Pemerintah berencana, para oligark yang tetap paling banyak meraup untungnya.
Komitmen transisi energi yang sering digaungkan pemerintah tidak sejalan dengan kebijakan terbarunya. Pada Mei 2025, PT PLN merilis Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034. Dokumen ini justru masih memuat rencana pembangunan pembangkit listrik berbasis energi fosil sebesar 14 persen atau setara 16,6 gigawatt (GW).
Artinya, ketergantungan pada energi fosil akan terus berlanjut setidaknya selama satu dekade ke depan. Padahal, dalam forum G20 di Brasil pada November 2024, Presiden Prabowo berjanji mempercepat target Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission/NZE) menjadi tahun 2050 atau bahkan lebih cepat.
Dalam forum itu, ia menyebut rencana pembangunan 75 gigawatt pembangkit listrik dari energi terbarukan, dan menghentikan pembangkit listrik berbahan bakar fosil dalam waktu 15 tahun.
Namun, pernyataan tersebut segera dikoreksi oleh adik kandungnya sekaligus Utusan Khusus Presiden untuk Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo. Hashim menyatakan bahwa maksud Prabowo bukan penghentian total, tetapi mengurangi penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) secara bertahap.
Koreksi ini menegaskan ketidakjelasan visi transisi energi Indonesia, sekaligus memperlihatkan ketidakselarasan antara janji dan kebijakan. Tak kalah penting, ini berarti transisi energi berisiko besar tak terlaksana sesuai target.
Selain aspek kebijakan yang tidak selaras, tantangan lain dalam transisi energi adalah kuatnya pengaruh oligarki di sektor energi. Oligarki merupakan politik pertahanan harta (wealth defense) dari aktor yang memiliki konsentrasi harta yang melimpah. Para aktor yang melakukannya disebut oligark (Winters, 2011).
Temuan investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2020 dan 2025 menunjukkan kontrol para oligark terhadap bisnis batubara dari hulu ke hilir. Para oligark tersebut antara lain Luhut Binsar Pandjaitan, Erick Thohir, Keluarga Bakrie, dan lain sebagainya. Mereka melakukan praktik wealth defense melalui bisnis pertambangan batubara hingga pembangkit listrik berbahan bakar fosil.
Para elite ultra-kaya tersebut nampak dalam daftar orang terkaya se-Indonesia dari berbagai versi, mulai majalah Forbes, Bloomberg Billionaire Index, hingga Globe Asia. Sejumlah dari mereka tersangkut dalam Panama dan Paradise Papers, skandal mengenai penghindaran atau kecurangan pajak.
Tuntutan global terhadap transisi energi memaksa para pebisnis energi fosil untuk mengalihkan bisnisnya ke sektor yang lebih hijau. Sejumlah perusahaan besar energi fosil mulai melebarkan sayap bisnisnya ke bisnis energi terbarukan.
Contohnya bisnis keluarga Thohir, Adaro Energy, yang baru mengubah namanya menjadi AlamTri Group, mengembangkan bisnis Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Kalimantan Utara dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kalimantan Tengah.
Selain itu, TBS Energi Utama (sebelumnya Toba Bara Sejahtera yang didirikan Luhut Binsar Pandjaitan) mengembangkan PLTS Terapung di Batam dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB). Setali tiga uang, Bakrie Group dan Indika Group mengembangkan bisnis PLTS.
Kehadiran oligarki dalam bisnis transisi energi berpotensi menunda prosesnya, sekaligus mengambil keuntungan darinya. Mereka tidak akan serta merta melepas bisnis energi fosil, sehingga akan berupaya untuk memperlambat proses transisi energi.
Misalnya, mereka dapat memengaruhi kebijakan mengenai transisi energi. Salah satu contohnya adalah RUU Energi Baru Terbarukan (EBT) yang menyisipkan terminologi ‘baru’ untuk mengakomodir penggunaan energi fosil. Batubara yang diolah, seperti menjadi gas, dapat diklasifikasikan sebagai energi baru. Imbasnya, penggunaan batubara masih akan terus berlanjut.
Selain itu, mereka dapat memengaruhi kebijakan pensiun dini PLTU untuk memperlambatnya. Terlebih, kebijakan yang ada telah membuka celah bagi mereka untuk memastikan upaya perlambatan.
Peraturan Presiden nomor 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik membolehkan PLTU baru hingga 2050. PLTU industri ikut diperbolehkan untuk hilirisasi dan proyek strategis nasional.
Para oligark juga berupaya mengambil keuntungan dari skema pendanaan iklim. Dengan pengaruh yang mereka miliki, mereka dapat mengarahkan prioritas pembiayaan agar sampai ke proyek-proyek yang terhubung dengan bisnis mereka.
Lebih jauh, mereka dapat mengambil keuntungan dari bisnis mineral kritis. Permintaan komoditas nikel dan tembaga melonjak lantaran perannya sebagai bahan baku utama baterai kendaraan listrik dan panel surya, komponen penting dalam infrastruktur transisi energi.
Itu kemudian membuka peluang bagi oligark untuk mengontrol bisnis tersebut dari hulu ke hilir. Mereka dapat melakukan kontrol melalui bisnisnya secara mandiri, atau melakukan kongsi bisnis. Contohnya, Tiran Group, perusahaan tambang nikel yang didirikan oleh Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dapat berkongsi dengan perusahaan lainnya.
Andi merupakan sepupu dari Haji Isam, pendiri Jhonlin Group yang tengah membangun bisnis smelter Nikel. Melalui hubungan tersebut, kongsi bisnis antara mereka berpotensi untuk dilakukan. Dalam hubungan yang saling menguntungkan, kongsi dengan pebisnis lain yang menjalankan bisnis baterai kendaraan listrik, panel surya, dan lain sebagainya juga berpotensi untuk dilakukan.
Kehadiran oligarki dalam transisi energi perlu diwaspadai lantaran mereka cenderung memberi imbas buruk dalam mempertahankan kekayaan melalui perampasan sumber daya. Kasus korupsi dan pelanggaran hukum akan semakin marak muncul. Tidak kalah buruk, kerusakan ekologis tak terhindarkan.
Dalam kendalinya terhadap sektor energi fosil, bisnis oligarki kerap membawa dampak serius, seperti deforestasi, lubang tambang yang dibiarkan terbuka, kekeringan, banjir, hingga polusi udara akibat asap pekat dari PLTU.
Dampak ekologis itu kemudian berlanjut menjadi krisis sosial, seperti kesehatan warga yang memburuk, mata pencaharian hilang, dan akhirnya membawa warga terjerumus dalam kemiskinan struktural.
Tak lupa bahwa cengkeraman oligarki dalam bisnis energi fosil juga berdampak terhadap memburuknya kualitas demokrasi di Indonesia. Proses legislasi yang menyangkut kepentingan mereka untuk merampas sumber daya dilakukan serba cepat dan tertutup, mengabaikan partisipasi bermakna dari publik.
Pada waktu bersamaan, ruang sipil warga untuk melakukan protes dipersempit. Ini terjadi misalnya dalam proses revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), revisi UU Mineral dan Batubara (Minerba), hingga UU Cipta Kerja. Pola serupa dapat terulang dalam penyusunan kebijakan mengenai transisi energi.
Salah satu jalan keluar dari cengkeraman oligarki yaitu mendorong demokratisasi energi. Demokratisasi energi berarti memberi kesempatan bagi warga, terutama dalam level komunitas untuk menjadi pelaku utama dalam produksi dan distribusi energi.
Dengan kata lain, warga terlibat dalam pengambilan keputusan, kepemilikan, dan manfaat langsung dari pengelolaan energi. Di Jerman, dengan kebijakan Energiewende, warga dapat mengelola energi secara mandiri dengan pembentukan koperasi.
Melalui model tersebut, dominasi aktor-aktor besar yang selama ini mengendalikan sektor energi perlahan dapat digeser kepada publik. Oleh sebab itu, kebijakan energi nasional mesti memberi ruang lebih besar pada demokratisasi energi.
Transisi energi yang berkeadilan terjadi jika ia menempatkan kepentingan publik sebagai yang utama, bukan sebagai pelanggengan kepentingan ekonomi dan politik para oligark.
Egi Primayogha adalah pegiat antikorupsi dengan fokus pada isu ketimpangan, hubungan pebisnis dan politisi, state capture, dan korupsi ekologis.
Esai ini merupakan bagian dari serial opini #TransisiEnergi yang menghadirkan perspektif peneliti, penggiat, dan praktisi dari beberapa organisasi masyarakat sipil dengan fokus pada kesehatan publik, keadilan lingkungan, dan kebijakan energi bersih.