitan dengan harga timah.

Misalnya pada 2020 saat pandemi Covid-19, angka putus sekolah naik karena harga timah mencapai Rp200 ribu/kg. Dengan asumsi seorang anak mendapatkan timah 1 kg setiap hari, hanya dalam waktu dua bulan, anak itu bisa membeli motor dan ponsel sendiri.

Dosen sosiologi Universitas Bangka Belitung, Putra Pratama Saputra, menjelaskan masih banyak orangtua di Bangka Belitung yang bekerja dan bergantung pada sektor timah. Imbasnya, anak-anak memiliki kecenderungan membantu orangtua mereka. Padahal, keberadaan anak-anak untuk bekerja di area tambang memiliki risiko tinggi.

“Tidak sedikit anak bekerja dengan kondisi jam kerja panjang dan cukup berat, sehingga menyebabkan hilangnya kesempatan menikmati pendidikan dan bermain dengan teman-teman sebaya pada lingkungan sosialnya,” ujarnya.

“Risiko kecelakaan kerja berupa luka bahkan kematian, hingga gangguan kesehatan yang menyebabkan fisik menurun. Di satu sisi, muncul kekhawatiran bagi anak yang bekerja cenderung mudah putus sekolah,” kata Putra, yang pernah meneliti anak penambang timah.

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Bangka Belitung, Ervawi, membenarkan salah satu penyebab tingginya angka putus sekolah di Bangka Belitung adalah sektor timah, yang seakan lebih menjanjikan masa depan sekalipun berumur pendek.

“Anak-anak di Bangka Belitung itu terlena dan terpikat buaian pertambangan timah. Itu sebenarnya yang membuat anak-anak sekolah jadi drop-out. Kemudian, yang belum masuk sekolah bisa-bisa tidak mau masuk sekolah,” katanya.

Data Badan Pusat Statistik merilis angka putus sekolah di Provinsi Bangka Belitung melebihi level angka putus sekolah nasional, bahkan menjadi provinsi dengan angka putus sekolah tertinggi untuk jenjang SMA/sederajat di Indonesia pada 2022.

Angka partisipasi sekolah provinsi ini di bawah level nasional. Itu mempengaruhi indeks pembangunan manusia (IPM) yang cenderung rendah di tingkat provinsi. Setidaknya, dalam lima tahun terakhir, IPM Bangka Belitung masih di bawah IPM nasional.

“Kita kalkulasikan 2.000 siswa drop-out, kali Rp200 ribu sehari. Hasilnya, Rp400 juta dalam satu hari!” jelas Ervawi. “Bayangkan saja jika dikali 30 hari, hasilnya Rp12 miliar dalam satu bulan dari sektor anak-anak yang menyumbang pendapatan Provinsi Bangka Belitung. Itu baru dari anak-anak drop-out saja yang bekerja di sektor timah.”

Bagi Siti Maemunah, anak dalam lingkaran tambang tak cuma terpengaruh pikiran dan kesehatan fisiknya, tapi juga perasaan dan keterhubungannya dengan alam, termasuk perasaan bahwa dalam usia dini, anak-anak dipaksa merusak lingkungan sekitar untuk bisa bertahan hidup.

“Pulau kecil ini diperlakukan sebagai onggokan bahan tambang di mana tambang adalah panglima, sedangkan ruang hidup orang itu adalah ruang-ruang sisa. Sebenarnya, masa depan yang mau dijanjikan kepada anak-anak itu seperti apa?” katanya.

Dalam laporan keberlanjutan, PT Timah menjamin anak-anak di bawah umur tidak dipekerjakan. Tapi, di sisi lain, perusahaan negara ini “memahami” pekerjaan tambang oleh para mitranya berpotensi melakukan pelanggaran dalam praktiknya.

Hingga artikel ini terbit, PT Timah tidak merespons mengenai jaminan timah yang diproduksi dan diekspor perusahaan sama sekali tidak berasal dari hasil kerja anak penambang.

Rian, 11 tahun, melimbang di kawasan pertambangan CV Dirgantara Sejahtera, Kabupaten Bangka Tengah, 27 Desember 2022. Setelah pulang sekolah, Rian mencari sisa bijih timah dari aliran sakan menggunakan ember dan piring. (Indah Suci Safitri)

Menggantungkan Cita-Cita

Rian dan Jampang sama-sama anak umur 11 tahun yang bersekolah di SDN 8 Namang. Pada satu sore, mereka duduk di kapal nelayan terbengkalai di pesisir Pantai Kedimpal. Pada hari-hari biasa, aktivitas mereka adalah pergi sekolah, mengaji, kemudian membantu keluarga melimbang timah.

Rian tak pernah mengeluh, sekalipun kelelahan dan matanya pedih karena melimbang. Ia tetap membantu nenek dan ibunya bekerja. Sejak kecil, Rian harus melihat ibunya bekerja sebagai ibu tunggal. Rian lebih memilih bekerja ketimbang bermain layaknya teman sebaya.

Rian bercita-cita menjadi pemadam kebakaran karena profesi itu bisa menolong orang lain. Setiap datang ke pasar malam Kamis di desa, ia menyisihkan uang untuk diberikan ke orang jalanan yang ditemuinya.

Sementara Jampang, dengan bercanda, ingin menjadi Ultraman. Rian tertawa mendengarnya. Jampang memang belum terpikir kelak mau jadi apa, tapi ia sedang menabung. Hasilnya melimbang ditabung ke dalam celengan untuk biaya masuk pesantren pada tahun depan.

 

PADA SATU MALAM awal Februari 2023, kami memperhatikan Zika mengeluarkan lembar kecil foto monokrom kakaknya, pas foto Adit mengenakan seragam SMP.

“Ganteng abangku,” kata Zika, yang masih kelas 2 sekolah dasar. Ia menciumi beberapa kali foto Adit, kemudian memasukkan kembali foto itu ke dompet merah kecilnya.

Zika tengah duduk di sebelah ayahnya, Sumarto, di ruang depan rumah mereka di daerah Gudem Utara. Sumarto menatap foto putra sulungnya dengan sayu. Sesekali tertawa pahit saat mengenang peristiwa anaknya meninggal saat melimbang, tanpa sepengetahuan dirinya yang terlelap, pada subuh hari tahun 2020.

Adit adalah siswa SMPN 2 Pemali. Ia dikenal tetangganya sebagai sosok yang ramah dan gesit mencari uang. Ibu Adit juga disiplin tentang sekolah anak-anaknya.

Namun, Adit bukan anak yang terbuka. Sumarto bahkan tidak tahu cita-cita Adit. Ia hanya tahu Adit suka dunia otomotif. Sumarto menghela napas saat mengingat tak lama lagi Adit akan masuk SMK pelayaran. Ia telah membelikan seragam dan tas.

Ia tak akan pernah melihat putranya berangkat sekolah memakai seragam baru itu.

Ali, 17 tahun, memperlihatkan hasil melimbang bijih timah setelah melalui tahapan pencucian sederhana di kawasan pertambangan CV Dirgantara Sejahtera, Dusun Kedimpal, Kabupaten Bangka Tengah, 27 Desember 2022. Ali berhenti sekolah sejak SMP dan melimbang untuk kebutuhan hidup. (Indah Suci Safitri)

Laporan ini didanai Environmental Justice Reporting Story Grants for Asia-Pacific Youth Tahun 2022 yang didukung Earth Journalism Network, Internews.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Fahri Salam
23 menit